Thursday, August 4, 2022

KEMBANG CANTIKKU 39

 

KEMBANG CANTIKKU  39

(Tien Kumalasari)

 

Kontan saja Murti berteriak kesakitan karena tas yang dipukulkannya berbahan baku keras.

“Eh, gimana sih Bu, kok malah saya yang dipukul ?”

“Kamu menabrak aku, dimana kamu taruh mata kamu?”

Murti dan simbok menatap heran. Wanita itu cantik, tapi tampaknya lupa menyisir rambutnya, yang tergerai awut-awutan. Apa dia baru bangun dari tidur? Pikir mereka.

“Saya tidak bergerak, sedang memilih sayuran, bagaimana saya bisa menabrak?”

“Iya nih, Ibu jangan begitu, yang salah sampeyan,” sambung simbok kesal.

“Apa? Kamu orang rendahan mau menyalahkan aku?” hardiknya.

Tak tahan melihat pertengkaran yang nggak jelas itu, Nano langsung maju.

“Ibu yang menabrak istri saya, saya melihatnya. Ibu justru memukul istri saya. Bagaimana ibu bisa marah-marah? Harusnya saya yang marah sama Ibu.”

“O, jadi ini istri kamu? Ya pantas lah kalau kamu membelanya. Dan lagi, jangan panggil aku ‘bu’ … memangnya aku istri bapakmu?”

“Susah meladeni orang nggak waras, gerutu Nano pelan, kemudian menarik istrinya menjauh dari tempat itu.

“Heeiii … kamu bilang apa? Siapa yang nggak waras?” wanita itu mengejarnya.

“Apa maksud Ibu?”

“Jangan panggil aku Ibu.”

“Ya sudah, pergilah, aku tak mau bertengkar dengan perempuan. Apalagi perempuan pemabuk.”

“Apa katamu? Kamu jangan mentang-mentang menjadi laki-laki, lalu semena-mena terhadap perempuan.”

“Siang-siang begini ibu minum alkohol. Kalau mabuk jangan pergi ketempat umum. Bicaranya saja nggak jelas ujung pangkalnya,” Nano kembali menarik tangan istrinya, menjauh dari tempat di mana perempuan itu berdiri.

“Heii, jangan pergi. Aku tidak takut sama kamu.” 

Perempuan itu masih berteriak, tapi Nano dan istrinya serta simbok bergegas menjauh.

“Orang apa sih itu?” gumam simbok.

“Dia itu mabuk, baunya saja sudah tercium. Heran aku, siang-siang mabuk, pergi ke tempat umum pula.”

“Ya pantas kalau mabuk, ngomongnya nggak nyambung, kelakuannya juga ngawur,” kata simbok.

“Perempuan kok ya mabuk,” gumam Murti.

“Memang ada perempuan yang doyan minum minuman keras."

“Heeiii, tungguuu !” wanita itu berteriak, bermaksud mengejar lagi, tapi sebuah tangan memegang lengannya.

“Hei, hentikan kegilaan kamu. Bisa-bisa ditangkap polisi kamu."

Si pemabuk berhenti melangkah, menatap orang yang memegang lengannya. Seorang wanita cantik memandangnya tajam.

“Kamu siapa?” tanyanya,

“Siang-siang begini, kamu minum sampai mabuk?"

“Ya ampun, lepaskan tanganmu, aku mau makan sekarang, lapar sekali,” katanya sambil meninggalkan wanita yang tadi memegang lengannya. Ia naik ke lantai atas, kearah food court yang terletak di lantai tiga.

Nano yang menatapnya dari jauh heran. Yang baru datang itu sangat di kenalnya.

“Bukankah itu bu Qila? Apa dia kenal wanita mabuk itu?” gumamnya. Tapi ia enggan mendekatinya. Ia menarik tangan istrinya dan memintanya melanjutkan belanja, agar segera bisa pulang secepatnya.

***

Wanita yang sedang mabuk itu menikmati makanannya. Rambut pendeknya tergerai tak beraturan, sesekali disibakkannya saat beberapa helai rambut yang sesungguhnya indah itu menutupi dahinya.

Ia makan dengan lahap, seperti orang yang tiga hari tiga malam tidak makan. Sebentar-sebentar diteguknya minuman jeruk dingin di hadapannya.

“Heeiii, pelayan, aku mau minumnya lagi!” teriaknya ketika minuman dalam gelasnya ternyata habis.

Seorang pelayan membawakan lagi segelas jeruk dingin, diletakkannya di meja, sambil menyerahkan nota makan dan minum yang telah disantapnya.

“Aku belum selesai makan, mengapa kamu sudah menagih bayaran?” hardiknya marah.

“Maaf Bu, sebenarnya Ibu harus membayar saat memesan makan dan minuman ini.”

“Nanti. Setelah aku makan,” jawab wanita itu seenaknya.

