Tuesday, February 25, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 46

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  46

(Tien Kumalasari)

 

Kinanti dan Suryawan saling bertatapan, dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kaget karena tak mengira bertemu, ada debar aneh saat bertatapan, ada rasa malu, entahlah. Kinanti mengendapkan perasaannya dengan merangkul anaknya.

“Emmi takut,” kata Emmi lirih.

“Sayang, kenapa takut? Om tidak menggigit kan?” kata Suryawan sambil menowel pipi gembul Emmi.

“Maaf, anak saya suka berlarian kalau ikut belanja,” kata Kinanti.

“Ini anakmu?”

“Iya, kok pak Suryawan belanja sayur sendiri?”

Suryawan tertawa sedikit tersipu.

“Ini pekerjaan perempuan ya? Maklum, saya kan duda dengan lima anak yang masih kecil-kecil. Kalau libur saya suka masak sendiri, walau ada pembantu,” kata Suryawan panjang lebar.

“Oo…” Kinanti ingin mengatakan oo.. duda? Tapi hanya terhenti sebelum mengatakan ‘duda’. Ada rasa prihatin. Kasihan, masak sendiri. Tapi bukankah itu gambaran seorang ayah yang baik? Barangkali ia ingin menunjukkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya, melalui masakan buah tangan cekatannya.

“Kok ‘oo’ … heran karena ternyata saya duda? Kinanti kira saya masih perjaka?” lalu Suryawan terkekeh. Kinanti juga tersenyum lucu. Masa iya dirinya mengira Suryawan perjaka? Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan bahwa dia sudah berumur. Tapi masih kelihatan gagah dan cakap. Lalu Kinanti malu karena diam-diam menilai lawan bicaranya.

“Silakan dilanjutkan belanja Pak, saya juga sedang memilih-milih,” kata Kinanti.

“Baiklah, saya juga sedang mencari brokoli. Anak-anak suka sekali ca brokoli. Itu sehat bukan?”

“Di sana ada, rupanya,” kata Kinanti menunjukkan, dan Suryawan mengangguk senang.

“Sayang, namamu siapa?” tanya Suryawan sambil berjongkok di hadapan Emmi.

Emmi menatap ibunya, dan Kinanti memberi isyarat agar Emmi menjawabnya.

“Emmi …” jawabnya sambil masih bergayut pada baju sang ibu.

“Aduh, bagus sekali namanya. Kamu suka es krim?”

Mendengar kata es krim, wajah Emmi berseri.

“Suka?” Suryawan mengulang pertanyaannya. Emmi mengangguk malu-malu.

“Baiklah, ada yang jual es krim di atas, nanti kita makan es krim setelah belanja ya.”

Emmi menatap sang ibu, dan tanpa menunggu jawaban sang ibu, Emmi mengangguk.

“Baiklah, ayo kita lanjutkan belanjanya, lalu sama-sama mengantarkan Emmi beli es krim,” ajak Suryawan dan Kinanti yang entah mengapa sulit menolaknya.

***

Mereka sedang duduk bertiga di sebuah warung es krim. Emmi duduk di kursi tinggi yang disediakan di warung itu, menjilat es krim pesanannya dengan nikmat.

“Anakmu lucu. Baru satu?”

“Dua. Yang satu masih kecil.”

“Kenapa belanja sendiri, tidak diantar suami? Ini hari libur kan?” tanya Suryawan.

Kinanti terdiam. Ia menyendok es krimnya, melumatnya pelan. Wajah Kinanti tampak muram, dan Suryawan melihatnya.

“Maaf kalau Kinanti anggap tidak pantas.”

“Tidak apa-apa. Saya tidak punya suami,” katanya lirih.

“Oo … maaf. Dia sudah meninggal? Maaf ya, saya tidak bermaksud membuat Kinanti teringat tentang …”

“Sudah menikah lagi,” jawabnya masih dengan wajah muram.

“Haa?” Suryawan heran. Isteri secantik ini, ditinggalkan suami untuk menikah lagi? Anaknya dua dan masih kecil-kecil pula. Apa suaminya buta? Paling tidak buta hatinya. Apa yang kurang dari wanita di depannya itu. Cantik, lembut, keibuan.

“Tidak apa-apa. Saya bisa menghidupi anak-anak saya.”

“Maaf ya, sungguh saya tidak ingin membuat Kinanti teringat tentang hal yang tidak menyenangkan.”

“Sudah, maafnya. Nanti saya kehabisan maaf kalau terus-terusan diminta,” kata Kinanti yang perlahan bisa menghilangkan muram di wajahnya.

Suryawan terbahak. Ia merasa Kinanti sedang membalasnya. Pada pertemuan pertama, dialah yang mengatakan bahwa maafnya akan habis kalau terus-terusan Kinanti minta maaf.

“Ibu, boleh minta lagi?” tiba-tiba Emmi menghentikan tawa Suryawan.

“Oh, mau lagi, boleh kok. Boleh, mau lagi?”

“Kebanyakan … nanti pilek … bagaimana?” kata Kinanti.

“Sedikiiiit,” kata Emmi.

“Iya, biar saya pesankan yang cup kecil ya,” kata Suryawan yang kemudian minta pelayan untuk menambahkan 1 cup kecil untuk Emmi.

Ia juga memesan beberapa kotak, untuk anak-anaknya di rumah, lalu diberikannya yang dua kotak untuk Emmi.

“Anak saya ada lima, yang terbesar baru kelas lima SD saat ibunya meninggal tiga tahun yang lalu,” katanya sambil menyerahkan dua kotak yang sudah dibungkus sendiri, kepada Emmi.

“Di simpan di kulkas, jangan dihabiskan sekaligus ya?” pesan Suryawan, yang membuat wajah Emmi berseri kegirangan.

“Terima kasih, pak Suryawan,” kata Kinanti, sambil tak berhenti mengagumi Suryawan. Tiga tahun menjadi duda, merawat lima anaknya yang masih kecil-kecil. Bukan main.

***

Kali itu Kinanti tak bisa menolak ketika Suryawan mengantarkannya pulang. Tapi Suryawan menolak ketika Kinanti mempersilakannya mampir.

“Lain kali saya akan main kemari. Boleh?”

“Silakan saja, asalkan hari libur.”

“Maaf, bekerja di mana?”

“Di puskesmas.”

“O, dokter?”

“Dokter gigi.”

“Astaga, rupanya saya bertemu wanita yang luar biasa.”

“Mengapa luar biasa? Banyak orang menjadi dokter gigi,” sergah Kinanti sebelum turun dari mobil.

“Seorang dokter gigi, merawat dua anaknya yang masih kecil-kecil.”

“Ah, sudahlah. Ada-ada saja. Terima kasih sudah memberi tumpangan. Saya tahu pak Suryawan harus segera pulang dan memasak untuk anak-anak,” kata Kinanti sambil turun, karena Suryawan sudah membukakan pintu untuknya.

“Iya benar. Lain kali akan saya tunjukkan bagaimana rasa masakan saya,” kata Suryawan.

“Senang sekali.”

Kinanti melambaikan tangan ketika Suryawan menjalankan mobilnya menjauh.

Ketika Kinanti melangkah sambil membawa belanjaan, ia melihat ada mobil Ardi diparkir di sana, dan Ardi langsung turun dari teras menyambutnya.

“Wah … wah, siapa tuh yang mengantarkan tuan putri pulang dari belanja?” tanya Ardi sambil menggendong Emmi, lalu mereka melangkah mendekati rumah.

“Namanya om Suryawan,” justru Emmi yang menjawabnya.

“Oh, om Suryawan? Siapa dia?” tanya Ardi sambil menatap Kinanti.

“Seorang kenalan. Duduklah dulu, biar aku membawa belanjaan ke belakang,” kata Kinanti.

Ardi menurunkan Emmi, ketika Kinanti menyuruhnya untuk cuci kaki tangan dan berganti baju.

“Bibiiiikkk …” teriak Emmi sambil berlari masuk ke dalam.

Ardi duduk sendirian di ruang tamu. Ia melihat wajah ceria Kinanti tadi. Karena seseorang yang dipanggil Emmi ‘om Suryawan’? Seorang kenalan. Kenal di mana dia? Lalu Ardi teringat tentang cerita Kinanti saat pulang kerja dan berjalan kaki, lalu kehausan, lalu …. Oo… itu dia, pertemuan itu berlanjut? Apakah mereka kencan?

Kinanti sudah keluar dengan mambawakan  dua gelas es krim, yang tadi dibelikan Suryawan untuk Emmi, tidak apa-apa dikurangi dua gelas, kan kotaknya besar, kata batin Kinanti.

