Tuesday, July 26, 2022

KEMBANG CANTIKKU 31

 

KEMBANG CANTIKKU  31

(Tien Kumalasari)

 

Wahyudi tercekat, tak mengira ada orang bisa memasuki rumahnya.

“Siapa kamu?” hardiknya.

Bukannya menjawab, manusia bertopeng itu malah menyerangnya, bahkan dengan sebilah belati yang terhunus sejak awal Wahyudi melihatnya.

Tapi kali ini Wahyudi sudah menduga bahwa dihadapannya adalah orang yang bermaksud jahat. Ia juga bukan orang lemah. Dengan sigap ia menghindar, membuat penyerangnya jatuh tersungkur, lalu belati yang digenggamnya terlempar.

Wahyudi mempergunakan kesempatan itu untuk memukul punggung penjahat itu dengan sekuat tenaga. Terdengar teriakan mengaduh.

“Aauuuwwwhh!”

Tapi penjahat itu juga bukan orang lemah. Tangannya berhasil meraih kaki sebuah kusi di depan kamar itu, kemudian melemparkannya ke arah Wahyudi.

Gubraaaggg! Praaaang ! Kursi itu mengenai meja kaca yang ada di tengah ruangan.

Wahyudi terjengkang, dengan luka di pelipisnya.  Keduanya berhasil bangkit, tapi sang penjahat sudah berkurang gerakannya karena pukulan di punggungnya membuat ia kesakitan. Bisa jadi ada tulang yang patah.

Wahyudi menghantam wajah penjahat itu, sambil menarik topeng yang menutupi wajahnya. Penjahat itu melengos untuk menyembunyikan wajahnya, lalu berusaha kabur.

Wahyudi melihat sekilas wajah itu. Apakah dia mengenalnya? Rasanya wajah yang tidak asing. Seorang laki-laki tegap, entah siapa, Wahyudi sedang mencoba mengingatnya, sementara laki-laki itu berhasil melompat keluar dari rumah. Tapi saat itu ada tiga orang peronda malam yang kebetulan sedang melintas, dan mencurigai laki-laki yang berlari dari halaman rumah Wahyudi.

“Berhenti !!”

Laki-laki itu tak berkutik, karena di hadapannya ada tiga orang laki-laki menghadang.

“Siapa kamu? Habis mencuri ya?”

“Ti … tidak … saya …saya_”

“Ringkus dia, dan bawa ke kantor polisi,” perintah salah seorang peronda.

Si laki-laki tersebut berusaha melawan, tapi sekali lagi tubuhnya terkena tendangan, membuatnya tersungkur sambil mengaduh kesakitan.

Keributan di malam buta itu membuat beberapa orang kampung terbangun, kemudian keluar rumah dan berramai-ramai menggiring penjahat yang sudah diringkus ke kantor polisi.

Salah seorang peronda memasuki rumah Wahyudi, diikuti oleh beberapa orang.

Dilihatnya perabot rumah berhamburan, dan Wahyudi terduduk di lantai sambil mengobati keningnya yang berdarah.

“Ini kan Pak Wahyudi?”

“Iya, Pak Wahyudi yang menghilang beberapa bulan yang lalu.”

“Kapan kembalinya?”

Celoteh beberapa orang yang datang. Salah satunya membantu Wahyudi mengobati lukanya.

“Apa yang terjadi?”

“Saya tidak tahu, tiba-tiba ada orang masuk dengan wajah tertutup topeng, sudah membawa belati, untung belati itu tidak sempat melukai saya karena terlempar sebelum mengenai wajah saya.”

“Pencuri pastinya,” celetuk seseorang.

“Mana belatinya? Itu bisa menjadi barang bukti,” kata salah seorang lagi.

Mereka menemukan belati yang terlempar, lalu diambilnya dengan selembar serbet yang kebetulan ada di sana. Dan sebuah topeng kain yang terlempar ketika Wahyudi menariknya.

“Mas Yudiii …. Ada apa?” sebuah teriakan nyaring terdengar. Rupanya ketika mendengar ribut-ribut di luar rumah, bu Mantri dan Wuri terbangun. Tadinya bu Mantri melarang Wuri keluar, tapi mendengar suara orang-orang dari luar yang mengatakan bahwa ada pencuri memasuki rumah Wahyudi, maka Wuri segera berlari keluar, menuju ke arah rumah Wahyudi. Ia terkejut melihat pecahan kaca yang sedang dibersihkan oleh para tetangga, dan Wahyudi yang sedang diobati pelipisnya.

“Ada apa Mas? Ketika kamu pergi tak pernah ada pencuri memasuki rumah ini, mengapa setelah kamu pulang malah ada pencuri?”

“Entahlah, mungkin mau mencuri tapi ketahuan oleh aku, atau entah mau apa dia, begitu masuk sudah menghunus belati. Mungkin ingin membunuh aku,” kata Wahyudi yang sudah duduk dengan perasaan lebih tenang karena beberapa tetangga membantunya.

“Mengapa dia mau membunuh Mas?” kata Wuri cemas.

“Aku tidak tahu. Lihat, ia merusak pintu rumah sehingga dia bisa masuk.”

“Apa sebaiknya kami bawa Mas ke rumah sakit?” tanya salah seorang tetangga.

“Tidak, terima kasih. Saya tidak apa-apa. Kebetulan ada obat luka di rumah, dan ini sudah diobati,” kata Wahyudi.

“Ya sudah, aku mau menyusul ke kantor polisi sambil membawa belati ini. Semuanya tenang, dan mohon kembali ke rumah masing-masing, keadaan sudah aman,” perintah peronda yang rupanya memang adalah pimpinan peronda di kampung itu.

***

Pagi hari itu saat Budiono datang bermaksud mengantarkan Wahyudi ke kantornya, ia terkejut melihat pelipis Wahyudi tertutup plester, dan melihat meja berantakan tanpa kaca.

“Ada apa lagi?”

“Semalam ada pencuri masuk kemari,” kata Wuri yang pagi-pagi sekali sudah membawakan teh hangat dan sarapan untuk Wahyudi.

“Pencuri?”

“Entahlah, ada orang masuk dengan merusak kunci rumah. Tapi tidak apa-apa, semua sudah teratasi. Polisi akan datang pagi ini,” jawab Wahyudi.

“Sempat mengambil sesuatu?” tanya Budi.

“Tidak, begitu dia masuk, saya keluar dari kamar lalu dia tiba-tiba menyerang saya dengan belati.”

“Kalau begitu dia bukan pencuri.”

“Aku juga mengira begitu. Ada orang berniat mencelakai mas Yudi,” sambung Wuri.

“Kenapa ya?”

“Entahlah, aku tidak tahu juga.”

“Apakah kita akan mengantarkan mas Yudi ke kantornya hari ini?”

“Mungkin nanti, setelah polisi memeriksa tempat ini. Kalau mas Budi mau ke kantor dulu, silakan saja,” kata Wuri.

“Nggak apa-apa, aku akan ke kantor setelah mengantarkan mas Yudi nanti. Biar semuanya segera selesai. Siapa tahu nanti di sana ada yang akan diingat mas Yudi,” kata Budi.

“Terima kasih Mas Budi,” kata Wahyudi.

Tapi diam-diam Wahyudi sedang mengingat-ingat, sekilas wajah yang dilihatnya semalam, ia seperti mengenalnya.

“Siapa ya?” gumamnya pelan.

“Ada apa Mas?” tanya Budi.

“Orang asing yang memasuki rumah ini, aku melihat sekilas wajahnya, seperti pernah kenal sama dia.”

“Benarkah? Jangan-jangan tetangga sini yang memang berniat mencuri.”

“Entahlah, aku sedang berusaha mengingatnya.”

***

“Apa? Ada percobaan pembunuhan atas mas Wahyudi?” pekik Sapto ketika Budi menelponnya.

“Iya. Nggak tahu bagaimana, tapi begitu masuk dia sudah menghunus belati. Aku pikir dia bukan hanya sekedar mencuri, tapi ingin mencelakai.”

“Waduh, ada apa dengan mas Yudi, sampai ada orang ingin membunuh?”

“Saat ini polisi sedang memeriksa di rumah mas Yudi.”

“Apakah dia luka parah?”

“Pelipisnya terkena lemparan kursi. Ia sempat menghindar tapi satu kaki kursi menghantam pelipisnya, hanya saja tidak begitu parah. Sudah diobati dengan obat luka yang ada di rumah.”

“Mengapa tidak dibawa ke dokter?

“Dia tidak mau, katanya tidak apa-apa.”

“Kamu masih di situ? Belum jadi mengantar ke kantornya mas Yudi?”

