Monday, September 26, 2022

SEBUAH JANJI 36

 

SEBUAH JANJI  36

(Tien Kumalasari)

 

Sekar menatap Seno yang duduk sambil meletakkan kedua tangannya di atas meja. Mata Seno tampak sendu.

“Aku bersungguh-sungguh, aku cinta sama kamu,” bisiknya.

Mata teduh itu tampak berair. Sekar tak bisa menahan perasaannya. Iapun menitikkan air mata. Bukan karena ia mengimbangi perasaan Seno, tapi karena ia merasa bersalah telah melukai kebaikan Seno dengan meninggalkan pekerjaannya.

“Jangan pergi …” bisiknya lagi, memelas.

Sekar menata napasnya yang tak beraturan. Ia belum mengatakan sampai beberapa saat lamanya.

“Maukah tetap di sini?”

“Mas Seno, bukankah Mas Seno sudah punya tunangan?” katanya sambil mengusap air matanya.

“Sekar, kamu kan tahu. Aku pernah mengatakannya bahwa aku tidak menyukai Elsa. Itu karena aku dijodohkan.”

“Tapi ikatan pertunangan kan sudah terjadi. Mas Seno bisa belajar mencintainya.”

“Tidak. Aku hanya mencintai kamu. Aku akan segera memutuskan pertunangan aku.”

“Tidak mungkin Mas. Keluarga Mas Seno akan membenci saya. Mereka akan menganggap saya menjadi penyebab putusnya pertunangan itu.”

“Cinta tidak akan bisa dipaksa Sekar.”

“Dan sebuah kebencian tak akan bisa hilang begitu saja. Saya akan selalu tersiksa saat menyadari ada yang membenci saya.”

“Sekar.”

“Mas harus tahu, dibenci oleh seseorang menjadi hidup kita terluka. Tidak akan menjadi tenang. Mirip ketika kita membenci seseorang. Lukanya akan sama Mas, aku tidak mau hidup dalam luka itu.”

“Tolong Sekar,” kata Seno, masih dengan nada memelas.

“Maaf Mas,” Sekar sekali lagi mengusap matanya.

“Aku tahu kamu juga menyukai aku.”

“Tidak Mas, Sekar menyukai Mas Seno karena Mas Seno baik kepada saya. Dan Mas Seno adalah atasan saya. Mana mungkin seorang bawahan membenci atasan, apalagi atasannya begitu baik? Sebenarnya berat bagi saya meninggalkan pekerjaan saya ini, tapi saya ternyata tidak bisa mengabaikan kuliah saya.”

“Saya sudah mengatakan bahwa kamu boleh bekerja sambil kuliah.”

“Tidak enak kalau orang lain mengetahuinya. Tolong Mas, jangan membuat saya berat dalam melangkah. Barangkali kita memang tidak berjodoh. Saya akan selalu berdoa untuk kebahagiaan Mas.”

“Kamu tega Sekar,” kali ini air mata Seno benar-benar mengalir.

Sekar terkejut. Ia meraih tisu, lalu mengusap air mata di pipi Seno dengan tissue itu. Tanpa terduga Seno menangkap tangannya, memegangnya erat, lalu membawanya ke dalam wajahnya.

 “Mas, tolong mas, jangan begini,” kata Sekar sambil berusaha menarik tangannya.

Seno tersadar, lalu melepaskan pegangannya.

“Maaf.”

“Mas Seno seorang yang kuat. Tidak pantas mengalirkan air mata.”

“Itu karena cinta. Sungguh aku sangat mencintai kamu.”

“Cinta tidak harus memiliki bukan? Biarkanlah saya berjalan  melalui jalan yang saya pilih, jangan pernah lupa bahwa saya akan selalu berdoa untuk kebahagiaan mas Seno.”

“Benarkah kamu tega, Sekar?”

“Saya harus melakukannya. Mas harus belajar mencintai tunangan Mas.”

Seno berdiri, melangkah dengan gontai ke arah meja kerjanya. Duduk di sana sambil menelungkupkan wajahnya di meja.

Perasaan Sekar menjadi tak karuan. Rasa haru, kasihan tak bisa ditahannya. Semua mengaduk-aduk isi dadanya.

Apa sih kekurangan Seno? Dia gagah, tampan, baik hati, mapan. Gadis manapun akan dengan suka rela menjadi pendampingnya. Sekar tidak menampik, barangkali kalau dipaksa ia juga akan begitu gampang jatuh cinta kepadanya, tapi akal warasnya terus bekerja. Dia tak ingin hidup dalam kebencian. Ya kebencian dari tunangan Seno, apalagi kebencian dari bu Ridwan yang sudah diperlihatkannya saat berpapasan.

Apakah ia akan bahagia berada di samping Seno sementara ada orang yang membenci kebersamaan itu?

***

Sekar pulang ke rumah dengan perasaan yang masih mengharu biru. Ia bahkan tak menoleh ke arah ruang tengah, padahal ayahnya sedang duduk di sana.

Ia baru terkejut ketika ayahnya memanggilnya.

“Sekar!”

“Eh, Bapak,” Sekar membalikkan tubuhnya, mendekati ayahnya lalu mencium tangannya.

“Apa yang terjadi? Kamu tampak kacau. Kamu juga tak menyapa bapak seperti biasanya padahal kamu tahu bapak duduk di sini.”

“Maaf Bapak.”

Tiba-tiba Sekar menubruk ayahnya dan menangis tersedu di pundaknya.

Pak Winarno sangat terkejut, tapi kemudian Sekar sadar bahwa ia tak boleh membuat ayahnya sedih. Ia kemudian mengangkat wajahnya, dan mencoba tersenyum.

“Senyuman kamu jelek sekali,” tukas pak Winarno.

“Mengapa Pak?” Sekar mengusap air matanya.

“Senyuman kamu itu palsu. Sesungguhnya kamu tidak ingin tersenyum. Hanya ingin menyenangkan hati bapak, sementara kamu sedang sedih?”

“Tidak Pak, Sekar tidak sedang sedih.”

“Lalu, kenapa menangis?”

“Sebenarnya Sekar ingin resign dari pekarjaan Sekar.”

“Kenapa?”

“Mas Seno mencintai Sekar.”

“Oh…” pak Winarno merasa lega. Dicintai bukan sesuatu yang harus membuat sedih. Tapi mengapa Sekar menangis?

“Kamu menolak cintanya, lalu kamu memilih keluar?”

“Mas Seno sudah punya tunangan.”

“Oh… begitu?”

“Kalau saya menerima cintanya, saya akan merusak pertunangan itu, bukan?”

“Benar. Tapi saya pikir nak Seno itu baik. Mengapa sudah punya tunangan, tapi menyukai gadis lain?”

“Mas Seno dijodohkan, tapi dia tidak suka pada tunangannya.”

Pak Winarno mengangguk, angguk. Ia mengerti mengapa Sekar  melakukannya. Ia bersyukur atas keputusan yang diambil anaknya.

“Terkadang laki-laki itu pintar berbohong. Ada yang lain, lalu mengatakan tidak suka pada yang lama.”

Tapi Sekar tidak terima atas penilaian ayahnya. Sudah sejak lama dia tahu bahwa Seno tidak suka pada tunangannya. Ia bahkan menyaksikan betapa Seno melampiaskan ketidak sukaannya saat Elsa datang ke kantornya.

“Tidak begitu Pak, memang sudah lama mas Seno tampak tidak cocok dengan pilihan orang tuanya. Tapi bukan karena itu lalu Sekar harus menerimanya bukan? Sekar tidak mau dibenci karena merebut tunangan orang.”

“Anak baik,” Pak Winarno mengelus kepala anaknya.

“Bapak senang kamu berpikir begitu. Tapi kamu akan kehilangan penghasilan kamu.”

“Sekar sudah diterima di perusahaan lain. Minggu depan Sekar sudah mulai bekerja.”

“Ya Tuhan. Kamu sudah melangkah sejauh itu, bapak malah tidak mengetahuinya.”

“Sekar memang merahasiakan sebelumnya. Dan akan mengatakannya pada Bapak setelah semuanya beres.”

Pak Winarno mengangguk-angguk, dengan terus mengelus kepala anaknya.

“Ya sudah, kamu baru pulang, dan belum ganti pakaian.”

“Sekar bau asem ya Pak?” Sekar mencoba bercanda.

“Tidak, bukan baunya, tapi lihat tuh, bajumu kucel. Cepat mandi lalu duduk di sini bersama bapak.”

“Baiklah, Pak.”

Sekar beranjak ke kamarnya. Tapi memang benar, senyum yang ditampakkannya memang senyuman palsu. Betapa beratnya meninggalkan pekerjaan yang selalu membuatnya nyaman. Betapa beratnya meninggalkan atasan yang bukan saja baik tapi juga penuh perhatian. Dan ungkapan cinta itu, sungguh Sekar  merasa betapa berat kakinya melangkah pergi. Aduhai.