“Minumlah sekarang, sebelum lumer,” kata Kinanti sambil menarik satu gelas untuk dirinya sendiri.

“Ini oleh-oleh dari kencan kamu?” ejek Ardi sambil meraih gelasnya.

“Kencan apaan? Aku belanja dengan mengajak Emmi, lalu ketemu dia yang juga sedang belanja sayur.”

“Belanja sayur? Dia anak kost?”

“Bukan, dia belanja karena ingin masak untuk anak-anaknya.”

“O, istrinya tidak bisa memasak, sehingga suaminya harus belanja sendiri lalu memasaknya juga?”

“Istrinya sudah meninggal.”

“Oo, duda?”

“Mengapa kamu menatapku seperti itu?” kata Kinanti sambil mengusap bibirnya yang berlepotan es krim.

Ardi tertawa lucu.

“Sudah pas, janda ketemu duda,” katanya enteng.

“Apa maksudmu?”

“Bukankah benar, janda ketemu duda?”

“Hanya kenalan biasa, apa yang kamu pikirkan?”

“Ada lagunya tuh … mulanya biasa saja … ,” kata Ardi sambil menyenandungkan sebait lagu.

Kinanti terkekeh.

“Aku sudah bilang kalau suara kamu itu sember, jelek … “

Ardi cemberut, lalu mencecap es krimnya, dan menghabiskannya.

“Jangan marah, walau suaramu jelek, tapi hatimu baik kok. Aku suka itu. Tak ada sahabat sebaik kamu.”

“Ngomong-ngomong … apa kamu menyukai laki-laki bernama Suryawan itu?”

“Apa? Kami hanya kebetulan bertemu, berkenalan, apa yang aneh dari itu semua?”

“Bukan aneh, aku hanya mengingatkan kamu, hati-hati dekat dengan laki-laki. Terkadang dia kelihatan baik, tapi ada sesuatu dibalik itu semua yang kamu tidak tahu, kecuali setelah semuanya menjadi terlanjur. Dokter Rifai, misalnya.”

“Iya, aku tahu. Kamu tidak usah khawatir.”

“Aku tidak suka melihat kamu kecewa, bersedih, apalagi sampai menangis.”

“Iya, Ardi, aku akan berhati-hati.”

“Kebahagiaan kamu, adalah kebahagiaan aku. Duka kamu, juga dukaku. Kamu mengerti?”

“Sangat mengerti. Aku percaya sama kamu. Kamu adalah tempat aku bersandar ketika aku terpuruk, aku tak bisa melupakannya. Kamu sahabat sejatiku,” kata Kinanti bersungguh-sungguh.

Ardi menatapnya sambil tersenyum. Betapa sayangnya dia pada wanita cantik didepannya. Bahkan sejak mereka masih duduk dibangku sekolah. Bahagiamu adalah bahagiaku, dukamu adalah dukaku. Ardi mengulang kata-kata itu di dalam hatinya.

***

Ber hari-hari Wanda ngambeg, membiarkan Guntur melayani dirinya sendiri. Kandungannya sudah besar, menginjak sembilan bulan. Sesungguhnya di saat mengandung seperti itu, Wanda membutuhkan perhatian lebih dari sang suami. Tapi semenjak menikah, sikap Guntur sudah sangat berbeda. Wanda salah mengira, ketika keinginannya tersampaikan, maka ia akan merasa gembira, bahkan bahagia. Tapi apa? Bahagia itu hanya angan-angannya. Bahwa Guntur akhirnya menjadi miliknya, itu karena dirinya yang tak pernah berhenti merayu dan merayunya. Cinta? Barangkali Guntur tak pernah mencintainya. Wanda sekarang mengerti, bahwa Guntur menikahinya karena terlanjur menghamilinya. Cinta itu hanya bayangan dan angan-angannya. Ia melambai di atas langit, bergoyang diterpa angin, terkadang lenyap ditelan mega kehitaman, lalu ia tak lagi tampak.

Sekarang Wanda mengerti, cinta tidak tercipta karena rayuan. Senyum dan nafsu, tak berarti mengandung cinta. Nafsu adalah nafsu, sedangkan cinta adalah rasa yang murni walau terkadang tak tampak nyata.

Sekarang Wanda juga mengerti, bahwa omelan demi omelan yang dilontarkan sang ibu, bukan hanya omong kosong belaka. Menyesal? Tentu sesal itu ada.

Lihatlah, sikap Guntur yang tak acuh walau tak ada makanan yang disiapkan. Ia menanak nasi sendiri, membeli lauk sambil pulang dari tempat kerja, itu sudah biasa. Tapi Guntur masih mau menawarkannya pada sang istri.

“Makanlah, aku beli di warung dekat rumah sakit,” katanya sambil menatanya di atas meja, lalu tanpa menunggu sang istri, ia langsung meletakkan dua piring di meja itu.

“Makanlah, jangan sampai kamu lapar. Kasihan bayi di dalam perutmu,” katanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

Itu bukan karena perhatiannya kepada sang istri yang sedang mengandung. Itu adalah basa basi semata.

“Nggak makan?” tanyanya karena sang istri hanya berdiri menatapnya.

Wanda tak menjawab, tapi sesungguhnya dia lapar. Ia sudah membawa lauk dari sang ibu, tapi Guntur tidak menjamahnya. Ia kemudian duduk, lalu makan tanpa mengucapkan apapun. Ia meraih makanan yang dibawanya dari sang ibu, tanpa menyentuh lauk yang dibeli Guntur sepulang kerja.

***

Bu Wita sedang bersiap menjemput Wahyu, ketika Wanda datang habis mengajar.

“Makanan sudah ibu siapkan di atas meja. Ibu mau menjemput Wahyu, tapi mampir belanja dulu.”

Wanda tiba-tiba merangkul sang ibu sambil menangis, membuat bu Wita mengurungkan kepergiannya, lalu membawa Wanda duduk di sofa.

“Ada apa?”

“Ibu, aku menyesal menjalani hidup seperti ini.”

“Apa maksudmu?”

“Ternyata aku tidak bahagia.”

“Bukankah ini adalah pilihanmu sendiri?”

“Ternyata semua tidak seperti yang Wanda bayangkan. Yang berhasil diraih, tidak selalu menggembirakan.”

“Seandainya kamu mengejar layang-layang yang sedang terbang saat beradu, kamu berhasil mendapatkan layang-layang itu, bukankah itu menyenangkan karena bisa dikatakan kamu memenangkannya?”

“Layang-layang itu sudah terkoyak diterpa angin.”

“Ya sudah. Hidup memang pilihan. Apa yang sudah kamu temukan, haruslah kamu mensyukurinya. Pernikahan bukan permainan. Bukan layang-layang terkoyak lalu dibuang. Kamu mengerti?”

“Apa yang harus Wanda lakukan?”

“Yang terbaik adalah kata hatimu. Sudah, ibu mau menjemput Wahyu dulu, nanti terlambat, dia bisa marah-marah.”

Wanda termenung memaknai kata-kata ibunya. Setelah mengambil masakan yang sudah disiapkan sang ibu, ia beranjak kembali pulang.

***

Ketika Guntur pulang, Wanda sedang menikmati makan siangnya. Agak terlambat dan dia sudah kelaparan. Konon wanita yang hamil tua, cenderung ingin makan lebih banyak. Ia membiarkan saja suaminya meletakkan makanan di atas meja. Ia tak berhenti menyuapkan makanannya.

“Syukurlah sudah makan. Aku beli sate lontong, kalau mau, ambillah.”

“Setelah makan, aku mau bicara,” kata Wanda tanpa menyentuh lontong pembelian suaminya.

“Sekarang saja, sambil makan bicara juga tidak apa-apa.”

“Baiklah, aku juga sudah lapar, ayo bicaralah.”

“Setelah melahirkan, kita cerai.”

Guntur menatap istrinya lekat-lekat.

***

Besok lagi ya.

Monday, February 24, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 45

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  45

(Tien Kumalasari)

 

Ardi sangat marah melihat perempuan cantik yang memarahi Kinanti dengan tak jelas permasalahannya.

“Nyonya itu wanita terhormat. Mengapa melakukan hal yang sangat memalukan?”

“Yang tidak tahu malu itu dia. Merayu laki-laki beristri sampai-sampai laki-laki itu mau menceraikan istrinya.”

“Saya tidak pernah merayu suami Nyonya. Suami nyonya yang mengejar-ngejar saya,” kata Kinanti tandas.

