Thursday, April 24, 2025

ADA MAKNA 38

 ADA MAKNA  38

(Tien Kumalasari}

 

Wahyu kembali mendekati Reihan sambil melotot, sementara Reihan hanya tersenyum simpul.

“Kamu bilang apa?”

“Tadi, aku melihat mbak Tia jalan dengan seorang anak muda ganteng, terkadang tangannya saling menggenggam. Mesra deh.”

Wajah Wahyu tiba-tiba muram.

“Buat berita yang bagus dan bermutu,” katanya sambil membalikkan tubuhnya, membuat Reihan tersenyum lebar.

“Katanya nggak suka, tapi kok seperti cemburu begitu?” gumam Reihan. Untunglah Wahyu tak mendengarnya, kalau saja sampai mendengar, barangkali kepala Reihan akan kena jitak sampai benjol.

“Hm, ketahuan … nggak mungkin nggak suka pada mbak Tia, baru mendengar berita mbak Tia jalan sama anak muda lain saja seperti kebakaran jenggot begitu,” gumamnya sambil meletakkan tas punggungnya dan bersiap ganti pakaian. Hari ini agak lumayan. Penghasilan dari usaha penjualan online serasa membaik, jadi bisa mengurangi beban biaya yang harus keluar dari bunga bank yang setiap kali diambil.

Hanya saja setiap memegang uang, pikirannya terus melayang ke arah sang ibu yang entah di mana keberadaannya. Sang ibu yang karena marah kemudian meninggalkan mereka berdua begitu saja.

“Apa salah, aku dan mas Wahyu merahasiakan tentang pembayaran uang kas itu? Habisnya kan kami khawatir, kalau ibu tahu aku punya uang, lalu ibu berbuat macam-macam.”

“Nah, sekarang kamu yang melamun,” kata Wahyu yang tiba-tiba muncul.

“Beda yang dilamunin, aku kan masih kecil, tidak mungkin melamun tentang cinta seperti mas Wahyu.”

“Ngawur, siapa yang melamun tentang cinta?”

“Baiklah, terkadang orang itu susah mengakui perasaannya. Eit, jangan marah dong. Mas tahu aku tadi sedang memikirkan apa?”

“Mana aku tahu? Memangnya aku ini ahli nujum?”

“Setiap kali aku mendapatkan uang, aku selalu teringat ibu. Kemana ya kira-kira ibu pergi?”

Wahyu duduk lalu menuang air putih ke dalam gelas, dari teko di atas meja yang ada di kamar itu. Ia juga merasa sedih setiap kali teringat akan ibunya.

“Entah ke mana ibu pergi. Uang penjualan rumah itu pasti tidak sedikit. Semoga ibu mempergunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat, dan tidak menghambur-hamburkannya untuk hal yang tidak perlu, apalagi berjudi.”

“Semoga setelah lepas dari penjara, kemudian ibu sadar.”

“Aamiin.”

“Ya sudah kamu mandi sana dan beristirahat.”

“Baiklah, mas ingin melanjutkan acara melamunnya?”ledek Reihan.

“Pergi sanaaa,” kata Wahyu sambil mendorong punggung adiknya, yang melangkah pergi sambil terkekeh. Tapi bahwa kemudian Wahyu kembali melamun, itu benar adanya. Melamun tentang laki-laki yang menggandeng Tia. Siapa? Ternyata Tia punya pacar? Kenapa bohong dengan mengatakan tidak punya? Lalu Wahyu heran kepada dirinya sendiri. Mengapa dia harus memikirkannya kalau memang tak suka? Lalu terngiang apa yang dikatakan Reihan, bahwa dia suka Emma karena wajahnya mirip Emmi yang sudah menjadi nyonya dokter Dian? Entahlah. Lalu Wahyu membaringkan tubuhnya di ranjang, menutupi wajahnya dengan bantal, takut Reihan datang dan tahu kalau dia sedang melamun.

***

Tak urung rasa penasaran Wahyu yang selalu mengganggu itu segera disampaikannya kepada Tia, saat mereka makan siang bersama

“Kemarin habis ngantor pergi jalan-jalan ya?” tanya Wahyu begitu duduk, bahkan Tia sedang menulis pesanan makan mereka.

“Kok tahu? Lagi jalan juga?”

Perasaan Wahyu mulai terasa tidak nyaman. Berarti apa yang dikatakan Reihan itu benar, karena Tia tidak menolaknya.

“Kemana saja?” tanya Wahyu lagi yang tak ingin menjawab pertanyaan Tia.

“Itu, pengin cari buku bacaan, sambil beli cemilan, di rumah kehabisan cemilan, soalnya aku tuh suka ngemil. Untung tubuhku tidak gemuk ya?”

Wahyu tak menjawab. Ia mengulurkan kertas berisi pesanan kepada pelayan yang menunggunya, yang semula dipegang Tia.

“Kirain mau nambah pesanan.”

“Sudah cukup.”

“Memangnya kemarin kamu juga keluar jalan-jalan?”

“Nggak, eh … iya, sebentar,” bohong Wahyu.

“Melihat aku di mana?”

“Di jalan.” jawab Wahyu tanpa ingin mengatakan bahwa yang melihatnya adalah Reihan.

“Iya, jalan mana?”

“Kelihatannya asyik ya, jalan berduaan, nggak capek seharian bekerja masih jalan-jalan juga,” akhirnya Wahyu tak tahan untuk tidak mengatakannya, dengan lagi-lagi mengabaikan pertanyaan Tia karena sesungguhnya ia tak tahu di jalan mana Reihan melihat mereka. Waktu itu mau bertanya pada Reihan, tapi sungkan. Pasti Reihan akan meledeknya kalau dia melakukannya.

Tia terkekeh.

“Aku tuh kalau tidak karena Feri yang merengek mengajak jalan, juga ogah. Dia butuh buku kuliahan, aku butuh buku bacaan.”

“Feri?” Wahyu lupa-lupa ingat ketika mendengar nama itu. Sepertinya Tia pernah menyebutkan namanya.

“Kamu nggak ingat Feri? Dia adikku yang nomor dua. Dia kuliah di Jogya, baru kemarin pulang.”

Lalu kepala Wahyu serasa diguyur dengan seember air sedingin es. Darah yang semula nyaris mendidih karena ‘cemburu’ tiba-tiba surut dan berganti sengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya.

“Adikmu ya?”

“Iya, kamu pikir dia siapa? Memang sih, kalau kami jalan bersama sering dikira pacaran. Badannya tegap tinggi besar.”

“Membuat aku cemburu saja,” tiba-tiba kata itu meluncur begitu saja dari mulut Wahyu.

“Kamu cemburu?”

“Eh, apa?”

“Kamu bilang, bahwa kamu cemburu. Bercanda atau serius?”

“Eh, maaf ya .. nggak sadar aku mengatakan itu.”

Tia tersenyum, tapi diam-diam hatinya berdebar. Kata yang diucapkan secara tidak sadar, pastinya memang itulah yang sebenarnya dirasakannya. Dan terlontar tanpa disadarinya.

Senyuman Tia membuat Wahyu kemudian tersipu malu. Ia merasa telah membuka ‘aib’nya sendiri.

“Maaf.”

“Wahyu, mengapa kamu harus meminta maaf? Kamu tidak bersalah. Mengungkapkan isi hati itu tidak salah. Mengapa harus meminta maaf?”

“Aku minta maaf, karena merasa tidak pantas mengatakannya.”

“Mengapa tidak pantas?” tanya Tia sambil mencecap es kopyor pesanan yang baru saja dihidangkan.