Tak mau ribut, pelayan itu menunggu sambil berdiri tak jauh dari meja sang wanita. Wanita itu sudah menghabiskan makanannya, lalu meneguk habis minuman ke dua yang telah dihidangkan.

“Aku mau nambah lagi makannya, jangan pakai kuah,” katanya lagi karena tampaknya dia memang kelaparan.

“Maaf Bu, Ibu harus membayar dulu,” kata pelayan itu sambil mendorong nota yang tadi diletakkan di meja, ke arah wanita itu.

“Keterlaluan. Pelayanan macam apa ini?”

“Tolong Bu, ini peraturannya. Ibu seharusnya membayar sejak awal.”

Wanita itu membuka tas yang dibawanya, seperti mencari-cari sesuatu. Tapi kemudian ia meletakkan kembali tasnya.

“Uangku ketinggalan,” katanya sambil berdiri.

“Apa maksud Ibu?”

“Ternyata aku tidak membawa uang, aku mau pulang dulu.”

“Tidak bisa Bu. Kalau Ibu tidak membawa uang, harusnya tidak makan dan minum,” kata pelayan itu marah, sambil menghalangi langkah wanita yang mau kabur.

“Berapa wanita itu harus membayar?”

Pelayan itu terkejut. Seorang wanita cantik menepuk pundaknya.

“Berapa?” ulang wanita pendatang yang memang adalah Qila.

“Itu, notanya ada di atas meja.”

Qila mengambil nota itu, lalu memberikan sejumlah uang.

“Buatkan aku minum ke meja ini. Sebotol kola dingin saja, uang itu masih cukup kan?”

“Masih Bu,” kata pelayan itu sambil berlalu.

Wanita pertama yang tadinya sudah mau pergi, membalikkan tubuhnya lalu duduk di depan Qila.

“Kamu membayar makan dan minum aku?”

“Ya, sudah aku bayar.”

“Bolehkah aku minta nasi ayam sepiring lagi? Aku masih lapar,” katanya tanpa malu, sambil duduk di hadapan Qila.

“Oh ya? Rupanya kamu tidak makan selama sebulan ya.”

“Baru hari ini, enak saja,” sergah wanita itu.

“Baiklah. Beri dia sepiring nasi sama ayam goreng, kembaliannya masih cukup?” tanya Qila kepada pelayan yang datang membawakan sebotol minuman pesanan Qila.

“Kurang duapuluh ribu lagi Bu,” jawab pelayan itu.

Qila mengambil selembar uang limapuluhan ribu, dan pelayan itu berlalu untuk mengambilkan pesanannya lagi.

“Ada apa denganmu? Kamu cantik, berpakaian bagus, tapi lupa menyisir rambutmu, tidak mendandani wajahmu,” katanya sambil menyerahkan sisir dari dalam tasnya.

“Ini untuk apa?” tanya wanita itu.

“Itu sisir, kamu belum pernah melihat sisir?”

“Ya, ini sisir.”

“Sisir rambutmu, setidaknya agar kamu tampak lebih rapi.”

Wanita itu meringis, tapi ia kemudian menyisir rambutnya. Lalu ia mengembalikan lagi sisir itu ke hadapan Qila.

“Ambil saja sisirnya. Ogah aku memakainya lagi. Jangan-jangan ada kutunya di situ.”

Wanita itu terkekeh, tapi kemudian memasukkan sisir itu ke dalam tasnya sendiri.

“Kenapa kamu baik sama aku? Kita kan belum pernah bertemu,”

“Aku hanya butuh teman, tapi sekarang aku menyesal. Kamu teman yang menyusahkan,” gerutu Qila sambil menghirup kola dinginnya.

Wanita itu terkekeh lagi, serasa tak berdosa telah merepotkan orang yang baru saja dikenalnya.

“Sebenarnya aku ini menyenangkan. Ini karena aku sedang tidak senang saja,” gumamnya seperti kepada dirinya sendiri.

“Aku tahu, kamu orang yang tidak sedang senang. Siang-siang mabuk, itu mendekati gila.”

“Iya juga sih. Oh ya, namamu siapa? Namaku Kori. Jangan tanya Kori siapa, aku sudah lupa siapa namaku dan tak peduli lagi.”

“Namamu bagus. Apa yang terjadi denganmu? Ditinggal pacar? Suamimu selingkuh?”

“Nah, itu dia. Oh ya, siapa namamu, cantik?”

“Aqila. Panggil aku Qila saja. Kamu tadi bilang apa? Suami selingkuh? Benarkah?”

“Suamiku punya istri lagi.”

“Bodoh. Kenapa kamu tidak mau mencari laki-laki lain? Kamu cantik, apa susahnya menggaet seorang pria tampan?”

“Aku sangat mencintai dia. Tapi sejak ada istri mudanya, dia tidak lagi mencintai aku. Aku malah dijebloskannya ke dalam penjara.”

