Friday, September 27, 2019

DALAM BENING MATAMU 08

DALAM BENING MATAMU  08

(Tien Kumalasari)

Mirna sudah sangat mengantuk, tapi kegelisahan karena ibunya belum pulang juga, menyebabkan ia tak bisa memejamkan mata. Sekarang ia sangat haus, setelah itu biarlah kalau dia harus tertidur dikursi.

Ia hampir meneguk teh dalam cawan yang sudah dipegangnya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

Buru-buru Mirna meletakkan kembali cawan itu, lalu meraih ponselnya, semoga dari ibunya. Dan memang dari ibunya. Ia hanya mengangkat dan tak mengucapkan apapun, karena sesungguhnya ia kesal pada ibunya.

"Mirna !! Apa kamu belum selesai?" kata ibunya hampir berteriak dari seberang sana.

"Ya bu.. mengapa ibu belum pulang juga?"

"Aku sudah ada didepan rumah, tak ada siapa-siapa disitu bukan?"

"Mirna sendiri bu," jawabnya lelah.

\Tiba-tiba saja pintu sudah terbuka, dan ibunya muncul dan langsung duduk dihadapan Mirna.

"Bagaimana ?" tanya ibunya.

"Apanya bu?"

"Tadi ada tamu kan? Kamu senaang? Tapi awas, jangan sampai kamu jatuh cinta."

"Ibu bicara apa? Mirna tidak mengerti. Sekaang Mirna mau tidur bu, malam sudah larut. 

Mirna meraih kembali cawan yang tadi belum sempat dihirup isinya, dan siap diminumnya sebelum berangkat tidur. Ia segn meladeni omongan ibunya, yang tidak dimengertinya.

"Heeiiii...stopppp.." teriak ibunya dengan suara seraknya.

Cawan itu terhenti didepan mulutnya, lalu Widi merebutnya sehingga beberapa tetes tumpah dipangkuan Mirna.

"Ibu apa-apaan sih?"

"Ibu bukan minuman buat kamu, tapi buat Adhitama. Kenapa kamu mau meminumnya juga?"

"Adhitama siapa?" tanya Mirna yang sesungguhnya sudah bisa menangkap keinginan ibunya.

"Bukankah dia tadi kemari? Lalu kamu suguhkan minuman ini?"

"Tidak ada Adhitama datang kemari, adanya adalah pak Sarno, sopirnya."

Widi melotot. Mata yang hampir tak memiliki pelupuk itu seperti hampir terlepas dari wadahnya. Mirna memandangnya dan merasa bergidik ngerti.

"Jadi yang datang kemari adalah sopirnya? Lalu kamu menyuguhkan minuman itu, lalu apa yang dia lakukan padamu hahh? " kata Widi masih dengan teriakan serak.

"Sebenarnya apa yang ingin ibu lakukan? Mirna tidak mengerti. Ibu mengatakan pada pak Adhit bahwa Mirna sakit? Supaya pak Adhit datang kemari? Ya enggaklah bu, dia itu bis besar, mana mungkin mau meladeni karyawan yang seperti Mirna."

"Mirna !! Ibu tanya sama kamu, apa yang dilakukan sopir itu disini??"

"Dia langsung masuk kekamar ketika Mirna masih tiduran, sampai-sampai Mirna terkejut."

"Lalu apa dia memperkosa kamu?"kata sang ibu masih dengan teriakan, ia membayagkan lelaki setengah tua itu menggagahi anaknya, mengotori ranjang dan kamar barunya...aduhai..

"Mengapa ibu mengira pak Sarno memperkosa Mirna? Dia datang karena disuruh majikannya. Majikannya menyuruh sopirnya datang kemari karena ibu bilang aku sakit keras dan harus dibawa kerumah sakit. Iya kan?"

"Dia minum air teh daalam porong itu?"

"Tadi Mirna suguhkan..."

"Apaaa?"

"Tapi dia menolak karena tidak minum minuman manis, gula darahnya tinggi, jadi Mirna kasih air putih."

Widi tampak menghela nafas lega.

"Sesungguhnya apa yang ada didalam cawan itu? Mirna ingn minum karena harus, tapi ibu melarangnya. Racun?"