“Jadi saya harap Nyonya segera pergi, kalau tidak kami akan melaporkan Nyonya dengan tuduhan pencemaran nama baik,” ancam Ardi.

“Silakan, laporkan saja, siapa takut?” balas nyonya Rifai. Tapi kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan cepat, membuat Ardi dan Kinanti saling pandang, kemudian tersenyum lucu.

“Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, kasihan juga bu Rifai itu. Aku bisa memaklumi kalau dia sangat marah. Wanita mana sih yang mau berbagi cinta?” gumam Kinanti.

“Salahnya dialah, dia menuduh membabi buta.”

“Aku tidak pernah menanggapi apapun yang dikatakannya. Tapi dia mengira aku yang merayunya.”

Tapi tiba-tiba Kinanti berlari mengejar.

“Kinanti!” teriak Ardi yang kemudian mengikuti.

Kinanti mengejar nyonya Rifai yang ternyata masih berada di luar dan belum masuk ke dalam mobilnya.

“Tunggu, Nyonya,” kata Kinanti.

 “Mau apa kamu? Menahan aku supaya kamu bisa memanggil polisi lalu akan menangkapku?”

“Tidak, sabarlah. Mari kita bicara baik-baik,” bujuk Kinanti.

“Bicara baik-baik apa? Supaya aku dengan suka rela menyerahkan suami aku pada kamu? Dengar, dia mengancam akan menceraikan aku, kamu puas?”

“Nyonya, saya sama sekali tidak menyukai dokter Rifai.”

“Bohong.”

“Saya berani bersumpah.”

“Jangan begitu gampang mengucapkan sumpah. Kemakan sumpahmu sendiri tahu rasa kamu.”

“Saya mengatakan itu, karena saya memang tidak ada hubungan dengan suami Nyonya.”

“Apa aku buta? Apa aku tuli? Suami aku mengaku bahwa dia mencintai kamu. Kamu pura-pura tidak dengar, dan mengira akupun tuli?”

“Sabar Nyonya. Saya menghentikan Nyonya agar Nyonya mengerti. Mengerti bahwa sesungguhnya saya dan dokter Rifai tidak ada hubungan apapun kecuali kami sama-sama dokter di bawah atap yang sama, bedanya saya di puskesmas dan dokter Rifai di rumah sakit pusat.”

“Tidak ada hubungan dan suami aku berlutut di depan kamu lalu kamu membiarkannya dengan suka cita?”

“Dia baru saja melakukannya. Dia yang mengejar-ngejar saya. Kalau dia mengatakan cinta, itu dia, bukan saya.”

Mendengar perkataan Kinanti, mata kilat di wajah sang nyonya dokter menjadi melunak.

“Percayalah pada saya, Nyonya.”

“Tapi suami aku mau menceraikan aku, dia mencintai kamu,” lirih suaranya ketika mengucapkan itu.

“Sebaiknya Nyonya lebih bersabar menghadapinya. Barangkali ada hal yang membuat dokter Rifai berbuat begitu.”

“Aku mandul.”

Kinanti menatapnya iba. Ia sudah mendengar dari dokter Rifai tentang hal itu.

“Banyak solusi untuk mengatasi hal itu. Bicaralah pada suami, misalnya dengan usaha bayi tabung, atau mengadopsi anak yatim piatu. Lagipula saya sudah punya calon suami, jadi Nyonya tidak usah khawatir, dia seorang pengusaha,” kata Kinanti pelan sambil membayangkan wajah Ardi.

“Laki-laki itu?” kata nyonya Rifai sambil menunjuk ke arah belakang, dan Kinanti terkejut ketika melihat Ardi berdiri sambil bersedakap di belakangnya. Apa? Dia mengakui bahwa Ardi adalah calon suaminya? Kinanti hampir menampar mulutnya sendiri. Dia hanya ingin menenangkan kemarahan nyonya dokter. Dan Ardi mendengarnya? Mengapa juga dia mengikutinya? Wajah Kinanti berubah merah karena malu. Malu dong, mengakui seorang laki-laki yang bukan siapa-siapanya sebagai calon suami?

Tapi tanpa diduga, Ardi mengangguk seakan menjawab pertanyaan sang nyonya dokter.

“Kalau begitu maafkanlah saya.”

“Semoga ada solusi terbaik untuk Nyonya. Perceraian bukan satu-satunya jalan hanya karena istri tidak bisa melahirkan keturunan baginya,” itu kata Ardi yang tiba-tiba nimbrung.

“Doakan agar kami bisa berbaikan,” katanya sambil masuk ke dalam mobil.

Kinanti membalikkan tubuhnya.

“Heii, tunggu aku. Bukankah aku calon suami kamu?” ledek Ardi sambil terkekeh.

“Konyol!”

“Kamu sendiri yang bilang tadi, kan?”

“Mana mungkin aku mau punya suami konyol seperti kamu?”

“Kamu mengingkari ucapan kamu sendiri. Sebenarnya kamu cinta sama aku kan?”

“Kamu ini mengigau atau apa? Aku tidak suka laki-laki konyol seperti kamu. Harus diulang lagi?” kata Kinanti sambil melotot ke arah Ardi yang cengengesan.

“Baiklah, aku tahu kok. Kamu hanya ingin menenangkan istri dokter itu, supaya tidak terus menerus mencemburui kamu kan? Lalu kamu menjadikan aku korban,” kata Ardi yang tiba-tiba kehilangan senyumnya.

Kinanti terkekeh.

“Hei, apa kamu marah? Bagus kalau sudah tahu. Dengar Ardi, aku menyayangi kamu, lebih dari pada saudara. Aku harap kamu mengerti. Rasa sayangku tak ada duanya lhoh.”

“Iya, aku tahu, dan kamu harus percaya kalau aku ingin selalu menjagamu. Aku hanya ingin kamu bahagia.”

Lalu mereka berpandangan sambil tersenyum.

Keduanya kembali duduk di teras, lalu Ardi menghabiskan jus mangganya yang benar-benar tidak dingin. Yang dingin adalah perasaannya. Lalu Ardi bertanya kepada dirinya sendiri, apa benar dia mencintai Kinanti seperti cinta seorang laki-laki kepada lawan jenisnya? Bukan hanya sebagai sahabat atau saudara? Entahlah, kata batinnya.

***

Guntur menutup kamar prakteknya, karena hari sudah malam dan pasien sudah habis di sore itu. Ia melihat Wanda duduk di ruang tengah sambil melihat ke arah televisi.

“Sudah selesai?” tanyanya ketika Guntur meraih minuman di gelas yang disediakan olehnya.

“Kamu kan tahu, aku malas sekali masak. Kita makan di luar yuk,” kata Wanda.

“Aku lelah sekali, makan seadanya saja.”

“Mengapa kamu akhir-akhir ini kelihatan lesu begitu?”

“Tidak apa-apa, hanya lelah.”

“Kamu menyesali perceraian dengan Kinanti?”

“Kamu jangan lagi menyebut-nyebut nama dia. Kinanti tak bersalah.”

“Tapi kamu tampak tak bersemangat.”

“Banyak beban menimpa pundakku.”

“Beban apa? Jangan bilang kamu juga menyesal menikah denganku.”

“Apa kamu lupa? Aku juga baru saja kehilangan ibuku, dan itu karena kesalahan aku.”

“Guntur, ibumu tidak menyukai aku, dan itu yang kamu anggap sebagai kesalahan kamu, sehingga ibumu meninggal?”

“Entahlah,” Guntur menyandarkan kepalanya di sofa.

“Aku pikir setelah menikah, kita akan bahagia. Ternyata aku salah sangka. Aku sedih melihat sikapmu yang kaku dan seperti tak bersemangat.”

“Apa lagi yang kamu inginkan?”

“Berbahagialah dengan pernikahan ini. Lihat perutku, ada janin buah cinta kita. Ingatlah anak ini, jangan memikirkan yang lain.”

“Iya, aku tahu. Aku tidak akan mengingkarinya. Sekarang aku mau istirahat saja,” katanya sambil bangkit.

“Tapi kita belum makan, aku lapar dan menunggumu sampai selesai praktek.”

“Baiklah, ayo kita makan.”

“Adanya masakan siang tadi. Sayur yang aku ambil dari rumah ibu.”

“Tidak apa-apa, aku biasa makan seadanya, lalu aku ingin segera beristirahat.”

“Sudah tidak enak, aku lupa memanasinya tadi.”

“Adanya apa?”

“Hanya telur, masa kita hanya makan nasi dan telur?”