“Belum, nanti kalau polisi sudah selesai, baru aku mau mengantarnya. Aku bermaksud secepatnya mengajak mas Yudi ke tempat-tempat di mana dia akan bisa mengingat semuanya. Mungkin nanti di kantor, ada yang bisa diingatnya. Besok aku akan mengajaknya jalan-jalan bersama Wuri. Mungkin ada tempat yang pernah membuatnya terkesan.”

“Bagus Bud, nanti ajak juga dia ke mari, ada taman tempat dia sama Qila dulu sering berjalan-jalan.”

“Baik Mas, akan segera aku lakukan.”

“Setelah itu kamu boleh merencanakan pernikahan kamu, bukankah Wuri sudah merasa lega karena mas Yudi sudah kembali?”

“Iya Mas, aku juga sudah lama menunggu,” kata Budi sambil tersenyum senang.”

“Hari ini aku akan kembali ke Jakarta karena sedang ada proyek yang harus aku tangani. Ajak saja mas Yudi ke rumah kapan dia mau.”

“Baiklah Mas, ini sepertinya pemeriksaan sudah selesai, aku mau mengajaknya ke kantornya.”

“Apa dia ingat di mana kantor dia?”

“Tampaknya tidak. Aku yang akan membawanya ke sana, nanti bersama Wuri juga.”

“Baiklah. Semoga berhasil.”

“Terima kasih Mas.”

***

 

“Bagaimana keadaannya?” tanya Retno yang mendengarkan saat suaminya ditelpon Budi.

“Tidak apa-apa, hanya luka di pelipis terkena kaki kursi, ketika penjahat melemparnya dengan kursi.”

“Ya Tuhan, sebenarnya ada apa?”

“Entahlah, polisi sudah menanganinya.”

“Belum juga dia sembuh total, sudah terluka lagi.”

“Semoga keadaannya segera membaik, dan permasalahan juga segera terselesaikan.”

“Mas jadi kembali ke Jakarta siang ini?”

“Iya, kemarin aku kan hanya meninggalkannya sebentar, demi melihat keadaan mas Yudi. Pekerjaanku belum selesai. Tapi dua hari lagi aku pasti pulang.”

“Kalau begitu aku ke dokternya menunggu Mas pulang saja ya?”

“Tidak apa-apa, asalkan tidak ada masalah dengan kandungan kamu.”

“Aku tidak apa-apa, setelah setiap minggu kontrol dan ternyata bayinya sehat dan aku juga baik-baik saja.”

“Syukurlah. Tapi kamu harus berhati-hati. Oh ya, aku berharap nanti mas Yudi juga diajak datang kemari, mungkin dia perlu melihat taman di mana dulu dia suka bermain bersama Qila. Bukankah dia sangat dekat dengan Qila?”

“Iya Mas, setelah menyelamatkan Qila, mas Yudi begitu memperhatikan Qila, dan Qila juga kelihatan sayang sama mas Yudi.”

“Iya, benar. Sekarang aku harus bersiap. Sebentar lagi sopir kantor akan menjemput kemari untuk mengantarkan aku ke bandara.

***

Pagi hari itu pak Kartiko sedang berlatih berjalan, ditemani Nano. Barangkali karena sangat bersemangat, nyatanya pak Kartiko sudah bisa melangkah perlahan dengan kruk yang disiapkan istrinya beberapa bulan lalu, dan pak Kartiko enggan memakainya.

“Sebenarnya aku bisa ya No?”

“Iya Pak, saya senang, karena Bapak tampak sangat bersemangat.”

“Aku menyesal tidak melakukannya sejak dulu, sehingga aku merepotkan semua orang. Aku sebenarnya memang sedikit pemalas,” gerutu pak Kartiko sambil mencoba duduk kembali di kursi roda setelah berputar-putar di taman dengan tongkatnya.

“Bukan begitu, barangkali untuk sembuh, memang harus ada proses. Mungkin Bapak menjadi bersemangat, ketika merasa tidak ingin menyusahkan orang lain.”

“Itu benar, terlebih setelah aku harus kehilangan Wahyudi. Tadinya aku selalu bertumpu sama dia.”

“Iya Pak, semoga Wahyudi akan segera pulih.”

“Kamu sudah mengantarkan Wahyudi sampai rumahnya. Bagaimana keadaan rumahnya?”

“Rumahnya kecil, tapi bagus dan asri. Ada tetangganya yang bernama Wuri, yang selalu merawat rumah itu.”

“Aku pernah mendengar nama itu. Apakah itu calon istrinya?”

“Sepertinya bukan. Wahyudi mengatakan bahwa mereka bersahabat sampai merasa seperti kakak adik saja.”

“Bagaimana dengan pekerjaannya? Kalau dia punya jabatan, aku jadi merasa tidak enak telah memperlakukannya seperti pembantu.”

“Dia manager sebuah perusahaan, yang pusatnya ada di Jakarta. Tapi saya yakin Wahyudi tak akan mempermasalahkan saat dia berada di sini, karena keluarga ini tidak menganggapnya sebagai pembantu.”

“Kalau ketemu aku harus meminta maaf.”

“Wahyudi itu baik, saya yakin dia tak akan merasa di rendahkan di rumah ini.”

“Iya aku tahu.”

“Kita kembali ke rumah ya Pak?”

“Iya, ayo ke rumah, tadi ibu sepertinya mau mengajak kamu belanja.”

“Iya, baiklah Pak.”

Tapi begitu sampai di ruang tengah, tiba-tiba dilihatnya Qila masuk lalu menubruknya sambil menangis.

“Bapaaak, tolong Qila …”

“Ada apa ini? Nano, tolong panggil ibu, ada apa dia ini?”

Nano mengangguk, tapi baru saja beranjak, bu Kartiko sudah keluar dari kamar. Ia menetap gusar ketika melihat Qila menangis di pangkuan suaminya.

“Ada apa ini?”

“Tolong Qila Bu, tolong Qila …” tangisnya tanpa mengangkat kepalanya dari pangkuan pak Kartiko.

“Jangan begini, berdirilah. Apa kalau kamu sudah menangis di pangkuanku lalu aku pasti akan sanggup menolong kamu?”

“Menolong bagaimana maksudnya?” tanya bu Kartiko.

Qila jatuh terduduk karena pak Kartiko mendorongnya.

“Katakan pada mas Wisnu, agar jangan menceraikan Qila,” isaknya sambil menatap ibu mertuanya dengan pandangan memelas, wajahnya basah oleh air mata.

“Bagaimana kami bisa menghalangi keinginan Wisnu? Dia bukan anak kecil lagi. Dia bisa memilih mana yang terbaik bagi dirinya.”

“Dia melakukan itu, karena kesalahan kamu sendiri,” kata pak Kartiko.

“Qila menyesal Pak, tolonglah.”

“Maaf Qila, kami tidak bisa menolong kamu.”

“Karmila …! Tiba-tiba Qila berteriak ketika melihat Mila digendong Tinah.

Mila menoleh, tapi kemudian meronta ketika Tinah mengajaknya mendekat.

“Nggak mauuu … nggak mauuuu… nggak mau ibuuu…” katanya sambil meronta.

“Mila, ibu kangen Mila …”

“Nggak mauuuu…”

Dan mau tak mau Tinah membawanya ke belakang.

“Kamu lihat, anakmu sendiri tidak mau sama kamu. Apa yang bisa kami lakukan?”

Qila merasa putus asa.

“Qila akan ke kantor mas Wisnu saja,” katanya sambil berdiri, lalu beranjak pergi.

“Bu, kabari Wisnu bahwa Qila mau ke sana,” kata pak Kartiko.

***

Siang hari itu Budi mengantarkan Wahyudi ke kantornya. Ia melangkah pelan memasuki kantor, dan beberapa karyawan mendekat memberinya salam. Wahyudi tersenyum ramah menyambut mereka.

“Senang melihat pak Wahyudi kembali,” kata mereka sambil menyalami satu persatu.

Lalu salah seorang staf bernama pak Barjo, membawanya memasuki ruangan kerjanya.

“Pak Yudi, ini adalah ruangan pak Yudi,” katanya. Mereka sudah tahu bahwa Wahyudi hilang ingatan, karena sejak ditemukan, Wuri sudah mengabari ke kantornya, bahwa Wahyudi sudah ditemukan dengan keadaan seperti itu.

Wahyudi menatap sekeliling ruangan, di meja kerjanya, ada foto Qila kecil dalam gendongannya. Rupanya Wahyudi memang sangat menyayangi Qila.

Wahyudi mengangkat foto itu dan menatapnya lama.

Lalu pak Barjo mengajaknya mengelilingi area kantor, memasuki setiap ruang. Tapi ketika sampai di pos satpam, Wahyudi seperti mengingat sesuatu.