“Aku harus tahu diri Tia,” kata Wahyu yang kemudian ikut mencecap minuman yang dipesannya.

“Maksud tahu diri itu apa? Karena kedudukan aku lebih tinggi dari kamu?”

“Aku masih mengingat apa yang pernah dilakukan ibuku pada keluargamu. Aku juga sadar bahwa ibuku keluaran dari penjara. Itu sebabnya aku tak pernah berani melakukan apapun.”

“Selamanya akan begitu?”

“Entahlah.”

“Wahyu, apa sebenarnya kamu menyukai aku?” tanpa sungkan Tia langsung mengatakannya. Semuanya tidak akan selesai kalau hanya saling menduga tanpa tahu isi hati masing-masing. Apalagi Wahyu merasa rendah karena banyak hal yang membuatnya sungkan.

“Aku hanya tak berani.”

“Pertanyaannya bukan itu. Aku menanyakan perasaan kamu.”

Wahyu terdiam. Pertanyaannya apakah dirinya suka, tapi jawabnya tidak berani. Aneh juga. Wahyu merasa dirinya bodoh.

“Tia, aku seorang laki-laki, tapi tak berani mengungkapkan perasaan aku, karena aku merasa bahwa setitik kesalahan akan membuat noda yang berkepanjangan. Tapi baiklah, aku akan berterus terang, aku memang menyukai kamu, ingin menjadikanmu istriku, tapi_”

“Stop. Tanpa tapi.”

Wahyu terdiam.

“Aku sudah tua Wahyu, bahkan ayahku mengatakan bahwa aku ini sudah menjadi perawan tua. Aku tahu bahwa tidak mudah menemukan pasangan yang sesuai dengan harapan kita. Tapi aku melihat kamu laki-laki yang baik. Aku ingin mengatakan, bahwa aku juga suka sama kamu.”

Wahyu urung menyendok makanannya. Ia menatap gadis cantik di depannya, tak berkedip. Tia adalah gadis yang tegas, dan juga tegar. Ia seperti menjadi tulang punggung keluarga, bertanggung jawab kepada keempat adiknya, bukan hanya di pendidikan sekolahnya, tapi juga pendidikan bagi manusia baik pada umumnya. Ia juga mengelola uang yang diberikan ayahnya, sehingga bisa mencukupi semuanya. Karena itu ia biasa bicara ceplas-ceplos dan tak ragu pada apa yang sudah diputuskannya.

“Apa itu benar?”

Tia mengangguk. Lalu mereka sibuk menyendok makanan pesanan mereka, melupakan pembicaraan serius itu untuk sementara.

“Apakah pak Suryawan mau menerima aku yang adalah anak dari seorang pesakitan?”

“Aku juga tidak tahu. Kalau kamu ingin tahu, temuilah beliau. Apa kamu berani?”

“Kalau kamu mau menerima aku, aku akan menemui ayahmu. Apapun jawabannya nanti, aku akan siap menerimanya. Tapi aku harus yakin bahwa kamu mau menerima aku dengan segala kekurangan yang aku miliki. Ditambah lagi, aku ini miskin, dan masih punya tanggungan seorang adik yang masih kuliah.”

“Aku sudah tahu. Aku juga banyak tanggungan. Kita bisa memikulnya bersama-sama.”

Keduanya saling pandang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Suka, senang, bahagia?

Sebuah pembicaraan tentang cinta dan lamar melamar yang aneh. Begitu tiba-tiba, begitu saling mengungkapkan kata, lalu kesepakatan melamar sudah dipastikan.

***

Reihan terpekik heran ketika sang kakak mengatakan bahwa akan melamar Tia secepatnya.

“Melamar? Itu serius kan?”

“Kamu kira aku main-main?”

“Bagaimana dengan anak muda ganteng yang aku lihat bergandengan tangan dengan mbak Tia?”

Wahyu tertawa.

“Mas tidak cemburu? Mas tidak khawatir mbak Tia ternyata mendua?”

“Itu bukan pacarnya.”

“Dia bohong kan?

“Anak muda itu Feri, adiknya.”

“Oh, adiknya? Syukurlah kalau begitu.”

“Aku baru tahu dia punya adik yang sudah cukup dewasa.”

“Tadinya Mas marah-marah pada mbak Tia?”

“Mengapa marah-marah?”

“Iyalah, namanya orang cemburu pasti hatinya panas.”

“Ngawur kamu. Tia belum menjadi pacar aku. Masa aku lalu marah-marah?”

“Maksudnya?”

“Baru siang tadi jadiannya.”

“Haaa, luar biasa, jadian langsung mau melamar?”

Wahyu hanya tertawa, tak peduli ledekan Reihan yang mengatakan bahwa tadinya suka Emma, sekarang ganti Tia.

“Dugaanku benar, mas sukanya sama mbak Tia, bukan mbak Emma yang karena wajahnya mirip mbak Emmi,” omelnya yang sama sekali tak digubris oleh sang kakak.

***

Sore hari itu sepulang kuliah, Reihan berdiri di tepi jalan, menunggu bis kota yang biasa ditumpanginya.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor dihentikan tepat di depannya.

“Rei, menunggu siapa?”

“Biasalah, menunggu bis kota.”

“Ayuk naik motor saja, tapi kamu yang boncengin aku.”

“Nggak usah mbak, aku sudah biasa naik bis.”

“Kamu itu susah ya, kalau diberi tahu? Ayo sini, ini perintah kakakmu,” canda Emma.

Reihan terpaksa menurut.

“Jalurnya susah, nanti akan sampai di rumah mbak Emma dulu, dari sana tetap saja aku harus cari angkutan umum kan?”

“Tidak, aku antar kamu saja dulu.”

“Itu jalannya mutar. Kasihan mbak Emma.”

“Tidak apa-apa, kan naik motor? Kalau aku jalan kaki, kamu boleh merasa kasihan sama aku.”

“Wah, itu bisnya datang.”

“Jangan Rei, aku sebenarnya ingin ke rumah kost kamu. Masa rumah kost adiknya sampai aku tuh nggak tahu.”

“Rumah kost kecil, sederhana. Bikin malu saja.”

“Kenapa malu?”

“Nanti aku dimarahi mas Wahyu kalau merepotkan mbak Emma.”

“Nanti aku marahin mas Wahyu kalau dia marahin kamu.”

Reihan terkekeh.

“Memangnya mbak Emma berani marah sama mas Wahyu.”

“Mengapa harus takut? Ayuk, cepatlah, panas, tahu!”

“Iya sih, memang panas. Nanti mampir beli es kelapa muda ya.”

Tak urung Reihan mengikuti kemauan Emma yang nekat ingin main ke rumah kostnya.

***

“Rei, yang mengajak kita makan-makan bersama mas Wahyu itu rekan kerjanya kan?”

“Iya. Mereka sekantor.”

“Kirain pacarnya.”

“Memangnya kenapa kalau pacarnya?”

“Nggak apa-apa, cuma nanya aja.”

Reihan agak kahawatir, ada nada tertarik dari Emma yang ditujukan kepada kakaknya. Benarkah? Kata batinnya.

***

Begitu sampai di depan rumah kost Reihan, Reihan menghentikan motornya, karena melihat Wahyu berjalan dari arah kantor.

“Kok mas Wahyu jalan kaki?” tanya Emma heran.

“Kantornya dekat, hanya sepuluh menit jalan kaki dari rumah kost.”

“Rei, kok kamu diantar Emma?” tegur Wahyu.

“Dia yang maksa kok.”

“Pengin lihat rumah kostnya Reihan saja.”

“Kasihan, rumahmu jauh dari sini kan?”