“Penjara? Jadi kamu baru keluar dari penjara? Kamu mencuri? Merampok? Ahaa, tak mungkin kamu berani melakukannya, tapi entahlah, melihat wajahmu, sepertinya kamu itu orang kejam. Kamu melakukan apa? Menganiaya orang?”

“Menculik bayi.”

“Haaa? Bayi siapa?”

“Bayi maduku. Heran, namanya Qila juga.”

“Apa? Apakah dia itu … ah … tidak … jangan-jangan itu ada hubungannya dengan Wahyudi.”

“Aku pernah mendengar nama itu. Tapi biarkan aku makan dulu, sudah sejak tadi nasi ayam ini dihidangkan,” kata Kori sambil menggigit paha ayam di piringnya.

***

Dalam perjalanan pulang, simbok masih berpikir tentang wanita pemabuk itu dan Qila, bekas menantu majikannya.

“Mengapa ya pak Nano, bu Qila berteman dengan wanita pemabuk itu? Siapa dia sebenarnya?”

“Saya juga tidak tahu Mbok, apa dia teman lamanya, atau bagaimana?”

“Wanita nggak bener, temannya juga nggak bener.”

“Saya juga heran Mas, wanita kok bisa mabuk ya?” tanya Murti.

“Bisa saja Murti. Biarpun wanita, kalau minum minuman keras ya bisa mabuk,"  jawab Nano.

“Aduh, wanita apa ya yang suka minum minuman keras?”

“Ya peminum namanya,” sambung simbok.

“Mengerikan orang kalau mabuk, seperti nggak ingat apa-apa. Masa sih, dia yang menabrak, tapi saya yang diomelin?”

“Namanya orang mabuk, ya semau dia. Dia juga barangkali tidak sadar apa yang dilakukannya.”

“Tapi heran aku Mas, wajahnya cantik lho, tapi penampilannya seperti menakutkan. Rambutnya tidak tersisir rapi, matanya merah. Iih, ngeri. Kalau tadi Mas tidak menarik aku untuk menjauhi dia, pasti aku sudah dihajarnya sampai lumat.”

Simbok tertawa.

“Dihajar sampai lumat, seperti sambal saja.”

“Iya lah Mbok, melihat terus ke arah saya, dan saya pergi juga dia maunya terus mengejar kan? Tadi kalau tidak ketemu temannya yang namanya … siapa tadi … bu Qila, pasti dia masih terus mengejar kita.”

“Kalau itu dilakukan, pasti dia sudah diseret keluar oleh satpam, atau malah dibawa ke kantor polisi.”

“Kok ada orang seperti itu.”

“Nak Murti belum tahu bu Qila ya? Dia itu bekas menantunya keluarga Kartiko.”

“Bekas menantu? Berarti bekas istrinya pak Wisnu?”

“Benar.”

“Istri cantik-cantik kok diceraikan ?”

“Itu karena kelakuannya nggak bener,” kata simbok.

“Pada suatu hari nanti aku akan cerita tentang bu Qila. Sekarang sudah sampai rumah, dan sebentar lagi aku juga bertugas mengantarkan Ibu.”

“Dan kita akan masak sayur bobor pesanan ibu ya Nak,” kata simbok.

“Iya, benar.”

***

Entah bagaimana caranya, karena kegilaan Kori, akhirnya Qila dan Kori bisa menjadi akrab. Kori bahkan tinggal di rumah Qila yang semula dikontrakkan dan sekarang sudah ditempatinya sendiri.

“Jadi Qila itu anak tiri kamu?”

“Ogah aku mengakui itu.”

“Aku pernah bertemu mereka. Bekas suami kamu dan istri mudanya. Aduh, sayang banget kamu diceraikan, dia tuh ganteng banget, tahu nggak sih?” kata Qila  menyatakan kekagumannya. Ia ingat ketika sedang mengejar Wahyudi tiba-tiba Sapto dan Retno muncul, menemui Qila, anak mereka. Dari situlah Qila menyadari bahwa Qila yang dimaksud Wahyudi bukanlah dirinya.

“Dia tampan sekali, tapi yang lebih menarik adalah karena dia kaya raya. Sial benar, sekarang aku dicampakkan. Sekeluar dari penjarapun aku menjadi tak punya siapa-siapa,” keluhnya sedih.

“Jangan sedih. Aku juga begitu, tak punya siapa-siapa, suamiku juga menceraikan aku. Tapi bukan karena ada wanita lain.”

“Lalu … kenapa?”

“Aku suka sama pria lain.”

Lalu keduanya terkekeh.

“Suamiku itu jauh dari ganteng. Sebenarnya dia tuh tidak jelek-jelek amat, cuma badannya gendut, sama sekali tidak menarik. Romantis juga tidak.”

“Sekarang pria lain itu menjadi kekasihmu?”