***

“Mas, benarkah perusahaan itu sudah bisa berjalan?” tanya Yanti di sore hari, ketika Samadi baru saja pulang dengan mobil barunya.

“Sudah berjalan pelan, kamu tidak usah khawatir. Uang kamu habis tidak sia-sia, karena kita akan menjadi seorang pengusaha yang sukses, yang bisa menyaingi perusahaan Minar.”

“Iya, perempuan sombong itu harus diberi pelajaran Mas.”

“Tidak usah diberi pelajaran. Nanti kalau dia melihat usaha kita maju, pasti dia juga akan merasa menyesal. Dia harus tahu bahwa aku seorang yang bisa diandalkan.”

“Senang mendengarnya Mas.”

“Kamu memang istri yang baik. Aku tidak menyesal meninggalkan Minar dan mendapatkan kamu.”

“Syukurlah. Aku juga senang menjadi istri Mas. Aku mendapatkan apa yang lama sekali tidak aku dapatkan. Kamu laki-laki yang luar biasa, dan bisa membuat aku bahagia.”

“Aku ini biarpun sudah setengah tua, tapi tidak akan kalah dengan yang muda-muda. Kamu sudah merasakannya kan? Bagaimana aku, dibandingkan dengan Winarno yang sakit-sakitan itu?”

“Dia itu bukan hanya sakit-sakitan, tapi juga menyebalkan. Karena sebagai istri, aku tidak pernah tahu bahwa dia punya simpanan uang yang cukup banyak.”

“Tidak usah dipikirkan, toh kamu sudah diberinya rumah yang bisa kita pakai untuk modal usaha. Ya kan?”

“Itu karena terpaksa. Kalau dia tidak memberikan, aku juga pasti akan memintanya. Masa cerai begitu saja dan aku tidak mendapatkan apa-apa.”

“Sekarang ayo kita jalan-jalan Mas, aku belum puas berputar-putar dengan mobil baru kita, lanjut Yanti.

“Iya sih, tidak apa-apa, memang BPKB nya juga baru selesai. Nih, baru tadi aku ambil.”

“Kok jaraknya lama sih, BPKB baru selesai,” gerutu Yanti.

“Memang tidak bisa sekaligus jadi. Yuh lihat, masih baru.”

Yanti mendekati Samad, meminta buku kecil berwarna hitam itu dari tangan Samad, dan membacanya.

“Mas, kok nama pemiliknya Samadi sih, bukannya Aryanti? Kan itu dibeli dengan uang aku?”

“Ya ampun Yanti, kamu nih lama-lama mirip Minar ya? Biarpun dibeli dengan uang kamu, tapi aku ini kan suami kamu? Suami istri itu tidak ada bedanya dalam memiliki sesuatu. Lagi pula, punya mobil itu banyak urusannya. Yang perpanjangan pajak kendaraan … yang ini … yang itu, kalau ini atas nama kamu, maka kamu yang harus mengurusnya sendiri. Apa tidak pusing, coba?”

“Iya sih, pasti pusing. Nggak mau aku banyak urusan.”

“Nah, itu sudah aku perhitungkan, aku pakai atas nama aku saja, supaya kamu tidak repot dalam mengurusi semuanya. Dan perusahaan itu juga atas nama aku, supaya kamu tinggal enak-enak menikmati uangnya.”

“Iya Mas, kamu betul. Terima kasih ya Mas, kamu begitu memperhatikan aku,” kata Yanti begitu polosnya.

“Katanya mau jalan-jalan, jadi nggak?”

“Ingin sih Mas, tapi tiba-tiba aku ingin istirahat saja dulu. Kan Mas baru saja pulang, kasihan kalau aku ajak pergi lagi.”

“Aku mau saja, karena aku tidak ingin membuat kamu kecewa.”

“Nggak ah Mas, ayo istirahat saja dulu, Biar aku pijitin. Nanti malam saja kita jalan-jalannya.”

“Waduh, senangnya, istriku memang istimewa.”

“Iya dong, Mas sudah begitu baik sama aku, tentu aku juga harus memperhatikan Mas.”

Samadi tersenyum senang, ia menurut saja ketika Yanti menariknya ke dalam kamar.  Senang dong, kan mau dipijitin?

***

Karena mengurusi dua perusahaan, Minar jadi semakin sibuk. Dia tidak bisa datang ke warung pagi-pagi, dan untunglah Ari sudah bisa mengurusinya dengan baik.

Siang itu Minar datang ke warung. Senang melihat warungnya sudah semakin maju.

“Kok kamu sudah sampai di sini Min, sudah selesai urusan kamu di kantor?”

“Sudah beres, aku kan punya asisten, yang tadinya bawahan Samadi, dan sekarang banyak membantu aku.”

“Tapi kamu harus hati-hati Min, mempercayai seseorang itu tidak mudah,” kata Ari.

“Iya, aku tahu, tapi dia benar-benar bisa diandalkan kok. Dulu dia juga kepercayaan almarhum ayahku.”

“Syukurlah.”

“Kamu tidak capek mengurus warung sendirian?”

“Ya enggak lah, aku kan hanya duduk dan menerima laporan. Belanja juga sudah jarang, karena semua bisa dipesan dan dikirim.”

“Syukurlah, kita harus bersyukur karena usaha yang tadinya membuat aku pesimis ini akhirnya bisa berjalan.”

“Benar Minar.”

“Ayo sekarang jalan-jalan saja.”

“Kemana?”

“Kemana saja lah, belanja keperluan kita. Aku ingin melihat-lihat, barangkali ada baju bagus untuk kita.”

“Aku tidak akan belanja, menemani kamu saja aku mau.”

“Aku yang akan membelikan kamu, jangan khawatir.”

“Benarkah? Kamu harus tahu, aku ini kan harus membiayai dua orang anakku yang sedang kuliah, beayanya lumayan, dan aku bekerja bersama kamu ini juga untuk menambah penghasilan. Jadi aku harus berhemat.”

“Iya Ari, aku mengerti kok. Ayo sekarang jalan-jalan. Jangan khawatir, aku akan mentraktir kamu.”

“Baiklah kalau begitu.”

***

Sekar sudah mulai bekerja. Ingatan akan Seno perlahan diendapkannya. Ia tak ingin larut dalam rasa, yang saat disadari, rasa itu hanyalah rasa kasihan.

Sekar sedang bersiap untuk beristirahat, karena memang saatnya istirahat siang, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Sekar berdebar, dari Barno.

“Hallo, Barno.”

“Non, senang sekali Non masih mengingat saya.”

“Ingat dong, kan nomormu ada nama kamu, dan ada photo profil kamu.”

“Iya sih. Non sedang apa nih, maaf mengganggu.”

“Aku sedang bekerja, tapi ini mau istirahat, karena memang waktunya istirahat. Apa kabarmu Barno?”

“Saya baik-baik saja Non. Bagaimana dengan Non?”

“Aku juga baik.”

“Non sudah bekerja di perusahaan yang baru kan? Simbok menceritakan semuanya tentang Non.”

“Iya Barno, ini memang harus aku lakukan.”

“Semoga Non merasa lebih nyaman di sini.”

“Doakan aku ya.”

“Tentu Non, saya selalu berdoa untuk kebahagiaan Non. Bapak sehat kan?”

“Sehat, Barno.”

Pembicaraan di telpon itu berlanjut beberapa saat lamanya, saling menanyakan keadaan, menanyakan pekerjaan, tapi sayangnya belum ada yang menanyakan isi hati.

Tanpa disadari oleh Sekar, saat itu ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh.

***

Besok lagi ya.

Saturday, September 24, 2022

SEBUAH JANJI 35

 

SEBUAH JANJI  35

(Tien Kumalasari)

 

Sekar membaca dengan cermat iklan itu, kemudian dicatatnya semua persyaratan yang diperlukan. Kemudian dia kembali melipat koran itu, lalu meletakkannya dengan rapi.

Sekar melanjutkan pekerjaannya dengan semangat yang menyala. Harapan akan mendapatkan pekerjaan baru tertoreh dalam angan-angannya. Lalu ia merasa, harus membuat lamaran itu dulu sebelum menyelesaikan tugasnya. Hal yang belum pernah dilakukannya, untuk mengesampingkan tugas demi kepentingannya sendiri. Kali ini Sekar melakukannya. 

Lalu dia membuat surat lamaran terlebih dulu,  dan mengisi data yang diperlukan, untuk kemudian dikirimkannya melalui email. Karena kesibukannya tersebut, maka ketika Seno kembali ke ruangannya, Sekar belum menyiapkan semua yang dipesan atasannya tersebut. Padahal berkas lamaran juga belum selesai dibuatnya.