“Kalau kasihan, nanti pulangnya mas Wahyu antar ya,” kata Emma enteng.

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

Wednesday, April 23, 2025

ADA MAKNA 37

 ADA MAKNA  37

(Tien Kumalasari)

 

Reihan menatap kakaknya tak berkedip. Tak yakin akan apa yang diucapkannya. Tapi sambil tersenyum-senyum Wahyu mengangguk.

“Mas Wahyu aneh. Aku nggak percaya … nggak percaya …” kata Reihan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa maksudmu?”

“Mas itu pantasnya sama mbak Tia, bukan mbak Emma.”

“Kok kamu bisa menilai begitu? Ini masalah rasa. Rasa yang ada pada hatiku ini. Gimana sih?”

“Mas Wahyu suka sama mbak Emma, hanya karena dia mirip mbak Emmi, yang pernah Mas Wahyu sukai.”

“Masa? Begitukah menurutmu?”

“Ya, aku kira aku benar. Itu bukan suka sejatinya suka. Suka karena wajahnya mirip. Itu tidak akan abadi.”

“Sok tahu, kamu. Anak kecil ngomong tentang cinta? Memang kamu tahu, apa artinya cinta?”

“Mas, aku ini bukan anak kecil lagi, aku sudah dewasa.”

“Bukan berarti kamu bisa menilai sebuah rasa tentang cinta. Kamu hanya mengira-ira, atau jelasnya mengada-ada.”

“Mas tidak usah ingkar, kalau itu benar. Coba Mas tanya kedalam hati Mas yang paling dalam. Benarkah itu cinta, atau hanya suka karena ada bayangan dari orang yang pernah Mas sukai.”

Wahyu menatap sang adik dengan heran. Dari mana ‘anak kecil’ itu tahu tentang apa yang sedang dirasakannya? Reihan memiliki kecerdasan yang menurun dari sang ayah. Itu yang Wahyu tidak menyadarinya. Lalu Wahyu mulai menghitung-hitung, seberapa besar rasa cinta yang dikatakannya, dan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya untuk Emma. Lalu untuk Tia, bukankah dia sudah merasa rendah di depan Tia karena ulah sang ibu beberapa waktu lalu? Ketika ibunya menebarkan berita bohong, ketika ibunya merengek-rengek di hadapan pak Suryawan dan merasa yakin bahwa Tia adalah calon menantunya.

Wahyu yakin bahwa dirinya sudah kehilangan harga diri di hadapan Tia. Sikap Tia yang baik hanya karena mereka bekerja di perusahaan yang sama. Masa dia berani jatuh cinta padanya? Berani? Bukankah cinta bersemayam tanpa bertanya tentang keberanian? Tiba-tiba saja dia ada, dan terkadang tidak disadari oleh yang empunya rasa.

Wahyu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dan Reihan menatapnya dengan tatapan lucu.

“Terkadang orang malu mengakui perasaannya.”

“Omong kosong kamu,” kata Wahyu kesal.

“Ketika Rei merasa bahwa jatuh cinta pada mbak Emma, Rei juga berani mengatakannya. Bahwa cinta itu ternyata cinta kepada saudara, kemudian Rei mamahaminya.”

“Ya sudah, sekarang berhenti mengulas perasaan mas. Fokus kuliah dan jangan dulu punya pacar sebelum kamu berhasil menjadi dokter.”

“Siap,” kata Reihan sambil masih tersenyum lucu.

***

Hari-hari berlalu, dan Wahyu serta Reihan yang berkali kali bermaksud menemui sang ibu yang sudah ada di balik terali besi tidak pernah berhasil ditemui, karena sang ibu selalu menolak kedatangan anak-anaknya. Ia mengira tidak ada yang peduli pada dirinya. Karenanya Wanda sakit hati dan membenci mereka.

Ia juga tidak tahu bahwa Reihan telah membayar uang kas sekolah yang dipakainya untuk berjudi, karena mereka memang merahasiakannya.

Akhirnya Wahyu dan Reihan membiarkannya.

Membiarkan hari-hari berlalu dengan perasaan prihatin yang ditahannya.

Bahkan dua tahun berlalu mereka tak pernah lagi mencoba untuk menemui sang ibu. Mereka hanya merasa lega ketika mendengar sang ibu sudah dibebaskan.

Tapi rasa khawatir karena sang ibu sudah tidak lagi punya penghasilan, kemudian mereka ingin menemuinya di rumah.

Wahyu sudah mempersiapkan sebagian gajinya untuk menghidupi sang ibu, apabila sang ibu berhenti melakukan hal-hal buruk yang pernah dilakukannya, termasuk menghambur-hamburkan uang, apalagi berjudi. Reihan berjanji bersedia membantu, karena dia juga bekerja sambilan dengan berjualan online yang ternyata juga bisa menghasilkan.

Tapi ketika mereka sampai di rumah sang ibu, rumah itu sudah ditempati orang lain. Wahyu dan Reihan terkejut, karena ternyata sang ibu telah menjual rumahnya. Satu-satunya harta yang tersisa dan memang tidak dipertaruhkannya untuk menebus kesalahannya saat terjerat kasus pemakaian uang kas untuk berjudi, dengan menjualnya demi tetap memiliki tempat untuk bernaung. Tapi sekarang benar-benar sudah terjual. Lalu dimana Wanda sekarang berada?

Wahyu dan Reihan kebingungan, karena tidak ada keterangan di mana sang ibu berada, atau pindah ke mana.

“Aku khawatir sekali Mas, jangan-jangan ibu mempergunakan uang penjualan rumahnya untuk kembali berjudi,” kata Reihan sedih.

“Masihkah ibu berani melakukannya setelah kelakuan itu membuatnya masuk penjara?”

“Semoga saja tidak. Tapi aku tetap merasa khawatir.”

Mereka bertanya kepada teman-teman sang ibu yang diketahui alamatnya, tapi tak seorangpun tahu tentang keberadaannya.

Mereka juga memasang iklan di mana-mana untuk bisa menemukannya, tapi tanpa hasil.

Akhirnya mereka menyerah, dan fokus kepada aktifitas masing-masing, dengan selalu berharap agar sang ibu berjalan di jalan yang benar.

***

Pada suatu malam, Suryawan mengajak Tia berbicara empat mata. Suryawan sudah semakin tua, dan berharap bisa mengentaskan anak-anaknya, serta berharap segera memiliki cucu-cucu yang lucu.

Tia hanya tertawa ketika sang ayah mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.

“Bapak masih muda dan gagah. Pastilah Bapak akan bisa menikmati hari tua bersama anak cucu.”

“Tia, kamu jangan menganggap enteng permintaan bapak ini. Kamu sudah cukup umur. Bahkan sudah lewat dari masa seorang gadis untuk menikah. Kamu harus memikirkan itu, jangan hanya menghibur bapak dengan ungkapan-ungkapan palsu,” kesal Suryawan.

Tia malah menjawabnya sambil tertawa.

“Apa maksud Bapak dengan ungkapan palsu itu?”

“Jelas palsu. Bapak sudah tua. Kulit sudah keriput, rambut sudah memutih, berjalan tak lagi bisa secepat dulu. Tapi kamu selalu mengatakan bapak masih gagah. Apa itu bukan palsu?”

“Bapak, yang namanya gagah itu tidak harus muda belia. Biarpun tua, keriput, atau rambut putih, tapi_”

“Sudah, diam. Bapak tidak mau omong bertele-tele.”

“Bapak jangan marah dong.”

“Tia, bapak serius. Kamu sudah menjadi perawan tua. Segeralah menikah. Kalau kamu tidak bisa menemukan orang baik yang bisa menjadi pendamping kamu, maka bapak akan mencarikannya. Banyak teman-teman bapak yang dulu pernah ingin berbesan dengan bapak, dan sekarang masih menunggu.”