“Hari ini pak Harso tidak masuk karena sakit,” kata pak Barjo.

Harso adalah nama satpam di perusahaan tempat dia bekerja.

“Dia … benar, aku ingat, dia orangnya,” serunya yang membuat heran orang-orang yang ada di dekatnya.

***

Besok lagi ya.

Monday, July 25, 2022

KEMBANG CANTIKKU 30

 

KEMBANG CANTIKKU  30

(Tien Kumalasari)

 

Mata Purnomo menyala, lebih-lebih ketika melihat Heru tidak beranjak dari duduknya. Ia mendekat lalu mencengkeram baju leher anaknya.

“Apa maksudmu Heru?” hardiknya.

Qila berdiri.

“Mas, kamu apa-apaan sih?” katanya sambil menatap marah pada Purnomo.

“Apa maksud kamu menerima Heru di dalam kamar ini? Dan kamu, bukannya kamu tadi pamit mau ke kampus? Mengapa tiba-tiba ada di sini?”

“Bapak, tolong lepaskan.”

“Kamu tidak akan bisa menemukan alasan lain, selain menusuk ayahmu dari belakang. Apa-apaan kamu?”

“Lepaskan dulu, mari bicara sebagai sesama laki-laki,” kata Heru sambil berusaha melepaskan cengkeraman ayahnya.

“Kamu menantang bapak untuk berkelahi?” kata Purnomo sambil melepaskan cengkeramannya.

“Siapa yang mengajak Bapak berkelahi? Heru bilang, bicara sebagai laki-laki.”

“Omong kosong kamu. Kamu sudah berkhianat kepada ayahmu.”

“Tidak, Heru hanya ingin menurutkan kata hati.”

Purnomo menahan amarahnya. Heru sama sekali tidak menentang atau membantah tuduhannya. Ia tampak begitu santai dan tak tampak ada ketakutan di wajahnya.

“Apa maksudmu? Kamu menyukai wanita ini ?”

“Apakah Bapak sangat menyukai dia?” tanya Heru sambil menunjuk ke arah Qila yang diam sambil menyandarkan tubuhnya di almari yang ada di ruangan itu.

“Kamu sudah tahu bahwa aku menyukainya. Aku mencintainya.”

“Apakah Bapak yakin pada pilihan Bapak? Benarkah wanita ini pantas Bapak cintai sehingga Bapak melakukan banyak kebohongan? Sehingga bapak lupa pada istri Bapak yang begitu setia dan mencintai Bapak? Bahkan dia tidak sadar bahwa Bapak sudah mengkhianatinya?”

“Diam !! Kamu anak kecil tahu apa? Bapak tidak berkhianat pada ibu kamu. Dia akan tetap menjadi istri Bapak.”

“Dan wanita ini?”

“Dia juga akan menjadi istri bapak, pulanglah sebelum bapak menghajarmu,” ancam Purnomo.

“Sayang sekali, hati Bapak telah buta oleh cinta yang juga buta. Bukankah setiap orang selalu memilih yang terbaik dalam hidupnya?”

“Apa maksudmu?”

“Dengar apa yang dia katakan setelah Heru bertanya. Qila, diantara kami berdua, siapa yang akan kamu pilih? Kamu menyukai ayahku, atau aku yang masih lebih muda dan tentu saja lebih tampan?” tanya Heru sambil menatap Qila dengan senyum paling memikat yang dimilikinya.

Qila terhenyak. Dia melangkah perlahan  mendekati Heru, kedua tangannya diangkat, siap memeluk Heru, tapi Heru menghentikannya.

“Stop di situ, jangan melangkah lagi satu langkahpun,” perintah Heru.

Qila berhenti melangkah lalu menurunkan tangannya.

“Aku bertanya, jawab dengan mulut kamu, bukan dengan gerakan yang aneh-aneh.”

“Tentu saja aku memilih kamu Heru, kamu lebih muda dan tentu saja lebih kuat. Kamu lebih ganteng dan lebih mempesona,” katanya sambil tersenyum memikat.

Purnomo mengepalkan tangannya.

“Bapak jangan marah dulu. Sebagai laki-laki, Heru akan bilang bahwa ada perbedaan diantara kita. Bapak menyukai wanita ini dengan segala kelakuan buruknya, tapi tidak dengan Heru.”

Purnomo menatap Heru dengan mata sebulat-bulatnya.

“Wanita seperti inikah yang Bapak sukai? Yang setiap saat akan berkhianat saat dia melihat yang labih menarik?”

Purnomo menghempaskan kedua tangannya, dan tiba-tiba merasa lelah.

“Heru, bukankah kamu senang kalau aku lebih memilih kamu?” kata Qila sambil mendekati Heru, tapi lagi-lagi Heru menyuruhnya berhenti.

“Berhenti di situ, jangan pernah menyentuh aku,” katanya tandas.

“Heru, apa maksudmu? Bukankah kamu menyukai aku?”

“Apa aku pernah mengatakan itu? Apa aku pernah bersikap seolah-olah aku tertarik sama kamu? Bagiku, kamu wanita menjijikkan,” kata Heru yang kemudian beranjak keluar dari kamar. Tapi sambil membuka pegangan pintu, ia menoleh ke arah ayahnya.

“Sekarang semuanya ada di tangan Bapak. Heru hanya mengingatkan, bahwa di rumah ada seorang istri yang tak kalah cantik dari  perempuan itu, yang dengan setia menunggu Bapak.”

Lalu Heru menutupkan pintunya pelan.

“Apa maksud semua ini?” tanya Qila bingung.

Purnomo tiba-tiba menyadari apa yang terjadi. Menyadari bahwa nafsu adalah nafsu dan bukannya cinta. Kalau anaknya saja merasa jijik melihat wanita di depannya, mengapa dia tergila-gila? Purnomo pun merasa jijik, apalagi melihat kelakuan Qila yang kemudian berpaling memilih Heru daripada dirinya.

“Mas Purnomo, Heru hanya menggoda aku. Mas jangan marah ya?” tanpa malu Qila mendekati Purnomo, kedua tangannya terkembang, tapi Purnomo segera mendorongnya keras, sehingga Qila jatuh terjengkang.

“Maaas, kamu membuatku jatuh,” rintihnya.

Purnomo menatapnya dengan senyuman sinis.

“Bangun dan kemasi barang-barangmu.”

“Maas.”

“Pergi dari rumah ini sekarang juga.”

“Mas Purnomo, kamu tega?”

“Segera!! Sebentar lagi akan ada orangku yang akan membersihkan rumah ini, aku harap kamu sudah tak ada lagi di sini,” kata Purnomo tandas, sambil melangkah menuju pintu.

“Maaas, jangan begitu,” katanya sambil merangkul kedua kaki Purnomo, tapi Purnomo mengibaskannya, sehingga kembali Qila terjangkang.

“Mas Purnomooo, maafkan aku Mas.”

“Aku beri kamu waktu satu jam. Orang-orangku dari kota akan segera datang kemari,” kata Purnomo sambil membanting pintu.

***

Purnomo masuk ke ruang inapnya kembali, dan melihat istrinya duduk menunggu di sofa dengan wajah cemas.

“Maas, kemana saja?”

Tiba-tiba Purnomo mendekati istrinya dan memeluknya erat.

“Maafkan aku,” bisiknya.

“Mengapa minta maaf?”

“Aku selalu membuat kamu kecewa, bahkan ibu mertuaku tak sempat melihat aku di akhir hayatnya.”

“Sudahlah Mas, aku bisa mengerti. Lain kali kamu tidak boleh terlalu mementingkan bisnis kamu. Bukankah keluarga lebih utama daripada mengejar harta yang tak akan ada puasnya?”

Purnomo semakin erat memeluk istrinya.

“Kamu benar, Tatik, tiba-tiba aku merasa lelah. Setelah ini aku akan menyerahkan semua bisnis itu pada Heru.”

“Benarkah?”

“Ya, dia harus mulai belajar, sebelum aku sepenuhnya mendampingi kamu di rumah.”

Hartati tersenyum bahagia.

“Senang mendengarnya Mas."

Purnomo kemudian duduk di samping istrinya di sofa itu.

“Kamu ini kan sakit, kok bisa-bisanya kabur dari rumah sakit?”

“Iya, maaf, ada urusan penting sebentar,” katanya sambil memeluk bahu istrinya.

“Urusan bisnis lagi?”

“Iya, sayang,” jawab Purnomo, tapi dalam hati dia berbisik “ini adalah kebohonganku yang terakhir, Hartati.”

“Aku membawa makanan kesukaan Mas, makanlah sambil menunggu dokter datang. Kata perawat sebentar lagi dokter datang, aku tadi sudah khawatir karena Mas tiba-tiba kabur.”

