Tuesday, May 6, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 03

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  03

(Tien Kumalasari)

 

Sinah tampak memperhatikan dan tentu saja mendengarkan pembicaraan antara Dewi dan Satria. Wajahnya keruh diliputi rasa cemburu yang membakar.  Ia masih berdiri di balik pintu ketika Dewi memanggilnya.

“Nah … Sinah !”

Sinah bergegas masuk sambil mencoba menghilangkan wajah suram agar tak menimbulkan kecurigaan.

“Ya, Den Ajeng.”

“Sini, dekat-dekat aku sini,” katanya pelan. Sinahpun mendekat.

“Satria mau datang kemari kira-kira satu jam lagi. Tolong kamu jemput dia di pintu timur, lalu ajak ke taman di bawah pohon tanjung. Aku akan berdandan, lalu keluar menemuinya.”

“Den Ajeng, mengapa Den Ajeng mau menerima tamu laki-laki di taman keputren? Kalau ada yang tahu, lalu melaporkan kepada keng rama bagaimana?”

“Kalau kamu diam dan tidak mengatakannya kepada siapapun, tidak akan ada yang tahu. Pintu sebelah timur adalah pintu kecil, untuk jalan para abdi yang sedang ada tugas keluar. Tidak ada penjaga di sana. Kamu bisa membawanya langsung ke taman.”

“Den Ajeng, apakah Den Ajeng sadar bahwa sedang melakukan sebuah kesalahan?”

“Ya, kesalahan karena menerima tamu laki-laki di taman?”

“Bukan hanya itu. Den Ajeng lupa, Satria itu siapa, dan siapa pula Den Ajeng ini. Menurut saya, Satria tidak sepadan dengan Den Ajeng. Ingatlah, Den Ajeng adalah putri bangsawan yang sangat dihormati, sedangkan Satria adalah orang yang tidak punya derajat. Den Ajeng dan Satria bagaikan bumi dan langit.”

“Sinah, memangnya kamu itu siapa, maka bisa memberi aku petuah semacam itu? Aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

“Den Ajeng, mohon memaafkan saya. Saya mengatakan ini adalah demi kebaikan Den Ajeng,” kata Sinah sambil menundukkan kepala.

“Kamu menganut pengertian yang salah. Memang benar, orang tuaku  memiliki darah bangsawan, demikian juga aku. Tapi hal itu tidak akan membuat perbedaan dalam  kehidupan. Sebagai manusia, kita adalah sama dimata Tuhan.”

“Aduh … aduuh … Den Ajeng, ini paham yang keliru. Biarpun sama-sama manusia tapi kita dilahirkan dengan darah yang berbeda-beda.”

“Sinah, aku hanya memintamu agar menunggu Satria di pintu timur, kerjakan dan jangan banyak bicara,” kata Dewi tandas, yang tak urung membuat Sinah segera berdiri dan keluar dari ruangan.

“Dasar ngeyel … dikasih tahu nggak mau dengar. Nanti kalau den ayu mendengar, apalagi kalau den mas Adisoma mendengar, apa tidak membuat suasana rame, gaduh? Apalagi kan den mas itu sudah mempersiapkan suami untuk den ajeng Dewi? Ya kan? Dan Satria itu bagiannya Sinah, sama-sama pidak pedarakan. Tidak punya derajat,” kata suara hati Sinah yang semakin gila karena ingin merebut laki-laki yang rupanya juga disukai oleh majikannya.

Sinah sudah sampai di pintu timur. Pintu itu kecil, tidak kelihatan bahwa ada pintu di situ karena dikelilingi oleh tumbuhan perdu yang hampir menutupi badan pintu. Para abdi selalu keluar masuk dari pintu itu. Tapi kali ini ada tamu yang ditunggu Dewi yang diharapkan masuk melalui pintu tersebut.

Sinah sudah berdiri di luar pintu, menatap ke sekeliling, lalu lintas tidak begitu ramai yang terlihat.

“Mengapa tidak aku laporkan saja pada den ayu, supaya Satria segera di usir dari sana begitu dia datang nanti. Ah, tapi kasihan kalau dia kena marah, atau bahkan dipukul oleh para penjaga. Jadi bagaimana enaknya supaya Satria gagal menemui den ajeng Dewi ya?”

Sinah termangu sambil berpikir keras. Tiba-tiba ia melambaikan tangan ke arah seorang tukang kebun, anak buah Tangkil, yang kemudian setengah berlari mendekatinya. Ia membisikkan sesuatu, lalu tukang kebun itu membalikkan tubuhnya dan berlari menjauh.

Tiba-tiba senyumnya mengembang ketika sebuah sepeda motor mendekat ke arah pintu butulan.

“Sinah? Bukankah kamu sedang menunggu aku?” tanya Satria sambil turun dari motornya.

“Satria, maafkan aku, dan terutama sampeyan juga harus memaafkan den ajeng Dewi,” kata Sinah dengan wajah sendu, membuat Satria heran.

“Memangnya ada apa?”

“Den ajeng tidak bisa menemui sampeyan.”

“Baru saja kami bicara di telpon, dia akan menyuruh kamu menunggu aku, lalu mengajaknya ke taman. Kami akan bicara banyak.”

“Sesuatu tiba-tiba terjadi. Bahkan den ajeng juga tidak menduganya.”

“Apakah itu?”

“Apa sampeyan menyukai den ajeng Dewi?”

Satria mengangkat wajahnya, menatap Sinah dengan pandangan penuh rasa heran.

“Kami sudah lama saling menyukai, walaupun belum pernah mengucapkan perasaan itu dengan kata-kata. Tapi aku yakin bahwa dari cara kami saling menatap, ada perasaan yang lebih dari berteman diantara kami.”

“Apa sampeyan sadar, siapa den ajeng Dewi?”

“Tentu saja aku sadar. Barangkali untuk saat ini aku belum berani menemui orang tuanya yang keluarga bangsawan itu, tapi aku akan meneruskan kuliah aku, dan aku berjanji akan bisa menjadi orang yang pantas untuk Dewi, bukan anak orang sederhana yang tidak punya derajat seperti sekarang ini. Dewi juga berjanji akan melanjutkan kuliah agar kami bisa selalu bersama.”

“Hmh, mimpi sampeyan … “

“Apa maksudmu?”

“Den ajeng Dewi sudah dijodohkan dengan anak seorang tumenggung yang sekarang sedang kuliah di luar negri.”

“Apa?”

“Sebaiknya sampeyan tidak usah menanyakan banyak hal lagi. Perjodohan itu sudah diputuskan dan den ajeng Dewi tak akan bisa membantahnya.”

“Tapi kami sudah berjanji. Pertemuan ini nanti juga akan membahas bagaimana kalau dia ingin melanjutkan kuliah. Dan_”

“Jangan mimpi, Satria. Itu tidak akan terjadi. Dan sebaiknya sampeyan segera pergi saja karena ayahanda den ajeng sudah mencium adanya pertemuan ini. Banyak penjaga datang tak lama lagi, yang akan mengusir sampeyan jauh-jauh dari sini.”

“Tapi … tadi … Dewi tidak mengatakan apa-apa.”

“Berita itu begitu tiba-tiba. Den ajeng sedang dipaksa menghadap ayahandanya dan perjodohan akan segera dilakukan. Tolong cepat pergi. Aku tak ingin terjadi apa-apa atas diri sampeyan.”