“Jangan Pak.”

“Jadi kamu sudah punya pilihan? Kalau begitu katakan, dan suruh segera menemui bapak,” kata Suryawan tandas.

Tia tampak terdiam. Ada keraguan ketika ia ingin mengatakannya. Bayangan Wahyu melintas. Sesungguhnya dia tidak bisa melupakan Wahyu yang dulu pernah dekat dengannya. Tapi dia tidak yakin, apakah Wahyu masih memiliki perasaan itu? Ia tahu Wahyu tertarik kepada gadis lain. Ataukah itu hanya perasaannya? Kalau memang Wahyu suka, mengapa tidak terus terang saja mengatakan kepada dirinya? Lalu gadis bernama Emma yang saudara rumitnya itu, bukankah Wahyu sepertinya suka? Ia melihat cara Wahyu memandang gadis itu. Ada rasa cemburu ketika itu. Tapi sikap Wahyu kepada dirinya tetap saja baik dan manis.

“Tia, bapak sedang menunggu jawaban kamu,” kata Suryawan yang tak tak sabar menunggu.

Tia terkejut, tersadar dari lamunan.

“Diajak bicara malah melamun,” gerutu Suryawan.

“Bapak, apakah Bapak kurang suka pada Wahyu?” tanya Tia setelah menata batinnya.

“Wahyu?”

Tia mengangguk.

“Anak muda teman kamu yang ibunya pernah datang kemari?”

Tia lagi-lagi mengangguk.

“Bapak tidak suka ibunya.”

“Kalau pada anaknya?” pancing Tia, walaupun dia tidak yakin benar kalau Wahyu menyukainya.

“Anak itu sebenarnya baik.”

“Dia memang baik.”

“Karena kamu suka?”

“Karena Tia memang melihatnya dia baik.”

“Iya, kalau orang lagi suka kan semua yang dilihat kelihatan baik.”

“Dia itu bekerja sekantor dengan Tia, karena prestasinya baik, diangkat jadi wakil manager.”

“O iya, dia sudah lulus ya? Ibunya pernah mengatakan kalau dia sudah hampir lulus waktu itu. Lalu dia melamar ke perusahaan kamu, supaya bisa sering ketemu kamu?”

“Tidak. Dia hanya melamar dan tidak tahu kalau perusahaan kami itu satu atap.”

“O, begitu?”

“Mengapa Tia mengatakan bahwa dia baik, karena dia itu bekerja sambil membiayai adiknya kuliah di fakultas kedokteran.”

“Hebat juga.”

“Yang lebih hebat adalah walaupun dia wakil manager yang gajinya lumayan besar, dia rela menyewa kamar kost yang sederhana dan murah, hanya agar bisa menghemat pengeluaran, demi kuliah adiknya itu.”

“Lalu ….?”

“Itu alasan Tia mengatakan bahwa dia baik.”

“Kalian saling menyukai?”

“Entahlah,” jawab Tia yang memang ragu untuk mengatakannya.

“Pikirkan masak-masak sebelum kamu melangkah. Bapak berharap kamu menemukan jodoh yang baik. Dan ingat, pengaruh orang tuanya juga akan berperan dalam kehidupan rumah tangga kalian seandainya kalian berjodoh, nantinya.”

Tia terdiam. Ia tahu ayahnya tidak langsung setuju seandainya dia berhubungan dengan Wahyu. Itupun Tia belum mengatakan bahwa ibu Wahyu pernah masuk penjara karena judi.

Dan sampai malam dan Suryawan kelelahan, belum terdengar ungkapan suka dari mulut Suryawan. Tapi setidaknya Tia sudah menyiratkan sesuatu, dan sesuatu itu adalah kemungkinan seandainya dia berjodoh dengan Wahyu. Entah bagaimana nanti sikap yang ayah.

***

Siang itu ketika makan siang di kantin, seperti biasa Wahyu duduk berduaan dengan Tia. Tapi siang hari itu Tia tampak murung. Tidak ceria seperti biasanya.

Wahyu tiba-tiba merasa iba. Ada yang ikut dirasakannya. Ada perasaan, janganlah gadis di depannya itu menderita ataupun kesusahan.

“Tia,” panggil Wahyu karena melihat Tia menyendok makanannya sambil menunduk.

Tia mengangkat wajahnya, menatap Wahyu. Mata itu tampak sendu.

“Ada apa?” tanya Wahyu lagi.

“Apanya?”

“Kamu kelihatan berbeda dari hari-hari biasa. Seperti orang patah hati,” canda Wahyu.

Tia tersenyum tipis. Patah hati? Tersambung juga belum, kata batinnya.

“Kalau ada sesuatu, katakan pada aku, siapa tahu aku bisa membantu.”

“Semalam, bapak meminta agar aku segera menikah.”

“Oh ya? Bukankah calonnya sudah disiapkan oleh ayah kamu?”

“Calon? Itu kan hanya omong kosong. Yang ada adalah, bapak mengancam akan mencarikan jodoh kalau aku tidak menemukan orang yang aku sukai.”

“Bagus sekali. Apa yang membuat kamu sedih?”

“Entahlah. Aku tidak mau dicarikan.”

“Kalau begitu harus mencari sendiri bukan?”

“Itulah susahnya. Aku ingin kamu dulu yang menikah,” kata Tia.

“Apa? Aku menikah dengan siapa?”

“Terserah kamu, mengapa bertanya sama aku? Sepertinya kamu cocok dengan gadis itu,” pancing Tia.

“Gadis yang mana?”

“Yang saudara rumitmu itu.”

Wahyu tersenyum. Ia teringat apa yang dikatakan Reihan. Itu tentang Emma. Benarkah dia suka hanya karena wajahnya mirip Emmi?

“Tidak. Mana mungkin,” jawab Wahyu pelan.

“Mengapa tidak mungkin? Tak ada ikatan darah diantara kalian, bukan?”

“Entahlah, rasanya tidak.”

“Aku melihat caramu menatap gadis itu,” kata Tia sambil menyuapkan suapan terakhirnya, dan Wahyu menangkap ada nada cemburu di situ, membuat hatinya berdebar.

Sampai selesai makan siang, pembicaraan tentang jodoh itu tak pernah sampai ke ujungnya. Masing-masing masih saling menutupi apa yang ada dalam perasaan mereka.

***

Tapi sesampainya di rumah, Wahyu tahu bahwa dia juga memikirkan Tia. Wajah sendu Tia selalu terbayang. Disuruh menikah, sampai sedih, karena belum menemukannya.

Lalu nada cemburu yang diungkapkan Tia ketika mengingatkan saat makan bersama Emma dan Reihan waktu itu, juga sangat mengganggunya.

Apakah Tia menyukainya? Setidaknya setelah mengetahui bagaimana keadaan ibunya? Lalu apa yang harus dilakukannya?

“Hayoo, melamun,” pekik Reihan pelan ketika pulang dari mengirimkan pesanan.

“Nggak sopan. Nyelonong sambil membuat orang terkejut,” gerutu Wahyu.

Reihan terkekeh.

“Kalau pulang kerja itu ganti baju dulu, cuci kaki tangan dulu, baru melamun. Yang ini, masih berpakaian dinas, duduk bertopang dagu sambil melamun.”

Wahyu berdiri meninggalkan adiknya dengan kesal, lalu melepas baju dinasnya kemudian nyelonong ke kamar mandi.