“Semoga hari ini aku boleh pulang. Aku merasa sehat.”

***

Sore itu Sapto benar-benar datang, dan berbincang dengan Wahyudi. Agak tersendat karena sebentar-sebentar Wahyudi harus mengingat-ingat, dan belum sepenuhnya sadar. Tapi ia tersenyum senang ketika Sapto memperlihatkan foto-foto ketika masih bersama mereka. Ada foto ketika dia menggendong Qila saat masih bayi, ada foto saat dia sedang berlarian di taman bersama Qila.

“Kamu lupa semua ini Mas?” tanya Sapto.

Tiba-tiba Wahyudi memegang foto ketika dia menggendong Qila. Matanya menyipit ketika dia mengingat sesuatu. Ia membalikkan foto itu tanpa sengaja, dan melihat tulisannya sendiri, KEMBANG CANTIKKU. Tulisan yang dibuatnya, sebagai ungkapan perasaannya kepada Retno, tapi yang kemudian ditumpahkannya melalui Qila kecil, yang disayanginya sejak dia masih bayi.

“Ini selalu ada di dalam mimpi aku. Ia tadinya dibawa oleh seorang wanita dengan rambut riap-riapan.”

“Ada sebuah cerita ketika kemudian Mas Yudi saya anggap sebagai pahlawan dalam hidup aku, yaitu ketika Mas membawa Qila pulang, setelah dia diculik oleh seorang wanita jahat.”

“Diculik? Ah, pasti wanita rambut riap-riapan itu,” kata Wahyudi.

“Penculiknya adalah seorang ibu, atas suruhan seorang wanita bernama Kori. Dia itu bekas istri aku, yang punya niat jahat pada Retno. Mas ingat Retno kan?”

Wahyudi mengangguk. Tentu saja dia mengingatnya, dia adalah kembang cantik yang direlakannya untuk Sapto, demi Qila, darah daging Sapto yang terlahir dari rahim Retno Harsanti. Ia memejamkan matanya. Terbayang olehnya, di sebuah rumah sakit, bayi Qila sakit parah karena baru lahir beberapa hari, kemudian dibawa lari oleh seorang wanita, yang kemudian membawanya ke rumah sakit karena bayi itu parah. Dia melihatnya, lalu membawanya ke rumah sakit, di mana bayi itu dirawat sebelumnya.

“Ya Tuhan, kembang cantik itu akhirnya selamat bukan? Qila, aku ingat Qila saat di culik. Wajahnya pucat, menangispun seperti tak mampu. Mana dia? Kembang cantikku Qila,” kata Wahyudi dengan mata berkaca-kaca.

Sapto menghela napas lega. Wahyudi mengingat lebih banyak.

“Qila ada di rumah bersama ibunya, besok dia pasti aku ajak kemari. Apa mas Yudi ingat, sedang apa mas Yudi saat itu sehingga bisa melihat Qila yang sudah sakit parah?”

“Aku … mengapa aku ada di sana?”

“Mas Yudi ingat Wuri?”

Mata Wahyudi terbelalak.

“Wuri? Gadis kemayu itu, dan lucu … “

Wahyudi memejamkan matanya lagi.

“Saat itu dia dirawat ? Karena kecelakaan bukan? Kakinya patah?”

Mata Wahyudi berbinar, lalu ia terkejut, ketika tiba-tiba seseorang datang dan menubruknya.

“Mas Yudi …. Mas Yudi, kamu masih hidup Mas?”  tangisnya keras, memenuhi ruang rawat itu.

Itu adalah Wuri yang diantar Budiono.

Wahyudi menatapnya lekat.

“Kamu itu sudah tua mas, jangan neka-neka,” katanya masih dengan menangis.

Wahyudi terhenyak. Ia ingat gadis yang selalu mengatakan dirinya sudah tua.

“Wuri?”

“Bagus Mas, kamu mengingat aku,” soraknya dalam tangis.

“Kakimu masih ada?” tanya Wahyudi yang tiba-tiba menatap ke arah kaki Wuri.

“Apa maksudmu?”

“Itu kaki beneran atau kaki palsu?”

Pertanyaan Wahyudi yang bersungguh-sungguh itu justru membuat Sapto dan Budi tertawa, tapi Wuri justru cemberut, sambil memukul tangan Wahyudi.

“Ini kaki beneran Mas, aduh, apa mata tua kamu sudah rabun?”

“Aku ingat waktu itu kamu kecelakaan, kakimu nyaris dioperasi.”

Wuri merasa senang. Wahyudi mengingatnya, juga peristiwa kecelakaan itu, yang justru menjadi jalan pertemuannya dengan bayi Qila.

Sore itu, saat Nano pulang, ada peristiwa membahagiakan di ruang rawat Wahyudi. Banyak yang diingatnya, walau belum sepenuhnya.

“Kamu tahu Mas, gara-gara kamu menghilang, Wuri menunda pernikahannya,” kata Budi yang sejak tadi diam.

Wahyudi menatap Wuri.

“Kamu mau menikah?” tanya Wahyudi.

“Iya lah, masa aku harus menjadi perawan tua, ikutan mas Yudi yang menjadi perjaka tua?” kata Wuri kemayu.

“Aduh … kenapa kamu tidak pernah menghilangkan kata ‘tua’ itu di setiap perkataan kamu?” keluh Wahyudi yang di sambut tawa oleh yang lainnya.

“Itu memang benar kan?”

“Memangnya kamu mau menikah sama siapa? Ada ya laki-laki yang mau sama gadis centil dan galak seperti kamu?”

“Mas Yudiiii!” kata Wuri sambil kembali memukul Wahyudi.

“Dia mau menikah sama aku, Mas. Mas Yudi lupa ya?”

“Oh, ya ampuun. Ini apa adiknya mas Sapto?”

“Iya Mas, aku Budiono.”

Malam itu Wahyudi tidur sangat nyenyak. Ada bahagia dihatinya karena akhirnya bertemu dengan orang-orang terdekatnya. Ia belum bisa mengingat semuanya, terutama mengapa dia bisa tiba-tiba hilang ingatan.

***

Hari terus berjalan, Wisnu baru bisa mengunjungi orang tuanya karena kesibukannya. Ia agak terkejut ketika ayahnya menegur gara-gara dia memukul Wahyudi beberapa minggu yang lalu.

“Mengapa kamu tidak cerita sama Bapak tentang kejadian itu?” tegur Pak Kartiko.

“Maaf Pak, sesungguhnya kami sudah sepakat untuk merahasiakan soal salah paham itu, mengingat kesehatan Bapak. Tapi sebenarnya Wisnu juga ingin mengatakannya kepada bapak saat semuanya sudah baik-baik saja.”

“Iya, ibumu sudah mengatakan semuanya.”

“Tadi Wisnu mendapat tilpon dari Nano, bahwa Wahyudi sudah boleh pulang besok.”

“Syukurlah. Apa kamu sudah menyelesaikan semuanya? Maksud bapak tentang semua biayanya?”

“Sudah Pak, tadi Wisnu sudah mampir ke rumah sakit dan menyelesaikan semuanya.”

“Syukurlah.”

“Nano juga mengatakan bahwa Wahyudi sudah ketemu beberapa kerabatnya, dan sudah banyak yang diingatnya.”

“Iya, bapak dan ibumu juga senang. Peristiwa yang sesungguhnya menyakitkan itu ternyata ada hikmahnya, yaitu kembalinya ingatan Wahyudi, walau belum sepenuhnya. Tapi ada sedikit kecewa di hati bapak. Wahyudi akan pergi dari rumah ini. Pasti aku merasa kehilangan, juga Mila anakmu.”

“Wahyudi tidak akan melupakan kita. Dia orang baik. Kabarnya besok kerabatnya akan menjemputnya, dan akan mengantarkannya ke kantornya, karena dia belum ingat pernah bekerja di mana.”

“Sudah bapak duga, dia bukan orang sembarangan. Dia pintar dan tata kramanya sangat bagus. Biar besok Nano ikut mengantarkannya ke rumahnya, biar dia tahu, Wahyudi tinggal di mana.”

“Iya Pak, semoga semuanya segera menjadi baik.”

***

Hari itu Wahyudi pulang ke rumahnya, dengan diantar Nano. Rumah itu sudah dibenahi dan dibersihkan Wuri seperti yang sering dilakukannya. Wahyudi mencoba mengingat semuanya, karena masih merasa asing berada di rumahnya sendiri,

Dengan bantuan Wuri dia akhirnya bisa sedikit merasa bahwa pernah tinggal di rumah itu.