“Ini keterlaluan. Aku tidak percaya Dewi akan mengingkari janji,” kata Satria yang mulai tampak gelisah.

“Mungkin den ajeng tidak akan mengingkari, tapi situasi sudah seperti ini, sampeyan tidak harus memaksakan kehendak. Den ajeng juga tidak akan bisa melakukan apa-apa.”

Satria merasa dunianya seakan bergoyang. Semuanya tidak terduga. Ini seperti aneh. Ia melongok ke dalam dan belum terlihat bayangan Dewi. Tadi Dewi berpesan, kalau sudah sampai di taman harus menghubunginya. Ia merogoh ponselnya, tapi Sinah cepat-cepat menghentikannya.

“Eh, Satria, lebih baik matikan ponsel itu.”

“Aku harus menghubungi Dewi.”

“Den ajeng sudah bersama kedua orang tuanya. Matikan saja ponsel itu karena keluarga den ajeng sudah tahu tentang sampeyan. Nanti sampeyan justru akan dimaki-maki. Aku tidak sampai hati, Satria. Sampeyan orang baik, dan maksud sampeyan baik. Cepat matikan ponsel itu sebelum mereka menelpon dan akan menyakiti hati sampeyan.

Dengan bingung Satria mematikan ponselnya. Tapi sebelum dia menghampiri motornya untuk pergi, teriakan beberapa laki-laki terdengar. Satria berhenti melangkah ketika mendengar teriakan mereka yang mengatakan bahwa dirinya maling.

“Maling … maliing … “ lalu beberapa orang yang membawa pentungan berlari mendekat.

Diteriaki maling, tentu saja Satria tidak terima.

“Aku bukan maling … bukan … aku teman Sinah ini … teman Dewi … “

Lalu sebuah pukulan mengenai kepalanya sampai berdarah. Melihat hal itu barulah Sinah menghetikannya.

“Sudah … sudah … hentikan, biarkan mereka pergi,” kata Sinah.

Satria mengusap darah yang membasahi pipinya, lalu berjalan ke arah motor dan memacunya menjauh.

“Katamu ada maling?” kata seorang penjaga.

“Maaf Man, aku salah sangka. Dia ternyata memang temanku sekolah. Sudah pergi dan lupakan saja. Maaf ya.”

Lalu beberapa penjaga pergi meninggalkan Sinah sambil mengomel panjang pendek. Ada yang merasa bingung, informasi dari mana sehingga Sinah mengira ada maling masuk ke taman di siang bolong seperti itu? Tapi mereka tak ambil pusing dengan apa dan mengapanya. Mereka segera melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing biarpun terkadang masih terdengar omelan salah satu dari mereka.

***

Sinah yang kembali ke keputren, melihat Dewi sedang duduk di atas kursi, sepertinya sedang menunggu. Dan memang Dewi sedang menunggu. Bukankah Satria akan datang kira-kira sejam lagi dari ketika dia menelpon? Melihat Sinah melenggang mendekatinya, Dewi tersenyum senang.

“Sudah ada di taman?” tanyanya riang.

“Maaf Den Ajeng.”

“Maaf kenapa?”

“Satria tidak datang.”

“Apa maksudmu?”

“Saya sudah menunggu lama, tapi dia tidak datang.”

“Mana mungkin? Tadi dia menelpon dan jelas-jelas mengatakan kalau dia akan datang sejam lagi dari waktu itu.”

”Barangkali karena ada penjaga di sana.”

“Penjaga? Biasanya tak ada penjaga berjaga di sana.”

“Memang tidak berjaga, mungkin dia sedang mau pergi atau menunggu apa, sehingga berdiri lama di sana.”

“Aneh. Aku akan menelponnya,” kata Dewi yang kemudian wajahnya menjadi muram, lalu menelpon nomor kontak Satria.

Tapi berkali-kali menelpon, tak ada tanda-tanda Satria merespon panggilan itu. Tampaknya ponsel Satria memang mati.

“Ponselnya mati,” keluh Dewi.

“Den Ajeng, sudahlah, barangkali Satria memang tidak sungguh-sungguh ingin menemui Den Ajeng.”

“Apa maksudmu?”

“Kalau dia bersungguh-sungguh, mengapa ponselnya dimatikan? Dia hanya bercanda. Dia sudah tahu bahwa tak mudah sembarang orang memasuki kediaman seorang bangsawan terkemuka di kota ini. Barangkali dia sudah keder duluan.”

“Mengapa juga ya, dia mematikan ponselnya?”

“Sudahlah Den Ajeng, lupakan saja Satria. Dia tidak pantas untuk Den Ajeng,” bujuk Sinah.

“Diam kamu Sinah. Aku tidak suka berkali-kali kamu mengatakan bahwa dia tidak pantas untuk aku,” kata Dewi yang kemudian masuk ke dalam keputren, meninggalkan Sinah yang cengar cengir sendirian.

Sinah terkejut ketika tiba-tiba mbok Manis menyentuh lengannya.

“Kamu kok senyum-senyum sendiri? Ketempelan dari mana ?”

“Wah, simbok. Bikin kaget saja.”

“Mana den ajeng? Ditunggu den ayu di ruang makan.”

“Simbok sendiri saja yang matur, aku mau keluar sebentar.”

“He, kamu mau ke mana?”

“Beli obat, tiba-tiba kepalaku pusing.”

“Kepala pusing kok bisa cengar-cengir sendirian. O, kepala pusingmu itu yang membuat kamu seperti orang sinting?”

“Simbok kok begitu. Ya sudah, aku mau pergi dulu,” kata Sinah yang kemudian pergi menjauh, sementara mbok Manis memasuki keputren untuk menemui Dewi.

***

“Aku makan di sini saja Mbok,” kata Dewi setelah mbok Manis menemuinya.

“Tapi den ayu menunggu. Nanti beliau kecewa.”

“Biasanya ada kanjeng rama.”

“Keng rama tidak pulang siang ini, karena ada kesibukan di kraton. Pulangnya baru nanti sore atau bahkan malam. Itu sebabnya den ayu menunggu Den Ajeng agar menemani makan siang.”

“Sebenarnya aku belum lapar.”

“Yang penting Den Ajeng  datang menemui keng ibu lebih dulu.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Saya menunggu di sini, Den Ajeng.”

***

Satria sedang mengobati luka di kepalanya dengan obat merah, setelah membersihkan wajahnya dari darah yang semula membasahinya. Ia tak ingin orang tuanya melihat lukanya, ia tak mau mereka merasa khawatir. Karenanya ia terkejut ketika tiba-tiba seseorang muncul di pintu kamarnya.

“Sinah? Kamu datang kemari?”

“Satria, aku membawa obat luka untuk kamu.”

***

Besok lagi ya.

 

Monday, May 5, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 02

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  02

(Tien Kumalasari)

 

Sinah masih terus mengoceh, yang sekilas tampak seperti sedang merasa sayang kepada Dewi, tapi sesungguhnya ada maksud tertentu dibalik apa yang dikatakannya.

“Apakah dia teman sekolah Dewi?”

“Benar Den Ayu, teman sekolah den ajeng Dewi. Tapi dia itu sangat kurang ajar sekali, menganggap den ajeng seperti teman sederajatnya. Saya sungguh tidak rela, Den Ayu. Mohon Den Ayu mengingatkan den ajeng agar tidak lagi mau menemui dia.”

“Apakah dia sering menemui anakku?”