“Aku tadi bertemu mbak Tia, sedang bersama seorang pemuda ganteng,” pekik Reihan, membuat langkah Wahyu terhenti.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, April 15, 2025

ADA MAKNA 36

 ADA MAKNA  36

(Tien Kumalasari)

 

Wahyu menatap Reihan tak berkedip. Ucapannya sedikit mengejutkan. Ia meraba apa yang diinginkan sang adik.

“Maksudmu apa?”

“Barangkali dengan mengembalikan uang kas sekolah, mereka bisa mencabut laporannya.”

“Tapi tetap saja ibu akan terkena hukuman. Ibu berjudi. Lalu ibu akan tetap dipecat dari sekolah karena mencemarkan nama baik sekolah tempat ibu mengajar.”

“Setidaknya bisa mengurangi hukuman. Lagi pula tidak boleh ibu berhutang. Pemakaian uang sekolah harus dikembalikan.”

Wahyu terdiam. Banyak yang dipikirkannya. Kalau hal itu dilakukan, lalu sang ibu tahu bahwa Reihan punya banyak uang, maka sang ibu tidak akan berhenti. Itu sangat membuat Wahyu khawatir.

“Ibu tidak perlu tahu bahwa kita telah mengembalikan uang yang ibu pakai. Tak apa kalau ibu tetap harus dihukum, setidaknya akan lebih ringan. Semoga hal itu cukup menjadikan pelajaran bagi ibu,” kata Reihan.

“Jadi kamu akan mengembalikan uang kas sekolah, tapi tidak usah mengatakannya pada ibu?”

“Iya. Bagaimana menurut Mas?”

Wahyu tampak berpikir. Benar juga. Ibunya tak boleh meninggalkan hutang. 

“Reihan bisa membayarkan sebagian uangnya untuk mengganti uang yang dipakai ibu, kamu benar Rei. Kalau ada kekurangan biaya kuliah kamu, aku akan membantumu,” kata Wahyu pada akhirnya.

“Apakah aku harus ke Semarang?” tanya Reihan.

“Sebentar, besok aku mau minta ijin untuk tidak masuk kerja sehari saja. Aku temani kamu.”

“Baiklah.”

***

Tia menemui Wahyu ketika Wahyu meminta izin sehari keesokan harinya.

“Bagaimana keputusan kamu tentang ibu?”

“Saya hanya akan membayarkan uang yang sudah ibu pakai. Masalah hukum yang akan ibu jalani, saya hanya bisa menyerahkannya pada yang berwenang. Setidaknya ibu tidak lagi punya utang.”

“Uang sudah kamu dapatkan? Aku punya sedikit, barangkali bisa membantu.”

“Tidak Tia, terima kasih banyak. Reihan punya uang untuk biaya kuliah, ayahnya yang memberinya. Ia menyisihkan sebagian untuk membayar uang itu.”

“Oh, syukurlah. Aku juga tidak bisa membantu banyak_”

“Tidak usah Tia, terima kasih perhatiannya.”

“Sebagai teman, kita wajib saling membantu, dan mendukung, bukan?”

Wahyu tersenyum senang. Ia tahu, Tia tidak membencinya karena sikap ibunya dulu, dan itu membuatnya lega, sehingga bisa berbicara tanpa sungkan.

“Tapi aku punya sedikit uang, barangkali bisa mengurangi beban kamu.”

“Tidak Tia, sungguh. Semuanya sudah cukup. Aku tak ingin kamu ikut terbebani dengan keadaan ini. Kamu sungguh baik, dan itu cukup membuat aku senang.”

Tia menatapnya terharu. Sikap Wahyu semakin membuatnya kagum. Ada perasaan yang aneh, yang dulu pernah dirasakannya, lalu tiba-tiba hilang begitu saja. Tapi rasa itu seperti kembali lagi. Tia mengibaskan perasaannya, kemudian ia melambaikan tangan dan berlalu.

“Baiklah Wahyu, hati-hati, semoga kamu bisa menyelesaikan tugasmu dengan baik,” katanya sebelum pergi.

“Terima kasih, Tia.”

Wahyu menatap punggung Tia dengan perasaan aneh. Ia tak menyangka Tia bahkan ingin membantu dengan memberikan uang. Mana mungkin Wahyu menerimanya? Biar dia miskin, jangan sampai melibatkan orang lain dalam kehidupan keluarganya.

Wahyu menghembuskan napas kasar, kemudian menyelesaikan tugasnya hari itu, sebelum besok meninggalkan tugasnya sehari.

***

Wahyu dan Reihan menemui kepala sekolah dimana sang ibu bekerja. Mereka mendapatkan simpati karena sikap mereka yang santun. Dan karena maksud kedatangannya bermaksud baik, maka pihak sekolah menerimanya dengan baik pula. Benar seperti dugaan mereka, laporan akan dicabut, tapi masalah judi masih akan menjerat Wanda ke dalam kasus yang tidak bisa serta merta membuatnya dilepaskan dari jerat hukum.

Wahyu dan Reihan yang memerlukan menengok sang ibu, ternyata tidak diterima oleh sang ibu dengan baik. Wanda diijinkan keluar untuk menemui anak-anaknya, tapi hanya umpatan yang diterimanya.

“Untuk apa kalian kemari? Kalian anak-anak durhaka! Kalian tega kepada ibu yang telah melahirkanmu! Jangan pernah datang kemari. Jangan pernah menemui perempuan yang menjadi ibumu ini. Mulai detik ini,  aku bukan lagi ibumu! Kalian bukan anakku!!”

“Ibu, maafkan kami, Bu,” kata keduanya penuh penyesalan.

“Pergi kalian!”

“Bu, kami datang untuk melihat keadaan Ibu. Kami prihatin atas semua yang Ibu derita. Jangan marah pada kami, ya,” kata Wahyu dengan lembut.

“Pergiiiiii!”

“Bu, apakah Ibu baik-baik saja?”

“Apa maksudmu? Hidup di dalam kurungan kamu anggap baik-baik saja? Kalian  datang untuk mensyukuri ini semua kan? Kalian pasti ingin bertepuk tangan dengan keadaanku ini.”

“Jangan berkata begitu, Bu.”

“Bu, sebenarnya_”

“Maafkan kami Bu,” potong Wahyu karena merasa Reihan ingin mengatakan sesuatu tentang uang itu.

“Pergi kalian! Pergiii!! Jangan pernah menemui aku lagi!” hardiknya kemudian membalikkan tubuhnya untuk kembali masuk ke dalam.

Wahyu dan Reihan saling pandang dengan wajah prihatin. Mereka menguatkan hatinya, kemudian berpamit kepada petugas untuk kembali pulang.

***

Di sepanjang perjalanan pulang, Wahyu dan Reihan saling diam dengan perasaan sedih. Karena merasa tidak diperhatikan dan kedua anaknya tega, maka sang ibu menerima kedatangan mereka dengan amarah yang menggebu-gebu.

“Aku bingung Mas, ibu marah-marah seperti itu.”

“Karena ibu merasa tidak diperhatikan. Ibu merasa bahwa kita tega membuat ibu menderita.”

“Tadi aku hampir mengatakan kalau uang kas sekolah yang dipakai ibu sudah dikembalikan.”

“Jangan Rei, nanti ibu tahu kalau kamu punya banyak uang. Kamu bisa gagal meraih cinta-citamu kalau kau terus menerus memanjakan ibu dengan uangmu.”

“Jadi kita harus diam saja tentang pembayaran uang kas sekolah itu?”

“Sebaiknya begitu. Yang penting pihak sekolah tidak lagi mengutuk ibu karena uang kas dihabiskan. Ibu tidak tahu juga tidak apa-apa. Yang penting apa yang di tanggung ibu tentang uang kas itu sudah terbayar.”