“Tidak apa-apa, aku mau.”

“Tapi aku tidak mau Guntur, aku mau makan diluar,” kata Wanda setengah berteriak.

“Mengapa kamu berteriak? Aku lelah, kamu tidak mendengarnya?” sergah Guntur dengan kesal.

“Aku juga lelah, aku sedang mengandung dan kalau aku ingin sesuatu maka  harus dipenuhi. Aku ingin makan diluar.”

“Kalau begitu kamu makan sendiri saja, aku akan makan di rumah dan menggoreng telur.”

“Guntur!”

Wanda berteriak ketika Guntur berjalan ke arah dapur. Geram sekali ketika melihat Guntur mulai menyalakan kompor dan mengambil sebutir telur.

“Kamu benar-benar mengesalkan! Tidak peduli pada istri yang sedang mengandung.”

“Apa istri yang sedang mengandung selalu rewel? Dulu Kinanti tidak begitu,” kata Guntur enteng sambil mulai memecahkan telur ke dalam wajan setelah diberinya mentega.

Mata Wanda menyala marah.

“Kamu bandingkan aku dengan Kinanti?”

“Tidak. Kamu tak sebanding,” kata Guntur seenaknya.

Wanda benar-benar marah. Ia mengambil piring yang terletak di rak, lalu membantingnya ke lantai, sehingga pecah berserakan.

Guntur tak peduli, ia membalikkan telur, dan tak lama kemudian sudah dipindahkannya ke piring, lalu menyendok nasi di rice cooker, dan berjalan ke meja makan. Ia meraih kecap, lalu mengucurkannya di atas telur setengah matang di piringnya, lalu menyendoknya dengan tenang.

“Kamu keterlaluan. Kamu sudah menceraikannya, dan sudah menikahi aku, tapi kamu memuji-muji dia di depanku?”

“Itu kenyataan. Ayo makanlah. Telur sama kecap ini enak sekali,” Guntur mulai menyendok makanannya.

“Mau aku gorengkan sebutir lagi? Atau dua butir?” kata Guntur sambil mengunyah makanannya. Tak peduli sang istri yang menatapnya garang. Bahkan tak peduli pada pecahan piring yang berserakan.

“Kalau mau biar aku saja yang menggoreng, kasihan kalau kakimu terluka,” katanya.

Wanda tak menjawab, dia masuk ke kamar, mambanting pintunya, dan menangis meraung di sana.

Guntur melanjutkan makan. Ia tak ingin memikirkan apapun. Pikirannya kosong, dan seperti mimpi ia menjalani kehidupannya yang sekarang. Dulu ia pernah ingin agar bisa setiap hari bersama Kinanti, tapi tak berhasil karena Kinanti membutuhkan ibunya yang membantu merawat anak-anaknya, sementara Kinanti tak bisa meninggalkan si kecil hanya bersama sang nenek. Menurutnya hidup bersama istri pasti lebih nyaman. Sekarang apa? Ia sudah hidup bersama istri, tidak capek mengurus dirinya sendiri, tapi mana kenyamanan itu? Mengapa hatinya justru merasa tidak tenang, seperti ada dosa yang mengejar-ngejarnya. Dosa kepada istri dan anak-anaknya, dosa kepada ibunya.

Guntur meletakkan sendoknya, kemudian ke dapur untuk mencuci piringnya sendiri. Ternyata Wanda tidak begitu perhatian pada keadaan rumahnya. Bersih-bersih juga malas, apalagi masak. Alasannya adalah karena sedang mengandung. Apakah wanita mengandung selalu begitu? Guntur mengalah melakukan semuanya. Merapikan yang belum rapi, membersihkan yang belum bersih.

Setelah mencuci piring, Guntur membersihkan pecahan piring yang berserakan.

Raungan sang istri tak terdengar lagi. Barangkali kelelahan lalu tidur dengan sendirinya. Guntur tak ingin memanjakan sang istri. Guntur juga tak ingin memenuhi setiap permintaannya. Wanda harus lebih dewasa ketika sudah berani menempuh kehidupan berumah tangga. Guntur sadar sesadar-sadarnya, bahwa dia menikahi Wanda bukan karena cinta.

Setelah beristirahat sebentar, dia kemudian tertidur di sofa. Sedikitpun ia tak menjenguk sang istri yang sudah sejak tadi masuk ke dalam kamar.

***

Setelah pulang dari mengajar, seperti biasa Wanda mampir ke rumah sang ibu, untuk mengambil masakan yang dibuat ibunya. Wanda tidak pernah memasak, atau memang tidak suka. Ia terbiasa menjadi gadis manja, dan sejak menikah dengan suaminya yang dulupun dia tidak pernah melakukannya.

 “Mengapa wajahmu pucat? Kamu sakit?” tanya bu Wita.

“Sakit hati.”

“Apa maksudmu?”

“Apa ibu tahu, sebenarnya Guntur masih selalu memuja istrinya, siapa yang tidak kesal, coba.”

“Ibu bilang juga apa. Kamu menyukai laki-laki yang sudah beristri, dengan alasan mereka mau bercerai. Sekarang kamu mengeluh begitu. Bukankah harusnya sejak awal kamu menyadari bahwa suami kamu tidak sepenuhnya menyukai kamu?”

“Wanda mengira dia mencintai Wanda.”

“Orang berkeluarga, sudah punya anak, tidak mungkin bisa melupakan semuanya dengan mudah. Sekarang kamu sudah berhasil menjalaninya, ya sudah terima saja apa yang terjadi. Ibu tidak ikutan, kan ibu sudah mengingatkan sejak awal?”

Wanda merasa kesal. Ia mengira sang ibu akan membelanya, ternyata malah menyalahkannya. Ia melangkah ke dapur, mengambil rantang yang selalu sudah disiapkan ibunya, lalu pergi begitu saja.

Bu Wita menghela napas panjang.

Mana mungkin sang ibu tidak merasa prihatin ketika mengetahui anaknya tidak bahagia dalam hidupnya? Tapi sudah berkali-kali diingatkan, dan Wanda tetap menerjang palang peringatannya. Apa yang harus dilakukannya? Tak mungkin ia menyarankan anaknya untuk bercerai.

***

Hari itu hari Minggu. Kinanti mengajak Emmi belanja ke super market. Emmi senang bukan main. Ia berlarian ke sana kemari, membuat sang ibu khawatir, karena di sana sedang ramai pengunjung.

“Emmi, sini … dekat-dekat sama ibu,” teriak Kinanti.

“Emmi melihat lihat baju lucu. Nanti beli buat adik Emma ya.”

“Nanti saja, ibu mau belanja sayur.”

“O iya, bukankah sayur itu sehat? Emmi mau bantu ibu memilih sayur,” kata Emmi tapi ia masih saja sambil berlari-lari.

Emmi ingin menarik tangannya, tapi Emmi keburu menabrak seorang laki-laki yang sedang memilih-milih sayur, sehingga Emmi terjatuh.

“Eitt, hati-hati Nak,” kata laki-laki itu, sambil mengangkat Emmi yang ketakutan.

Kinanti terbelalak mengetahui laki-laki itu. Bukankah dia pak Suryawan?

Emmi merosot dari gendongan laki-laki yang ditabraknya, lalu berlari menghampiri sang ibu.

“Kinanti?”

***

Besok lagi ya.

 

Saturday, February 22, 2025

UNGKAPAN DUKA CITA

 Ungkapan duka cita




JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 44

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  44

(Tien Kumalasari)

 

Dokter Rifai terkejut. Ia segera bangkit dan memelototi istrinya, sementara wajah Kinanti sudah merah padam memendam marah.

“Kamu keterlaluan! Memaki sembarangan!” hardik dokter Rifai sambil menunjuk ke arah hidung istrinya. Tapi rupanya sang istri tidak surut dalam kemarahannya kepada Kinanti yang dituduh telah merayu suaminya.

“Apa? Kamu mau membela perempaun pelakor ini? Kamu lupa bahwa aku ini istrimu? Aku istrimu! Aku tidak sudi berbagi dengan perempuan rendahan ini.”

“Hentikan caci makimu Nyonya. Aku perempuan baik-baik. Kamu yang tidak tahu sopan santun. Sebagai istri seorang dokter kamu tidak bisa menjaga martabat suami kamu, dan mempermalukan dirimu sendiri,” kata Kinanti tandas.