“Kalau datang kemari belum pernah, Den Ayu. Tapi dengan pertemuan sore tadi itu, siapa tahu kemudian den ajeng membuka hatinya, kemudian bersedia menemuinya. Semua itu karena dia sangat pandai merayu.”

“Siapa sebenarnya dia?”

“Namanya Satria, anak orang biasa, tidak punya derajat, apalagi pangkat. Itu sebabnya saya tidak rela den ajeng berdekatan dengan dia.”

“Nanti akan aku tanya momongan kamu itu.”

“Tapi saya mohon, Den Ayu jangan mengatakan kalau saya matur yang macam- kepada Den Ayu. Nanti saya kena marah.”

“Iya, sudah. Kamu boleh pergi.”

Sinah pun pergi mengundurkan diri, dengan berjalan sambil jongkok, sampai keluar ruangan.

Den ayu Saraswati termenung sejenak. Laporan Sinah membuatnya kesal. Kalau sampai sang suami mendengar penuturan Sinah, pasti dirinya yang akan disalahkan, karena mengijinkan Dewi berjalan-jalan.

Maka iapun berjalan ke arah keputren, dimana Dewi bersama para pengasuhnya tinggal.

***

“Kelamaan kamu Nah, dari mana saja, tidak segera membantu aku mandi juga? Sampai mbok Randu yang memandikan aku,” tegur Dewi sambil membentangkan tangannya ketika Sinah memakaikan kain jarik.

“Tadi begitu masuk, den ayu memanggil saya, jadi ya terpaksa ke sana dulu.”

“Kanjeng ibu bilang apa?”

“Hanya menanyakan, tadi kita ke mana saja.”

“Apakah kanjeng ibu marah?”

“Tadinya iya, tapi setelah saya menghiburnya, kemarahannya sudah mereda.”

“Kamu menghibur kanjeng ibu dengan apa?”

“Hanya mengatakan, bahwa pastinya Den Ajeng juga butuh melihat-lihat suasana di luar sana, kasihan kalau harus berdiam di keputren terus.”

“Lalu kanjeng ibu tidak jadi marah?”

“Tentu saja Den Ajeng, seorang ibu tidak ingin melihat putrinya bersedih.”

Dewi tersenyum. Sinah mengambil kebaya berwarna merah marun lalu dikenakan kepada momongannya.

Ketika den ayu Saraswati memasuki keputren, dilihatnya Sinah masih sibuk mendandani putrinya.

Aroma pandan dan kembang wangi menguar ke segenap penjuru ruangan. Senyum Dewi merekah ketika melihat ibundanya memasuki ruangan.

“Kanjeng Ibu, Dewi sedang berdandan. Mohon maaf tadi pulang agak terlambat.”

“Ke mana saja tadi?”

“Hanya keluar untuk melihat Pasar Gede, senang melihat lampion-lampion masih bergelantungan. Kata Sinah semua itu adalah bekas perayaan imlek beberapa hari yang lalu.”

“Oh, iya. Sebenarnya waktu itu kanjeng ibu juga ingin melihat perayaan Imlek, biasanya ada Liong dan Barongsai di sepanjang jalan. Itu sangat indah.”

“Mengapa Kanjeng Ibu tidak mengajak Dewi jalan-jalan untuk melihat keramaian itu? Dewi ingin sekali, tapi kanjeng rama tidak mengijinkan.”

“O iya, karena waktu itu di rumah sedang ada tamu kan?”

“Iya, Dewi tahu. Tamu paman tumenggung Ranuwirejo. Dewi agak kurang suka pada  dia.”

“Dia sahabat kanjeng ramamu, mengapa tidak suka?”

“Entahlah, mungkin karena mas Listyo suka mengganggu Dewi.”

“Dewi, Sulistyo itu satu-satunya putra pamanmu. Dia ganteng dan pintar. Sekarang sedang kuliah di luar negri.”

“Memangnya kenapa kalau dia ganteng dan pintar, lalu kuliah di luar negri?” sengit Dewi menjawab ucapan ibundanya.

“Ketika datang waktu itu, sebenarnya ayahanda dan pamanmu itu sedang membicarakan hal yang sangat penting.”

“Pasti urusan keraton yang tak ada habis-habisnya. Dewi tidak ingin tahu.”

“Dengar, pembicaraan itu bukan tentang keraton, tapi tentang perjodohan.”

“Perjodohan apa?”

“Perjodohan antara kamu dan Sulistyo.”

“Apa?” Dewi membelalakkan matanya, sementara Sinah yang mendengar tersenyum simpul, sambil menyingkirkan baju kotor yang tadi dipakai momongannya.

“Kamu sudah dewasa Dewi, sudah saatnya menikah. Ayahandamu memilihkan jodoh yang tepat untuk kamu.”

“Tidak mau. Dewi tidak mau menikah.”

“Dewi, memang ayahandamu belum mengatakannya pada kamu, tapi entah nanti atau besok, kamu juga pasti akan mendengarnya.”

“Tidak mau.”

“Apa kamu berani menentang kalau itu perintah ayahandamu?”

“Dewi belum ingin menikah. Dewi justru ingin matur pada kanjeng rama bahwa Dewi ingin kuliah.”

“Apa maksudmu?” sekarang den ayu Saraswati yang ganti terkejut.

“Dewi ingin kuliah, kanjeng ibu.”

“Permintaan macam apa itu? Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Perempuan itu tugasnya hanya melayani suami,  mengatur rumah tangga, memiliki anak yang banyak,” sergah sang ibu.

“Kanjeng Ibu, jaman sudah berubah. Perempuan berhak memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Kalau laki-laki bisa sekolah tinggi, perempuan demikian juga.”

“Jangan ikut-ikutan memahami aturan bubrah semacam itu. Kamu itu putri yang masih keturunan priyayi luhur, bukan anak orang sembarangan. Lalu untuk apa perempuan sekolah tinggi kalau akhirnya hanya akan menjadi istri? Dan kewajiban istri itu kan melayani suami.”

“Perempuan jaman sekarang beda dengan gadis pingitan Bu. Jaman sekarang perempuan juga boleh bekerja. Bahkan ada yang jadi tentara, atau_”

“Stop … stoop. Aduh … aduuh, putri kanjeng ibu kok pintar-pintarnya menjawab. Kamu itu gadis yang bukan gadis sembarangan. Mana pantas bekerja di luaran, bahkan menjadi tentara? Jangan mempermalukan keluargamu. Kamu itu pantasnya duduk di rumah, dilayani, lalu setelah suami pulang kewajibanmu adalah melayani suami. Itu sudah cukup. Dan hidupmu tidak akan kekurangan.”

“Kanjeng ibu ….”

”Kalau kamu bekerja, berarti kamu itu menjadi bawahan. Mana pantas puteri den mas Adisoma yang dihormati lalu menjadi bawahan, diperintah orang, melakukan hal-hal rendah lainnya? Malu, Dewi. Ibu malu.” kata sang ibunda tandas.

“Kanjeng Ibu harus ingat, ini bukan jaman kuno, dimana seorang gadis hanya harus bersimpuh di hadapan suami.”

“Sebenarnya siapa yang mengajari kamu dengan kalimat-kalimat tak masuk akal seperti itu? Katakan siapa? Kalau sampai ayahandamu mendengarnya, bisa geger seisi rumah,” kata sang ibunda dengan nada tinggi.

