SEBUAH JANJI 36
(Tien Kumalasari)
Sekar menatap Seno yang duduk sambil meletakkan kedua
tangannya di atas meja. Mata Seno tampak sendu.
“Aku bersungguh-sungguh, aku cinta sama kamu,”
bisiknya.
Mata teduh itu tampak berair. Sekar tak bisa menahan
perasaannya. Iapun menitikkan air mata. Bukan karena ia mengimbangi perasaan
Seno, tapi karena ia merasa bersalah telah melukai kebaikan Seno dengan
meninggalkan pekerjaannya.
“Jangan pergi …” bisiknya lagi, memelas.
Sekar menata napasnya yang tak beraturan. Ia belum
mengatakan sampai beberapa saat lamanya.
“Maukah tetap di sini?”
“Mas Seno, bukankah Mas Seno sudah punya tunangan?”
katanya sambil mengusap air matanya.
“Sekar, kamu kan tahu. Aku pernah mengatakannya bahwa
aku tidak menyukai Elsa. Itu karena aku dijodohkan.”
“Tapi ikatan pertunangan kan sudah terjadi. Mas Seno
bisa belajar mencintainya.”
“Tidak. Aku hanya mencintai kamu. Aku akan segera
memutuskan pertunangan aku.”
“Tidak mungkin Mas. Keluarga Mas Seno akan membenci
saya. Mereka akan menganggap saya menjadi penyebab putusnya pertunangan itu.”
“Cinta tidak akan bisa dipaksa Sekar.”
“Dan sebuah kebencian tak akan bisa hilang begitu
saja. Saya akan selalu tersiksa saat menyadari ada yang membenci saya.”
“Sekar.”
“Mas harus tahu, dibenci oleh seseorang menjadi hidup
kita terluka. Tidak akan menjadi tenang. Mirip ketika kita membenci seseorang.
Lukanya akan sama Mas, aku tidak mau hidup dalam luka itu.”
“Tolong Sekar,” kata Seno, masih dengan nada memelas.
“Maaf Mas,” Sekar sekali lagi mengusap matanya.
“Aku tahu kamu juga menyukai aku.”
“Tidak Mas, Sekar menyukai Mas Seno karena Mas Seno
baik kepada saya. Dan Mas Seno adalah atasan saya. Mana mungkin seorang bawahan
membenci atasan, apalagi atasannya begitu baik? Sebenarnya berat bagi saya
meninggalkan pekerjaan saya ini, tapi saya ternyata tidak bisa mengabaikan
kuliah saya.”
“Saya sudah mengatakan bahwa kamu boleh bekerja sambil
kuliah.”
“Tidak enak kalau orang lain mengetahuinya. Tolong
Mas, jangan membuat saya berat dalam melangkah. Barangkali kita memang tidak
berjodoh. Saya akan selalu berdoa untuk kebahagiaan Mas.”
“Kamu tega Sekar,” kali ini air mata Seno benar-benar
mengalir.
Sekar terkejut. Ia meraih tisu, lalu mengusap air mata
di pipi Seno dengan tissue itu. Tanpa terduga Seno menangkap tangannya,
memegangnya erat, lalu membawanya ke dalam wajahnya.
“Mas, tolong
mas, jangan begini,” kata Sekar sambil berusaha menarik tangannya.
Seno tersadar, lalu melepaskan pegangannya.
“Maaf.”
“Mas Seno seorang yang kuat. Tidak pantas mengalirkan
air mata.”
“Itu karena cinta. Sungguh aku sangat mencintai kamu.”
“Cinta tidak harus memiliki bukan? Biarkanlah saya
berjalan melalui jalan yang saya pilih,
jangan pernah lupa bahwa saya akan selalu berdoa untuk kebahagiaan mas Seno.”
“Benarkah kamu tega, Sekar?”
“Saya harus melakukannya. Mas harus belajar mencintai
tunangan Mas.”
Seno berdiri, melangkah dengan gontai ke arah meja
kerjanya. Duduk di sana sambil menelungkupkan wajahnya di meja.
Perasaan Sekar menjadi tak karuan. Rasa haru, kasihan
tak bisa ditahannya. Semua mengaduk-aduk isi dadanya.