“Sudah selesai, Sekar?”

“Oh, ampun Mas, belum. Sebentar lagi Mas, maaf,” kata Sekar penuh penyesalan.

“Kamu baik-baik saja?”

“Iya Mas, saya baik-baik saja.”

“Aku merasa kamu juga tidak bersemangat. Biasanya kamu sangat cekatan dalam menyelesaikan tugas kamu,” kata Seno sambil menatap Sekar lekat-lekat.

Sekar menundukkan wajahnya, melanjutkan pekerjaannya.

“Maaf.”

“Tidak apa-apa. Lakukan semampu kamu. Kamu boleh pulang kalau memang sedang tidak enak badan.”

“Baiklah Mas, akan saya selesaikan dulu tugas dari mas ini, terima kasih kalau saya diijinkan pulang lebih awal,” kata Sekar penuh sesal karena telah membohongi atasannya yang sangat baik. Sungguh dia merasa berdosa. Bahkan dia punya niat untuk meninggalkan pekerjaannya.

“Maaf,” bisiknya pelan.

“Sekar, kamu tidak usah berkali-kali minta maaf.”

Sekar terkejut. Tidak merasa mengucapkannya, tapi ternyata kata itu benar-benar terlontar dari bibirnya.

“Iy..ya Mas.”

Seno merasa iba. Sekretaris yang sangat dikaguminya itu memaksanya bekerja walau badannya sedang tidak enak. Ia mana tahu bahwa sebenarnya Sekar ingin segera pulang karena ingin menyelesaikan berkas lamaran yang diperlukan, soalnya tadi tertunda dengan hadirnya Seno.

Diam-diam Seno memesan segelas minuman hangat melalui interkom.

Ketika OB menyajikannya, Seno memberinya isyarat agar memberikannya kepada sekretarisnya.

Sekar terkejut ketika segelas minuman diletakkan di atas mejanya.

“Ini … untuk … aku?” tanyanya heran.

“Pak Seno yang menyuruhnya, Bu,” kata sang OB kemudian berlalu.

Sekar menatap Seno penuh pertanyaan, dan dengan senyuman khas-nya Seno mengangguk.

“Untuk saya?”

“Iya. Minumlah, agar kamu merasa lebih segar.”

Dan sebuah kebaikan yang baru saja dilakukan Seno, membuat Sekar semakin merasa berdosa untuk meninggalkan pekerjaannya demi berpindah ke perusahaan lain.

“Maaf,” sekali lagi tanpa sengaja bisikan itu terlontar dari bibirnya.

Seno tertawa sambil terus menatap ulah sekretaris cantiknya.

“Sekar, sudah berapa kali kamu mengucapkan maaf?”

Sekar kembali terkejut. Kok dia mengucapkannya lagi? Sekar tidak sadar, bahwa itu ungkapan penyesalan dan rasa berdosanya, yang tanpa sengaja terlontar lagi dari bibirnya. Ia tersenyum tipis, dan melanjutkan lagi pekerjaannya.

“Minumlah, mumpung masih hangat,” perintah Seno karena ia melihat Sekar belum menyentuh minuman yang diberikannya.

“Baik … baiklah,” katanya sambil meraih gelas tersebut, dan meneguknya beberapa teguk. Kemudian Sekar memang merasa lebih segar. Ia menghela napas lega, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya, sementara pandangan Seno tak lepas dari wajah sang sekretaris.

“Segera selesaikan, lalu aku akan mengantarkan kamu pulang,” celetuk Seno.

Sekar terkejut. Ia menatap ke arah atasan gantengnya dan menggelengkan kepalanya.

“Jangan Mas, biar saya pulang sendiri saja.”

“Tidak bisa Sekar, ini perintah.”

“Saya bisa naik taksi.”

“Aku tetap akan mengantarkan kamu.”

“Bagaimana nanti pandangan karyawan lain kalau Mas Seno memperlakukan saya lebih dari kepada seorang karyawan? Saya merasa tidak enak. Lagi pula saya membawa motor.”

“Kamu sedang tidak enak badan, tinggalkan saja motor kamu di kantor, nanti biar satpam mengantarkannya ke rumah. Kecuali itu siapa yang peduli kepada pandangan orang lain? Apakah aku berlebihan, saat melihat karyawanku sedang sakit?”

“Tapi saya bukan sedang pingsan bukan?”

Seno terbahak.

“Saya masih bisa berjalan dan mencari taksi.”

“Baiklah, bandel, Aku akan menyuruh sopir perusahaan untuk mengantarkan kamu.”

“Saya_”

“Ini perintah.”

Lalu Sekar hanya bisa menundukkan wajahnya.

***

“Jam berapa ini, tumben sudah pulang, Sekar?” sapa pak Winarno ketika anak gadisnya memasuki rumah.

“Iya Pak, ada tugas keluar, dan sudah selesai, maka saya bisa langsung pulang.”

“Tadi naik taksi? Bapak tidak mendengar sepeda motor masuk ke halaman.”

“Tidak, diantar oleh mobil perusahaan. Motornya akan diantar satpam.”

“Perusahaan di mana kamu bekerja itu sangat baik bukan? Mau mengantarkan karyawannya pulang juga.”

“Iya,” kata Sekar sambil berlalu.

“Ganti pakaian kamu, kita bisa makan bersama kan?”

“Iya Pak, tentu saja, Sekar cuci kaki tangan dulu ya Pak.”

“Cepatlah, bapak tunggu di ruang makan. Bibik sudah menyuruh bapak makan tadi.”

“Baiklah,” kata Sekar sambil masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil laptop, untuk menyelesaikan lamaran yang tadi belum sempat diselesaikannya, tapi tadi ayahnya bilang akan menunggunya di ruang makan. Sekar hanya menyiapkan laptopnya di meja, kemudian masuk ke kamar mandi.

Sambil membersihkan diri itu, rasa bersalah terus saja menghantuinya. Sungguh ia tidak ingin meninggalkan pekerjaannya karena sudah merasa nyaman melakukannya, tapi bayangan Elsa yang cemburu terhadapnya, ditambah tatapan kebencian dari bu Ridwan, membuatnya merasa ciut. Bukan takut menghadapinya, tapi ia takut menjadi penyebab retaknya pertunangan Seno dan Elsa. Diam-diam air matanya menitik. Kebaikan Seno, keramahan pak Ridwan, jarang ditemukannya di tempat lain. Iapun tak yakin, bahwa di perusahaan yang akan ditujunya, ia akan menemukan atasan sebaik mereka. Ah, entahlah. Sekar merasa bahwa yang akan ditempuhnya adalah yang terbaik.

“Noon, Non Sekar,” teriakan bibik dari balik pintu mengejutkannya. Ia sudah membasuh kaki tangannya, tapi belum sempat memakai pakaiannya.

“Ya Bik.”

“Bapak menunggu di ruang makan.”

“Oh iya, baiklah, ini sudah hampir selesai,” katanya sambil buru-buru mengenakan pakaiannya.

“Mengapa lama sekali?” tegur pak Winarno setelah Sekar duduk di depannya.

“Iya Pak, kelamaan ya?”

“Kamu sekalian mandi?”

“Tidak, hanya mengumpulkan baju-baju kotor,” bohong Sekar.

“Oh, ayo cepat makan, ini kesempatan langka, di jam kerja kamu, kita bisa makan siang bersama.”

“Iya Pak, kalau saja letak kantor Sekar tidak begitu jauh, Sekar bisa saja setiap saat istirahat tiba, lalu Sekar menyempatkan pulang.”

“Tidak, lakukan saja yang terbaik. Bapak hanya asal bicara kok. Kalau kamu pulang untuk makan siang di rumah, waktu istirahat kamu habis untuk perjalanan, lalu makan siang dengan tergesa-gesa.”

“Iya benar.”

“Bapak sudah merasa puas setiap libur bisa makan bersama kamu setiap pagi, siang dan malam.”

“Iya, Bapak.”

“Ayo cepat makan, bibik masak sayur lodeh sama bandeng presto goreng.”

“Wah, itu juga kesukaan Bapak.”

“Aku bisa menghabiskan nasi sebakul,” kata pak Winarno sambil menyendok sayurnya, setelah Sekar menyendokkan nasi untuk ayahnya.

Sekar tertawa.

“Tidak apa-apa Pak, makan yang banyak, karena kalau kita doyan makan banyak, berarti kita sehat.”

“Iya sih, waktu sakit kan aku nggak doyan makan. Makan juga harus dipaksa.”

“Jadi bapak jangan sakit lagi ya?”

“Iya, itu yang bapak inginkan.”

Mereka kemudian makan dengan saling berdiam, hanya kelutik sendok yang beradu piring terdengar berdenting.