"Itu obat perangsang !!" kata ibunya sambil berdiri, lalu mengambil porong dan cangkir itu untuk dibawa kebelakang. Ia membuangnya lalu mencucinya bersih.

Mirna tercengang ditempat duduknya. Obat perangsang? Jadi ibunya mengira Adhit datang, lalu meminum teh itu, lalu ia akan mencumbui dirinya, melampiaskan hasratnya karena pengaruh minuman itu? Ya Tuhan... lalu apa lagi.. lalu apa lagi...

Pertanyaan itu terus membebani pikirannya sampai ia tertidur lelap, dengan menyimpan rasa kesal pada ibunya.

***

Pagi harinya ketiks Mirna siap untuk berangkat bekerja, didengarnya suara aneh dari arah dapur. Apakah itu suara tangisan? Mirna melangkah kearah datangnya suara, dilihatnya ibunya sedang menutupi mukanya dengan kedua belah tangannya, sambil menangis . Mirna tertegun, selama ini tak pernah ia melihat ibunya menangis. Ibunya terlalu kuat dan selalu melakukan pekerjaan dengan semangat. Sekarang menangis? Perlahan Mirna mendekat, dipegangnya pundak ibunya yang terguncang karena tangisan. Ada rasa perih mendengar tangisan itu. Begitu sakitkah rasa hati ibunya sehingga sampai meneteskan air mata?

"Ibu.." bisiknya pelan.

"Ibu memang bodoh, ibu membuat kamu kesal, ya sudahlah, biarlah derita ini ibu saja yang menanggungnya."

"Mengapa ibu berkata seperti itu?"

"Kamu kesal bukan sama ibu? Kamu marah karena ibu memintamu menuruti semua permintaan ibu?"

"Ibu, tenanglah, ayo bicara dengan baik, Mirna tidaak kesal sama ibu."

"Bohong ! Ibu menangkap nada bicaramu, kamu kesal sama ibu."

"Ibu..."

"Nanti ibu mau pergi saja, disini ibu hanya membebani perasaan kamu, sudah pergilah  bekerja, toh kamu sudah bisa mencukupi semua kebutuhan kamu sendiri, tidak lagi membutuhkan ibu, sudah cukup apa yang ibu lakukan, membesarkan kamu,sampai sekarang kamu bisa mendapatkan penghasilan. Itu cukup. Ibu mau pergi saja."

Mirna terkejut.

"Ibu mau pergi?"

"Pergi, toh kamu sudah tidak membutuhkan ibu lagi.. sudah bisa melakukan apapun tanpa ibu. Ya sudah, sana pergilah, tapi kalau pulang nanti jangan lagi mencari ibu."

Mirna berjongkok dihadapan ibunya. Betapapun kesal hatinya kepada ibunya, mana mungkin ia tega membiarkan ibunya pergi? Ia bisa saja hidup sendiri, tapi ibunya yang cacat, yang mungkin juga tak ada orang yang suka berdekatan dengan dirinya, bagaimana kalau terjadi apa-apa? Menetes air mata Mirna.

"Jangan pergi bu, jangan meninggalkan Mirna."

"Kamu sudah tidak butuh ibu lagi."

"Tidak, Mirna butuh ibu, Mirna tak bisa hidup tanpa ibu."

"Tidak, ibu terlalu banyak permintaan dan kamu tak bisa memenuhinya. Kamu menentang ibu, jadi biarlah ibu menanggung semuanya sendiri, dan melakukan semua keinginan ibu tanpa kamu."

:Jangan begitu bu, tenangkan hati ibu, baiklah, nanti kalau Mirna pulang kita bicara lagi. Tapi jangan pergi ya bu."

"Kalau kamu mau membantu ibu, ibu tak akan pergi. Dalam sisa hidup ibu ini, hanya satu keinginan ibu, menghancurkan Galang dengan menyiksa anaknya. Biar tau tau bagaimana rasanya sakit."

"Baiklah.. nanti kita bicara lagi ya bu."

"Kamu bersedia berkorban untuk ibu?"

"Baiklah, akan Mirna lakukan semua perintah ibu." jawab Mirna sambil menangis. 