Dewi Pramusita menundukkan wajahnya. Setitik air matanya menetes. Sekilas wajah Satria melintas. Ia banyak memberi contoh tentang perempuan masa kini yang tidak harus mengabdi hanya kepada suami, tapi juga harus berpendidikan tinggi. Bahkan sejajar dengan kaum laki-laki, walau kodrat mengatakan bahwa tetap saja seorang istri harus ada di bawah laki-laki.

Sang ibunda yang merasa kesal kemudian meninggalkan keputren, setelah berpesan kepada mbok Randu agar bisa mengajari Dewi agar bisa menerapkan kewajiban  seorang putri yang sebenar-benarnya.

***

Dewi Pramusita duduk di tepi pembaringan, sambil mengusap air matanya. Sinah yang bersimpuh dibawahnya membantu membetulkan kain jariknya yang berantakan akibat dibawanya berlari menuju kamar setelah sedikit ‘bertengkar’ dengan sang ibunda.

“Sudah, den ajeng, jangan menangis lagi. Sebentar lagi denmas Adisoma akan datang, dan pasti den ajeng akan dipanggil untuk menghadap. Masa den ajeng mau menghadap dengan wajah gelap penuh air mata begitu?” kata mbok Randu.

“Aku tidak mau menghadap kanjeng rama.”

“Lhoh, lha nanti kalau Den Ajeng tidak mau menghadap, keng rama duka bagaimana?”

“Pokoknya tidak mau,” sentaknya.

“Den ajeng … ada apa sebenarnya, apa Den Ajeng memikirkan Satria?” kata Sinah pelan.

“Mengapa kamu berpikir begitu?”

“Den Ajeng mau dijodohkan dengan seorang laki-laki, putra tumenggung, ganteng pintar kuliahnya saja di luar negri. Mengapa tidak mau?”

Barangkali karena Sinah lebih suka melihat momongannya menjadi istri yang putra tumenggung daripada Satria yang dikaguminya, maka dia selalu mendorong Dewi agar mau menerima perjodohannya dengan pilihan orang tuanya. Tapi betapa kesalnya Sinah karena ternyata Dewi tidak peduli pada apapun. Sinah yakin bahwa sang majikan pasti lebih duka bercintaan dengan Satria, yang anak kampungan dan anak orang biasa,

Sinah mulai berpikir, bagaimana caranya agar Dewi tidak lagi peduli pada Satria, tapi menuruti kehendak orang tuanya.

“Sinah, lepaskan pakaianku, aku mau istirahat saja.”

“Den Ajeng, bukankah keng rama sudah datang dan pasti sedang menunggu kedatangan den ajeng?”

“Kalau kanjeng rama menanyakan, katakan bahwa aku sedang tidak enak badan.”

“Tapi saya takut Den Ajeng, berbohong pada den mas Adisoma adalah dosa, Bagaimana kalau saya dipecat dan tidak boleh lagi mengabdi di sini?”

”Saya pasti akan membela kamu, Nah. Jangan takut.”

Barangkali karena Dewi memperlakukan Sinah bukan seperti pembantu, apalagi ketika Sinah juga diijinkan bersekolah bersamanya, maka Sinah agak lebih berani menentang Dewi yang dalam pendidikan, majikannya adalah teman sekolah.

“Sinah, bantu aku melepaskan pakaianku,” Dewi mengulang perintahnya.

Tapi tiba-tiba mbok Randu nyelonong masuk.

“Den Ajeng, ditunggu keng rama di pringgitan … “

“Apa? Mengapa di pringgitan?”

“Kelihatannya mau bicara penting dengan Den Ajeng,”

”Mbok, bilang pada kanjeng rama, aku sedang tidak enak badan.”

“Den Ajeng sakit?”

“Iya Mbok, tolong bilang pada kanjeng rama ya mbok. Tadi aku sudah siap-siap mau sowan, tapi kemudian badanku rasanya tidak enak. Sinah, lanjutkan melepas jarikku, ambilkan baju tidur saja, lalu gosok badanku dengan minyak telon,” perintahnya kemudian kepada Sinah, yang kali ini tidak berani membantah.

“Baiklah, kalau Den Ajeng masuk angin, saya mau matur keng rama apa adanya,” kata mbok Randu sambil beringsut mundur, lalu keluar dari ruangan.

***

“Mana den ajeng?” tanya denmas Adisoma yang masih duduk menunggu.

“Mohon ampun Den Mas, den ajeng tidak bisa kemari karena sedang tidak enak badan,” kata mbok Randu.

“Dia sakit?”

“Tapi tadi ketika aku ke sana, dia sudah siap berdandan, menunggu kedatangan kangmas,” kata den ayu Saraswati.

“Lalu tiba-tiba dia sakit?”

“Kelihatannya masuk angin, tadi menyuruh Sinah untuk menggosok tubuhnya dengan minyak telon,” lanjut mbok Randu.

“Ya sudah, ya sudah ….”

Mbok Randu beringsut mundur, sementara denmas Adisoma masih duduk bersama sang istri.

“Tadi aku ketemu lagi, dimas Tumenggung menunggu jawaban dari kita,” katanya kepada sang istri.

“Iya, saya mengerti. Pasti dia sedang menunggu.”

“Apakah Diajeng sudah mengatakan semuanya pada Dewi?”

“Baru sekilas.”

“Dia senang bukan? Calon suaminya tidak mengecewakan. Aku sudah mantap untuk menjadikannya menantu.”

“Entahlah, tentang senang atau tidak, nanti Kangmas bisa bertanya langsung pada dia, kalau dia sudah merasa lebih sehat.”

“Tapi orang senang atau tidak kan kelihatan, Diajeng?”

“Saya tidak bisa menangkap apa yang dirasakannya. Dewi masih sangat muda. Dia punya keinginan yang aneh-aneh.”

“Keinginan yang aneh-aneh itu apa?”

“Katanya ingin melanjutkan kuliah,” kata sang istri agak takut, karena kalau suaminya marah, suaranya akan sekeras guntur musim kemarau.

“Apa? Siapa yang mengajarinya sehingga dia punya pemikiran semacam itu?” katanya keras sekali, benar seperti perkiraan sang istri.

“Itu baru wacana saja, Kangmas. Bukankah semua akan tergantung pada Kangmas?”

Wajah denmas Adisoma muram bagai tertutup mendung.

“Besok pagi sebelum aku berangkat, suruh dia menemui aku. Tapi tidak, jangan pagi, karena aku harus ke kantor pagi-pagi sekali. Sore setelah aku pulang, dia sudah harus menunggu. Aku akan bicara serius dengannya,” katanya sambil berdiri lalu masuk ke dalam rumah.

Sang istri mengikuti dari belakang dengan patuh.

***

Pagi hari itu ketika sedang berdandan di depan cermin, ponsel Dewi berdering. Dewi segera meraihnya, dari Satria.

Dewi menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan bahwa tak ada orang di sekitarnya, lalu ia menerima telpon itu.

Tapi Dewi tak mengira, Sinah sedang berdiri di depan pintu, dan diam-diam mendengarkannya.

***

Besok lagi ya.

 

Saturday, May 3, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 01

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  01

(Tien Kumalasari)

 

Seorang wanita cantik dengan pakaian anggun sedang duduk di sebuah kursi, di dalam ruangan yang indah dan artistik.

Seorang wanita paruh baya sedang melayaninya dengan membawakan secangkir coklat panas.

Dia adalah den ayu Saraswati, istri seorang pejabat istana yang kaya raya.