Malam itu Wahyudi terbaring dengan nyaman di kamarnya. Budiono berjanji akan mengantarkannya ke kantornya besok pagi, agar lebih banyak yang bisa diingatnya. Tapi tiba-tiba ia terbangun ketika ia mendengar sesuatu. Seperti pintu terbuka. Ia heran karena merasa telah mengunci pintu rumahnya. Ia keluar dari kamar, lalu tiba-tiba melihat seseorang dengan wajah tertutup topeng, sudah berada di depan pintu kamarnya.

***

Besok lagi ya. 

Saturday, July 23, 2022

KEMBANG CANTIKKU 29

 

KEMBANG CANTIKKU  29

(Tien Kumalasari)

 

“Qila?” desisnya pelan.

“Kamu bilang apa Nano?” tanya bu Kartiko.

“Mana ada Qila?” pak Kartiko juga menanyakannya.

“Gadis kecil itu bernama Qila. Siapa tahu dialah yang dimaksud Wahyudi. Maaf Pak, Bu, saya ingin bicara dengan wanita itu,” kata Nano yang kemudian menyerahkan pegangan kursi dorong kepada bu Kartiko, kemudian bergegas mendekati wanita yang sedang membujuk anaknya agar bersalaman dengan Mila.

“Ayo sayang, kenalan dulu dengan adik cantik ini,” kata wanita yang memang adalah Retno itu.

Qila kecil mengulurkan tangannya kepada Mila, lalu saling mencium tangan kecil mereka.

“Namamu siapa?” tanya Retno kepada Mila.

“Mila … “

“Oh, cantik sekali namanya. Kalau ini namanya Qila, Asyaqila,” katanya memperkenalkan nama anaknya.

“Maaf Bu, bolehkah saya bertanya sesuatu?”

“Ya dik, ada yang bisa saya bantu?”

“Apakah Ibu bernama Retno?”

“Iya, darimana anda tahu?”

“Dan anak ini bernama Qila?”

“Ya, Asyaqila. Ada apa ya?”

“Apakah mas Sapto ada?”

Retno menatap Nano heran, karena laki-laki itu mengenal suaminya.

“Dia sedang ada di Jakarta karena urusan mendadak, jadi tidak bisa mengantar saya periksa ke dokter kandungan.”

“O, dokter kandungan, ternyata Ibu mengandung.”

“Baru menginjak tiga bulan. Tapi tunggu mas, anda ini siapa, mengapa mengenal saya dan keluarga saya?”

“Nama saya Sumarno, dipanggil Nano. Saya mengenal nama-nama keluarga Ibu dari sahabat saya Wahyudi.”

Retno tercengang. Nama itu sudah beberapa waktu menghilang, dan banyak orang sedang mengharapkannya kembali. Ia menatap Nano dengan mata berbinar.

“Wahyudi? Anda mengenalnya? Tahu di mana dia berada?”

Nano mengangguk.

“Apa? Anda tahu dan mengapa tidak mengantarkan kepada kerabatnya?” tegur Retno khawatir.

“Wahyudi ditemukan di sebuah desa oleh seseorang, dalam keadaan lupa semuanya.”

“Lupa? Maksud anda, dia amnesia?”

“Benar, dia amnesia.”

“Dimana sekarang dia? Dimana dia?” kata Retno sambil menoleh ke sana kemari.

“Dia sedang di rawat disini.”

“Dirawat? Dia sakit apa?” tampak sekali Retno sangat gelisah.

“Mari ikut bersama kami. Itu, yang ada di kursi roda adalah pak Kartiko, dan yang mendorong itu bu Kartiko. Mereka keluarga baik yang menerima Wahyudi di rumahnya,” kata Nano memperkenalkan kedua majikannya. Retno mengulurkan tangan kepada orang-orang yang disebut Nano, tapi ia ingin segera melihat Wahyudi.

“Maaf, bolehkan saya menemui Wahyudi?”

“Iya nak, silakan. Kami juga sedang mau membezoeknya.”

Retno menatap ke arah anaknya yang sedang bermain bersama Mila.

“mBak, bolehkah saya nitip Qila sebentar?” katanya kepada Tinah yang menunggui mereka.

“Baik Bu, saya akan menjaganya,” kata Tinah sambil mengangguk.

***

Begitu memasuki ruangan, Retno langsung mendekat ke arah ranjang di mana Wahyudi terbaring.

“Mas Yudi …. “ isaknya.

Wahyudi menatap wanita cantik di sampingnya.

“Mas, apa yang terjadi sama kamu Mas? Kenapa seperti ini?”

Wahyudi terus menatap Retno.

“Mana Qila?” tiba-tiba Wahyudi teringat Qila.

“Qila ada diluar, akan aku panggil,” kata Retno yang beranjak keluar, tapi Nano menahannya.

“Biar saya saja Bu,” katanya sambil berlalu, kemudian ketika kembali dia sudah membawa dua gadis kecil itu.

“Om Udi …” teriak Qila.

“Ini pak Udi …” kata Mila membantah panggilan Qila.

“Ini om Udi …”

“Pak Udi !” Mila berteriak.

“Baiklah … baiklah … begini Qila, om Udi atau pak Udi … sama saja … tidak usah berebut. Kalian boleh memanggil om Udi, dan Pak Udi … tidak usah berebut ya,” bujuk Retno yang belum sepenuhnya tahu apa yang terjadi.

Kedua gadis kecil itu minta dinaikkan ke atas ranjang, lalu memegangi tangan Wahyudi.

“Pak Udi akiit? Inum obat … alo akiit …”

“Ya .. inum obat ..”

Wahyudi tersenyum senang. Ia baru mengingat Qila, Retno masih samar dalam bayangannya, walau pernah memimpikannya.

Sementara itu Retno segera menelpon suaminya.

“Ya Retno, kamu periksa sama siapa?” tanya Sapto dari seberang sana.

“Aku cuma sama Qila, diantar sopir Mas. Ada yang penting kamu tahu, aku ketemu mas Yudi di rumah sakit ini.”

“Apa? Kamu ketemu mas Yudi?” Dia sakit apa? Bagaimana keadaannya?”

“Dia amnesia Mas, lupa pada masa lalunya, tampaknya ada orang baik yang menolongnya, dan merawatnya. Aku baru saja ketemu, semuanya belum jelas.”

“Aku akan datang sore ini, langsung akan menemui dia. Apa dia juga lupa sama kamu?”

“Yang diingat adalah Qila.”

“Ya Tuhan. Ini luar biasa, kita harus bersyukur. Kabari Budi dan Wuri. Mereka pasti akan senang.”

“Baiklah Mas, ini mas Yudi sedang bercanda sama Qila, dan seorang anak kecil sebaya Qila, yang juga sangat dekat dengan mas Yudi.

“Baiklah, aku akan pulang sore ini, lalu akan segera menemuinya.”

“Baiklah Mas.”

Retno segera menemui pak Kartiko dan bu Kartiko, yang sedikit bingung, kemudian hanya duduk di sofa sambil menatap cucu mereka dan anak kecil bernama Qila yang asyik bercanda dengan Wahyudi.

Nano menceritakan semuanya, sejak kedatangan Wahyudi yang tidak ingat apapun, sampai saat bertemu Retno. Ia juga mencerikatan bahwa sebelumnya Wahyudi ditolong oleh seseorang bernama pak Tukiyo.

Retno menitikkan air mata haru.

“Saya sebagai sahabat dekatnya, mengucapkan terima kasih kepada keluarga Bapak Kartiko yang telah menerima mas Wahyudi dan menganggapnya sebagai keluarga sendiri,” kata Retno terbata. Retno merasa bersyukur, karena saat dirawat, Wahyudi mendapatkan kamar yang bagus, dan itu menunjukkan bahwa keluarga yang menolongnya memang menganggap Wahyudi benar-benar keluarganya.

“Tidak apa-apa nak, kami menerima Wahyudi karena dia orang baik. Kami sangat prihatin mengingat keadaannya,” kata pak Kartiko yang dibenarkan oleh istrinya.

“Tapi Bu, mengapa kepala Wahyudi dibalut seperti itu?” tanya pak Kartiko tiba-tiba.

Bu Kartiko sudah menduga bahwa hal itu pasti akan menimbulkan pertanyaan bagi suaminya. Ia sudah bersiap untuk berterus terang tentang apa yang terjadi, tapi sungkan karena ada Retno.

“Tidak apa-apa Pak, nanti saja ibu akan bercerita banyak, atau mungkin Nano bisa mengatakannya. Sekarang Bapak lihat kan, Wahyudi baik-baik saja?”

“Iya, tampaknya ada yang diingatnya. Aku senang. Dan lebih senang lagi karena ada salah seorang kerabatnya yang mengenalnya, ya  nak Retno ini dan putrinya.”