Reihan terdiam. Sesungguhnya Reihan lebih punya hati yang lembut, dari pada Wahyu yang lebih tegas. Kalau masih ada rasa tak tega di hati Reihan, maka Wahyu lebih bisa menguatkan hatinya, walau apa yang dirasakan Reihan sebenarnya dia juga merasakannya.

***

Reihan baru saja memasuki halaman kampus, ketika tiba-tiba Emma mendekatinya.

“Rei, kemarin kamu ke mana saja?”

“Oh, iya … maaf Mbak, aku janji menemani Mbak untuk belanja buku, tapi lupa tidak bilang kalau mau pergi kemarin.”

“Ke mana kamu sebenarnya?”

“Ke … mm … pulang ke Semarang.”

“O, pasti kangen sama ibumu.”

“Tidak … eh, iya,” jawab Reihan bingung.

“Gimana sih kamu, wajar kan, seorang anak kangen sama orang tuanya?”

“Iya sih. Maaf, kalau hari ini aku bisa.”

“Tapi sebentar kamu tungguin ya, aku ada kelas. Kamu sudah mau pulang? Sepertinya baru datang.”

“Kalau begitu nanti kalau kita sama-sama selesai bisa pergi bareng-bareng. Aku bawa motor, nanti kamu boncengin aku ya.”

“Baiklah, sekarang aku ke kelas dulu.”

“Jangan lupa, siapa yang pulang lebih dulu harus menunggu ya.”

“Baik.”

***

Sore itu Wahyu baru pulang dari kantor. Ia sedang menunggu ojol yang dipanggilnya ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya.

“Wahyu, ayuk bareng.”

“Maaf Tia, aku sudah memanggil ojol.”

“Batalin saja.”

“Jangan. Kasihan, dia juga mencari uang, kalau batal dia kehilangan dong.”

“Tidak apa-apa, kita tunggu dia, nanti ongkosnya aku beri saja.”

“Tia, mengapa kamu melakukannya? Biarkan saja, tidak apa-apa, aku naik ojol.”

“Kamu jangan menolak, sebenarnya ini hari ulang tahunku, aku mau mentraktir kamu makan.”

“Oh ya? Aku lupa hari ultahmu.”

“Karena kamu tidak lagi pernah memikirkan aku.”

“Apa? Bukan begitu.”

Tiba-tiba ojol yang dipanggil datang. Tia mendekat, kemudian memberikan selembar uang.

“Ini apa?”

“Masnya ini nggak jadi naik. Tapi kamu tetap aku bayar penuh.”

“Oh ya, baiklah.”

Ketika tukang ojol itu mengambil dompet untuk memberikan kembaliannya, Tia menolaknya.

“Sudah Mas, ambil saja kembaliannya,” kata Tia sambil tersenyum.

“Terima kasih Mbak,” kata sang ojol yang kemudian berlalu.

“Ayuk,” ajak Tia.

“Merayakan ultah, makan-makan sambil bau asem nih?”

“Tidak apa-apa. Masih wangi kok,” kata Tia sambil memberikan kunci mobil, kemudian membuka pintu samping kemudi.

“Kamu yang bawa ya.”

“Baiklah.”

***

Entah apa yang membuat TIa ingin merayakan ulang tahunnya bersama Wahyu, tapi Wahyu menerimanya juga dengan suka cita. Apakah Wahyu memiliki perasaan yang sama?

Tapi ketika mereka turun dari mobil menuju ke arah rumah makan yang diinginkan, tiba-tiba seseorang berteriak.

“Mas Wahyu.”

Wahyu dan Tia yang sudah hampir memasuki rumah makan berhenti melangkah.

“Rei? Emma?” kata Wahyu yang kemudian menghampiri keduanya.

Wahyu menyalami Emma dengan hangat.

“Ini adik kamu?” tanya Tia yang kemudian menyusul.

“Iya, ini Reihan, ini Emma, kakaknya.”

“Berarti adik kamu juga?”

“Mm, ini agak rumit. Nanti aku jelaskan,” kata Wahyu sambil tersenyum.

“Baiklah, ayo ajak mereka juga.”

“Eh, kemana?” tanya Emma.

“Tia sedang ingin merayakan ulang tahunnya, kita diajaknya makan-makan. Ayuk,” kata Wahyu yang justru sangat perhatian kepada Emma.

“Sungkan ah,” kata Emma malu-malu, demikian juga Reihan.

“Eeh, nggak apa-apa, ayo … Wahyu ini sahabat aku … ayo, jangan sungkan,” kata Tia sambil menarik tangan Emma, sehingga mau tak mau mereka ikut memasuki ruangan.

Tia memilih duduk di kursi pojok. Untunglah rumah makan itu tidak begitu rame pengunjung, mungkin karena saat makan siang sudah lewat.

“Ayo, pesan apa semuanya, jangan sungkan,” kata Tia lagi sambil menyodorkan buku menu.

“Sebenarnya kami sedang mencari buku-buku untuk bahan kuliah.”

“Tidak apa-apa, masih sore, tutup masih jam sembilan malam kira-kira. Ayo pesan, biar Wahyu yang nulis pesanannya.

“Tadi mau cerita apa Wahyu? Yang katamu rumit?” tanya Tia setelah pesanan diambil pelayan.

“Oh iya. Begini, aku sama Reihan itu, satu ibu beda ayah. Sedangkan Reihan sama Emma, satu bapak beda ibu. Rumit kan?”

“Oh ya? Jadi Emma itu kakak Reihan beda ibu, berarti bukan adik kamu ya?”

“Iya. Itulah rumitnya. Tapi kami baik-baik saja. Emma dan Reihan kuliah di satu fakultas, beda tingkat. Jadi sering bersama-sama.”

“Oh, menyenangkan sekali.”

Tapi diam-diam Tia mengamati Reihan yang sering sekali melirik ke arah Emma.

***

Dan malam hari itu Reihan meledek kakaknya habis-habisan, karena berduaan dengan Tia.

“Katanya nggak mau, katanya udah selesai, karena malu dan sebagainya, ternyata juga berduaan.”

“Ngawur kamu, kami kan sekantor, masa nggak boleh sering berduaan.”

“Tapi kelihatannya serasi banget, aku suka ngelihatnya.”

“Rei, aku suka, hanya sebagai teman, bukan yang lainnya.”

“Tapi cara mbak Tia memandang mas Wahyu itu beda. Dia juga melayani mengambilkan minum, menyendokkan sayuran, ya kan?”

“Kamu itu suka ngarang ya. Biar aku beri tahu, sesungguhnya masmu ini sukanya sama Emma.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Monday, April 14, 2025

ADA MAKNA 35

ADA MAKNA  35

(Tien Kumalasari)

 

Wahyu terbelalak. Ia mencengkeram ponselnya kuat-kuat, terbawa perasaan geram yang tiba-tiba meliputinya.

“Apa maksud Ibu? Sejak kapan Ibu mengenal judi on line?”

“Wahyu, jangan marah dulu. Tadinya ibu cuma ikutan teman, ibu mendapat uang banyak sekali. Ibu sangat senang, jadi ibu mencoba terus, tapi uang ibu habis. Ibu tidak terima, harus bisa mengembalikan uang ibu yang semula sangat banyak. Ibu memakai uang kas sekolah, berharap bisa segera mengembalikan uang itu bersama uang ibu yang hilang … lalu_”

“Cukup Ibu!!” keras suara Wahyu untuk menghentikan cerita ibunya yang semakin membuatnya kesal.

“Saya heran, Ibu seorang pendidik, bagaimana bisa melakukan hal buruk itu?”