“Tidak juga. Mereka tidak menjadi kekasihku. Pokoknya nasibku tidak begitu baik. Mereka menolak aku. Tapi aku tidak sakit hati. Aku kan cantik, gampang mencari laki-laki yang aku suka. Tapi gilanya, aku masih selalu ingat sama yang namanya Wahyudi. Gimana ya caranya mendekati dia?”

“Wahyudi itu dulu pacarnya Retno, memang dia ganteng. Tapi dia miskin. Tidak sekaya suami aku.”

“Tidak apa-apa dia miskin, aku masih banyak uang. Suami aku menceraikan aku dengan memberikan mobilnya dan banyak uang untuk aku.”

“Berarti malang benar aku ini. Suami menceraikan aku, aku dipenjara dan sekarang aku tidak punya apa-apa.”

“Jangan bodoh. Kamu cantik, cari laki-laki kaya dan poroti uangnya.”

Lalu keduanya terkekeh senang, membayangkan mendapatkan permainan yang menyenangkan.

“Tapi diam-diam aku kangen sama anakku. Besok aku mau ke sana.”

“Ketemu bekas suami kamu dong.”

“Belum tentu, dia ada di rumah kakek-neneknya. Mungkin besok aku mau ke sana.”

***

Hari itu Aqila benar-benar pergi ke rumah bekas mertuanya. Ia ingin sekali bertemu Karmila anaknya. Tapi sesungguhnya dia ingin tahu bagaimana kabar Wahyudi. Ia belum tahu benar bagaimana keadaannya.

Ketika dia datang, kebetulan waktu itu pak Kartiko dan bu Kartiko sedang bepergian. Karena pintu depan terkunci, Qila masuk ke rumah melalui pintu samping. Tiba-tiba dia bertemu Murti, yang Qila tidak tahu, siapa sebenarnya dia. Tapi Murti pernah melihatnya di supermarket ketika ada wanita pemabuk menabraknya. Nano juga sudah bercerita mengenai Qila yang bekas menantu keluarga Kartiko.

“Kamu siapa?” tanya Qila.

“Saya Murti.”

“Pembantu baru di sini?”

Murti tidak tersinggung. Tidak apa-apa dikira pembantu. Ia tetap menghadapinya dengan tersenyum.

“Saya istrinya mas Nano.”

“Lho, Nano sudah punya istri?”

“Ya, beberapa bulan yang lalu.”

“Bapak sama ibu kemana?”

“Sedang pergi, tapi sudah agak lama, mungkin sebentar lagi pulang. Kalau ibu mau menunggu, akan saya bukakan pintu depan.”

“Tidak, aku mau ketemu Mila.”

“Dia ikut bersama  kakek-neneknya.”

“Aduh, sayang sekali. Oh ya, apa Wahyudi masih di sini?”

“Mas Wahyudi sudah pulang ke rumahnya, sebentar lagi dia akan menikah,” kata Murti yang sudah tahu bahwa Qila menyukai Wahyudi, jadi ia ingin agar Qila tak lagi berharap atas Wahyudi lagi.

“Menikah?” Qila lumayan terkejut, tapi berusaha menenangkan hatinya.

“Siapa calon istrinya?”

“Dia adik saya sendiri, namanya Murni,” biar jelas sekalian, maksud Murti.

“O, adik kamu? Dimana sih rumah kalian?”

“Dari desa Matesih. Silakan masuk Bu, saya bukakan pintunya.”

“Tidak usah, saya mau pulang saja.”

Qila membalikkan tubuhnya, tapi dia mencatat baik-baik nama Murni dan desa asalnya.

***

Besok lagi ya.


Wednesday, August 3, 2022

KEMBANG CANTIKKU 38

 

KEMBANG CANTIKKU 38

(Tien Kumalasari)

 

Wahyudi dan Barjo menatap ke arah pintu, di mana sang sekretaris berdiri.

“Siapa?”

“Namanya bu Gatot,” kata sekretaris itu.

Wahyudi dan Barjo saling pandang. Tapi kemudian Wahyudi mempersilakannya masuk. Mereka heran karena belum pernah melihat wanita itu sebelumnya. Seorang wanita dengan pakaian bagus, berdandan sangat menyolok, dengan alis tebal, mata dengan eye shadow yang tak kalah tebalnya, dan bibir yang merah menyala. Ada gelang berkilauan di kiri dan kanan pergelangan tangannya dengan gemerlap permata menyilaukan, kalung dengan rantai sebesar ibu jari tangan melingkar di lehernya yang hampir tidak kelihatan karena tertutup pipinya yang gembur.

Wanita itu mengangguk hormat.

“Ibu mau ketemu siapa?”

“Saya ingin ketemu pak Wahyudi, benarkah saya berhadapan dengan Pak Wahyudi?”

“Saya Wahyudi. Apakah kita pernah bertemu?”