Suaminya, Raden Mas Adisuma adalah kerabat keraton yang sangat disegani. Mereka hidup bahagia di dalam rumah kuno yang artistik dan penuh dengan barang-barang antik mahal yang mengagumkan.

Beberapa abdi yang ada, memiliki tugas yang berbeda. Tangkil, seorang tukang kebun setengah tua yang menjaga kebersihan kebun dan merawat tanaman bunga kesukaan den ayu Saraswati, juga menjadi kusir kereta yang setiap hari mengantarkan putri majikannya ke sekolah, sekaligus menjadi sopir ketika keluarga Adisoma pergi ke luar kota.

Mbok Randu, emban yang menjadi inang pengasuh Dewi Pramusita sejak masih bayi, sampai sang Dewi menginjak dewasa masih tetap menjadi abdi setia. Ia juga meladeni segala keperluan keluarga, termasuk menyiapkan baju sampai makanan kesukaan sang majikan.

Mbok Manis adalah tukang masak yang bertahun-tahun meladeni keluarga majikannya. Dan Sinah adalah anak mbok Manis yang bertugas bersih-bersih rumah. Sinah seumuran dengan Dewi Pramusita, setelah menyelesaikan tugasnya ia selalu menemani bermain atau apa saja yang ingin dilakukan sang putri majikan. Atas permintaan Dewi, Sinah juga bersekolah dimana Dewi juga bersekolah sampai SMA. Walaupun menjadi teman sekolah, Sinah tetap menjadi abdi bagi Dewi, dan meladeni baik saat di sekolah, seperti ketika ada di rumah.

Mereka adalah keluarga bangsawan yang masih memegang teguh kebangsawanannya di tengah kehidupan modern yang hampir tidak mempedulikan lagi keningrat-ningratan yang masih dilakoni oleh sementara keluarga bangsawan.

Hari itu Dewi yang sudah lulus SMA mengajak Sinah berjalan-jalan.

“Sinah, beri tahu man Tangkil, kalau aku ingin berjalan-jalan dengan kereta ya,” perintah Dewi kepada Sinah.

Panggilan 'man' yang berarti paman adalah panggilan hampir semua orang kepada Tangkil, kecuali den mas Adisoma dan istrinya yang hanya memanggil namanya saja.

“Tapi man Tangkil sedang membersihan taman, den ajeng.”

“Memangnya den ajeng mau kemana?” tanya mbok Randu yang mendengar perintah Dewi.

“Hanya ingin jalan-jalan saja. Tolong Mbok, hanya berkeliling tembok Baluwarti saja.”

“Coba Nah, kamu panggil man Tangkil, suruh keluarkan kereta,” perintah mbok Randu kepada Sinah, yang segera berlari memenuhi perintah sang majikan.

“Tapi jangan lama-lama ya den ajeng, nanti dimarahi kanjeng ibu lho.”

“Aku sudah bilang pada kanjeng ibu.”

Mbok Randu segera berlalu, setelah ia melihat Tangkil datang dengan membawa kereta kuda, bersama Sinah.

“Man, jangan terlalu jauh perginya, ini sudah sore, sebentar lagi gelap. Ingat ya, hanya mengelilingi Baluwarti," pesannya kepada Tangkil sebelum berlalu.

“Siap Mbok.”

Sinah yang melompat turun dari kereta segera membantu Dewi naik ke atas.

“Sudah siap den ajeng?”

“Sudah, pelan-pelan jalannya ya Man.”

“Baik, den ajeng,” kata Tangkil sambil mengayunkan cemethinya yang mengeluarkan suara nyaring di udara.

Taar … taaarr …!

Dewi Pramusita duduk anggun di bangku kereta. Rambut panjangnya digelung indah, dengan tusuk konde bermata berlian yang berkilat ketika matahari sore menyengatnya.

Ia mengenakan baju panjang dengan potongan sederhana, berwana biru langit yang terbuat dari kain satin yang berkilat-kilat. Sebuah selendang tipis berwarna kuning keemasan melilit di lehernya yang jenjang.

“Sinah, duduklah di sampingku sini,” kata Dewi ketika melihat Sinah duduk di bawah.

Sinah yang memakai kain lurik dan kebaya sependek pinggang, menatap sang majikan dengan ragu.

“Saya tidak berani, den ajeng, biar di sini saja.”

“Nggak boleh, kamu harus duduk di sini.”

“Tapi ….”

“Sinah, ini perintah. Kita sedang ada di luaran, aku tidak mau kelihatan aneh ketika orang-orang melihat kita.”

“Ini bukan aneh, bukankah memang seharusnya begini? Den ajeng adalah seorang putri yang_”

“Sinah, aku memerintahmu agar duduk di sampingku,” tandas Dewi.

“Baiklah, baiklah,” kata Sinah yang segera bangkit, lalu duduk di samping Dewi, seperti yang diperintahkannya.

“Nah, begini lebih enak.”

“Den ajeng mau ke mana?” tanya Tangkil.

“Keluar dari pintu gapit utara Man, hari masih sore.”

“Tapi kita bisa kemalaman, den ajeng.”

“Nggak apa-apa. Untuk apa berkeliling Baluwarti yang setiap hari aku sudah melihatnya.”

“Nanti kalau denayu marah, bagaimana?”

“Ya tidak Man, masa hanya ingin jalan-jalan saja dimarahi?”

“Nanti den ajeng tanggung jawab ya,” kata Tangkil.

“Aku yang nyuruh, berarti aku yang tanggung jawab.”

“Soalnya kalau man Tangkil yang disalahkan … ya takut, den ajeng.”

“Tidak Man. Tenang saja. Lihat, ada lampion-lampion bagus di sana.”

“Itu karena ada perayaan Imlek kemarin dulu, den ajeng,” sambung Sinah.

“Oh, iya. Waktu itu aku pengin melihat, tapi dilarang oleh Rama.”

“Man, kita ke sana,” perintah Dewi lagi.

“Den ajeng, angin sore amat kencang, nanti den ajeng masuk angin,” kata Sinah.

“Tidak. Masa hanya karena angin saja aku bisa masuk angin.”

“Yang namanya masuk angin itu ya karena angin,” kata Tangkil sambil bersungut-sungut.

Dewi membiarkannya. Ia begitu gembira bisa jalan-jalan keluar di sore hari itu. Sebentar-sebentar dia berteriak ketika melihat sesuatu yang membuatnya heran.

Dewi adalah putri semata wayang keluarga Adisoma. Dia dijaga bagai menjaga permata. Disayangi dan dimanjakan serta dipenuhi apa yang menjadi keinginannya.

Tapi dia sangat jarang keluar rumah, kecuali kalau sedang bersekolah. Ketika Dewi bisa berjalan-jalan, maka berarti sang ayah sedang tidak ada di rumah, karena kalau sang ayah ada, tak mungkin Dewi diijinkan keluar tanpa alasan yang jelas.

"Kita pulang ya, hari hampir gelap,” kata Tangkil.

“Sebentar, sampai Pasar Gede itu Man, muter dulu baru pulang. Aku suka melihat lampion-lampion itu,” pekik Dewi.

Tangkil tak berdaya, jadi terpaksa mengikuti kemauan majikannya.

Tiba-tiba angin yang bertiup sangat kencang, menerbangkan selendang yang semula melingkar di leher Dewi.

“Eeeeitt,” Dewi memekik karena terkejut.