***

“Bik, aku tidak membantu Bibik mencuci piring ya. Ada yang harus aku kerjakan segera,” kata Sekar yang hanya membantu membawa piring-piring kotor ke dapur.

“Iya Non, memang ini kan tugas bibik. Biar bibik rampungkan semuanya, dan kerjakan apa yang akan Non kerjakan,” kata Bibik.

“Aku akan membuat lamaran pekerjaan,” bisik Sekar ke telinga bibik.

“Benarkah?” kata bibik hampir berteriak, tapi Sekar memberi isyarat agar bibik bicara pelan.

“Maaf,” lanjut bibik, yang sudah mengerti, bahwa masalah pekerjaan itu jangan dulu terdengar oleh pak Winarno.

“Doakan berhasil ya Bik,” Sekar kembali berbisik.

“Tentu Non. Doa terbaik untuk non cantikku ini,” kata bibik sambil mengacungkan jempolnya.

“Ya sudah Bik, aku ke kamar dulu. Jangan lupa antarkan jus tomatnya untuk bapak.”

“Iya Non, segera setelah meja makan bersih, bibik akan menuangkan jus-nya untuk bapak.”

Sekar tersenyum, lalu melangkah memasuki kamarnya. Ia menguncinya dari dalam, takutnya kalau tiba-tiba ayahnya membuka kamar dan melihat apa yang sedang dilakukannya. 

Sekar belum ingin mengatakan masalah pekerjaan baru yang akan dilamarnya, ia akan mengatakannya nanti kalau benar-benar sudah mulai bekerja. Pasti ayahnya juga akan menyayangkan keluarnya Sekar dari pekerjaannya, karena ayahnya selalu menilai baik atasannya. Tapi nanti Sekar akan mengatakan semuanya, dan ayahnya pasti akan bisa menerima alasannya.

“Mana Sekar?” tanya pak Winarno ketika bibik meletakkan jus tomat di meja.

“Di kamar Pak, tampaknya Non Sekar ingin segera beristirahat. Tampaknya capek sekali,” kata bibik yang khawatir majikannya akan menyuruhnya memanggilnya, sementara Sekar kan sedang sibuk membuat lamaran.

“Oh, iya benar. Biarkan saja kalau begitu.”

Bibik lega karena pak Winarno tidak menanyakannya lebih jauh. Ia segera berlalu untuk membersihkan dapur.

***

Pagi itu Sekar sudah bersiap masuk kerja. Berkas lamaran sudah dikirimkannya melalui email. Ia sedang menuju garasi untuk mengeluarkan sepeda motornya, ketika sebuah mobil berhenti di luar pagar. Sekar terkejut. Ia sangat mengenali mobil itu. Mobil mas Seno. Dan itu benar, tak lama kemudian Seno turun dari mobil dan melangkah memasuki halaman. Senyumnya merekah begitu melihat Sekar.

“Mas Seno, ada apa pagi-pagi sekali datang kemari?”

“Kamu baik-baik saja? Kok sudah mengenakan baju kerja, kamu mau kerja hari ini?”

“Iya.”

“Kamu sudah baikan?”

“Sangat baik Mas.”

Seno memberikan sekeranjang buah-buahan kepada Sekar.

“Ini apa?”

“Untuk kamu, aku pikir kamu masih sakit.”

“Saya hanya merasa lelah, mengapa mas Seno repot-repot begini?”

“Kalau begitu buat bapak saja.”

Sekar menghela napas. Lagi, sebuah kebaikan Seno membuat beban dosanya bertambah. Ia berniat menghianati perusahaan milik Seno, tapi Seno terus memberinya kebaikan.

“Mengapa diam? Cepat berikan sama bapak, dan kita berangkat bersama-sama.”

“Saya akan … naik motor saja Mas.”

“Ini perintah,” kata Seno sambil tersenyum, dan senyuman itu selalu membuat Sekar terpana, dan nyaris tak bisa berkata apa-apa.

Sekar menghela napas, ia membalikkan badan lalu memasuki rumah. Pak Winarno sedang berjalan keluar untuk mengantarkan Sekar yang mau masuk bekerja. Ia terkejut melihat Sekar membawa sekeranjang buah-buahan.

“Sekar, dari mana ini?”

“Dari mas Seno, untuk Bapak.”

“Mana nak Seno?”

“Di depan, menunggu Sekar untuk berangkat bekerja.”

Sekar meletakkan buah-buahan itu di meja, kemudian mengambil tas kerjanya, lalu mengikuti ayahnya keluar.

“Nak Seno kok repot-repot.”

“Tidak apa-apa Pak, kemarin kan_”

“Mas Seno selalu memperhatikan Bapak, Sekar juga sungkan,” potong sekar sambil mengedipkan matanya kepada Seno, sehingga Seno hanya meng ‘iya’ kan.

“Terima kasih sekali lho Nak.”

“Sama-sama Pak.”

“Sekar berangkat dulu Pak,” kata Sekar sambil mencium tangan ayahnya, Seno kemudian juga mengikutinya.

***

“Tadi aku ingin bilang bahwa kemarin karena kamu tidak enak badan, lalu aku membawakan buah-buahan, tapi kamu seperti melarang aku mengatakannya, benar?” tanya Seno saat sudah berada di dalam mobil menuju kantor.

“Iya benar Mas.”

“Kenapa?”

“Saya tidak ingin bapak tahu kalau saya sakit.”

“Oh, untunglah aku belum mengatakannya. Lalu alasan apa yang kamu katakan pada bapak ketika kamu pulang lebih awal?”

“Saya hanya bilang bahwa pekerjaan sudah selesai, lalu boleh pulang.”

“Ternyata kamu sangat menjaga perasaan ayah kamu.”

“Bapak tidak boleh sedih. Kalau tahu saya sakit, pasti bapak akan sedih.”

“Aku mengerti. Itu pula sebabnya maka kamu tidak banyak protes ketika aku mengajak kamu pergi bersama aku.”

“Saya ingin kita segera pergi, supaya tidak banyak pembicaraan yang membuat bapak bertanya-tanya, karena kemarin saya tidak mengatakan sakit atau apa.”

“Baiklah, apa sekarang kamu benar-benar sehat?”

“Sehat Mas.”

“Syukurlah. Bukan hanya bapak yang akan sedih kalau kamu sakit, tapi aku juga.”

Sekar menatap Seno, lalu keduanya saling pandang. Sekar mengalihkan pandangan ke arah samping kiri, merasa aneh dengan cara Seno memandangnya.

***

Sekar hampir bersorak, ketika seminggu setelah lamaran itu dikirimkan, dia mendapat panggilan untuk wawancara. Dan Sekar ingin menari-nari karena ia diterima bekerja dan harus mulai masuk kerja mulai bulan depan.

Berdebar hati Sekar ketika menyerahkan sebuah amplop pengunduran diri ke hadapan atasannya. Ia menyerahkannya, kemudian kembali duduk di kursi kerjanya.

“Surat apa ini?” tanya Seno sambil membuka amplop itu.

Tiba-tiba Seno berteriak.

“Tidaaak. Kamu tidak boleh pergi.”

Belum hilang keterkejutan Sekar, ketika Seno bergegas menuju ke arahnya, dan duduk di depannya.

“Kamu bercanda?”

“Saya serius.”

“Mengapa kamu tega Sekar? Perusahaan ini membutuhkan kamu,” kata Seno lemah. Sambil menatap pilu ke arah Sekar.

“Saya ingin konsentrasi dengan kuliah saya Mas, mohon maaf,” kata Sekar lirih, dan hampir saja air matanya jatuh terurai. Ia mengusapnya dengan tissue yang ada di depannya.

“Aku sudah bilang, kamu bebas kuliah dan melakukan apa saja yang kamu inginkan, Sekar,” rayu Seno. Sebenarnya tidak pantas seorang pimpinan seperti memohon-mohon kepada bawahannya. Tapi ada alasan lain mengapa Seno melakukannya.

“Maaf  Mas, saya tidak ingin mengganggu tugas saya dengan kebutuhan pribadi saya,” suara Sekar bergetar.

“Dengar Sekar, kamu tidak boleh pergi.”

“Mengapa Mas, janganlah mengikat saya. Biarkan saya meraih cita-cita saya.”

“Raih apa yang kamu mau, tapi jangan tinggalkan aku.”

“Mas Seno ….”

“Karena aku mencintai kamu.”

Sekar terpana.

***

Besok lagi ya.

Friday, September 23, 2022

SEBUAH JANJI 34

 

SEBUAH JANJI  34

(Tien Kumalasari)

 

“Sekar, makanannya sudah siap, ayo makan,” tiba-tiba kata pak Winarno, mengejutkan Sekar yang sedang melamun.

“Oh, iya … ayo makan Pak, soalnya tiba-tiba Sekar agak mengantuk.”