Apa sih kekurangan Seno? Dia gagah, tampan, baik hati,
mapan. Gadis manapun akan dengan suka rela menjadi pendampingnya. Sekar tidak
menampik, barangkali kalau dipaksa ia juga akan begitu gampang jatuh cinta kepadanya,
tapi akal warasnya terus bekerja. Dia tak ingin hidup dalam kebencian. Ya
kebencian dari tunangan Seno, apalagi kebencian dari bu Ridwan yang sudah
diperlihatkannya saat berpapasan.
Apakah ia akan bahagia berada di samping Seno sementara
ada orang yang membenci kebersamaan itu?
***
Sekar pulang ke rumah dengan perasaan yang masih
mengharu biru. Ia bahkan tak menoleh ke arah ruang tengah, padahal ayahnya
sedang duduk di sana.
Ia baru terkejut ketika ayahnya memanggilnya.
“Sekar!”
“Eh, Bapak,” Sekar membalikkan tubuhnya, mendekati
ayahnya lalu mencium tangannya.
“Apa yang terjadi? Kamu tampak kacau. Kamu juga tak
menyapa bapak seperti biasanya padahal kamu tahu bapak duduk di sini.”
“Maaf Bapak.”
Tiba-tiba Sekar menubruk ayahnya dan menangis tersedu
di pundaknya.
Pak Winarno sangat terkejut, tapi kemudian Sekar sadar
bahwa ia tak boleh membuat ayahnya sedih. Ia kemudian mengangkat wajahnya, dan
mencoba tersenyum.
“Senyuman kamu jelek sekali,” tukas pak Winarno.
“Mengapa Pak?” Sekar mengusap air matanya.
“Senyuman kamu itu palsu. Sesungguhnya kamu tidak
ingin tersenyum. Hanya ingin menyenangkan hati bapak, sementara kamu sedang sedih?”
“Tidak Pak, Sekar tidak sedang sedih.”
“Lalu, kenapa menangis?”
“Sebenarnya Sekar ingin resign dari pekarjaan Sekar.”
“Kenapa?”
“Mas Seno mencintai Sekar.”
“Oh…” pak Winarno merasa lega. Dicintai bukan sesuatu
yang harus membuat sedih. Tapi mengapa Sekar menangis?
“Kamu menolak cintanya, lalu kamu memilih keluar?”
“Mas Seno sudah punya tunangan.”
“Oh… begitu?”
“Kalau saya menerima cintanya, saya akan merusak
pertunangan itu, bukan?”
“Benar. Tapi saya pikir nak Seno itu baik. Mengapa
sudah punya tunangan, tapi menyukai gadis lain?”
“Mas Seno dijodohkan, tapi dia tidak suka pada
tunangannya.”
Pak Winarno mengangguk, angguk. Ia mengerti mengapa
Sekar melakukannya. Ia bersyukur atas keputusan
yang diambil anaknya.
“Terkadang laki-laki itu pintar berbohong. Ada yang
lain, lalu mengatakan tidak suka pada yang lama.”
Tapi Sekar tidak terima atas penilaian ayahnya. Sudah
sejak lama dia tahu bahwa Seno tidak suka pada tunangannya. Ia bahkan
menyaksikan betapa Seno melampiaskan ketidak sukaannya saat Elsa datang ke
kantornya.
“Tidak begitu Pak, memang sudah lama mas Seno tampak
tidak cocok dengan pilihan orang tuanya. Tapi bukan karena itu lalu Sekar harus
menerimanya bukan? Sekar tidak mau dibenci karena merebut tunangan orang.”
“Anak baik,” Pak Winarno mengelus kepala anaknya.
“Bapak senang kamu berpikir begitu. Tapi kamu akan
kehilangan penghasilan kamu.”
“Sekar sudah diterima di perusahaan lain. Minggu depan
Sekar sudah mulai bekerja.”
“Ya Tuhan. Kamu sudah melangkah sejauh itu, bapak
malah tidak mengetahuinya.”
“Sekar memang merahasiakan sebelumnya. Dan akan
mengatakannya pada Bapak setelah semuanya beres.”
Pak Winarno mengangguk-angguk, dengan terus mengelus
kepala anaknya.
“Ya sudah, kamu baru pulang, dan belum ganti pakaian.”
“Sekar bau asem ya Pak?” Sekar mencoba bercanda.