“Ya ampun, berhenti Man … selendang den ajeng jatuh diterbangkan angin,” Sinah ikut-ikutan memekik.

Tangkil menghentikan keretanya di pinggir jalan, lalu Sinah melompat turun. Ia bergegas ingin mengambil selendang itu, tapi angin yang kencang lagi-lagi menerbangkannya menjauh.

“Eeeh, bagaimana ini?”

Sinah mengangkat kainnya sedikit agar bisa berlari, tapi kendaraan terlalu ramai. Tiba-tiba seorang pengendara sepeda motor melewati selendang yang terserak di jalan. Ia segera memungutnya, dibawanya ke pinggir, karena melihat seorang gadis berlarian di sepanjang jalan dan tampaknya mengejar selendang yang terbang itu.

“Mengejar ini?” tanya laki-laki muda bersepeda motor itu.

“Iya, terima kasih ya Mas. Eh … kamu, bukankah Satria?”

“Lhoh, Sinah ya? Selendangmu bagus banget,” puji Satria yang ternyata teman sekolahnya, yang tentunya juga teman sekolah Dewi.

“Itu, punya den ajeng Dewi,” kata Sinah sambil menunjuk ke arah kereta yang berhenti di pinggir jalan, sedangkan Dewi sedang menghadap ke belakang, mengawasi mereka.

Satria melambaikan tangannya, kemudian memacu sepeda motornya mendekat.

“Dewi? Selendang itu punya kamu?”

Dewi tersenyum, manis sekali, tapi Tangkil yang mendengar orang memanggil majikannya hanya dengan namanya saja, segera menoleh dan menegurnya dengan marah.

“Hei, anak muda. Jangan sembarangan kamu memanggil nama den ajeng dengan hanya menyebut namanya. Den ajeng Dewi. Mengerti?” tegurnya keras.

“Man, ini teman sekolah aku. Tidak apa-apa memanggil hanya namaku.”

“Apa maksud den ajeng? Dia tidak menghormati den ajeng, saya harus menegurnya.”

“Tidak usah, tidak apa-apa,” dan dengan santai Dewi justru turun dari kereta lalu berbincang akrab dengan Satria. Tangkil hanya geleng-geleng kepala.

Sinah menatap keduanya dari tempat yang agak jauh. Satria adalah murid pintar di sekolah. Ia manis dan ganteng, kecuali itu juga baik hati. Tapi Sinah hanya mengagumi diam-diam. Ia tahu majikannya sangat dekat dengan Satria. Ia juga tahu bahwa keduanya saling suka. Tapi mana berani Satria mengutarakan hatinya kepada gadis cantik yang kata pak kusir harus dipanggilnya den ajeng itu?

Diam-diam Sinah mensyukuri ketimpangan antara keduanya dalam hal derajat dan kedudukan. Kalau mereka tak bisa bersatu, bukankah dia punya kesempatan untuk mendekatinya? Sinah merasa bahwa dirinya juga cantik. Ia hanya tidak punya pakaian bagus, dan juga tidak boleh berpakaian yang modelnya sama dengan sang majikan, walau kainnya berbeda sekalipun. Tapi Sinah bukan gadis yang tak punya pengagum. Kecantikannya hanya sedikit berbeda dengan den ajeng Dewi. Tentu saja Sinah tak berani bersaing, dan mana bisa ia menyaingi den ajeng Dewi yang bukan hanya cantik tapi memiliki baju-baju bagus karena dia memang puteri pejabat yang kaya raya.

Dewi dan Satria masih asyik berbincang. Dewi tampak begitu senang. Wajahnya berseri-seri. Terkadang tawa kecil terdengar dari bibir tipisnya. Wajah Tangkil sudah sangat muram. Berkali-kali dia menoleh ke arah den ajeng yang masih asyik berbincang. Tapi rupanya Dewi masih belum ingin mengakhirinya.

Sinahpun lama-lama juga merasa gerah. Ia ingin menegur tapi tak berani.

“Apa benar, aku boleh main ke rumah kamu?” tanya Satria yang kemudian terdengar.

“Tentu saja boleh. Lewatlah pintu belakang, cari Sinah, nanti dia akan memberitahu aku, kita bisa berbincang di pelataran, di bawah pohon tanjung. Ada taman kecil di sana,” kata Dewi.

Tangkil berdehem keras sekali.

“Kamu juga bisa menelpon aku kan?” lanjut Dewi.

“Tidak berani. Dulu aku pernah menelpon, yang menerima bukan kamu, aku dimarah-marahi,” keluh Satria.

“Tidak lagi, ponsel selalu aku yang membawa. Dulu itu ketinggalan di ruang tengah, kanjeng ibu yang menerima.”

“Sinah, bukankah hari mulai gelap?” kata Tangkil kemudian kepada Sinah.

“Iya, Man. Lama-lama aku takut kena murka,” kata Sinah.

“Dewi, aku mau pulang dulu ya, hari mulai gelap," kata Satria yang merasa disindir.

Akhirnya Dewi mengangguk. Matahari tak lagi tampak, remang mulai menyapu alam.

Satria menstarter sepeda motornya, melambaikan tangan kepada Dewi dan dibalasnya sambil tersenyum manis.

“Sinah, ayo kita pulang,” kata Dewi sambil naik ke atas kereta, dan Sinah bergegas mendekat, lalu kembali duduk di samping majikannya.

Tanpa diperintah, Tangkil mengayunkan cemethinya dan sang kuda segera menarik kereta dengan semangat.

“Den ajeng, hari sudah gelap, bagaimana kalau denmas sudah pulang lalu marah-marah karena den ajeng tidak ada di rumah?” kata Sinah mengingatkan.

“Apakah rama akan pulang sore ini?”

“Saya juga tidak tahu, tapi kemungkinan itu ada. Apa jawab den ajeng kalau nanti keng rama bertanya?”

Dewi tampak termangu. Ia juga takut kepada ayahandanya, kalau sang ayahanda itu sampai marah.

“Mengapa juga, tadi kita pergi sampai hari gelap?” keluh Dewi.

“Saya sudah mengingatkan, tapi den ajeng malah bercanda dengan anak kampungan itu," kata Tangkil.

“Eh, dia itu bukan anak kampungan. Dia bintang kelas di sekolah, dia itu calon insinyur, tahu.”

“Walau begitu dia itu hanya anak orang  kebanyakan. Tidak punya derajat. Mana keng rama mengijinkan den ajeng bergaul dengan sembarang orang.”

“Di sekolah itu ada banyak orang dengan bermacam-macam asal usulnya. Menurutku tak ada bedanya antara aku dan mereka,” gerutu Dewi.

“Tapi den ajeng tidak pantas bergaul dengan mereka. Berteman di sekolah dengan berteman terlalu dekat itu beda,” sambung Sinah.

“Satria itu berbeda, dia sangat baik. Aku juga akan meminta kanjeng rama agar diijinkan aku kuliah seperti Satria,” gumam Dewi hampir tak terdengar.

Tangkil tak menjawab. Dia sedang sibuk mencari jawaban kalau nanti sang majikan memarahinya, karena menuruti permintaan den ajeng Dewi sementara mbok Randu sudah mengingatkan.

Tangkil tak akan sampai hati menyalahkan den ajeng Dewi, karena ia juga sangat menyayanginya karena ikut momong sejak Dewi masih kecil.

***

Tapi mereka sangat beruntung, karena den mas Adisoma memang belum pulang di sore hari itu.