“Tuh, sebenarnya kamu kecapekan, kenapa nekat mengajak bapak jalan-jalan?”

“Enggak Pak, memang sudah Sekar rencanakan sejak kemarin-kemarin. Bapak kan juga perlu merasakan udara segar. Besok kalau ada kesempatan lagi, kita akan jalan-jalan ke luar kota, melihat pemandangan indah.”

“Waaah, tampaknya menyenangkan,” kata pak Winarno sambil menyendok makanannya.

“Tentu saja menyenangkan, kita juga akan mengajak bibik.”

“Kalau bertiga mana bisa kita naik sepeda motor?”

“Kita bisa naik taksi, atau menyewa mobil untuk jalan-jalan.”

“Wah, butuh uang banyak tuh.”

“Tidak apa-apa. Apa artinya uang, kalau dibandingkan dengan kesenangan yang kita dapatkan?” kata Sekar bijak.

“Yah, kamu benar. Sebanyak apapun uang yang kita miliki, tak akan ada artinya selama hati kita tidak senang.”

“Enak makanannya?”

“Enak sekali. Tapi nanti bibik pasti kecewa kalau kita tidak makan masakannya.”

“Tidak apa-apa, nanti kita makan sore hari atau malamnya. Lagi pula tadi Sekar sudah bilang sama bibik bahwa kita akan makan di luar.”

“Pasti bibik kecewa.”

“Tidak, bibik senang Bapak mau Sekar ajak jalan-jalan. Bibik bilang, mau masak nanti sore saja untuk makan malam.”

“Syukurlah. Sekarang segera selesaikan makan kamu, lalu pulang. Bapak risih mendengar candaan di meja belakang itu, mana pantas anak perempuan tertawa sekeras itu, bicaranya juga nggak pantas didengar,” kata pak Winarno berbisik.

Sekar mengangguk, dia setuju segera angkat kaki dari sana. Hatinya tiba-tiba juga merasa tak enak, mendengar perkataan Elsa tentang dirinya yang akan menggantikan kedudukan sekretaris di kantor pak Ridwan.

Sambil menghabiskan makanan itu Sekar mulai berpikir, apa yang akan dilakukan setelah ini. Tampaknya Elsa sangat membencinya, sementara dia adalah tunangan Seno. Sekar tak mau terjadi keributan lagi di kantor, juga tak mau membuat hubungan Seno dan Elsa menjadi renggang karena dirinya. Mungkin Seno tidak suka pada tunangannya, seperti Seno pernah mengatakannya. Tapi Sekar sadar bahwa Elsa tampak sangat membencinya. Ucapan demi ucapan yang didengarnya, jelas sekali mengenai dirinya. Dia selalu mengatakan sekretaris kampungan, dan itu dikatakannya berkali-kali. Beruntung ayahnya tak memperhatikan, ataupun kalau mendengar juga tak tahu apa maksudnya.

Setelah melambai ke arah pelayan yang kemudian menyerahkan bil nya, Sekar membayarnya, kemudian mengajak ayahnya keluar sambil menyembunyikan wajahnya dari arah meja, di mana Elsa sedang asyik bercanda dengan teman-temannya.

***

“Kamu tidak pergi ke mana-mana Seno? Ini kan hari Minggu?” sapa ayahnya ketika melihat Seno baru saja turun dari lantai atas.

“Tidak Pak, Seno capek,” jawabnya singkat sambil duduk diantara ayah dan ibunya di ruang tengah.

“Kenapa tidak mengajak Elsa jalan-jalan,” sambung ibunya.

“Kan Seno sudah bilang capek Bu,” sergah Seno dengan wajah masam.                                                                                                                                       

“Setiap hari kerja, kalau libur bilang capek. Kapan kamu bisa dekat dengan tunangan kamu?” kata ibunya lagi.

Seno tak menjawab, dia menatap ke arah televisi yang sejak tadi sudah dinyalakan ayahnya.

“Seno, ibu mengajak kamu bicara,” kata ibunya kesal.

“Iya Bu, Seno mendengarnya.”

“Lalu apa jawab kamu?”

“Ibu sudah tahu apa yang Seno pikirkan,” jawab Seno sambil siap beranjak dari sana. Ia merasa, sang ibu akan menekannya tentang hubungannya dengan Elsa.

“Baiklah, kamu tidak suka karena kamu tidak mencoba untuk mendekatinya. Kalau kamu sudah dekat, lama-lama kamu pasti akan menyukainya. Ibu mengusulkan ada ayahmu, agar menjadikan Elsa sekretaris kamu.”

Seno terkejut. Dipandanginya ibunya dengan kening berkerut.

“Apa maksud Ibu? Seno sudah punya sekretaris yang baik,” kata Seno sedikit keras.

“Kalau kamu mau, sekretaris kamu bisa dipindahkan ke bagian lain. Bisa kan?”

“Tidak bisa Bu.”

“Bu, kamu itu tidak mengerti bagaimana menata sebuah perusahaan. Setiap yang ditempatkan dalam suatu divisi, pasti memiliki sesuatu atau dipandang bisa melakukan tugasnya di situ. Bukan sembarang memindahkan, lalu memasukkan orang,” sambung pak Ridwan.

“Ibu hanya ingin supaya Seno berdekatan dengan Elsa. Selama ini dia menolaknya.”

“Mendekatkan seseorang dengan merubah posisi karyawan? Kamu itu tidak tahu apa-apa tentang perusahaan,” kesal pak Ridwan.

Bu Ridwan merengut.

“Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mendekatkan mereka? Menurut Elsa, Seno menyukai sekretarisnya itu. Dia bisa bicara lembut dan manis kepadanya, tapi begitu kasar kepada Elsa.

Seno benar-benar beranjak pergi, kembali menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

“Sudahlah Bu, jangan mengganggu bapak dengan ucapan-ucapan kamu tentang Elsa. Sudah jelas tidak bisa memasukkan Elsa ke kantor kita. Bisa apa dia?”

“Bapak dan anak sama saja,” gerutu bu Ridwan sambil pergi menjauh. Kesal sekali usulnya ditolak oleh suami dan anaknya. Apa jawabnya nanti kalau Elsa datang dan mengulangi permintaannya?

***

Sore itu, saat pak Winarno beristirahat, Sekar membantu bibik memasak di dapur.

“Non apa tidak capek, pulang jalan-jalan kok ngebantuin bibik di dapur?”

“Enggak Bik, cuma begitu saja kok capek. Lagian Sekar senang, bapak juga merasa terhibur.”

“Syukurlah, bibik juga senang mendengarnya.”

Lalu Sekar mengambil brokoli yang akan dimasak bibik. Dipotong-potongnya brokoli itu, kemudian di rendamnya dengan air garam. Begitu kata bibik ketika Sekar membantunya sebelum ini. Kata bibik, kalau di rendam dulu di air garam, kalau barangkali ada serangga atau hewan-hewan kecil, bahkan cacing yang nyungsep di dalamnya, akan keluar atau mati, sehingga lebih sehat untuk dimakan.

Tapi bibik heran, sebenarnya wajah non cantiknya tidak secerah biasanya. Dia mengatakan senang karena ayahnya bisa terhibur, tapi wajah non cantik tidak menampakkan itu. Lagi pula Sekar lebih banyak diam, tidak mengatakan apa-apa kalau bibik tidak mengajaknya bicara. Tak tahan membatin dan mengira ira, bibik bertanya. Itu dilakukannya setelah ia mencuci brokoli yang sudah direndam oleh Sekar beberapa saat lagi.

“Non cantik kok tidak banyak bicara hari ini?”

Sekar menatap bibik, dan tersenyum. Lalu ia menoleh ke arah ruang tengah, barangkali ayahnya sedang duduk di sana. Tapi tidak ada, karena pak Winarno langsung beristirahat.

“Sedang ada yang Non pikirkan?”

“Sebenarnya, Sekar ingin resign saja dari pekerjaan.”

“Resain itu apa sih Non?” tentu saja bibik tidak mengerti.

“Maksud Sekar, ingin keluar dari pekerjaan.”

“Lhoh, Non itu gimana? Punya atasan begitu baik, kok mau keluar? Dulu Non bilang, bekerja untuk membiayai kuliah Non. Bagaimana kalau keluar? Bukankah Non butuh uang untuk biaya kuliah?”

“Biaya kuliah aku tidak begitu mahal. Lagi pula aku akan mencari pekerjaan lain.”

“Mencari pekerjaan itu tidak mudah lho Non.”

“Benar,  tapi aku akan mencoba mencari dulu, kalau sudah dapat, baru mau keluar. Supaya Bapak tidak bertanya-tanya.”

“Iya Non, kalau Non belum mendapat pekerjaan, sementara sudah keluar, pasti bapak akan bertanya, ada apa, kenapa … Ya kan?”