***

 Hari-hari berlalu, sebulan, dua bulan, belum ada lagi perintah ibunya bagi Mirna. Mirna berharap dendam itu akan luntur perlahan dengan berjalannya waktu. Mirna sudah berhasil memperbaiki rumah sedikit demi sedikit, dan membuatkan kamar tersendiri bagi ibunya bersebelahan dengan kamarnya, yang semula dijadikannya gudang. Mirna berharap ibunya merasa nyaman setelah melihat rumahnya lebih bersih dan rapi.

Tapi sebelum berangkat kerja dipagi itu, Mirna terkejut ketika ibunya memberikan botol berisi erbuk putih yang dulu hilang dari dalam tasnya.

"Ibu... ini... apa lagi?"

"Bukankah ittu yang pernah ibu berikan dulu, lalu terjatuh dari dalam tasmu dan ibu menemukannya. Herannya ibu mengapa kamu tidak tampak mencari atau merasa kehilangan."

"Ma'af  bu, Mirna lupa.."

"Hm..."

"Ma'af bu, ini Mirna bawa lagi?"

"Bawa aja, barangkali suatu sa'at kamu harus melakukannya."

Dhegg... dada Mirna serasa seperti dipukul palu. Melakukan apakah? Ya Tuhan, mulai lagi nih.. batin Mirna sambil berlalu.

"Apa kamu tak suka?" teriak ibunya dari belakangnya, karena ia terus melangkah kejalan mencari ojek on line.

"Apa bu?"

"Kalau kamu tak suka, kembalikan saja pada ibu."

"Nggak bu, hanya Mirna belum tau benda itu digunakan untuk apa, nanti sepulang kerja kita bicara lagi ya bu?"

Widi hanya mengangguk pelan. Ia tau Mirna tak akan lagi berani membantahnya karena ia mengancam akan pergi meninggalkannya.

***

"Mirna, nanti kamu bawa berkas2 yang kemarin kamu kerjakan, kamu ikut aku untuk persentasi dengan klien setelah jam makan siang nanti, kata Adhit dipagi itu.

"Baik pak, akan saya siapkan."

Aku akan keluar sebentar, nanti ketika aku kembali semuanya harus sudah siap."

"Baik."

"Oh ya, tadi kunci mobil pak Sarno terbawa oleh aku, tolong kasihkan nanti kalau dia kemari ya," kata Adhit sambil mengambil kunci mobil dari sakunya, dan ternyata kunci itu tersangkut pada dompetnya. Adhit menariknya, dan tanpa sengaj dua lembar poto terjatuh dari sana.

"Eh, ya bmpuun.."

Adhit berusaha mengambil barang-barangnya yang terserak, tapi Mirna sudah lebih dulu berjongkok mengambilnya. Waja mereka hampir beradu, Mirna gemetaran karenanya. Hm, harum yang sangtat maskulin, dan tangan yang sudah meraih selembar poto itupun terpegang oleh Adit. Ya Tuhan, ini kebetulan yang indah, tapi sedikit menyakitkan karen Adhit tampak sama sekali tak perduli. Ia meminta begitu saja selembar poto yang sudah dibawanya, tapi Mirna terkejut. Ada sepasang laki laki tampan dan perempuan cantik terpampang di foto itu. Kok mirip pak Adhit ya?

"Ini... foto sahabat ayah ibuku yang tinggal di Medan, om Raharjo, tante Retno isterinya," kata Adhit ketika dilihatnya Mirna memperhatikan foto itu.

"Oh... ma'af," kata Mirna pelan.

"Oh ya, anaknya om Raharjo itu pernah kemari, itu.. Raka.. yang kamu menyuguhinya minuman juga. Ingat kan?"

"Oh.. iya pak, Mirna ingat."

Ketika Adhitama sudah menghilag dibalik pintu, Mirna masih terbayang foto itu. Ia pernah melihat foto perempuan itu di album kecil milik ibunya. Siapa tadi namanya? Retno bukan? Ia pernah mendengar nama itu dari ibunya. Dan Raka, laki-laki ganteng tamu bos nya itu anaknya?

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 01

  KUPETIK SETANGKAI BINTANG  01. (Tien Kumalasari)   Minar melanjutkan memetik sayur di kebun. Hari ini panen kacang panjang, sangat menyena...