“Iya, semoga pertemuan dengan nak Retno ini bisa menjadi awal kebaikan bagi Wahyudi dan keluarganya,” kata bu Kartiko.

Retno menghela napas lega, Wahyudi ternyata bersama orang-orang yang mengasihinya.

“Mila itu cucu kami Nak, dia sangat dekat dengan Wahyudi,” kata bu Kartiko.

“Iya, sama dengan anak saya Bu, seringkali kalau mas Wahyudi datang ke rumah, pasti Qila selalu digendong-gendongnya, diajaknya main, bahkan jalan-jalan juga,” kata Retno.

Nano menatap Retno, wanita cantik ibunya Asyaqila, yang diketahuinya sebagai wanita yang pernah sangat dicintai Wahyudi. Wahyudi pernah mengatakannya. Bahkan bu Kartiko juga mendengar kisah cinta memilukan diantara Wahyudi dan Retno.

“Sekarang aku melihatnya, memang nak Retno sangat cantik, dan lembut tutur katanya,” gumam bu Kartiko sambil menatap Retno, membuat Retno heran, karena bu Kartiko berkata-kata, seakan pernah mendengar tentang dirinya. Apa Wahyudi pernah mengatakan kisah cinta mereka yang kandas?

 “Apakah mas Yudi pernah bercerita tentang saya?” tanya Retno yang penasaran.

“Wahyudi hanya mengingat nama-nama, pertama kali yang disebutnya adalah Qila, lalu Retno, kemudian mas Sapto, dan terakhir Wuri,” sambung Nano.

“Oh ya?”

“Baru-baru ini saja dia mengingatnya. Tapi siapa dia, di mana rumahnya, dia belum mengingatnya. Dengan pertemuan ini, saya harap Wahyudi akan segera menemukan ingatannya kembali,” kata Nano yang lebih dekat dengan Wahyudi.

“Saya sudah mengabari suami saya, dia akan datang sore ini dan akan langsung menemui mas Yudi, nanti saya juga akan mampir ke rumah Wuri untuk mengabarkan berita baik ini,” kata Retno.

“Bagus sekali nak. Semoga Wahyudi segera bisa mengingat semuanya, setelah bertemu dengan  orang-orang terdekatnya,” kata pak Kartiko.

 “Aamiin,” kata semuanya yang hadir.

Lalu Retno berdiri, mendekati Wahyudi yang masih asyik bercengkerama dengan dua gadis kecil yang menyayanginya. Ia mengeluarkan dua bungkus coklat, yang diberikannya kepada kedua gadis itu.

“Ayo, sekarang turun ya, pak Udi atau om Udi mau istirahat. Nah, ini ada coklat, makan dulu coklatnya di sana ya,” bujuk Retno yang membuat kedua anak kecil itu kemudian turun dengan senangnya karena mendapat masing-masing sebungkus coklat. Tinah menuntunnya menjauh dari sana.

“Mas, kamu ingat aku bukan?”

Wahyudi menatap Retno lekat-lekat.

“Kamu Retno …”

“Bagus Mas, senang mendengar kamu masih mengingat aku. Nanti sore mas Sapto akan pulang, dan pasti akan menemui kamu di sini.”

“Mas Sapto … ?“ gumamnya pelan.

“Mas Sapto itu suami aku, Mas ingat?”

Wahyudi mengangguk pelan.

“Aku juga akan mengabari Wuri.”

Mata Wahyudi bersinar mengingat nama Wuri.

“Dia itu lucu … “ gumamnya.

“Ya, benar, cerewet dan lucu. Dia akan menjadi adik iparku. Mas ingat?”

“Adik ipar kamu?”

“Mas ingat Budi? Adiknya Mas Sapto? Dia akan menjadi suami Wuri.”

Wahyudi tak menjawab. Rupanya dia lupa nama Budi.

“Budiono … lupa ya?”

“Agak lupa,” katanya pelan.

“Baiklah, nanti juga mas akan mengingatnya.”

“Kamu sakit ?”

“Tidak, aku bolak-balik ke rumah sakit karena periksa ke dokter kandungan. Aku hamil tiga bulan Mas,” terang Retno.

“Oh, senang mendengarnya.”

Lalu Wahyudi memejamkan matanya. Ia mencoba mengingat sesuatu, tapi kemudian ia merasa pusing.

Mereka membiarkan Wahyudi beristirahat, dan tidak ingin mengganggunya lebih lama.

***

Tapi sesampai di rumah, pak Kartiko segera bertanya tentang luka di kepala Wahyudi. Ia juga melihat bekas luka di wajahnya, walau samar karena sudah mengering dan mengelupas.

“Kenapa tidak tadi saja ibu mengatakannya? Tampaknya Wahyudi terluka. Apa dia dibawa ke rumah sakit karena luka-lukanya itu?” tanyanya.

“Ibu tadi mau cerita, tapi kan ada nak Retno, sungkan bercerita macam-macam.”

“Sebenarnya dia kenapa?”

“Dia berantem sama Wisnu. Maksudnya ... Wisnu menghajarnya."

 Pak Kartiko terkejut.

“Bapak tidak perlu memikirkannya, karena semuanya sudah baik-baik saja. Wisnu juga sering menunggui Wahyudi di rumah sakit.”

“Nanti dulu … nanti dulu … Ibu bilang Wahyudi dan Wisnu berantem? Wisnu menghajarnya?"

“Bapak kan sudah tahu tentang kelakuan Qila? Bapak juga tahu mengapa Wisnu ingin menceraikannya?”

“Ya, karena katanya dia perempuan nggak bener, berkhianat, selingkuh.”

“Qila itu, diam-diam tergila-gila pada Wahyudi.”

“Apa? Bukankah Wahyudi itu baik? Beraninya dia mengganggu istri orang?”

“Bukan Wahyudi Pak, Wahyudi tidak apa-apa. Wisnu yang salah terima, lalu menghajar Wahyudi sampai dia harus dibawa ke rumah sakit.”

“Nanti dulu … aku kok kurang bisa mengerti … “

Lalu bu Kartiko menceritakan semua yang terjadi diantara Qila, Wahyudi dan Wisnu, yang didengarkan pak Kartiko dengan perasaan tak menentu.

“Tapi Bapak tidak usah memikirkan itu semua, semuanya sudah terjadi, dan sekarang sudah baik-baik saja.”

“Ada kejadian seperti itu kok aku sampai tidak tahu,” sesalnya.

“Kami merahasiakan semua itu, karena mengingat sakitnya Bapak. Nanti kalau tensi Bapak naik bagaimana? Kan dokter bilang bahwa kami harus menjaga perasaan Bapak? Sekarang ini, ibu menceritakannya, karena semuanya sudah baik-baik saja. Wisnu sudah menyesal, dan Wahyudi memaafkannya.”

“Tapi kasihan Wahyudi kan, harus di operasi segala?”

“Iya benar, tapi siapa tahu Pak, kejadian ini justru akan memicu kesadaran Wahyudi kembali.”

“Iya sih Bu. Semoga saja begitu.”

***

Purnomo sudah diperiksa secara keseluruhan, dan ternyata dia baik-baik saja. Artinya tidak ada luka dalam yang menghawatirkan. Hanya ada luka diwajah dan tangannya karena terkena pecahan kaca, dan itu bukan masalah bagi Purnomo. Pikirannya dipenuhi tentang Qila yang sendirian di rumah barunya.

“Aku mau pulang,” kata Purnomo pada Heru yang setia menungguinya di rumah sakit.

“Bukankah Bapak belum ketemu dokter yang memutuskan apakah Bapak benar-benar sudah boleh pulang atau belum?”

“Dokter baru akan visite nanti sore, aku sudah bertanya tadi.”

“Kalau begitu Bapak harus menunggu.”

Purnomo tak menjawab. Ia punya rencana lain. Sebelum dokter datang dia harus menemui Qila terlebih dulu.

“Pak, Heru permisi dulu ya.”

“Mau kemana kamu?”

“Ke kampus, nanti Heru kembali kemari.”

“Kamu tidak kembali juga tidak apa-apa, kan bapak baik-baik saja.”

“Iya, gampang,” kata Heru sambil berlalu.

Purnomo merasa senang. Diam-diam dia berganti pakaian, lalu keluar dari kamarnya, beberapa saat setelah Heru pergi.

“Aku akan kembali lagi kemari sebelum sore,” gumamnya pelan sambil melangkah mencari mobilnya.

***

Purnomo memasuki halaman rumah barunya, dan merasa lega karena mobil Qila ada di halaman. Ia segera masuk, dan tanpa mengetuk pintu, la masuk ke dalam kamarnya, karena ingin segera melepas rasa rindunya kepada sang kekasih.