“Apa katamu? Kamu bicara tentang martabat? Bagaimana dengan kamu? Seorang dokter, yang pastinya punya kedudukan yang tidak sembarangan, yang harusnya dihormati, tapi bagaimana perbuatan kamu? Bercintaan dengan laki-laki yang sudah beristri_”

“Hentikan Nyonya, siapa yang bercintaan? Anda melihat apa yang sedang aku lakukan?”

“Apa kamu pikir aku ini buta? Suamiku berlutut di hadapan kamu, dan kamu menerima rayuannya?”

“Tidak ada yang menerima rayuannya. Kalau pak dokter ini jatuh cinta pada seseorang, apakah seseorang itu salah? Tanyakan pada dia, apa yang aku katakan selama dia berbicara.”

“Kamu salah sangka. Aku mencintai dia, tapi dia menolak aku,” kata dokter Rifai sambil memelototi istrinya.

“Jadi kamu memang mencintainya?!!”

“Ya,” kata dokter Rifai tanpa basa basi.

“Sebaiknya … maaf, kalian harus pergi dari ruangan saya. Tidak baik kalau sampai ada yang mendengar kekacauan ini. Harap menjaga martabat kami sebagai orang-orang yang harus dihormati di lingkungan ini, terutama untuk suami Nyonya,” kata Kinanti tandas.

Dokter Rifai menarik tangan istrinya dan memaksanya keluar dari ruangan.

Kinanti menghela napas lega. Tapi kemudian titiklah air mata Kinanti. Ia merasa sangat terhina dengan tuduhan istri sang dokter. Bukankah dokter itu yang mengejar-ngejarnya? Justru saat dia mengeluarkan kata menolak, sang istri datang dan mencak-mencak. Alangkah berat godaan seorang janda muda yang cantik seperti Kinanti.

“Apakah aku sebaiknya segera menikah saja? Tapi dengan siapa?”

Kinanti menepuk jidatnya sambil keluar dari ruangan.

Tugas sudah selesai, sekarang dia berjalan keluar, lalu menyusuri jalanan. Tidak ingin atau lupa memesan taksi, Kinanti terus saja berjalan sambil pikirannya berkecamuk ke mana-mana. Tentang kegagalannya berumah tangga, tentang sandungan demi sandungan yang dihadapinya, dan tiba-tiba ia menabrak seseorang yang sedang membawa belanjaan, lalu membuat belanjaan itu terserak di jalanan. Ada sabun, odol, sampo …

Kinanti berjongkok memunguti barang-barang itu setelah mengucapkan kata maaf.

Tanpa diduga, laki-laki yang ditabraknya ikut berjongkok, lalu mereka berpandangan.

“Sambil melamun ya?”

“Maaf,” hanya itu yang diucapkan Kinanti, lalu melanjutkan memungut belanjaan yang terserak. Ketika ia memungut botol shampo, dan itu adalah benda terakhir yang belum diambil, tangan mereka bersentuhan, karena sama-sama ingin mengambil botol itu.

“Maaf,” kata keduanya hampir berbarengan, dan melepaskan pegangannya juga hampir bersamaan.

Lalu keduanya tersenyum.

“Biar saya saja. Jadi merepotkan,” kata laki-laki itu.

“Sungguh saya minta maaf.”

“Sambil melamunkan apa? Pacar?” canda laki-laki itu.

Kinanti tersenyum. Apakah dia punya pacar? Ada-ada saja. Apakah setiap lamunan adalah melamunkan pacar? Tapi pandangan laki-laki itu lumayan ramah. Tampaknya ia tidak lagi muda, tapi wajahnya simpatik. Hei, apakah yang Kinanti pikirkan?

“Saya permisi,” kata Kinanti sambil melanjutkan langkahnya. Ada perasaan aneh yang terbawa ketika ia melangkah.

Laki-laki itu menatap punggung Kinanti, dan sesuatu berdesir di dadanya.

“Mengapa tadi tidak sempat berkenalan? Bodoh sekali. Masa aku harus mengejarnya? Apa yang terjadi pada diriku?”

Dan tanpa sadar laki-laki itu membalikkan tubuhnya, mengikuti langkah Kinanti yang semakin menjauh.

***

Panas begitu terik, membuat Kinanti kehausan. Melihat sebuah warung minuman, dan bermacam buah ditata rapi di sebuah etalase kaca, Kinanti meneguk air liurnya. Sebenarnya dia haus. Lalu Kinanti masuk ke dalamnya. Ia duduk dan melihat menu minuman di sebuah lembaran yang terletak di meja itu. Lalu ia memesan jus alpukat yang gambarnya tampak memikat.

Kinanti menghela napasnya. Dengan heran dia menyadari bahwa dia sudah berjalan jauh dari puskesmas di mana dia bekerja. Pantas saja ia merasa dahaga.

Ia meraih kacang yang diletakkan di meja, dalam sebuah toples. Ia mengambilnya satu, lalu mengunyahnya perlahan. Tidak seperti banyak perempuan yang takut makan kacang karena khawatir jerawatan, Kinanti mengunyahnya dengan nikmat. Katanya, jerawat itu bisul asmara? Kinanti menutup mulutnya karena senyum-senyum sendiri. Mengapa? Karena dia teringat laki-laki yang tadi ditabraknya.

“Yah, mengapa aku tiba-tiba teringat dia? Jangan bilang kalau kamu jatuh cinta, Kinanti. Ingat, laki-laki sebaya dia pasti sudah punya anak, bahkan cucu,” gumamnya dalam hati. Lalu ia merasa kesal ketika teringat istri dokter Rifai yang memaki-maki dirinya tanpa tahu apa yang terjadi.

Wajahnya menjadi muram. Ia bahkan tak memperhatikan ketika pelayan menghidangkan jus alpukat pesanannya.

“Silakan Mbak,” kata pelayan itu.

“Oh, iya … terima kasih,” kata Kinanti sambil mendekatkan gelas jus itu ke arahnya.

“Mbak, boleh minta sedotan?” kata Kinanti karena jus itu lupa diberi sedotan.

“Ini, sedotannya,” kata seseorang yang kemudian mengulurkan sebuah sedotan.

“Terima ka ….”

Kinanti terbelalak. Sedotan itu diberikan oleh laki-laki yang tadi ditabraknya. Mengapa bisa sampai di situ? Rupanya dia meraih sedotan yang ada di dekat etalase, begitu Kinanti berteriak memintanya.

“Boleh duduk di sini?” kata laki-laki itu tanpa menunggu persetujuan Kinanti.

Kinanti masih melongo.

“Hei, nanti ada lalat masuk,” laki-laki itu bercanda.

Kinanti tersadar, kemudian dia melepas sedotan dari bungkusnya, dan langsung menyedot jus pesanannya, untuk menenangkan diri.

Laki-laki itu tersenyum, dan tiba-tiba juga sudah dihidangkan pesanannya. Jus alpukat. Kok ikutan sih, pikir Kinanti.

“Tadi Anda ke arah sana. Kok tiba-tiba ada di sini?” tanya Kinanti setelah menenangkan diri.

“Saya kehausan, lalu mencari tempat minum, ketemu di sini. Eh, ketemu orang yang menabrak saya lagi,” katanya sambil menyedot jusnya.

“Saya minta maaf.”

“Sudah, minta maafnya. Kalau terus-terusan minta maaf, saya bisa kehabisan maaf lhoh,” candanya.

Kinanti tersenyum. Laki-laki di depannya ini mirip Ardi, suka bercanda.

“Oh ya, sudah ngomong-ngomong kok belum tahu namanya?”

Kinanti menatapnya. Ia sedang menilai, apakah laki-laki di depannya ini orang baik, atau laki-laki hidung belang seperti dokter Rifai. Apakah laki-laki ganteng selalu mata keranjang?

“Jangan takut, saya hanya ingin tahu nama, bukan yang lain. Nama saya Suryawan, hanya pegawai biasa di sebuah BUMN,” katanya merendah.

“Saya Kinanti,” jawabnya singkat setelah ragu beberapa saat lamanya.

“Bagus namanya. Itu seperti nama sebuah tembang. Lagunya bagus. Sering dipergunakan untuk panembrama.”

“Panembrama itu apa?”

“Panembrama itu tembang yang dinyanyikan secara berkelompok. Biasanya untuk menyambut tamu, atau untuk merayakan sesuatu. Panembrama selalu dinyanyikan dengan bahasa Jawa. Karena memang itu sebuah tradisi budaya Jawa.”

“Selalu dengan tembang yang namanya Kinanti?”

“Tidak selalu, ada banyak tembang yang dipergunakan untuk panembrama.”