“Belum pernah. Perkenalkan, nama saya bu Gatot, dari Matesih.”

“Matesih?” gumam Wahyudi. Yang dikenalnya di Matesih adalah bu Lasminah dan kedua putri cantiknya. Siapa gerangan bu Gatot yang tiba-tiba mencarinya? Mencarikan pekerjaan untuk anaknya? Tampaknya dia orang kaya, lihat saja cara dia berpakaian dan segenap perhiasan emas yang melingkar-lingkar di tubuhnya.

“Kedatangan saya kemari adalah ….”

Tiba-tiba ibu itu menelungkupkan kepalanya di meja kerja Wahyudi, dan menangis terisak-isak di sana. Lagi-lagi Wahyudi dan Barjo berpandangan dengan perasaan heran.

“Ada apa Bu? Apa yang bisa saya bantu?”

“Saya mohon … saya mohon … tolonglah saya ….”

Bu Gatot mengangkat wajahnya, lalu membuka tas mahal yang dibawanya, lalu mengeluarkan sebuah amplop tebal, diletakkannya di depan Wahyudi.

“Ada apa Bu? Ini apa?”

“Tolonglah saya Pak, saya mohon, cabutlah laporan Bapak atas anak saya, Sartono,” katanya diselingi isak.

“Ooo ,” Wahyudi dan Barjo bergumam hampir bersamaan.

“Ini, uang … sebagai ungkapan terima kasih saya, atas kebaikan hati Pak Wahyudi.”

Wahyudi mendorong amplop tebal itu ke depan bu Gatot. Ia menghela napas.

“Yang pertama, saya tidak bisa menerima uang dari Ibu. Kedua, saya tidak bisa mencabut laporan saya,” katanya tandas.

Wanita itu kembali menjatuhkan kepalanya di meja sambil memperkeras tangisnya.

“Tolong Bu, jangan menangis di sini, saya minta maaf kalau tidak bisa memenuhi permintaan Ibu.”

Bu Gatot mengangkat kepalanya, wajahnya basah oleh air mata, belepotan warna hitam oleh cat alis dan matanya, yang luntur karena air mata itu. Kalau tidak sedang bersimpati atas duka seorang ibu, pastilah Wahyudi dan Barjo sudah tertawa geli.  Bagaimana tidak, dandanan yang begitu menor dan menyolok tiba-tiba larut karena banjirnya air mata, membentuk cemong-cemong yang aneh. Wahyudi meraih selembar tissue yang terletak di mejanya, lalu diulurkannya kepada wanita yang masih saja mengalirkan air mata. Ia menerima tissue, lalu mengusap wajahnya. Ia sadar bahwa dandanan wajahnya telah rusak, ketika melihat tissue pengusap wajahnya tampak berwarna-wani.

“Pak, saya akan menambahnya kalau itu dirasa kurang. Bahkan bapak yang duduk di samping Pak Wahyudi ini juga akan saya beri, tapi maaf, saya tidak punya amplop lagi,” katanya sambil membuka tasnya, dan tampak menghitung-uang dengan tangan masih di dalamnya.

“Tidak Bu, jangan. Saya tidak bisa menerima uang Ibu, seperti juga Pak Wahyudi ini,” kata Barjo tegas.

“Tapi, saya mohon tolonglah saya. Saya hanya punya satu orang anak, saya tidak tega melihat dia dipenjara Pak, tolonglah saya,” dan wanita itu kembali menangis keras.

“Begini Bu, saya bukannya tidak mau menolong Ibu, tapi apa yang dilakukan putra Ibu itu benar-benar sebuah kesalahan.”

“Maafkanlah dia,” ibu itu menyela.

“Ya, tentu. Saya bisa memaafkannya, tapi proses hukum sedang berjalan.”

“Tolonglahhh..”

“Bu, sebuah kesalahan harus mendapatkan hukuman. Anggaplah itu bukan hukuman, tapi pelajaran, demi sebuah kesalahan yang telah diperbuatnya. Memang benar, ibu punya banyak uang dan bisa melakukan apapun. Sartono menyadari hal itu, dan dia menganggap bahwa dengan uang, apapun bisa terjadi. Kesombongan anak Ibu itulah yang harus dihentikan. Dengan uang Ibu, dia berharap akan bisa terbebas dari jeratan hukum. Tapi tidak Bu. Dia harus menjalani hukumannya, sebagai pelajaran atas kelakuan buruk dan kesombongannya.”

“Pak Wahyudi, saya akan menambahnya. Apa Bapak mau saya beri gelang saya ini, barangkali istri Pak Wahyudi akan senang, atau calon istri? Saya mendengar Pak Wahyudi adalah calon menantu bu Lasminah.”