Tapi alangkah terkejutnya, begitu dia masuk, dilihatnya Heru ada dikamar itu, duduk di sofa berhadapan dengan Qila.

Amarah Purnomo memuncak.

***

Besok lagi ya.

Friday, July 22, 2022

KEMBANG CANTIKKU 28

 

KEMBANG CANTIKKU  28

(Tien Kumalasari)

 

“Heru, maukah menemani aku, walau semalam ini saja? Aku takut tidur sendirian Heru,” rengeknya.

“Di sini ada pembantu, dia bisa aku suruh menemani kamu, walau sebetulnya aku merasa, bahwa lebih baik kamu pergi dari sini dan pulang ke rumah kamu.”

“Ya ampun Heru, kamu itu lebih tampan dari ayah kamu, tapi hatimu tak selembut ayah kamu.”

“Karena aku tidak ingin tersesat dalam hidup ini.”

“Apa maksudmu tersesat?”

“Tersesat adalah salah jalan. Bukan lorong hitam ini yang harus kamu lalui, tapi lorong yang benderang. Aku tidak mau itu, karena dalam tersesat aku hanya bisa berjalan sambil meraba-raba, semuanya serba tidak jelas.”

“Bukankah menyenangkan, meraba-raba?” kata Qila sambil tersenyum simpul.

Dalam berbicara, tak sedikitpun Heru melihat kearah lawan bicaranya. Selain ia sebenarnya tidak suka berbincang dengan wanita berhati kotor seperti Qila, ia juga tidak suka cara dia duduk, cara dia berbicara, dan semua yang dimilikinya.

“Aku akan pergi sekarang.”

“Heru, kamu benar-benar tidak kasihan sama aku?” Kalau ayahmu tidak sedang sakit, ia tak akan membiarkan aku kesepian dalam malam-malamku.”

“Aku adalah aku, bukan ayahku.”

“Tapi wajahmu mirip.”

“Hatiku tidak,” kata Heru sambil berdiri.

“Heru,” kata Qila sambil mengikutinya berdiri.

“Dengar, aku akan menemani kamu, tapi bukan malam ini.”

“Apa? Benarkah?” mata Qila langsung berbinar. Heru melirik sekilas, dan melihat percikan api dari mata liar itu.

“Benar, tapi tidak sekarang.”

“Kapan?”

“Kamu tunggu saja sampai aku mengabari kamu.”

“Mengapa harus menunggu?”

“Kamu kan tahu bahwa keluargaku sedang berkabung karena nenek aku meninggal? Mana mungkin aku bersenang-senang sementara keluargaku sedang berduka.”

“Berapa hari aku harus menunggu? Jangan lama-lama dong.”

“Beri aku nomor ponselmu, aku akan mengabari kamu.”

Qila berjingkrak kegirangan. Ia merasa bahwa Heru hampir terjerat bujuk rayunya. Dengan lincah ia menuliskan nomor kontaknya di ponsel Heru.

“Ini sayang, baiklah hari ini aku bisa mengerti. Aku akan menunggu kamu. Kalau boleh memilih, tentu saja aku lebih memilih kamu daripada ayahmu,” katanya sambil mendekatkan tubuhnya ke tubuh Heru.

Heru menghindar dengan mengundurkan diri.

“Heru, kau harus meninggalkan sesuatu, di sini,” katanya sambil menunjuk ke arah pipinya.

Heru memalingkan wajahnya lagi.

“Jangan melakukan hal yang tidak pantas, ada sopir ayahku. Aku takut dia melaporkannya,” katanya kemudian bergegas pergi.

Qila mengejarnya, tapi Heru sudah masuk ke dalam mobil, lalu menutupnya. Ia segera menyuruh sopirnya pergi secepatnya dari tempat yang membuat bulu kuduknya meremang.

***

Heru tidak langsung ke rumah sakit, tapi langsung ke rumah neneknya, di mana beberapa tamu masih duduk-duduk dirumah neneknya, ditemani kerabat yang lain.

Ia berbasa-basi sebentar diantara para tamu, terutama tentang ayahnya yang mengalami kecelakaan, kemudian ia mencari ibunya, yang ternyata sedang beristirahat di kamar.

“Bu …”

“Heru?”

“Iya Bu.”

“Ibu menunggu kamu sejak tadi.”

“Ada apa Bu?”

“Ada apa … ada apa … Bagaimana bisa kamu membawa pacar kamu atau menyuruh pacar kamu datang ke rumah sakit? Itu nomor satu ya, nomor duanya, bagaimana kamu bisa mempunyai pacar seperti itu,” kata Hartati sambil duduk, sementara Heru duduk di sofa, menghadap ke arah ibunya.

“Pertama, dia mengira yang mengalami kecelakaan itu Heru. Sedang yang ke dua, memangnya kenapa Bu?”

“Kamu serius sama gadis itu, yang ibu bahkan tidak ingin tahu siapa  namanya?” kesal Hartati.

Heru tertawa, membuat Hartati bertambah gemas.

“Heru tidak bersungguh-sungguh Bu.”

“Tidak bersungguh-sungguh bagaimana?”

“Hanya iseng kok.”

“Eh, jangan sembarangan mengucapkan iseng. Itu berarti kamu mempermainkan wanita bukan?”

“Tidak. Kami hanya dekat, tidak sungguh-sungguh pacaran.”

“Dekat bagaimana? Kamu jangan sembarangan dekat dengan wanita. Wanita terkadang seperti ular. Kalau dia membelit maka susah sekali  kamu melepaskan diri.”

Heru lagi-lagi tertawa.

“Mengapa ibu mengatakan bahwa wanita itu sepeti ular? Maaf, bukankah ibu juga seorang wanita?”

“Kamu jangan kurangajar Heru.”

“Kan Heru sudah minta maaf, dan Ibu sendiri yang mengatakannya bukan” kata Heru sambil mendekati ibunya.

“Ibu tidak mengatakan semua wanita kan. Ibu bilang, ‘terkadang’. Dan amit-amit deh, ibu tidak seperti itu”

“Jadi wanita yang bagaimana yang menurut ibu seperti ular?”

“Ya yang bukan wanita baik-baik, yang suka membelit-belit, begitu.”

“Ibu kok bicaranya tidak jelas sih.”

“Begini Heru, kamu sudah dewasa, kamu harus mengerti, bagaimana wanita yang baik, dan yang tidak. Kamu tahu, wanita yang kamu akui sebagai pacar itu, matanya saja sudah liar. Cara berpakaian dia? Aduuh Heru, harusnya kamu bisa dong membedakan mana wanita baik dan mana yang tidak. Kamu tahu tidak, teman-teman kuliah kamu yang sering datang ke rumah itu, cantik-cantik, santun, pintar. Masa kamu tidak tahu bedanya dengan pacar kamu itu? Nggak Heru, ibu nggak suka. Sebelum terlambat, kamu harus segera memutuskan hubungan kamu dengan perempuan itu.”

“Ibu yakin, dia bukan wanita baik-baik?”

“Naluri seorang ibu mengatakan itu. Kamu harus percaya, Heru.”

“Begitukah?”

“Ya, begitu!!!” kata Hartati tandas sambil menatap anaknya, yang hanya cengar-cengir menggemaskan.

“Baiklah ibu, kalau memang itu mau ibu, Heru akan lakukan.”

“Sungguh?”

Heru mengangguk, kemudian merangkul ibunya dengan kasih sayang.

“Setelah ini kembalilah ke rumah sakit. Kasihan ayahmu tak ada yang menemani.”

Heru mempererat pelukannya. Wanita cantik anggun yang adalah ibunya ini, benar-benar wanita yang luar biasa. Tanpa sadar bahwa suaminya berselingkuh,  ia masih sangat memperhatikan ayahnya. Aduhai.

***

“Apa yang kamu lakukan tadi, Heru?” tegur ayahnya, yang bukan berterima kasih atas perbuatannya menyelamatkannya dari amukan sang istri, tapi malah menatapnya dengan teguran.

“Apa Heru salah? Kalau Heru tidak melakukannya, entah apa yang terjadi. Barangkali akan ada perang di dalam ruangan ini.”

“Maksudku, setelah kamu membawanya pergi, mengapa kamu lama sekali? Kamu mengantarnya sampai ke mana?”

“Ke rumah Bapak. Dia belum pergi dari sana, menunggu Bapak mengusirnya,” kata Heru seenaknya sambil berbaring di sofa.

“Memangnya dia tidak membawa mobil sendiri?”

“Membawa sih. Tapi dia tidak mau beranjak dari sini kalau Heru tidak mengantarnya.”

“Jadi itu sebabnya kemudian kamu mengantarnya?”

 “Ya.”

“Lalu apa yang kamu lakukan di sana?”