Kinanti merasa, pak Suryawan ini enak diajak bicara. Ungkapannya sederhana, dan dia bisa memilih topik yang kira-kira menarik lawan bicaranya. Hei, bukankah baru sekali itu mereka bertemu?

Kinanti mengangguk-angguk mendengar pak Suryawan bicara. Ia baru tahu kalau Kinanti adalah nama sebuah tembang Jawa.

Mereka berpisah ketika selesai minum, dan Kinanti memesan dua gelas jus mangga untuk ibunya. Lalu Suryawan membayar semuanya.

“Terima kasih banyak,” kata Kinanti yang kemudian memanggil taksi, setelah menolak tawaran Suryawan untuk mengantarkannya. Ia harus berhati-hati. Kebaikan seorang yang baru saja dikenalnya, belum tentu kebaikan yang tulus. Bagaimana kalau dia mencelakainya? Orangnya baik sih, tapi dalam hati siapa tahu?

***

Bu Bono sedang mau menutup pintu rumah, setelah menunggu kepulangan Kinanti yang sudah lama belum tampak juga. Ia bermaksud menelponnya, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman. Bu Bono hafal benar, itu mobil Ardi. Bu Bono menunggunya di teras. Sudah berhari-hari Ardi tidak tampak batang hidungnya.

“Assalamu’alaikum Bu,” kata Ardi sambil menyalami bu Bono lalu mencium tangannya. Suatu kebiasaan yang selalu dilakukannya.

“Wa’alaikumussalam Nak. Lama sekali tidak kelihatan?”

“Ya Bu, hampir sebulan saya tidak datang kemari. Kinanti sudah pulang Bu?”

“Belum tuh, ibu juga mau menelponnya. Entah kenapa nih, terlambatnya agak lama hari ini.”

“Saya tadi nyamperin ke kantornya, tapi kata petugas jaga, Kinanti sudah pulang agak lama. Saya pikir sudah sampai di rumah.”

“Jadi sudah lama pulang ya?”

“Iya tuh, mampir ke mana ya ?”

“Biar ibu telpon dia,” kata bu Bono yang langsung memutar nomor kontak Kinanti.

Tapi tiba-tiba sebuah taksi berhenti di depan pagar, dan Kinanti turun dari dalamnya.

“Itu dia datang,” kata bu Bono.

“Melihat sang ibu ada diteras, dan melihat mobil Ardi ada di halaman, Kinanti setengah berlari mendekat.

“Ardiii, lama sekali nggak kelihatan batang hidung kamu. Kangen deh sama kamu,” kata Kinanti riang.

“Kenapa baru pulang? Mampir belanja?”

“Mampir minum, habis udara sangat panas. Ini Kinanti membawa dua gelas jus mangga kesukaan ibu. Kebetulan Kinan beli dua, jadi yang satu bisa untuk Ardi,” katanya sambil meletakkan sebuah jus di meja teras, lalu menyerahkan yang satu gelas lagi untuk ibunya.

“Kirain mampir ke mana. Ya sudah, silakan berbincang, ibu mau minum jus ini dulu," kata bu Bono sambil beranjak ke belakang.

Kinanti sudah duduk di depan Ardi, yang menatapnya tak berkedip.

“Kamu tampak gembira, tadi minum jus bersama siapa?”

“Oh, iya. Bersama seseorang,” katanya tersenyum.

“Pacar? Kamu sudah menemukan seseorang yang_”

“Tidak, baru ketemu sekali itu. Tapi dia itu simpatik lhoh.”

“Brondong ya?” ejek Ardi.

“Bukan. Orang tua.”

“Orang tua? Kakek-kakek?”

“Bukan kakek-kakek juga. Setengah tua. Tapi orangnya baik, simpatik, sedikit kocak, seperti kamu.”

Ardi cemberut.

“Biasanya kamu keluar dari kantormu, langsung memanggil taksi. Kok bisa jalan-jalan mencari warung jus?”

"Ceritanya panjang. Tadi ada musibah."

“Haa? Musibah apa?”

“Sungguh menyebalkan. Pengin marah-marah terus kalau aku mengingatnya.”

“Kamu bertemu teman minum jus, kelihatan gembira. Sekarang kamu seperti orang kesal begitu.”

“Iya, kesal aku kalau ingat. Ini gara-gara dokter Rifai.”

“Dokter Rifai yang terus mengejar-ngejarmu itu?”

Kinanti mengangguk, lalu diceritakannya kejadian yang menimpanya, sebelum dia cabut setelah selesai bertugas. Karena itu dia lupa menelpon taksi, terus berjalan tanpa tujuan, lalu menabrak seseorang, lalu mampir minum karena kehausan.

“Jadi teman minum kamu itu laki-laki yang kamu tabrak? Perkenalan yang manis.”

“Ardi, dia sudah setengah tua, pasti sudah punya anak istri, bahkan cucu.”

“Syukurlah.”

“Apa yang kamu syukuri?”

“Kamu yang ternyata tidak tertarik pada laki-laki bernama Suryawan itu.”

“Kamu cemburu?”

Ardi terbahak.

“Tuduhan yang tidak masuk akal. Ngapain aku cemburu?”

“Sudahlah, jangan ngomong yang enggak-enggak. Jus itu keburu tidak dingin lagi.”

Ardi meraih gelas jusnya dan menyedotnya perlahan.

“Kenapa kamu lama sekali tidak muncul?”

“Biasa, banyak urusan. Ayahku sudah lepas tangan, aku harus mengurusnya. Untungnya setelah banyak belajar, aku bisa menguasainya.”

“Kamu berbakat jadi pengusaha, aku sudah tahu sejak dulu. Tapi aku bersyukur, kamu tidak mengecewakan ayah kamu.”

“Yah, begitulah.”

Keduanya bicara ke sana kemari, sampai sore.

Ardi baru mau pamit pulang, ketika sebuah mobil berhenti di depan pagar.

“Ada tamu tuh?”

Keduanya melongok ke arah jalan. Lalu Kinanti terkejut ketika melihat siapa yang turun.

“Itu istri dokter Rifai,” desis Kinanti.

“Dia? Cantik. Mengapa suaminya mengejar kamu. Mengapa dia datang kemari?"

“Entahlah, katanya istrinya mandul, lalu dia ingin punya anak dari aku. Memangnya aku ayam petelur?”

Ardi hampir saja terkekeh, tapi ditahannya, karena wanita istri dokter Rifai itu sudah sampai di depan teras. Ardi dan Kinanti berdiri.

“Mengapa Nyonya datang kemari?” tanya Kinanti langsung tanpa basa basi.

“Kamu benar-benar perempuan licik. Gara-gara kamu, suami aku mau menceraikan aku,” teriak nyonya Rifai dengan mata berapi-api.

Kinanti terbelalak. Ardi maju selangkah, dan menghalangi wanita itu masuk.

***

Besok lagi ya.

Friday, February 21, 2025

MENDUNG MASIH BERGAYUT


MENDUNG MASIH BERGAYUT

(Tien Kumalasari)


Mendung masih bergayut

sa'at malam mulai larut

anginpun berbisik lembut

rebahkan raga, lelapkan jiwa

basuhlah letihmu dengan mimpi2 tentang wanginya surga

agar esuk hari

saat pagi menyapa, tak ada lelah yang tersisa

haii...

selamat malam......


-----



JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 43

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  43

(Tien Kumalasari)

 

Bu Bono yang masih menggendong Emma menyambutnya di teras.

“Selamat siang, Ibu,” sapa dokter Rifai.

“Assalamu’alaikum Nak, selamat siang juga.”

“Wa’alaikumussalam … “ sambut dokter Rifai tersipu karena kedahuluan memberikan salam.

“Saya mengantarkan Kinanti, karena taksi yang ditumpangi mendadak mogok dijalan, dan saya kebetulan melihatnya,” lanjut dokter Rifai sambil tersenyum.

“Terima kasih banyak, Nak dokter. Silakan masuk,” kata bu Bono.

“Ini anakmu, Kinanti, cantik sekali,” kata dokter Rifai sambil membelai pipi Emma.

“Bu, dokter Rifai masih harus kembali ke rumah sakit,” Kinanti memotong keramahan dokter Rifai, karena sesungguhnya ia tak ingin berlama-lama bersamanya.

“Saya_”

“Ya sudah Nak dokter, silakan kalau masih mau bertugas, saya tidak ingin mengganggu,” kata bu Bono memotong perkataan sang dokter.

“Terima kasih banyak dokter,” kata Kinanti sambil merangkapkan kedua telapak tangannya.