“Calon istri saya tidak akan mau menerima pemberian karena suap, dan saya tidak mau menerima uang  karena suap juga. Tolong Ibu pulanglah. Biarlah Sartono menikmati hukumannya, dan berharaplah agar itu menjadikannya pelajaran dan membuatnya jera.”

“Jadi … Pak Wahyudi tidak mau menolong saya?”

“Saya melakukan ini, supaya anak ibu menjadi orang yang lebih baik nantinya. Ibu harus mengerti, ini semua demi untuk dia. Ibu bersabar ya. Dan sekali lagi maaf.” Wahyudi berdiri, lalu membuka pintu ruang kerjanya, sebagai pertanda bahwa dia meminta si ibu itu segera meninggalkan ruangannya.

Wanita itu berdiri dengan lesu, melangkah tersaruk tanpa daya.

***

Hari terus berjalan, proses hukum tetap bergulir. Wahyudi bergeming untuk memikirkannya. Ia berharap dengan hukuman itu, Sartono dan kawan-kawannya yang ditangkap belakangan segera bisa menyadari kesalahannya, memperbaiki langkahnya, dan mengerti bahwa harta orang tuanya yang berlimpah tak akan bisa melepaskannya dari jeratan hukum.

Sekarang saatnya hari bahagia bagi Nano dan Murti. Rumah sederhana milik bu Lasminah tampak semarak karena banyaknya lampu gemerlap yang menghiasi area perhelatan itu. Jalanan kampung di sekitar rumah pun ditutup, seperti kebiasaan di kampung itu, kalau ada yang punya kerja pasti harus menutup jalan, agar bisa untuk menata kursi tamu undangan yang tak akan cukup ditampung di dalam rumah.

Wahyudi yang sibuk ikut mengatur di sana-sini, malam itu sudah berdandan dengan pakaian Jawa. Gagah, dan ganteng. Sebentar-sebentar Murni yang sudah berdandan cantik mencuri pandang ke arahnya. Memalukan ya? Tapi hanya mencuri-curi kok, dan kalau nggak ketahuan, pastilah tidak akan membuatnya malu. Murni berpikir, perjaka tua yang selalu diledeknya ternyata tidak tampak tua. Ia bahkan seperti pria matang yang bersikap sangat dewasa. Murni berharap, apabila kelak berada disampingnya, ia akan menemukan sebuah naungan yang teduh.

“Ehem !” seseorang berdehem di belakangnya. Murni menoleh, salah seorang teman sekolahnya yang akan ikut mengiringi pengantin sedang tersenyum penuk arti.

“Dari tadi ngelihatin ke sana terus sih?” ledeknya.

Nah, ini baru ketahuan, dan tentu saja Murni malu. Ia mencubit lengan temannya, lalu keduanya beranjak dengan cepat ke belakang, karena acara akan segera dimulai.

Diantara tamu undangan itu tampak pak Kartiko dan keluarganya, termasuk Wisnu dan Mila putrinya.

“Mana pak Udi?” teriak Mila diantara hiruk pikuk tamu yang datang.

“Sst, pak Udi sedang sibuk,” kata Wisnu.

“Aku mau pak Udi,” seperti biasa Mila selalu merengek setiap kali ingin ketemu Wahyudi. Dia sudah tahu kalau pak Udi nya ada di antara tamu-tamu itu.

Wisnu melongok ke sana-kemari, dan akhirnya melihat Wahyudi sedang menuju ke arahnya. Mila sangat senang melihat kedatangan Wahyudi, yang kemudian menggendongnya.

“Maaf saya tidak melihat kedatangan Bapak, Ibu dan Pak Wisnu.”

“Iya, kami tahu karena kamu pasti sibuk. Mana calon istri kamu?” tanya pak Kartiko yang sudah diberi tahu bahwa Wahyudi akan menikahi adik ipar Nano.

“Dia ada di belakang Pak, sebentar, akan saya panggilkan,” kata Wahyudi sambil melangkah pergi, dengan Mila masih ada dalam gendongannya.

Ketika kembali, Wahyudi sudah bersama Murni yang tersipu malu ketika pak Kartiko dan bu Kartiko menggodanya.

“Jadi ini pilihan kamu Yudi? Cantik ..” kata bu Kartiko.

“Iya, cantik. Kapan menyusul?”

Murni hanya tersenyum.

“Doakan saja Pak.”

“Selalu bapak doakan. Aku senang kalian bisa memilih istri yang cantik-cantik. Semoga cantik juga hatinya.”

“Aamiin.”

Wisnu ikut menyalami Murni, lalu ada sendu yang tiba-tiba menyeruak, teringat akan kegagalannya dalam berumah tangga. Memang benar, istri harus cantik hatinya, bukan hanya wajahnya. Wisnu mengendapkan rasa pilu hatinya. Ia tak ingin mengingatnya lagi. Ia belum berharap akan menikah lagi.