Dewi langsung menyelinap ke dalam keputren, tapi Sinah kemudian langsung menemui denayu Saraswati.

“Sinah, kalian pergi ke mana saja, sudah malam baru pulang?”

Sinah mendekat lalu bersimpuh di hadapan nyonya majikan.

“Den Ayu, mohon saya dimaafkan. Saya sudah mengingatkan, tapi den ajeng tidak mau mendengar. Tadi den ajeng menyuruh man Tangkil membawa kami ke Pasar Gede. Dan Den Ayu harus menegur den ajeng Dewi. Dia bertemu dengan teman sekolah yang sangat kurang ajar.”

“Kurangajar bagaimana?”

“Dia hanya anak muda kampungan, anak orang biasa, tapi berani merayu den ajeng dengan kata-kata manis. Saya sangat khawatir, Den Ayu harus mengingatkannya,” kata Sinah dengan mulut meruncing.

***

Besok lagi ya.

 

                                                                                                                                                                                                                                                                                

Thursday, May 1, 2025

ADA MAKNA 43

 ADA MAKNA  43

(Tien Kumalasari)

 

Reihan kebingungan. Ia berjalan ke arah samping, tapi semua pintu tertutup. Tak ada orang di tempat itu.

“Kok aneh? Mengapa tiba-tiba tutup?" Seru Reihan.

“Tulisan toko bunga “INDAH” juga tak ada lagi?” kata Emma menimpali.

“Betul, kamu melihat ibu di sini?” tanya Wahyu.

“Masa aku bohong mas, tanya pada mbak Emma, aku nangis-nangis di depan ibu, tapi ibu marah-marah. Aku mau merangkul kakinya, tapi dihindari sehingga aku jatuh  tertelungkup,” kata Reihan yang kemudian melihat ke sekeliling.

Ada onggokan bunga layu di sebelah rumah di dalam bak sampah, tidak banyak. Tapi itu bukan petunjuk. Barangkali memang mereka membuang bunga-bunga layu yang tidak terjual.

“Ke mana mereka? Apakah ibu memang benar-benar marah dan tak ingin bertemu kita ya Rei?”

“Menurut aku, ibu masih menaruh perhatian pada putranya. Ia mengirim bunga dan mensyukuri kebahagiaan kita,” kata Tia.

“Itu benar,” kata Emma.

“Kalau begitu kita harus mencarinya ke mana?” kata Wahyu.

Ketika ia melihat seseorang dari samping rumah sedang membuka pintu pagar untuk keluar, Wahyu memburunya, diikuti yang lain.

“Pak … Pak, mohon tanya Pak.”

Laki-laki setengah tua itu berhenti lalu menatap mereka dengan heran.

“Mau beli bunga?” tanya laki-laki itu.

“Mengapa tiba-tiba tokonya tutup? Tadi pagi masih ada,” kata Reihan.

“Oo, iya. Saya juga heran. Tiba-tiba mereka pindah, padahal kontraknya baru akan habis seminggu yang akan datang.”

“Ini rumah Bapak?”

“Iya. Dikontrak selama dua tahun. Toko kembangnya lumayan rame sebenarnya. Tapi tadi tiba-tiba bu Wanda minta pamit. Ia juga membawa bunga-bunga dagangannya yang masih segar. Saya heran, baru kemarin bunga-bunga baru datang.”

“Jadi sekarang pindah ke mana?”

“Saya bertanya, dia hanya menjawab di dekat rumah, begitu. Tapi rumahnya di mana saya juga tidak tahu. Kami tidak pernah berbincang, karena bu Wanda juga jarang keluar.”

Wahyu dan yang lainnya saling pandang, dengan wajah-wajah keruh.

“Anak-anak ini mau beli bunga? Agak masuk ke sana, ada toko bunga yang lebih besar, cuma harganya memang lebih mahal. Beda dengan toko bunga bu Wanda, yang lebih murah dan bagus-bagus. Pegawainya juga baik dan ramah. Ada satpam yang jaga, karena toko ini kan letaknya di pinggiran kota. Dulu pernah ada orang jahat yang bermaksud mencuri, untung digagalkan oleh orang kampung sini. Sejak itulah bu Wanda mempekerjakan seorang satpam di tokonya,” terang bapak setengah tua yang ternyata adalah pemilik kios bunga Wanda.

“Di sana Nak, tapi agak jauh dari sini, letaknya di dalam kota, saya lupa nama tokonya,” lanjutnya.

“Baiklah Pak, terima kasih banyak,” kata Wahyu sambil mengajak yang lainnya masuk ke dalam mobil.

***

Wahyu mengemudikan mobilnya tak tentu arah, karena memang tidak tahu ke mana sang ibu pergi dengan bunga-bunganya.

“Rupanya dengan tidak tahunya ibu tentang uang kas yang sudah kamu bayar itu Rei, lalu ibu menganggap bahwa kita tega pada ibu.”

“Benar. Tadi itu aku hampir menerangkan kejadian yang sesungguhnya, tapi ibu keburu mengusir aku. Aku bermaksud mengajak mas Wahyu saja, supaya bicara dengan ibu, tapi bagaimana lagi. Aku sungguh tidak mengira ibu ingin menghindari kita,” keluh Reihan sedih.

Sementara Tia sudah mengerti tentang kejadiannya, Emma hanya diam karena Reihan tidak pernah menceritakan perihal ibunya. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi antara Reihan dan Wahyu dengan ibunya.

Wanita bernama Wanda itu tampak sangat marah ketika melihat Reihan, bahkan kemudian mengusirnya. Dosa apa yang diperbuat anak-anaknya sehingga sang ibu tampak begitu benci kepada mereka? Tapi kiriman bunga itu kan tidak menunjukkan rasa benci, tapi bersyukur? Ia malah mengira bahwa anaknya benci, bukankah begitu?

Walau begitu Emma tidak berani mengatakan apa-apa. Takut salah.

Tapi tiba-tiba Emma berteriak.

“Itu… ituuu …”

“Ada apa?” tanya Reihan bingung.

“Berhenti dulu … itu kan pak satpam yang tadi.”

Wahyu mengerem mobilnya tiba-tiba, membuat penumpangnya sedikit terantuk jok di depannya.

“Satpam?”

“Yang jalan ke sana itu Mas.”

Reihan segera melompat keluar, lalu berteriak memanggil.

“Paak. Paaaak, berhenti duluuu!”

Laki-laki yang masih terhitung muda itu berhenti. Ia memakai seragam satpam, seperti yang dilihat Reihan dan Emma pagi tadi.

Wahyu dan Tia ikut turun dan mendekat.

“Mas yang jadi satpam di toko bunga INDAH kan?”

“Iya. Ada apa ya? Ini mas yang tadi ke sana dan membuat bu Wanda marah kan?”

“Sekarang bu Wanda ada di mana?”

“Mas mau ngapain? Marah?, lalu membawa teman untuk membalas dendam?” tanya satpam curiga.

“Membalas dendam bagaimana? Beliau itu ibu kami yang sedang marah pada kami,” terang Reihan karena tadi satpam itu juga tahu ketika sang ibu memarahinya.

“Sekarang di mana ibu saya?”

“Anda anaknya, tapi tidak tahu rumahnya?”

“Tolong jangan berbelit-belit, kami ingin bertemu. Ini kakak saya dan istrinya yang baru saja menikah. Mereka mau mohon doa restu. Semalam ibu mengirimi kami bunga,” kata Reihan lagi. Wahyu dan Tia mengangguk-angguk.