“Iya Bik, nanti aku akan mulai mencari-cari dulu.”

“Tapi Non, bukankah atasan Non memperlakukan Non dengan baik? Apa Non melakukan kesalahan dan mendapat teguran? Lalu Non merasa sakit hati?”

“Ya tidak Bik. Kalau orang melakukan kesalahan dan mendapat teguran, itu sudah selayaknya. Mengapa harus merasa sakit hati?”

“Jadi, kenapa Non memilih keluar?”

“Ada sesuatu yang membuat aku memilih keluar.”

Simbok sudah selesai meracik bumbu, lalu menyiapkan sayuran. Mereka akan membuat ca brokoli, kesukaan pak Winarno.

“Mas Seno itu sebenarnya sudah punya tunangan,” kata Sekar seperti bergumam.

“Non sedih karena itu? Apa … maaf … Non suka sama pak Seno?” tuduh bibik.

“Ya ampun Bik, ya tidak. Bukan karena aku suka, kemudian kecewa, atau patah hati. Tidak Bik. Aku sama mas Seno tidak ada hubungan apa-apa.

Sekar tidak tahu, si bibik tiba-tiba menghela napas lega.

“Tunangan mas Seno sepertinya tidak suka sama aku.”

“O, berarti tunangan pak Seno itu cemburu sama Non. Habisnya pak Seno selalu baik sama Non. Lagi pula Non kan cantik, siapa yang tidak cemburu?”

Bibik mulai menumis bumbunya, aroma harum sudah memenuhi ruangan dapur.

“Bibik bisa saja,” kata Sekar sambil tersenyum tipis.

“Itu benar kan?”

“Jadi karena itu-lah maka aku harus siap mengundurkan diri, daripada merusak hubungan mereka.”

“Ya Non, memang benar yang akan Non lakukan. Tapi cari pekerjaan dulu Non, supaya Non tidak menganggur.”

“Baiklah Bik. Mana bik, biar aku masukkan sayurnya.”

Sekar merasa lega sudah berbagi perasaan gelisahnya kepada bibik. Beban di dadanya terasa lebih enteng.

***

Malam itu juga Sekar mulai mencari-cari lowongan dari ponselnya, bahkan dari koran yang bertumpuk di meja. Sekar memang berlangganan koran, karena ayahnya suka membaca koran, tidak hanya melihat berita di televisi.

“DICARI SEORANG TERAPIS PEREMPUAN YANG ….”

“Oh tidak, terapis? Mana bisa aku melakukannya?”

“DICARI SEORANG ADMINISTRASI UNTUK PERUSAHAAN, BERSEDIA DITEMPATKAN DI LUAR KOTA.”

“Tidak, aku tidak bisa meninggalkan bapak.”

Sekar menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ternyata tidak mudah mencari pekerjaan. Ia menghela napas, membaringkan tubuhnya di ranjang. Lelah. Lahir dan batinnya. Sebenarnya dia sudah nyaman bekerja di perusahaan pak Ridwan, tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, apalagi dia mungkin akan dipindahkan ke bagian lain, atau malah akan dikeluarkan. Lagi pula apa enaknya hidup dalam kebencian seseorang?

Ia membuka buka ponselnya. Dibacanya deretan lowongan pekerjaan yang satu persatu dibacanya, barangkali ada yang cocok baginya.

“DICARI PELAYAN RESTORAN RAMEN, YANG BERSEDIA BEKERJA MALAM.”

“O, tidak. Menjadi pelayan restoran tidak masalah, tapi bekerja malam?” gumamnya kecewa.

 Mana mungkin dia bekerja malam hari? Pasti ayahnya akan menentangnya.

Sekar memejamkan matanya, merasa lelah, kemudian terlelap karena malam memang sudah agak larut.

***

Sekar melangkah dengan cepat, karena jam kerja karyawan telah lewat. Dia hampir menabrak seseorang karena tidak melihat jalan.

“Maaf … maaf,” katanya gugup.

Dilihatnya pak Ridwan berjalan bersama seorang wanita setengah tua yang cantik, hendak keluar dari kantor.

“Maaf,” katanya sekali lagi.

“Sekar, kamu kenapa?”

“Ss … saya … datang kesiangan Pak, karena ….”

“O, adakah sesuatu? Biasanya kamu datang lebih pagi?” tanya pak Ridwan penuh perhatian, karena Sekar seorang karyawan yang baik.

“Karyawan datang seenaknya begitu, mengapa masih dipekerjakan?” sergah bu Ridwan dengan wajah muram. Ia mendengar suaminya menyapa dengan panggilan Sekar, dan bu Ridwan segera tahu bahwa gadis itu adalah sekretaris anaknya yang membuat Elsa cemburu.

“Pasti ada alasan mengapa kamu terlambat, biasanya kamu rajin,” kata pak Ridwan masih tetap ramah.

“Saya … agak kurang enak badan, Pak,” sahut Sekar sambil menunduk.

“Huhh, alasan!” ketus bu Ridwan lagi.

“O, ya? Kalau memang sakit, minta ijin untuk tidak bekerja dulu.”

“Tidak apa-apa Pak, sudah baikan. Saya permisi,” kata Sekar dengan perasaan semakin kalut menyaksikan sikap bu Ridwan yang nyinyir terhadapnya.

“Ya, ya … tampaknya Seno sudah menunggu kamu,” kata pak Ridwan sambil menarik lengan istrinya menjauh, dengan menahan rasa kesalnya mendengar kata-kata istrinya yang benar-benar menampakkan rasa ketidak senangannya kepada Sekar. 

Sekar juga heran melihat bu Ridwan datang bersama suaminya ke kantor.

Sekar mengetuk pintu, lalu masuk mendengar sahutan Seno dari dalam.

“Selamat pagi Mas, maaf saya terlambat.”

“Kamu tidak apa-apa?”

“Tidak, sesungguhnya saya bangun kesiangan. Maaf.”

“Baiklah. Tadi kamu ketemu bapak sama ibuku? Mereka baru saja keluar dari sini.”

“Ya, saya bertemu.”

“Ada undangan saudara dari luar kota, yang membuat bapak sama ibu harus pergi pagi-pagi, tapi menyempatkan ke kantor sebentar karena ada yang harus di selesaikan,” terang Seno.

Sekar hanya mengangguk. Sikap bu Ridwan tadi masih terasa mengiris iris perasaannya. Sudah jelas bu Ridwan tidak suka padanya. Oh ya, Sekar teringat, ketika Elsa ribut dengan Seno di kantor, Elsa pernah mengancam Seno untuk mengadukannya pada ibunya. Mungkin karena Elsa mengadu itu, lalu bu Ridwan menjadi membencinya juga. Tak peduli sikap suaminya begitu baik, bu Ridwan tetap mengomelinya.

Ini yang harus kamu buat Sekar, selesaikan hari ini ya?” kata Seno setelah Sekar duduk di kursi kerjanya.

“Baik, Mas.”

“Kamu seperti tidak bersemangat, kamu sakit?”

“Tidak, saya baik-baik saja.”

“Baiklah, kamu boleh pulang kalau memang kamu merasa sakit.”

“Tidak, sungguh.”

“Ya sudah, aku mau keluar dulu,” kata Seno yang sejak tadi menatap wajah Sekar yang sedikit pucat.

“Benar ya, jangan dipaksakan kalau kamu sakit.”

“Iya, saya baik-baik saja kok,” kata Sekar.

Seno keluar dari ruangan, dan kembali menoleh ke arah Sekar sambil membuka pintu. Sekar menatapnya, dan Seno meninggalkan senyumnya yang khas. Manis dan hangat.

Sekar menundukkan wajahnya, sampai Seno menutupkan kembali pintunya.

Tiba-tiba Sekar menatap sesuatu di meja sofa. Sebuah koran yang tampaknya sudah dibaca, tapi dilipat sekenanya, lalu terbaca olehnya sebuah iklan.

SEBUAH PERUSAHAAN YANG BARU BERDIRI, SEDANG MEREKRUT KARYAWAN UNTUK DI TEMPATKAN DI BAGIAN ….. bla … bla … bla.

Sekar berdiri dan memungut koran itu, lalu membacanya dengan seksama. Senyumnya mengembang.

***

Besok lagi ya.

Thursday, September 22, 2022

SEBUAH JANJI 33

 

SEBUAH JANJI  33

(Tien Kumalasari)

 

Berdebar hati Sekar mendengar nama itu. Sungguh luar biasa, Barno bekerja di sana? Masih dibawah perusahaan pak Ridwan juga? Perlahan dia meletakkan dua cangkir kopi ke meja.

“Barno dari sini? Dia berangkat ke Batam bersamaan harinya dengan Bapak?” tanya Seno yang juga agak terkejut.

“Kamu tahu dari mana?”