Dokter Rifai tersenyum, barangkali juga sedikit kecewa karena tidak ada ungkapan mempersilakan dari Kinanti. Nada suaranya seperti mengusirnya halus. Kapan dia mengatakan kalau masih harus kembali ke rumah sakit? Pandangan mata yang memancar dari matanya, sulit diartikan. Kinanti mengalihkan pandangannya ke arah Emma yang sedang digendong sang ibu. Sedikit berdebar, tapi merasa risih.

“Saya permisi,” kata dokter Rifai  sambil merangkapkan kedua tangannya juga.

Dokter Rifai berlalu, dan Kinanti segera mengikuti ibunya masuk ke dalam. Ia belum boleh memegang anaknya sebelum cuci kaki tangan terlebih dulu. Itu sudah menjadi kebiasaan yang ditanamkan oleh sang ibu.

“Kamu sepertinya nggak suka kalau dia masuk ke rumah. Dia tidak sedang bertugas bukan?”

“Entahlah. Kinanti capek sekali, tidak ingin melayani tamu saat ini.”

“Hati-hati kalau ada yang sepertinya ingin mendekati. Jangan sampai kamu terkecoh dengan kebaikan yang diberikannya.”

Kinanti menatap ibunya dan tersenyum.

“Dia ganteng sekali ya Bu?”

“Apa katamu?” bu Bono menatap tajam anaknya.

Kinanti terkekeh. Ia hanya menggoda sang ibu.

“Tidak Bu, Kinanti masih waras. Dia sudah punya istri. Cantik pula istrinya. Kinanti sudah menjadi korban perselingkuhan, masa harus membuat wanita lain menjadi korban juga. Dosa dong Bu.”

“Syukurlah kalau kamu mengerti.”

“Kinanti belum memikirkan pengganti suami. Kecuali kalau Kinanti benar-benar jatuh cinta,” kata Kinanti sambil berlari masuk ke kamar mandi, lalu sebelum menutup pintu, ia terkekeh lagi.

Bu Bono melotot marah. Ia tahu Kinanti hanya menggodanya. Dengan lembut ia menidurkan sang cucu ke dalam box bayi yang terletak sekamar dengan ibunya.

***

Guntur mengetuk pintu kamar ibunya, setelah memasuki rumahnya yang tidak terkunci. Sang ibu terbaring lemah, membuat Guntur sangat terkejut.

“Ibu sakit?”

“Tidak, hanya capek saja. Maklum, orang setua ibu memang begini, sering merasa capek,” kata sang ibu sambil bangkit.

“Maaf lama sekali tidak menjenguk Ibu.”

“Tidak apa-apa, yang penting kamu baik-baik saja. Yang penting lagi, kamu hidup bahagia. Kamu datang bersama Kinanti?” tanya sang ibu sambil turun dari tempat tidur. Guntur memeluknya erat.

“Biar ibu buatkan minum dulu. Kamu bersama Kinanti kan? Mana dia?”

“Guntur datang sendiri, Bu.”

“Mengapa tidak kamu ajak Kinanti? Ibu kangen sekali. Biasanya dia menjenguk ibu bersama bu Bono, dan kedua anakmu.”

“Bu, Guntur ingin mengatakan sesuatu.”

Bu Raji tertegun melihat wajah Guntur yang layu.

“Kami … sudah bercerai.”

Bu Raji kembali terduduk. Lemas tiba-tiba.

“Kamu bercanda?”

“Benar Bu, kami sudah bercerai.”

Bu Raji kembali terbaring di ranjang. Tubuhnya terasa lemas. Sebenarnya ia memang sakit, tapi disembunyikannya seperti yang sudah-sudah. Dan mendengar bahwa anaknya bercerai dengan istrinya, tubuhnya menjadi semakin lemas. Tangannya gemetar ketika meraih tubuh sang anak.

“Apa yang kamu lakukan? Istri sebaik Kinanti, tak banyak di dunia ini. Keluarganya juga sangat baik, bahkan sebelum kamu menjadi menantunya.”

“Guntur mau menikah lagi,” kata Guntur lirih.

“Kamu sudah gila?” umpatan kasar yang tak pernah terlontar itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya.

Guntur menundukkan wajahnya. Sorot mata tua itu tampak berpijar, seperti menyemburkan api. Guntur meraihnya, dan merangkulnya, tapi sang ibu berteriak dengan suara gemetar, lalu menyingkirkan tangan Guntur yang memeluknya.

“Jangan menyentuhku.”

“Maafkan Guntur Bu.”

“Pantas saja, lama sekali Kinanti tidak datang ke rumah ini. Aku pikir dia terlalu sibuk. Pasti karena kelakuan kamu yang tidak benar.”

“Maafkan Guntur Bu.”

“Pergilah, dan jangan lagi datang ke rumah ini.”

“Ibu, calon istri Guntur itu sangat baik dan mencintai Guntur dengan sepenuh hati.”

“Apa istri kamu mencintai kamu dengan separuh hati?”

“Kami berjauhan, Guntur tergoda.”

“Siapa perempuan pembawa petaka itu?” lagi-lagi bu Raji berteriak.

“Ibu sudah mengenalnya, dia Wanda.”

“Apa? Perempuan tak tahu malu itu?”

“Dia sudah berubah.”

“Pergilah, pergi kamu, dan jangan lagi datang ke rumah ini. Aku tak pernah punya anak yang tidak tahu membalas budi.”

“Ibu, Guntur harus menikahinya. Dia hamil.”

“Pergi kamu, pergiiii!!”

“Bu, maafkan Guntur,” kata Guntur lirih.

“Kalau kamu tidak mau pergi, ibu yang akan pergi,” kata bu Raji sambil berusaha bangkit.

“Ibu tidak mau memaafkan Guntur?”

“Pergi kamu, pergiii,” bu Raji semakin berteriak, walau suaranya bergetar.

Guntur berdiri, lalu melangkah ke pintu. Sedianya dia ingin memohon restu, tak tahunya malah kena marah dan malah diusir dari rumah.

Guntur berdiri di pintu, menatap ibunya dengan pilu. Sang ibu membalikkan tubuhnya, membelakanginya.

Guntur melangkah pergi. Ia berharap, ketika marahnya reda, dia akan memaafkannya.

Tapi tidak, bu Raji menangis sepanjang malam. Tubuhnya yang ringkih terasa semakin lemah. Sama sekali dia tak menyangka, anak yang menjadi orang karena kebaikan keluarga Bono, justru menyakiti keluarga itu dengan mengkhianati perkawinannya.

***

Pagi hari itu Kinanti menggendong si kecil sebelum berangkat bekerja. Ia sudah menyuapi Emmi, dan memandikannya. Ia tak ingin kehilangan momen berdekatan dengan anak-anaknya, walau hanya pagi sebelum berangkat bekerja, dan sore hari sepulang kerja. Ia tak menuntut apapun dari perceraiannya dengan Guntur. Ia akan menghidupi dan membesarkan anak-anaknya dengan keringat yang menetes dari tubuhnya.

“Mana Emma, biar sama nenek. Kamu terlambat nanti,” kata bu Bono sambil mengambil Emma dari gendongan ibunya.

Kinanti mendekap dan mencium sang anak sebelum mengulurkannya pada ibunya.

“Kinanti sudah memanggil taksi Bu.”

“Baiklah, ibu hanya takut kamu terlambat kalau kelamaan menimang Emma.”

Emma sudah bisa berjalan, tapi Kinanti lebih suka menggendongnya. Untuk itu bu Bono selalu memarahinya.

“Nanti menjadi kebiasaan, dia lebih suka digendong,” omel bu Bono.

“Gemes Bu, penginnya menggendong terus.”

“Anakmu sudah belajar berjalan, biarlah dia berjalan-jalan.”

“Iya, baiklah. Nanti akan Kinanti ajak dia jalan-jalan sepulang kerja.”

Tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Kinanti beranjak mengambil tas kerjanya, tapi ia terkejut mendengar teriak ibunya.

“Itu kan bu Raji?”

Ternyata yang datang bukan taksi yang tadi dipanggilnya, melainkan taksi yang ditumpangi bekas mertuanya.

Melihat bu Raji berjalan tertatih, Kinanti beranjak menyambutnya.

“Ibu dari mana?” tanya Kinanti.

“Kinanti,” tiba-tiba bu Raji memeluk Kinanti, dan Kinanti merasa tubuh bu Raji sangat panas.

“Ibu sakit?”

Tapi bu Raji tak menjawab. Ia jatuh terkulai di pundak Kinanti.