“Tapi ….”

“Tolong Pak …” sambung Wahyu.

“Sebenarnya bu Wanda berpesan agar saya tidak mengatakan kepada siapapun tentang kepindahan toko bunga itu. Kalau saya tidak menepati apa yang dikatakan, saya dipecat, bagaimana? Saya harus menghidupi anak istri.”

“Saya akan bertanggung jawab kalau Mas dipecat. Saya carikan pekerjaan yang gajinya lebih tinggi,” kata Tia.

Akhirnya sang satpam memenuhi permintaan mereka, mengantarkan Wahyu dan yang lainnya ke sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu jauh.

***

Melihat kedatangan mereka, wajah Wanda yang berada di dalam rumah, dimana bunga-bunga segar masih tertata rapi di depan, langsung menutup pintunya.

Wahyu dan Reihan mengetuk-ngetuk pintunya keras sekali.

“Ibu, tolong buka pintunya, biarkan kami bicara.”

Satpam yang tadi mengantarkan, diam-diam masuk melalui pintu samping. Rupanya sudah lama dia ikut bu Wanda dan menjadi satpam di toko bunganya. Wahyu yang melihatnya segera mengikutinya, dan menyerobot masuk melalui pintu samping.

Bu Wanda tampak marah sekali.

“Untuk apa kalian datang kemari? Bukankah kalian tidak lagi menganggap ibu kalian ini sebagai orang tua yang telah melahirkan kalian? Kalian tega, kalian_”

“Bu, ibu masih ingat Tia?” tiba-tiba Tia mendekat dan memegang tangannya. Wanda menatapnya, dan seketika amarah yang membara menjadi luruh seketika.

Tia adalah gadis yang disukai Wanda, yang digadang-gadang bisa menjadi menantunya dengan segala cara. Karena marah, Wanda tak begitu memperhatikan bahwa ada Tia diantara mereka. Sekarang gadis itu berada di depannya, memegangi tangannya, menatapnya dengan air mata berlinang.

“Kamu … Tia? Yang semalam menikah dengan Wahyu?”

Tia mengangguk.

“Ibu jangan marah. Wahyu dan Reihan bukan tidak peduli pada Ibu. Biarkan kami duduk dan berbicara. Banyak yang dilakukan putra-putra Ibu untuk Ibu.”

Wanda mengusap air matanya yang ikut-ikutan merebak karena ucapan Tia yang lembut. Sesungguhnya Tia bersyukur, ibu Wahyu yang semula dianggapnya cela, kemudian bisa mendandani hidupnya dengan langkah yang baik dan positif.

Lalu Wahyu mengatakan semuanya, tentang uang kas yang sudah dibayarnya, tentang keinginannya bertemu sang ibu yang selalu ditolak, dan tentang hukuman yang lebih ringan karena pihak sekolah sudah mencabut laporannya. Jadi sebenarnya Wanda hanya dihukum karena judi.

Wanda mendengarkan dengan seksama. Air mata yang tadinya setitik, menjadi menganak sungai membasahi wajahnya, apalagi ketika Wahyu dan Reihan bersimpuh di depannya dan ambruk di pangkuannya.

***

Di rumah, Emma bercerita tentang apa yang dilaluinya seharian. Hal-hal yang semula tidak diketahuinya, menjadi gamblang ketika mendengar pembicaraan Wanda dan anak-anaknya. Tapi dengan tersenyum, Ardi mengatakan bahwa ia sudah tahu semuanya. Bahkan Kinanti juga sudah tahu.

Emma merengut mendengar penuturan ayah dan ibunya, bahwa dia sudah mengetahui semuanya.

“Kenapa Bapak dan Ibu tidak pernah mengatakannya? Sungguh kami tidak tahu apa-apa,” protes Emma.

“Apakah itu perlu? Kejadian itu sudah lama ada dan tersebar di media massa. Kami sudah tahu, tapi tidak usah dibahas, karena itu bukan urusan kita. Ya kan?”

“Tapi sekarang bu Wanda sudah sadar. Dia tidak lagi bekerja, sudah membuka sebuah toko bunga, dengan modal penjualan rumahnya.”

“Syukurlah, senang mendengarnya. Bukankah lebih baik berjalan ke arah terang setelah kegelapan mengitarinya, daripada dari arah terang berjalan menuju ke kegelapan? Tobat dari manusia yang sadar akan diterima olehNya kalau ia benar-benar bertobat.”

“Artinya adalah, lebih baik orang jahat menjadi baik, dari pada orang baik menjadi jahat. Ya kan?”

“Anak pintar. Ya sudah, istirahatlah, seharian kamu keluar rumah.”

Emma mengangguk, lalu menuju ke kamarnya untuk beristirahat.

***

Reihan sangat bersemangat menekuni kuliahnya. Ia bahkan mengesampingkan pekerjaan sampingannya demi mengejar agar kuliahnya segera usai. Ini adalah keinginan yang ayah yang entah berada di mana sekarang ini. Ia ingin segera meuwujudkannya. Ia juga ingin ketika ia bisa menyelesaikan tugas kuliahnya dan berhasil menjadi dokter, sang ayah bisa menyaksikannya. Ia sering berkomunikasi, tapi sang ayah tak pernah mau mengatakan, di mana dia sekarang berada.

Hari berjalan begitu cepat. Dengan semangat dan ketekunan yang dimilikinya, akhirnya Reihan berhasil menyelesaikan kuliahnya.

Hari ini Reihan di wisuda. Yang hadir justru Wahyu dan istrinya, Emmi dan juga Emma. Wanda yang merasa sungkan bertemu orang-orang yang pernah dikenalnya, datang dengan sembunyi-sembunyi.

Ketika nama Reihan disebut lalu ia naik panggung untuk menerima tanda keberhasilannya, Wahyu menitikkan air mata.

Gempita tepuk tangan, gelora bahagia meluap dimana-mana, karena kebanyakan yang hadir adalah keluarga dari mereka yang berhasil mengalungkan jerih payah di hati masing-masing.

Ketika Wahyu memeluk Reihan, dibisikkannya sebuah kata manis.

“Rei, ini belum akhir dari pejuanganmu. Teruslah melangkah.”

Reihan mengangguk sambil mempererat pelukannya.

Disebuah sudut di luar ruangan, seorang laki-laki setengah tua sedang sibuk mengusap air matanya. Itu adalah air mata bahagia. Ia melangkah surut, lalu keluar dari ruangan.

Wanda melihatnya dan berteriak memanggil.

“Guntur!”

Tapi laki-laki tua itu terus saja melangkah pergi. Panggilan itu tak membuatnya menoleh, apalagi berhenti.

***

T A M A T

 

 

 

Seorang laki-laki menatap perempuan cantik di depannya, yang sedang menundukkan wajahnya sambil berurai air mata.

“Maafkan aku, aku tak lagi mencintaimu.”

 

Sebuah kisah mengharukan ketika cintanya tak terjangkau tangan. Benarkah bahagia tak pernah menghinggapi hidupnya?

Ada kisahnya lhoh,

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG.

Tungguin.

 

 ____


 

 

LANGIT TAK LAGI KELAM 10

  LANGIT TAK LAGI KELAM  10 (Tien Kumalasari)   Rizki menatap ayahnya tajam ayahnya, dengan pandangan tak percaya. “Bapak bilang apa?” “Apa ...