“Sekar, dengar, mungkin Barno yang di maksud bapak, adalah Barno anaknya bibik.”

“Benarkah?”

“Kalian kenal?”

“Barno itu anaknya bibik, pembantu di rumah Sekar ini Pak.”

“Lho … benarkah?”

“Bibik bukan pembantu, dia juga keluarga kami,” Sekar meralatnya. Tak suka bibik yang sudah banyak berjasa itu disebut pembantu.

“Maaf, maksud Seno, dia keluarga pak Winarno, ayahnya Sekar, yang selalu membantu keluarga mereka. Maksud Seno, bukan asisten rumah tangga, begitu Pak,” Seno juga meralat ucapannya, sambil menatap Sekar dengan rasa penuh maaf.

Sekar tersenyum, meletakkan baki di atas kursi, kemudian duduk kembali di kursi kerjanya.

“Jadi … kalian mengenalnya?” tanya pak Ridwan.

“Sangat mengenalnya. Begitu dia lulus, segera mendapatkan tawaran untuk bekerja di sana.”

“Wah … waaah, dia itu sangat luar biasa. Pintar, cerdas, rajin. Abu bilang sangat menyukainya, dan menjanjikannya untuk menempati kedudukan yang lebih baik nanti, setelah masa percobaan selama tiga bulan selesai dijalaninya."

“Syukurlah,” kata Seno sambil menatap Sekar yang mendengarkan percakapan itu sambil tersenyum cerah. Diam-diam Seno bertanya-tanya, apakah ada hubungan istimewa diantara Sekar dan Barno? Memang benar dia anaknya bibik, tapi kalau dia berhasil dalam kariernya, itu akan membuat dirinya punya saingan yang agak berat. Atau bahkan sangat berat.

“Hei, mengapa kamu diam? Ayo kita lanjutkan percakapan kita,” kata pak Ridwan yang agak heran melihat Seno tiba-tiba memperhatikan Sekar.

“Oh ya, mari diminum dulu kopinya Pak,” kata Seno sambil meraih cangkirnya.

“Kamu tidak membuat untuk kamu sendiri Sekar?” tanya pak Ridwan.

“Saya sudah minum, silakan Bapak saja,” kata Sekar.

Lalu pak Ridwan dan Seno tampak berbincang mengenai bisnis mereka, dari bagaimana mengembangkan sayap yang lebih lebar, dan usaha-usaha yang akan mereka rintis bersama. Sekar tak begitu memperhatikannya. Ia sibuk menekuni tugasnya yang bertumpuk di atas meja. Tapi ada keinginan untuk segera pulang, agar bisa menceritakan tentang Barno yang bekerja di bawah atap yang sama dengan dirinya, walau berjauhan tempatnya.

***

“Bibiiiiik …” teriak Sekar begitu memasuki rumah. Ia tak melihat ayahnya, yang pastinya ada di dalam kamar.

“Non ini kenapa sih, teriak-teriak begitu. Nih tangan bibik hampir kesiram air panas gara-gara terkejut,” tegur bibik.

“Ya ampun Bik, maaf ya …”

“Nggak apa-apa, cuma hampir. Sana, non mandi dan ganti baju dulu, kenapa malah teriak-teriak sih Non?”

“Ada berita bagus tentang Barno Bik, itu sebabnya aku teriak-teriak memanggil Bibik.”

"Barno menelpon Non? Tadi dia juga menelpon bibik.”

“Tidak Bik, bukan Barno menelpon Sekar. Aduh, harus dari mana nih mulainya.”

“Non gimana sih, mau cerita kok bingung mulainya dari mana? Ya sudah, minum teh hangat ini saja dulu,” kata bibik sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja dapur. Sekar tersenyum, lalu duduk menghadapi teh yang wanginya sudah menusuk hidung.

“Tapi bibik nggak suka deh, harusnya Non cuci kaki tangan dulu,” omel bibik yang selalu meminta agar begitu memasuki rumah harus segera cuci kaki tangan dulu.

Sekar meleletkan lidahnya, kemudian beranjak ke kamar mandi.

Bibik tersenyum, tapi sebenarnya dia ingin segera mendengar apa yang dikatakan non cantik tentang Barno. Bukankah tadi Barno menelpon? Dia tidak mengatakan apa-apa yang luar biasa. Yang bisa mengejutkannya. Dan Non cantik tampak begitu gembira.

“Ada apa sih Non, apa yang ingin Non katakan, bibik penasaran nih.”

“Sebentar Bik, aku minum dulu teh nya ya,” kata Sekar sambil menghirup teh hangatnya.

“Hm, tadi buru-buru mau cerita, sekarang ditunda-tunda,” gerutu bibik sambil cemberut, membuat Sekar terkekeh lucu.

“Itu lho bik, tiba-tiba saya mendengar dari pak Ridwan tentang Barno. Ternyata Barno itu bekerja di perusahaannya pak Ridwan juga.”

“Pak Ridwan itu siapa sih Non?”

“Pak Ridwan itu ayahnya mas Seno.”

“Lhoh, kan Barno ada di Batam? Tadi siang barusan dia telpon,” kata bibik bingung.

“Perusahaan yang di Batam itu punya pak Ridwan juga Bik. Baru kemarin pak Ridwan kembali ke sini, lalu tadi datang ke kantor, lalu cerita tentang Barno.”

“Ooh, ya ampuuun, nggak nyangka ya Non? Lalu apa kata pak Ridwan? Apa Barno bekerja dengan baik?”

“Itulah yang ingin aku katakan Bik, pimpinan Barno di sana sangat suka sama Barno. Pekerjaannya memuaskan, katanya.”

“Benarkah? Ya ampun, terima kasih ya Allah.” dan bibikpun berlinang air mata.

“Jangan menangis Bik, ini kan berita yang menyenangkan?”

“Tentu saja Non, bibik terharu, Barno bisa melakukan hal baik dalam pekerjaannya.”

“Iya Bik, bahkan dijanjikan akan segera diberi kedudukan yang lebih tinggi kalau nanti masa percobaannya sudah habis, pastinya.”

“Syukurlah Non. Kok tadi Barno tidak cerita apa-apa, malah nitip salam untuk Non Sekar.”

“Nanti setelah istirahat, aku akan menelpon Barno.”

“Baiklah, sekarang Non ganti baju dulu, bibik mau masak untuk makan malam.”

“Nanti aku bantuin Bik.”

Sekar bergegas masuk ke dalam kamarnya, tapi sebelum masuk dia berpapasan dengan ayahnya yang tampaknya sudah selesai mandi.

“Ada apa, kok heboh sekali di dapur?”

Sekar tertawa.

“Itu Pak, Sekar memberi tahu bibik bahwa Barno ternyata bekerja di perusahaannya pak Ridwan juga.”

“Lhoh, pak Ridwan yang ayahnya nak Seno?”

“Iya, kebetulan pak Ridwan ke Batam dan ketemu Barno. Sekar memberi tahu bibik, bibik senang sekali karena Barno di sukai oleh atasannya.”

“Oh ya, syukurlah.”

“Bapak minum teh hangatnya dulu, Sekar mau mandi, nanti Sekar mau cerita lebih banyak.”

“Baiklah, mandilah, kamu pasti capek.”

***

“Bilang apa Elsa sama kamu?” tanya pak Ridwan saat malam harinya sedang bersantai dengan sang istri.

“Sebetulnya aku tuh ya Pak, kasihan bener sama Elsa.”

“Memangnya kenapa kamu harus merasa kasihan? Iya juga sih, dia kan calon menantu kesayangan kamu, jadi sedikit saja dia mengeluh, lalu timbullah rasa kasihan kamu.”

“Bapak jangan begitu. Bapak harusnya mendukung aku dong, bukannya terus menyalahkan aku.”

“Kamu itu kan sok ngeyel. Sejak dulu aku tidak setuju, tapi kamu nekat, gara-gara ibunya anak itu adalah teman kamu. Tapi kan bukan dari situ harusnya ibu memilihnya. Soalnya orang berjodoh, berumah tangga, bukan sekedar suka terus ambil, kayak orang beli makanan saja. Dilihat, bagaimana pekertinya, bagaimana dia bersikap kepada orang tua, bagaimana perilaku sehari-harinya. Lha Elsa itu masih menganut pergaulan bebas, main ke sana, main kemari, hura-hura bersama teman-temannya di kelap-kelap malam, dan itu aku sudah tahu sejak dulu, karena aku pernah melihatnya ngakak-ngakak dipinggir jalan bersama teman-temannya, yang beberapa diantaranya adalah laki-laki, lalu melihat mereka memasuki sebuah cafĂ© remang-remang, aduuuh. Tapi memang aku tidak mengatakannya, hanya bilang bahwa aku kurang suka, tapi ibu nekat, bahkan memaksa Seno agar bersedia bertunangan sama dia. Padahal ibu tahu kan, Seno tidak suka sama gadis itu.”