“Bolehkah Heru bicara sebagai sesama laki-laki?”

“Apa maksudmu?” tanya Purnomo yang mulai merasa was-was.

“Bapak laki-laki, Heru juga laki-laki.”

“Kamu melakukan apa sama dia?” mulai dengan nada tinggi.

“Tapi laki-laki yang satu dan lainnya itu tidak sama.”

Purnomo mengangkat wajahnya untuk bisa menatap anak laki-lakinya yang terbaring di sofa.

“Dia memang menarik bukan? Pasti susah bagi Bapak untuk melupakannya.”

“Kamu kelamaan Heru. Jawab pertanyaan Bapak.”

“Heru tidak tertarik sama dia.”

Purnomo menghempaskan napas lega.

“Tapi dia yang tertarik sama Heru.”

“Apa?”

“Itu benar. Tapi kan Bapak sama Heru itu berbeda. Beda selera juga.”

Heru membalikkan tubuhnya membelakangi ayahnya.

“Heru.”

“Heru letih sekali Pak, mau tidur sebentar saja.”

Purnomo meletakkan kembali kepalanya yang semula diangkatnya dengan jalan meninggikan letak bantalnya. Ia belum benar-benar merasa lega. Keterangan yang didengarnya masih terasa menggantung. Tapi tampaknya Heru sudah pulas. Purnomo mendengar napas teratur dari arah sofa, dimana Heru terbaring. Purnomo membiarkannya, tampaknya Heru memang sangat lelah. Barangkali juga semalam dia belum sempat tidur.

***

 Pagi hari itu Mila terbangun dan tiba-tiba saja menangis, lalu berteriak-teriak memanggil Wahyudi.

“Pak Udi manaaa…pak Udi manaa ….”

Tinah yang mendekati tak diacuhkannya.

“Mila, ayo minum susunya dulu ya, ini, sudah Tinah siapkan. Sini cantiiik,” rayu Tinah.

“Nggak mau …. Aku mau pak Udi …  mana pak Udi ….”

“Pak Udi masih sakit, besok kalau sudah sembuh pasti datang kemari,” bujuk Tinah sambil membawa botol susu untuk Mila.

“Nggak mauuu … tadi ada … pak Udi ada …”

“Ada apa ini, tumben, pagi-pagi rewel, Mila?” tanya bu Kartiko yang masuk ke kamar Mila karena tak biasanya Mila rewel pagi-pagi.

“Pak Udi mana … tadi ada … mau ituuut… pak Udi manaaa …”

“Minum susu dulu ya, ini susunya …”

“Pak Udi manaaa …”

“Rupanya dia mimpi ketemu Wahyudi,” gumam bu Kartiko.

“Iya Bu, tak biasanya begini,” kata Tinah.

Mila duduk di lantai sambil menangis, tak mau diam walau Tinah berusaha membujuknya.

“Dengar cantik, bagaimana kalau nanti siang kita ketemu pak Udi?”

“Mana pak Udi?”

“Pak Udi masih di rumah sakit. Mila kangen ya? Tadi mimpi ketemu pak Udi? Ya sudah, sekarang diam dulu, minum susunya, trus mandi trus dandan yang cantik, lalu kita ke rumah sakit.”

Mila diam tiba-tiba, sambil menatap neneknya.

“Benar Mila, nanti ikut nenek ke rumah sakit ya? Disana ada pak Udi …”

Tinah mengulurkan botol susunya. Mila kembali membaringkan tubuhnya di kasur dan minum susu botolnya dengan nikmat.

***

“Mengajak anak kecil ke rumah sakit, apa tidak bahaya sih Bu. Ibu ada-ada saja, nanti kalau tidak benar-benar diajak anak itu pasti rewel,” tegur pak Kartiko ketika mendengar istrinya mau mengajak Mila ke rumah sakit.

“Kamar Wahyudi itu agak terpisah, kita tidak harus melewati pasien-pasien yang sedang sakit. Ibu kira tidak apa-apa. Habis tadi dia rewel, menangis tak mau berhenti. Apa dia mimpi ketemu Wahyudi ya?”

“Mungkin saja begitu. Anak itu kan dekat sekali dengan Wahyudi.

“Itulah sebabnya, ibu nekat mau mengajaknya, supaya dia tahu bahwa Wahyudi benar-benar ada di rumah sakit.”

“Kalau begitu aku juga ikut ah Bu. Pengin lihat keadaannya.”

“Bapak mau ikut? Bagaimana kalau tidak usah saja?” kata bu Kartiko khawatir, karena kalau nanti pak Kartiko melihat ada bekas luka di kepala Wahyudi, pasti akan timbul pertanyaan apa penyebabnya, dan bu Kartiko belum ingin mengatakannya sampai Wahyudi benar-benar sembuh, paling tidak luka bekas operasi itu.

“Mengapa tidak boleh sih Bu, apa Ibu malu jalan sama laki-laki yang memakai kursi roda?”

“Bapak itu gimana, mosok ibu malu jalan sama suami. Ibu itu khawatir, bapak kan belum sehat benar.”

“Tidak, aku sehat kok. Aku juga sudah latihan jalan kemarin sama Nano. Aku kira kalau dipaksa, jalan pakai tongkat pasti aku sudah bisa.”

“Ya sudah, terserah Bapak kalau begitu. Tapi sarapan dulu, minum obat, eh … mandi dulu ya kan?”

“Iya, baiklah. Aku mandi dulu saja. Rupanya bukan hanya Mila yang kangen sama Wahyudi, tapi aku juga,” kata pak Kartiko bersemangat.

***

Pagi itu selesai badan di bersihkan dan sarapan, Purnomo sudah mencoba duduk di tepi pembaringan. Masih ada rasa pusing, tapi selebihnya dia merasa baik-baik saja. Lalu diambilnya ponselnya. Saat itu Heru sedang mandi, sehingga Purnomo tak perlu sungkan kalau ingin menelpon Qila. Sudah semalam ditahannya karena ada Heru di ruangan itu.

“Hallo, ini Heru ?” sapa Qila dari seberang sana.

“Apa maksudmu? Ini aku, Purnomo.”

“Ya ampuun, mas Purnomo, pagi-pagi sudah menelpon, aku masih terbaring di ranjang nih, kesepian, kedinginan,” keluh Qila tanpa merasa bersalah telah menyebut nama Heru dan itu membuat Purnomo kesal.

“Ini sudah jam sepuluh pagi, Qila? Kamu belum bangun?”

“Iya sih, semalam nggak bisa tidur, habis nggak ada temannya.”

“Nanti setelah kesehatanku di cek semua, aku akan segera cabut dari rumah sakit, dan langsung menemui kamu.”

“Benarkah?”

“Benar, aku kangen sekali sama kamu.”

“Baiklah, aku tunggu ya. Sekarang aku mandi dulu, lalu sarapan. Aku enggan keluar, menyuruh pembantu yang bersih-bersih rumah itu saja supaya beli makanan untuk aku.”

“Kamu benar. Kalau ada apa-apa, atau butuh apa-apa, bilang saja sama dia. Aku akan segera kesana.”

“Bapak mau ke mana?” kata Heru tiba-tiba.

Purnomo menutup ponselnya, lalu merebahkan lagi tubuhnya, pura-pura tidak mendengar pertanyaan anaknya.

***

Hari itu pak Kartiko bersama istri, dan juga Mila yang tentu saja bersama Tinah pengasuhnya, sudah sampai di rumah sakit. Nano mendorong kursi roda dimana pak Kartiko duduk di atasnya. Mila berlarian mendahului, dan diikuti Tinah sambil berteriak-teriak.

“Milaaa, jangan lariiii, nanti jatuh, sayang,” teriak Tinah sambil mengejarnya.

Mila terkekeh senang sambil terus berlarian. Tiba-tiba Mila melihat seorang anak kecil yang sebaya dengannya, dengan rambut dikepang dua, persis seperti dirinya. Entah mengapa, Mila tertarik melihat gadis itu, ia mendekati, lalu memegang-megang tangannya.

“Mbaak …” panggilnya. Gadis kecil yang disapa terkejut, lalu lari menjauh. Mila terus mengejarnya.

“Mbaaak.”

“Qilaaaa, tuh ada yang memanggil kamu, ayo kenalan dong,” teriak seorang wanita cantik.

Nano yang sedang mendorong kursi roda terkejut. Gadis kecil itu memang Qila yang dicarinya.

***

Besok lagi ya.

 

LANGIT TAK LAGI KELAM 10

  LANGIT TAK LAGI KELAM  10 (Tien Kumalasari)   Rizki menatap tajam ayahnya, dengan pandangan tak percaya. “Bapak bilang apa?” “Apa kurang j...