***

Namun penyesalan itu bukan hanya berkecamuk dalam hati Wisnu. Pak Kartiko pun merasakan ke piluan yang sama. Beberapa tahun lalu, dia yang menjodohkan Wisnu dan Aqila, karena ayah Qila adalah sahabatnya. Ia merasa kasihan ketika kedua orang tua Qila meninggal, lalu mengambilnya menjadi menantu. Siapa sangka, ternyata Qila hanya menyukai harta suaminya, bukan mencintainya. Kelakuannya yang buruk menyebabkan keduanya harus berpisah, karena Wisnu tak ingin memperpanjang penyesalannya.

“Pak, kok belum tidur?” kata bu Kartiko ketika melihat suaminya masih duduk di sofa setelah pulang dari menghadiri pernikahan Nano.

“Kok aku belum ngantuk ya,” jawab pak Kartiko sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.

“Bapak seperti sedang memikirkan sesuatu.”

“Tiba-tiba aku menyesal bu, dulu menikahkan Wisnu dengan Qila.”

“Ibu juga menyesal Pak, dulu kan ibu yang membujuk-bujuk Qila supaya mau menjadi menantu kita.”

“Masalahnya waktu itu kan kita hanya kasihan setelah dia yatim piatu, sedangkan ayahnya kan sahabatku sejak masih sekolah dulu.”

“Benar sekali. Karena kasihan. Tidak tahunya dia bukan wanita yang baik.”

“Wisnu seperti terpukul tadi. Melihat pengantin, jadi teringat nasib pernikahannya.”

“Ya sudah Pak, kita tidak perlu menyesalinya. Kita serahkan saja semuanya kepada Yang Maha Kuasa, dan berharap agar Wisnu bisa menemukan pengganti istrinya yang tidak setia.”

“Ibu pernah melihat sekretaris baru itu?”

“Lasmi? Pernah, ketika Bapak mengajak ibu ke kantor waktu itu.”

“Dia cantik kan?”

“Kata Wisnu, dia pintar dan cekatan.”

“Apa dia sudah punya suami?”

“Sepertinya belum. Mengapa Bapak menanyakannya?”

Pak Kartiko tersenyum.

“Barangkali Wisnu tertarik untuk mengambilnya sebagai istri.”

“Ah, Bapak ada-ada saja. Mengenai masalah Wisnu, Bapak tidak usah memikirkannya. Ibu kok tidak melihat bahwa Wisnu tertarik pada sekretarisnya. Nanti kalau kita yang memilih, kemudian ternyata tidak seperti yang kita harapkan, nanti Bapak menyesal lagi.”

“Iya juga sih Bu.”

“Ya sudah, sekarang sudah malam, lebih baik Bapak segera tidur.”

“Tapi besok aku akan menanyakannya pada Wisnu tentang sekretarisnya itu.”

“Ah, Bapak.”

***

Bu Lasminah tinggal berdua dengan Murni, karena Nano sudah memboyong Murti ke kota, dan mereka kemudian tinggal di kediaman keluarga Kartiko, seperti pak Kertiko dan istri menginginkannya.

Tapi Murti yang tahu diri, setelah memasak untuk suaminya, ia segera membantu simbok di dapur. Berkali-kali bu Kartiko melarangnya, tapi Murti tetap melakukannya.

“Tidak apa-apa Bu, saya kan sudah selesai. Daripada bengong, lebih baik membantu di dapur, sambil belajar memasak juga.”

“Iya Murti, simbok itu sangat pintar memasak, dan masakannya enak. Kalau perlu kamu tidaK usah memasak sendiri, nanti ambil lauk dari sini saja.”

“Iya Bu, terima kasih banyak. Tapi kan saya bilang tadi bahwa saya ingin belajar memasak sama simbok, jadi saya juga harus mempraktekkannya bukan?”

“Ternyata Nano pinter sekali memilih istri. Sudah cantik, rajin pula. Ya sudah, terserah kamu saja, yang penting jangan sampai kecapekan. Nanti kalau terlalu capek, kamu tidak segera hamil lho,” goda bu Kartiko.

Murti tersipu.

“Ibu bisa saja.”

“Itu benar, Murti. Pastinya kan kamu ingin segera punya anak? Jadi jangan terlalu capek.”

“Iya Bu, cuma memasak saja, mana bisa capek? Di rumah, saya dan Murni selalu memasak sendiri. Tapi ya masakan orang desa Bu.”

“Lho, masakan orang desa itu apa? Saya tahu semua masakan orang desa, dan sudah menjadi santapan orang kota lho. Misalnya sayur lodeh, sayur oseng daun pepaya, sayur gulai bonggol pisang juga ada lho, terus … apa lagi tuh, sayur bobor daun ketela. Ah, masakan desa itu justru enak, sekali-sekali suruh simbok masak sayur bobor. Lauknya rempeyek teri, sama sambal terasi. Wah. Besok, ikutlah simbok belanja ke pasar, suruh dia masak sayur bobor.”