“Tidak, bukan baunya, tapi lihat tuh, bajumu kucel.
Cepat mandi lalu duduk di sini bersama bapak.”
“Baiklah, Pak.”
Sekar beranjak ke kamarnya. Tapi memang benar, senyum
yang ditampakkannya memang senyuman palsu. Betapa beratnya meninggalkan
pekerjaan yang selalu membuatnya nyaman. Betapa beratnya meninggalkan atasan
yang bukan saja baik tapi juga penuh perhatian. Dan ungkapan cinta itu, sungguh
Sekar merasa betapa berat kakinya
melangkah pergi. Aduhai.
***
“Mas, benarkah perusahaan itu sudah bisa berjalan?”
tanya Yanti di sore hari, ketika Samadi baru saja pulang dengan mobil barunya.
“Sudah berjalan pelan, kamu tidak usah khawatir. Uang
kamu habis tidak sia-sia, karena kita akan menjadi seorang pengusaha yang
sukses, yang bisa menyaingi perusahaan Minar.”
“Iya, perempuan sombong itu harus diberi pelajaran
Mas.”
“Tidak usah diberi pelajaran. Nanti kalau dia melihat
usaha kita maju, pasti dia juga akan merasa menyesal. Dia harus tahu bahwa aku
seorang yang bisa diandalkan.”
“Senang mendengarnya Mas.”
“Kamu memang istri yang baik. Aku tidak menyesal
meninggalkan Minar dan mendapatkan kamu.”
“Syukurlah. Aku juga senang menjadi istri Mas. Aku
mendapatkan apa yang lama sekali tidak aku dapatkan. Kamu laki-laki yang luar
biasa, dan bisa membuat aku bahagia.”
“Aku ini biarpun sudah setengah tua, tapi tidak akan
kalah dengan yang muda-muda. Kamu sudah merasakannya kan? Bagaimana aku,
dibandingkan dengan Winarno yang sakit-sakitan itu?”
“Dia itu bukan hanya sakit-sakitan, tapi juga
menyebalkan. Karena sebagai istri, aku tidak pernah tahu bahwa dia punya
simpanan uang yang cukup banyak.”
“Tidak usah dipikirkan, toh kamu sudah diberinya rumah
yang bisa kita pakai untuk modal usaha. Ya kan?”
“Itu karena terpaksa. Kalau dia tidak memberikan, aku
juga pasti akan memintanya. Masa cerai begitu saja dan aku tidak mendapatkan
apa-apa.”
“Sekarang ayo kita jalan-jalan Mas, aku belum puas
berputar-putar dengan mobil baru kita, lanjut Yanti.
“Iya sih, tidak apa-apa, memang BPKB nya juga baru
selesai. Nih, baru tadi aku ambil.”
“Kok jaraknya lama sih, BPKB baru selesai,” gerutu Yanti.
“Memang tidak bisa sekaligus jadi. Yuh lihat, masih
baru.”
Yanti mendekati Samad, meminta buku kecil berwarna
hitam itu dari tangan Samad, dan membacanya.
“Mas, kok nama pemiliknya Samadi sih, bukannya Aryanti?
Kan itu dibeli dengan uang aku?”
“Ya ampun Yanti, kamu nih lama-lama mirip Minar ya? Biarpun
dibeli dengan uang kamu, tapi aku ini kan suami kamu? Suami istri itu tidak ada
bedanya dalam memiliki sesuatu. Lagi pula, punya mobil itu banyak urusannya.
Yang perpanjangan pajak kendaraan … yang ini … yang itu, kalau ini atas nama
kamu, maka kamu yang harus mengurusnya sendiri. Apa tidak pusing, coba?”
“Iya sih, pasti pusing. Nggak mau aku banyak urusan.”
“Nah, itu sudah aku perhitungkan, aku pakai atas nama
aku saja, supaya kamu tidak repot dalam mengurusi semuanya. Dan perusahaan itu
juga atas nama aku, supaya kamu tinggal enak-enak menikmati uangnya.”
“Iya Mas, kamu betul. Terima kasih ya Mas, kamu begitu
memperhatikan aku,” kata Yanti begitu polosnya.
“Katanya mau jalan-jalan, jadi nggak?”