“Bu, Ibu …”

“Kenapa dia?”

“Entahlah, tiba-tiba pingsan begini. Bu Raji sakit ini Bu.”

“Bawa masuk ke rumah, biar bibik mengurusnya.”

“Tidak, biar Kinanti bawa ke rumah sakit saja. Ini bukan sakit biasa.”

Tepat pada saat itu taksi pesanan Kinanti datang. Kinanti segera memapah bu Raji ke arah taksi, lalu memintanya agar membawa ke rumah sakit.

Di sepanjang perjalanan, Kinanti terus berusaha mengajak bicara bekas mertuanya itu, tapi tak ada jawaban. Kinanti sangat khawatir. Tubuh bu Raji panas sekali. Ia mencari nomor kontak Guntur, tapi dia telah menghapus nomor itu. Atau telah memblokirnya, entahlah. Kinanti tak mengingatnya.

Ketika petugas mendorong brankar yang membawa tubuh bu Raji, dokter Rifai memanggil namanya.

“Kinanti, ada apa?”

“Dia … bu Raji, tadi tiba-tiba pingsan.”

“Siapa dia?”

“Ibunya dokter Guntur,” jawab Kinanti singkat, membuat dokter Rifai heran.

“Bekas mertuamu?”

“Ya.”

Kinanti ikut masuk keruang IGD. Menyaksikan bu Raji yang segera ditangani.

“Apa dia tinggal di rumahmu?” tanya dokter Rifai.

“Tidak, tadi kebetulan saja dia datang ke rumah, tapi dalam keadaan sakit,”

“Aku prihatin untukmu, Kinanti. Dan kamu wanita yang sangat baik. Mau merawat bekas mertua, sementara_”
”Terima kasih, dokter,” Kinanti memotong perkataan dokter Rifai. Ia beranjak mendekati bekas mertuanya yang tampaknya mulai sadar.

“Kinanti, aku di mana?”

“Ibu di rumah sakit. Tadi ibu datang ke rumah dan pingsan.”

“Bawa aku pulang, aku pulang saja,” bisiknya lemah.

“Ibu harus dirawat, boleh pulang kalau sudah sembuh.”

Tiba-tiba bu Raji mengalirkan air mata.

“Maafkan aku, Nak. Guntur menyakiti kamu.”

Kinanti meletakkan jari telunjuknya di mulut, meminta bu Raji tidak banyak berkata-kata. Kinanti mengerti, rupanya bu Raji baru tahu apa yang terjadi pada rumah tangga anaknya. Mungkin setelah menemui ibunya kemarin, Guntur langsung ke rumah ibunya sendiri.

Dokter yang menangani bilang, bu Raji harus dirawat. Sakitnya parah. Sudah lama levernya bermasalah.

“Dokter Guntur sudah diberi tahu?” tanya dokter Rifai.

Kinanti menggeleng.

“Dia harus diberintahu. Bekas mertua kamu sakit parah, dia akan dibawa ke ruang ICU untuk penanganan lebih lanjut."

Kinanti sibuk mencari nomor kontak Guntur, karena dia sudah memblokirnya, atau sudah dihapusnya?

“Biar aku yang menghubungi dia,” kata dokter Rifai yang segera mengambil ponselnya.

Kinanti mengikuti bu Raji sampai ke ruang ICU.

“Aku ingin pulang ….” rintih bu Raji.

“Ibu harus menurut. Dirawat dulu supaya sembuh.”

“Titip cucu-cucuku,” suaranya hampir tak terdengar.

Tiba-tiba dokter Rifai muncul.

“Aku tidak tahu nomor dokter Guntur, tapi aku sudah menghubungi rumah sakitnya. Katanya tiga hari dokter Guntur ijin, karena hari ini dia menikah,” kata dokter Rifai pelan. Walau begitu, bu Raji mendengarnya. Memang Kinanti tak bereaksi, tapi bu Raji tiba-tiba pingsan lagi.

***

Pengantin baru layaknya menikmati kebahagiaan, tapi di hari itu Guntur tidak menikmatinya. Di hari yang sama pada saat akad nikah, Guntur mendapat kabar bahwa sang ibu meninggal dunia. Dunia seakan runtuh baginya.

Disaat pemakaman, Guntur tak berhenti memeluk gundukan tanah penuh bunga, dimana jasad ibunya terdiam dibawahnya. Sesal yang sangat menyakitkan adalah dia telah membuat sang ibu kecewa pada akhir hayatnya.

“Aku membunuh ibuku sendiri, ampuni Guntur, Ibu.”

Guntur teringat ketika sang ibu berkata, bahwa ia ingin hidup sampai Guntur menjadi orang. Tapi apa … sang ibu meninggal dalam rasa kecewa mendalam karena ulahnya.

Kinanti yang memerlukan datang melayat, menatapnya haru. Bukan karena tangisan Guntur semata, tapi lebih karena tahu tentang duka seorang ibu yang membuatnya tak lagi merasa bahwa dunia sangatlah indah. Bukankah begitu impian setiap ibu?

Kinanti melangkah keluar dari area pemakaman dengan perasaan tak menentu. Sebelum taksi yang dipesannya datang, datang suara dari arah kiri dan kanannya.

“Kinanti ….”

“Kinanti ….”

Dua suara yang berbeda, dan Kinanti tertegun ketika melihat ke arah kiri dan kanannya. Ada dokter Rifai, dan ada Ardi.

Hampir bersamaan keduanya sampai di dekat Kinanti.

“Bareng aku saja, bukankah kita searah?” kata dokter Rifai.

“Aku janji pada ibumu tadi bahwa akan mengantarkanmu pulang,” itu kata Ardi.

Kinanti tersenyum lucu. Mana yang harus diterimanya?

“Maaf, aku sudah memanggil taksi.”

Dan bersamaan dengan itu, taksi yang dipanggilnya benar-benar datang.

Kinanti melambai ke arah dua laki-laki ganteng yang menatapnya kecewa, lalu ia  masuk ke dalam taksi.

***

Berbulan-bulan telah berlalu setelah kejadian itu, di siang hari menjelang pulang, dokter Rifai menemui Kinanti di ruang prakteknya.

Agak kesal Kinanti, karena bagaimanapun dia menampakkan rasa tak suka, dokter Rifai tak pernah mau berhenti.

“Kinanti, jangan pulang dulu, ijinkan aku mengatakan sesuatu,” kata dokter Rifai.

Kinanti masih duduk di depan meja kerjanya, menunggu apa yang akan dikatakan dokter Rifai. Perawat pembantu selalu keluar lebih dulu setiap kali dokter Rifai datang, takut mengganggu.

“Kinanti, sesungguhnya aku ini amatlah menderita.”

Kinanti mengerutkan keningnya.

“Ada ketidak puasan dalam aku berumah tangga, karena istriku mandul.”

“Mengapa dokter mengatakannya pada saya?”

“Kinanti, kamu bukan lagi remaja yang tidak tahu apa-apa. Selama ini kamu pasti sudah tahu, apa sebenarnya maksudku.”

“Tapi saya tidak mengerti.”

“Kinanti, jadilah istriku,” barangkali merasa kelamaan menunggu, dokter Rifai langsung mengatakan apa yang ada di dalam hatinya.

Kinanti menatap tajam ke arah dokter Rifai. Bukankah sungguh terlalu, seorang laki-laki beristri kemudian meminang wanita lain?

“Jangan menganggap ini salah. Sungguh, aku ingin punya anak. Tolong penuhi permintaanku.”

“Tidak. Maafkan saya.”

“Kasihanilah aku, Kinanti. Aku jatuh cinta pada kamu.”

“Saya pernah merasakan bagaimana rasanya dikhianati suami, lalu saya harus membiarkan wanita lain merasakannya sama seperti yang saya alami? Tidak, Kinanti bukan wanita seperti itu dokter.”

“Apapun yang kamu minta,_”

“Tidak. Maafkan saya.”

Tanpa disangka, dokter Rifai tiba-tiba mendekat, lalu berlutut dihadapan Kinanti. Dan tanpa disangka pula, tiba-tiba seorang wanita cantik masuk ke ruangan itu, dan menarik dokter Rifai sampai terjengkang.

“Dasar perempuan murahan,” hardiknya, membuat mata Kinanti menyala.

***

Besok lagi ya.

LANGIT TAK LAGI KELAM 10

  LANGIT TAK LAGI KELAM  10 (Tien Kumalasari)   Rizki menatap ayahnya tajam ayahnya, dengan pandangan tak percaya. “Bapak bilang apa?” “Apa ...