“Wahyu, kalau beruntung kan_”

“Hentikan. Tidak ada judi yang menguntungkan. Sudah rugi, masih ditambah dosa, dan beban yang sekarang ibu tanggung. Lalu ibu akan membawa anak ibu ke dalam lobang kesulitan yang ibu buat?”

“Ibu tadinya berharap_”

“Hentikan dan saya tidak peduli.”

“Wahyu, kamu tega membiarkan ibu dipenjara? Tolong Wahyu.”

“Ibu pikir Wahyu punya uang sebanyak itu? Dari mana Wahyu mendapatkannya? Setiap bulan gaji Wahyu sudah berkurang untuk Wahyu kirimkan kepada Ibu, dimana sesungguhnya Ibu punya gaji yang cukup untuk hidup Ibu sendiri. Kecuali itu Wahyu juga ikut membantu biaya kuliah Reihan, lalu kapan Wahyu bisa menabung? Ibu pikir Wahyu punya uang bertumpuk untuk membantu Ibu membayar uang yang ibu korupsi?”

“Ibu tidak korupsi. Ibu hanya meminjam.”

“Meminjam tanpa bilang, dan entah bisa mengembalikan atau tidak, beda tipis dengan yang namanya korupsi.”

“Wahyu, jangan menambah kesedihan ibu, ibu minta tolong Nak,” memelas suara Wanda.

“Tidak Bu, maaf. Wahyu tidak bisa membantu.”

“Wahyu, kamu tega?”

“Bagaimana Wahyu bisa membantu? Mana Wahyu punya uang sebanyak itu?”

“Wahyu ….”

Wahyu menutup ponselnya dengan gemas. Lalu ia memijit-mijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut-denyut.

“Ada apa? Kenapa Mas marah-marah pada ibu?”

“Kamu tidak mendengar pembicaraan mas sama ibu tadi?”

“Mendengar Mas marah-marah, dan tentang uang, nggak jelas.”

“Ibu memakai uang kas sekolah, dipergunakan untuk berjudi.”

“Apa?”

“Jumlahnya seratus juta lebih, entah berapa lebihnya, mas nggak mau tahu.”

“Ya Allah. Ibu berjudi?”

“Ibu berjudi online, memakai uang kas sekolah dan habis.”

“Lalu apa yang akan Mas lakukan untuk membantu ibu?”

“Membantu? Kamu seperti ibu, tidak tahu masmu ini seperti apa. Bagaimana mas bisa membantu membayar uang kas sekolah yang ibu pakai?”

“Lalu akan Mas biarkan ibu menanggung itu semua?”

“Menurutmu apa yang bisa mas lakukan? Jangan bilang kamu akan membantu ibu dengan mengurangi uang kamu yang dari bapak itu.”

“Tapi ….”

“Tidak Rei, itu uang bapak yang di amanahkan untuk uang kuliah kamu. Bukannya mas tega pada ibu, tapi kalau sekali ini kamu bantu ibu, aku percaya ibu tidak akan berhenti.”

“Mas benar-benar tega?”

“Bukan masalah tega atau tidak. Ibu harus tahu bahwa anak-anaknya tidak mampu memikul beban seberat itu. Uang sebanyak itu bukan main-main.”

“Lalu?”

 Apakah Wahyu orang yang tidak punya perasaan? Derita sang ibu tidak mampu menggoyahkan hatinya? Tidak. Wahyu sangat sedih, tapi dia tidak berdaya.

Reihanpun terdiam, dia punya banyak uang, tapi tidak untuk memanjakan sang ibu. Kakaknya benar, sekali mereka membantu, ibunya tidak akan berhenti.

Kejadian itu membuat keduanya tak bisa tidur semalaman.

***

Walau begitu, pagi harinya, Wahyu mengantarkan Reihan ke bank. Uang itu harus diselamatkan, jangan dipakai sembarangan, agar tidak mengecewakan ayah Guntur.

Gemetar tangan Reihan ketika menyerahkan uang itu ke bank. Bayangan sang ibu melintas, alangkah menyedihkan. Bagaimanapun Wanda adalah ibu kandungnya, yang betapa menyebalkannya kelakuan sang ibu, tetap saja ada kasih sayang di antara mereka. Tapi Wahyu selalu memberi semangat dan mengingatkan bahwa uang itu ada pertanggungan jawabnya, karena di dalamnya berisi sebuah harapan seorang ayah agar putranya bisa meraih cita-citanya.

Ponsel Wahyu berkali kali berdering tapi Wahyu tak pernah mengangkatnya. Hanya saja tetap terasa perih dihatinya setiap kali dering itu menggelitik telinganya. Ingin menolongnya tapi tak kuasa. Barangkali Wahyu juga berharap agar apapun yang terjadi semoga menjadi pelajaran bagi sang ibu.

Hanya Wahyukah yang merasa tertekan dengan perbuatan sang ibu?

Tidak. Saat kuliah Reihan lebih banyak termenung. Rasa kehilangan seorang ayah masih terasa menyiksa, kemudian ditambah dengan peristiwa yang menimpa sang ibu.

"Heii.. dari kemarin kamu selalu menyendiri di sini. Masih memikirkan ayah Guntur ya? Tahu nggak sih Rei, aku juga merasa sedih.

Reihan terkejut melihat Emma tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.

Aku hanya sebentar bertemu bapak. Saat di rumah sakit aku dilarang tinggal karena harus sekolah. Saat bisa bertemu lagi .. hanya bisa  sebentar. Lalu ketika ingin bertemu yang terakhir kali, bapak sudah pergi."  kata Emma  sambil berlinang air mata, membuat Reihan jadi ikut terbawa perasaan.

"Mbak Emma jangan menangis. Nanti aku ikut nangis " kata Reihan sambil memegangi lengan kakaknya.

Emma tersenyum tipis.

"Kamu tidak sendiri Rei, aku juga merasakan perasaan yang sama."

Reihan mengangguk. Tapi beratnya duka yang  ditanggung tidaklah sama. Ia bukan hanya memikirkan sang ayah tapi juga sang ibu. 

Terkadang dia berfikir bahwa kakaknya terlalu kejam. Tapi ketika kemudian sang kakak menakutinya dengan amanah yang diberikan ayahnya, Reihan tak berdaya menolaknya.

Hari yang berlalu tanpa ada sikap dan kepedulian untuk sang ibu.

Wahyu dan Reihan seakan tak peduli akan nasib sang ibu. Wahyu juga membiarkan setiap pesan dari sang ibu, yang selalu sesambat tentang penderitaannya. Hanya Wahyu yang selalu dikirimi pesan ataupun ditelpon, karena menurutnya Reihan tak mungkin bisa membantunya, walau ternyata sebenarnya Reihan punya uang sebanyak yang dibutuhkannya.

Walau begitu Wahyu tak pernah membalasnya. Kecuali dia sendiri memang tak mampu, ia juga ingin memberi pelajaran kepada ibunya, karena apa yang dilakukan ibunya dianggapnya sangat keterlaluan. Main judi, tak pernah terbayangkan oleh Wahyu bahwa sang ibu mampu melakukannya. Ia kesal, dan juga sangat marah, tapi dia juga sedih.

Pernah suatu hari Reihan mengingatkannya, tapi Wahyu menguatkan hatinya untuk tidak terpengaruh oleh rengekan sang adik yang hatinya lebih lembut dari dirinya sendiri.

“Mas biarkan ibu masuk penjara? Bukan hanya itu, ibu pasti juga akan dipecat dari sekolah karena perbuatannya yang bukan hanya merugikan sekolah dalam hal uang, tapi juga mencoreng nama baik sekolah dengan kelakuannya yang tidak terpuji.”