“Ingin sih Mas, tapi tiba-tiba aku ingin istirahat
saja dulu. Kan Mas baru saja pulang, kasihan kalau aku ajak pergi lagi.”
“Aku mau saja, karena aku tidak ingin membuat kamu
kecewa.”
“Nggak ah Mas, ayo istirahat saja dulu, Biar aku
pijitin. Nanti malam saja kita jalan-jalannya.”
“Waduh, senangnya, istriku memang istimewa.”
“Iya dong, Mas sudah begitu baik sama aku, tentu aku
juga harus memperhatikan Mas.”
Samadi tersenyum senang, ia menurut saja ketika Yanti
menariknya ke dalam kamar. Senang dong,
kan mau dipijitin?
***
Karena mengurusi dua perusahaan, Minar jadi semakin
sibuk. Dia tidak bisa datang ke warung pagi-pagi, dan untunglah Ari sudah bisa
mengurusinya dengan baik.
Siang itu Minar datang ke warung. Senang melihat
warungnya sudah semakin maju.
“Kok kamu sudah sampai di sini Min, sudah selesai
urusan kamu di kantor?”
“Sudah beres, aku kan punya asisten, yang tadinya
bawahan Samadi, dan sekarang banyak membantu aku.”
“Tapi kamu harus hati-hati Min, mempercayai seseorang
itu tidak mudah,” kata Ari.
“Iya, aku tahu, tapi dia benar-benar bisa diandalkan
kok. Dulu dia juga kepercayaan almarhum ayahku.”
“Syukurlah.”
“Kamu tidak capek mengurus warung sendirian?”
“Ya enggak lah, aku kan hanya duduk dan menerima
laporan. Belanja juga sudah jarang, karena semua bisa dipesan dan dikirim.”
“Syukurlah, kita harus bersyukur karena usaha yang
tadinya membuat aku pesimis ini akhirnya bisa berjalan.”
“Benar Minar.”
“Ayo sekarang jalan-jalan saja.”
“Kemana?”
“Kemana saja lah, belanja keperluan kita. Aku ingin
melihat-lihat, barangkali ada baju bagus untuk kita.”
“Aku tidak akan belanja, menemani kamu saja aku mau.”
“Aku yang akan membelikan kamu, jangan khawatir.”
“Benarkah? Kamu harus tahu, aku ini kan harus
membiayai dua orang anakku yang sedang kuliah, beayanya lumayan, dan aku
bekerja bersama kamu ini juga untuk menambah penghasilan. Jadi aku harus
berhemat.”
“Iya Ari, aku mengerti kok. Ayo sekarang jalan-jalan.
Jangan khawatir, aku akan mentraktir kamu.”
“Baiklah kalau begitu.”
***
Sekar sudah mulai bekerja. Ingatan akan Seno perlahan
diendapkannya. Ia tak ingin larut dalam rasa, yang saat disadari, rasa itu
hanyalah rasa kasihan.
Sekar sedang bersiap untuk beristirahat, karena memang
saatnya istirahat siang, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Sekar berdebar,
dari Barno.
“Hallo, Barno.”
“Non, senang sekali Non masih mengingat saya.”
“Ingat dong, kan nomormu ada nama kamu, dan ada photo
profil kamu.”
“Iya sih. Non sedang apa nih, maaf mengganggu.”
“Aku sedang bekerja, tapi ini mau istirahat, karena
memang waktunya istirahat. Apa kabarmu Barno?”
“Saya baik-baik saja Non. Bagaimana dengan Non?”
“Aku juga baik.”
“Non sudah bekerja di perusahaan yang baru kan? Simbok
menceritakan semuanya tentang Non.”
“Iya Barno, ini memang harus aku lakukan.”
“Semoga Non merasa lebih nyaman di sini.”
“Doakan aku ya.”
“Tentu Non, saya selalu berdoa untuk kebahagiaan Non.
Bapak sehat kan?”
“Sehat, Barno.”
Pembicaraan di telpon itu berlanjut beberapa saat
lamanya, saling menanyakan keadaan, menanyakan pekerjaan, tapi sayangnya belum
ada yang menanyakan isi hati.
Tanpa disadari oleh Sekar, saat itu ada seseorang yang
memperhatikannya dari jauh.
***
Besok lagi ya.