“Iya sih, ada sisi buruk yang sesungguhnya ibu tidak suka, tapi kan semua sudah terlanjur, dan kalau terlanjur itu, satu-satunya jalan adalah memperbaikinya.”

“Oh ya? Coba kamu katakan, bagaimana cara memperbaikinya.”

“Bagaimana kalau Elsa disuruh menjadi sekretaris Seno?”

“Apa? Seno sudah punya sekretaris, dan dia pintar.”

“Bukankah bisa dipindahkan ke bagian lain? Maksud ibu adalah, agar mereka bisa sering bertemu, dan Elsa juga bisa mempelajari, apa yang tidak disukai Seno, sehingga dia bisa merubahnya.”

“Itu kan gambaran yang kamu bayangkan. Merubah itu tidak gampang.”

“Kalau Seno punya niat baik, pasti dia bisa melakukannya.”

“Mengapa ibu masih ngotot? Nggak mau, aku nggak ikutan, yang aku pikirkan sangat banyak, dan masalah gadis itu entah bagaimana nanti saja,” kata pak Ridwan sambil meninggalkan istrinya.

Bu Ridwan tampak cemberut. Tapi dia akan terus berusaha, kalau perlu membujuk Seno agar mau menerima Elsa menjadi sekretarisnya.

***

Malam itu Sekar menelpon Barno, seperti janjinya kepada bibik. Sebenarnya sungkan menelpon lebih dulu, tapi kalau menunggu Barno melakukannya,  juga susah. Barno mana berani mendahului menelponnya. Kan ada bibik yang kalau ada apa-apa cukup disampaikannya kepada simboknya.

Berdebar hati Sekar ketika kemudian Barno mengangkat panggilan telponnya.

“Hallo, ini Non bukan?” tanya Barno dari seberang, yang mengangkat panggilan itu dengan dada berdebar.

“Iya Barno, apa kabar?” dan Sekarpun menyambutnya dengan debar yang sama.

“Kabar saya baik, Non juga baik kan?”

“Atas doa kamu, aku baik.”

“Bapak sehat kan?”

“Bapak sehat, dan tampak gembira. Besok kalau aku libur mau aku ajak jalan-jalan.”

“Bagus Non, saya senang mendengarnya.”

“Barno, kamu tahu nggak? Sebenarnya kita itu bekerja dibawah atap yang sama.”

“Apa maksudnya Non?”

“Barusan kamu ketemu pak Ridwan kan?”

“Lhoh, kok Non tahu?”

“Ketemu tidak?”

“Iya, ketemu, dia juga pemilik perusahaan dimana saya bekerja.”

“Nah, pak Ridwan itu ayahnya mas Seno.”

“Apa?”

“Iya, tadi di kantor cerita-cerita, nah kok nyebut nama Barno, aku dan mas Seno terkejut, karena kan juga mengenal yang namanya Barno.”

“Ya ampun, saya tidak mengira.”

“Sebuah kebetulan yang mengejutkan aku.”

“Saya juga terkejut Non. Lalu apa kata pak Ridwan tentang saya?”

“Pokoknya kesan mereka terhadapmu sangat baik.”

“Benarkah?”

“Iya, masa aku berbohong?”

“Alhamdulillah.”

“Barno …. “ lalu Sekar tiba-tiba kehabisan kata-kata untuk melanjutkan perbincangan itu. Mendengar suara Barno saja sudah membuatnya berdebar tak karuan.

“Non mau cerita apa lagi?”

“Mm … apa ya?”

“Non sudah mulai kuliah?”

“Dua hari lagi Barno, aku di UT saja, supaya tidak mengganggu pekerjaan aku.”

“Oh, bagus Non, di UT atau manapun sama saja. Saya doakan Non sukses dalam karya, dan berhasil dalam kuliah Non.”

“Terima kasih Barno.”

“Ini sudah malam, Non harus istirahat bukan?”

“Iya Barno, kamu juga kan?”

Pembicaraan itu berhenti setelah saling mengatakan selamat malam, tapi kata-kata yang mereka ingin katakan, hanya tersimpan dibibir, kemudian sama-sama terlontar ketika ponsel itu ditutup.

“Aku merindukanmu ….”

Aduhai.

***

Siang itu pak Ridwan memanggil Seno agar masuk ke dalam ruangannya. Seno meninggalkan berkas-berkas di meja Sekar sebelum meninggalkan ruangannya. Tapi ketika sampai di pintu, Seno menoleh ke arahnya.

“Sekar, besok kan hari Minggu, bolehkah aku main ke rumah kamu?”

Sekar terkejut, menatap bos ganteng yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum ke arahnya.

“Bolehkah?”

“Mm … itu Pak, mm … maaf, saya sudah berjanji pada Bapak untuk bepergian,” kata Sekar gugup.

“Oh, ya sudah, barangkali lain kali,” katanya, lalu membuka pintu dan menutupkannya kembali setelah sampai di luar.

Sekar terpaku di tempatnya.

“Mengapa juga mas Seno mau main ke rumah? Bukankah hari libur harusnya pergi bersama tunangannya? Kalau dia mengijinkannya, bagaimana kalau tunangannya tahu? Pasti Elsa akan membencinya. Ia teringat sinar mata kebencian yang dilontarkan padanya sebelum keluar dari ruangan, kemudian membanting pintu.

Tidak, Sekar tak akan melakukannya. Betapa baik dan gantengnya sang atasan, tapi Sekar tak mau menjadi pengganggu pertunangan mereka. Bukankah dia sudah punya Barno? Apaa?? Sekar memarahi dirinya sendiri atas batin yang mengucapkan kata-kata itu. Barno hanyalah sahabat baik, terlalu baik, sehingga saat jauhpun dia merindukannya. Apakah Barno punya perasaan yang sama? Lalu Sekar teringat saat di bandara, dan terlontar dari mulutnya bahwa dia akan merindukannya, lalu Barno berlari kembali mendekatinya, mengucapkan kata yang sama. Apa arti semua itu? Apa? Sekar menutupi wajahnya dengan ke dua tangan.

“Wahai hati, kemana kamu membawaku pergi?” bisiknya.

***

Hari itu Sekar memang mengajak ayahnya jalan-jalan. Pergi ke mal untuk membeli segala kebutuhan ayahnya. Seperti celana dalam yang hampir usang, kaos, dan juga baju.

“Kamu belanja untuk bapak sangat banyak, Sekar.”

“Tidak apa-apa. Kan ini semua bapak butuhkan. Masa celana dan baju tidak diganti, nanti penampilannya jelek dong. Nggak ganteng dong,” canda Sekar.

“Bapak sudah tua, mau ganteng dari mana?”

“Ee, siapa bilang Bapak sudah tua? Bapak masih gagah dan ganteng kok. Sekarang kita makan di restoran ya.”

“Sekar, kamu menghabiskan uang kamu, seperti tidak punya kebutuhan lain saja. Kamu harus bayar kuliah juga kan?”

“Bapak tidak usah memikirkan semuanya, itu urusan Sekar. Yang penting Sekar tidak kekurangan. Sekali-sekali boleh dong, mengajak bapak makan di restoran,” kata Sekar sambil menarik tangan ayahnya, kemudian mengajaknya memasuki sebuah restoran.

Mereka duduk agak di sudut, karena saat makan siang restoran itu cukup padat pembeli.

“Setelah masing-masing memilih menu, keduanya duduk menunggu. Tiba-tiba dari arah pintu, muncul lima orang anak muda, tiga perempuan dan yang dua laki-laki.

“Heran juga kamu, ngajakin kami makan, dan susah mengenalkan calon suami kamu pada kami,” kata salah seorang diantara mereka.

Sekar mengenal salah seorang diantara gadis itu. Elsa. Dan celakanya, mereka duduk tak jauh dari mejanya. Sekar segera menggeser kursinya agar tak berhadapan dengan mereka.

“Bukannya aku tak mau ngenalin, calon suamiku itu tidak suka yang rame-rame begini. Tadi juga aku mengajaknya, dia bilang nggak mau.”

“Sedih dong tidak bisa selalu bersama tunangan.”

“Nggak, sebentar lagi aku akan menjadi sekretarisnya, segera setelah sekretarisnya yang kampungan itu dipecat.”

Lalu terdengar tawa urakan dari mereka.

Sekar sangat terkejut. Yang dimaksud sekretaris kampungan pastilah dirinya, karena Elsa pernah mengatakannya saat di kantor.

***

Besok lagi ya.

LANGIT TAK LAGI KELAM 10

  LANGIT TAK LAGI KELAM  10 (Tien Kumalasari)   Rizki menatap ayahnya tajam ayahnya, dengan pandangan tak percaya. “Bapak bilang apa?” “Apa ...