“Kamu sudah tahu bukan, kalau itulah yang akan terjadi nanti? Mas bukannya tega, tapi Mas ingin membuat efek jera bagi ibu. Biarlah ibu tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang akhirnya membuatnya menderita.”

Merinding Reihan membayangkan sang ibu mendekam dalam sebuah bilik kecil, mungkin juga pengap dan kotor, dan tidak cukup hanya sehari dua hari. Mungkin bisa berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Tapi ia tak bisa melawan kehendak sang kakak. Wahyu yang lebih tegar bermaksud memberi pelajaran bagi sang ibu, walau sebenarnya dalam hati ia juga merasa miris dan sakit.

Pada suatu hari, ketika sebuah dering terdengar, Wahyu terpaksa mengangkatnya. Ia ingin tahu perkembangan kasus sang ibu. Apakah ada yang menolongnya?

“Wahyu, kamu sungguh tega pada ibu,” ternyata sang ibu hanya kembali menangis.

“Besok pihak sekolah akan memeriksa keuangan kas, karena memang akan digunakan untuk pembangunan sekolah. Aku harus bagaimana, Wahyu?” lanjutnya.

“Apa yang bisa Wahyu lakukan? Uang Reihan yang ATM nya dipegang ibu masih ada kan?”

“Sudah habis, Wahyu.”

“Astaga. Ibu juga menghabiskan uang Reihan yang tidak seberapa itu.”

“Memang hanya sedikit, sepuluhan juta, sudah ibu pergunakan juga Wahyu. Ibu berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tolong ibu.”

“Wahyu tidak bisa melakukan apa-apa. Mobil Ibu masih ada kan, dijual saja kalau begitu.”

“Mobil itu juga sudah ibu jual, Wahyu.”

“Apaa?” kali ini Wahyu berteriak. Ia sedang ada di kantor ketika itu, dan teriakannya membuat orang yang kebetulan lewat di depan ruangan menoleh ke arah dalam, yang kebetulan pintu ruangannya adalah pintu kaca.

“Maaf Wahyu ….”

“Mohon maaflah kepada Allah, karena berjudi adalah perbuatan maksiat. Maaf Ibu, Wahyu sungguh-sungguh tidak bisa membantu.”

Wahyu kemudian menutup ponselnya, dan mematikannya, sehingga sang ibu tidak bisa lagi menghubunginya.

“Tidak makan di kantin?” sebuah sapa mengejutkannya, karena Wahyu memang sedang melamun. Tia tiba-tiba sudah berdiri di depannya.

“Oh, eh, iya. Sebentar lagi,” jawab Wahyu yang memang karena kegelisahannya maka ia tak merasa lapar sedikitpun.

“Sekarang saja, kan sudah waktunya istirahat. Ayuk, temani aku. Aku yang traktir.”

Bukan karena janji traktir itu yang kemudian membuat Wahyu kemudian bangkit, tapi karena tak bisa mencari alasan lain untuk tidak ingin makan siang saat itu, dan ia tak ingin menceritakaan perihal apa yang telah dilakukan ibunya.

***

Wahyu makan apa saja yang dipesan Tia, hanya karena untuk membuat Tia merasa senang.

“Kamu sedang memikirkan sesuatu? Masalah pekerjaan atau pribadi?”

“Ah, tidak apa-apa kok.”

“Wahyu, kalau masalah pekerjaan, aku akan membantu, tapi tidak untuk masalah pribadi.”

“Tidak apa-apa, Tia. Mungkin aku hanya merasa lelah.”

“Yang aku lihat, wajah kusam yang terlihat, bukan sekedar lelah secara fisik. Ada yang mengganggu perasaanmu? Bukan masalah pekerjaan bukan?”

“Bukan, sungguh aku tidak apa-apa.”

“Masalah ibumu?”

“Apa?”

“Aku membaca sebuah berita, sebuah sekolah kehilangan uang kas ratusan juta rupiah karena dipergunakan untuk berjudi online oleh seorang guru berinisial ‘W’. Aku pernah mendengar bu Wanda mengatakan di mana dia mengajar, dan kejadiannya di sekolah itu. Aku takut itu adalah ibu kamu. Semoga hanya inisialnya saja yang sama.”

“Ya Tuhan ….”

Wahyu mengusap wajahnya kasar. Berita itu ada di medsos? Dan ada yang mengenal ibunya? Apakah dia harus malu? Tentu saja, dia juga merasa sedih.

“Maaf Wahyu, aku hanya menyampaikan berita yang aku baca. Semoga bukan bu Wanda yang aku kenal.”

“Memang dia ibuku,” kata Wahyu yang tak mungkin bisa menutupinya lagi.

“Astagfirullah. Benarkah? Lalu apa yang akan kamu lakukan?”

“Apa? Tidak ada.”

“Maksudmu, kamu biarkan ibumu masuk penjara?”

“Entahlah.”

“Wahyu, kalau kamu bisa mengembalikan uang itu, barangkali pihak sekolah bisa mencabut laporannya. Lakukan pendekatan dan_”

“Tidak, Tia. Biarkan saja. Lagi pula mana mungkin aku punya uang sebanyak itu?”

“Kamu bisa meminjam di bank dengan bantuan kantor_”

“Tidak usah.”

“Tidak?”

“Ibu sudah sering melakukan hal yang membuat aku malu. Kelakuannya tidak terkendali, dan susah diatur. Biarlah ini menjadi pelajaran buat ibuku.”

Tia menatap Wahyu dengan perasaan iba. Ia baru tahu bahwa Wahyu tidak seburuk ibunya. Wahyu punya tanggung jawab besar untuk menjadikan adiknya agar punya pendidikan tinggi, sehingga rela tidur di rumah kost yang sempit dan sederhana. Itu membuatnya kagum dan suka. Suka? Benarkah? Tia mengibaskan perasaan yang dulu pernah dirasakannya lalu kemudian tiba-tiba kembali muncul.

“Aku ikut prihatin, Wahyu, aku tidak bisa membantu, kecuali hanya saran, agar ibumu terbebas dari hukuman berat.”

“Terima kasih banyak. Aku jadi merasa rendah di hadapan kamu.”

“Mengapa kamu berkata begitu? Kamu tetap menjadi teman baikku, aku akan melupakan semuanya yang telah lalu. Sekarang habiskan makanan kamu. Jangan biarkan karena pikiran terganggu lalu kamu mengabaikan kesehatan kamu. Bukankah kamu adalah tulang punggung yang akan memikul tanggung jawab sebagai seorang kakak yang baik?”

“Terima kasih, Tia.”

 ***

Di hari dimana pihak sekolah mengurus masalah uang kas, Wanda tak bisa apa-apa. Ia sudah tak punya apapun untuk membayarnya, dan sang anak tak bisa membantunya. Pada akhirnya pihak sekolah melaporkannya kepada yang berwajib, sehingga Wanda akhirnya juga ditahan untuk menunggu proses hukum yang akan menanganinya.

Wahyu menutup telinga dan perasaannya mendengar hal itu. Tangis yang mengharu biru hanya ditahannya dalam hati sekuat ia bisa melakukannya.

Tapi pada suatu hari Reihan mendekatinya.

“Mas, sebenarnya aku menyisihkan uang seratusan juta di tabunganku.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

 

LANGIT TAK LAGI KELAM 10

  LANGIT TAK LAGI KELAM  10 (Tien Kumalasari)   Rizki menatap tajam ayahnya, dengan pandangan tak percaya. “Bapak bilang apa?” “Apa kurang j...