“Baiklah Bu, saya juga belum pernah ke pasar, setiap hari belanja di warung situ saja.”

“Mbok, besok suruh Nano mengantar kamu belanja, ajak istri Nano, aku ingin masak sayur bobor,” perintahnya kepada simbok.

***

Murti belum pernah belanja ke sebuah supermarket. Ia heran dengan lengkapnya bahan sayur dan bumbu yang berjajar dalam sebuah area perbelanjaan. Tapi Murti terkejut melihat harganya.

“Ya ampun, ini mahal sekali,” celetuknya berkali-kali.

Simbok hanya tersenyum.

“Jangan bandingkan harga sayuran di pasar tradisional. Jauuuh sekali bedanya, tapi di sini barang-barangnya bagus.”

“Di pasar juga kalau kita datang pagi-pagi,  pasti barangnya bagus.”

“Orang kaya mana mau belanja di sana. Di sini bukan hanya sayuran yang ada. Pakaian, sepatu, tas, bahkan rumah makan juga ada di satu tempat ini.”

“Iya. Jadi sekalian belanja macam-macam ya Mbok.”

Mereka melanjutkan memilih sayuran, sedangkan Nano hanya mengikuti di belakangnya sambil mendorong troli. Ia hanya tersenyum melihat istrinya heran dengan apa yang baru saja ditemuinya.

Ketika sedang memilih itu tiba-tiba seorang wanita menabraknya, dan Murti hampir saja terjatuh. Bukannya minta maaf, wanita itu malah memukulkan tas tangan yang dibawanya ke arah Murti.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, August 2, 2022

KEMBANG CANTIKKU 37

 

KEMBANG CANTIKKU 37

(Tien Kumalasari)

 

Wahyudi menghentikan motornya. Kantuknya hilang seketika. Ia teringat ketika Harso melakukan kejahatan dengan mencelakainya. Tiga orang dihadapannya tak tampak wajahnya, tapi gerakan tangan dan tubuhnya tidak menunjukkan iktikat baik. Karena itu Wahyudi bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Yang jelas, mereka butuh perlawanan. Walau satu lawan tiga, Wahyudi tak sudi menyerah. Dia adalah laki-laki sejati, ia akan melawan siapapun yang menentangnya, termasuk yang menghadang di hadapannya, entah dengan maksud apa. Wahyudi tak membawa banyak uang, tapi ada surat-surat berharga didalam dompetnya.

Ia berdiri tegak, menunggu apa yang akan mereka lakukan.

“Hanya seorang laki-laki yang kelelahan, biar aku sendiri menghabisinya. Kalian boleh maju kalau aku membutuhkan bantuan,” kata seseorang, yang kemudian Wahyudi mengingat-ingat, seperti pernah mengenal suara itu. Tapi ingatan itu belum tersampai di otaknya ketika tiba-tiba laki-laki yang bersuara itu maju kedepan dan melayangkan sebuah pukulan. Wahyudi sudah siaga menghadapi, karenanya ia berhasil mengelak, pukulan itu luput, dan membuat si  penyerang terhuyung kedepan. Wahyudi mempergunakan kesempatan itu untuk  menendang dari arah samping, tepat mengenai pinggangnya. Si penyerang terguling ke arah samping. Tapi tanpa di duga salah seorang temannya maju ke depan, ketika melihat Wahyudi akan melanjutkan serangannya.

Kesempatan itu dipergunakan penyerang pertama untuk bangkit, lalu mencabut sebilah belati yang semula diselipkan di pinggangnya. Wahyudi berdiri waspada, karena ia harus menghadapi dua orang yang tampaknya sangat ganas dan kejam. Belum lagi kalau salah seorang temannya yang belum melakukan apa-apa di pinggir sana, ikut menyerangnya.

Pertarungan tak seimbang itu membuat beberapa kali Wahyudi melompat mundur, untuk menghindari serangan belati yang mengarah ke dadanya.

“Apa sebenarnya mau kalian?” teriak Wahyudi pada akhirnya dengan napas tersengal.

“Merampok?” lanjutnya sambil memiringkan tubuhnya ketika penyerang pertama kembali menyerangnya.

“Aku mau nyawamu!” teriak penyerang ke dua.

Wahyudi merasa tak mempunyai musuh. Ia berdamai dengan siapapun, ia selalu memaafkan setiap kesalahan yang ditujukan kepadanya. Masih juga ada yang mengincar nyawanya?

Dalam keadaan berpikir itu, tiba-tiba sebuah serangan menyentaknya, dan sebuah irisan tipis menggores lengannya.

Wahyudi melompat ke samping, darah mulai membasahi bajunya. Namun tiba-tiba sebuah sinar lampu sepeda motor mendekat, dan seseorang turun dari atas kendaraannya.

Salah seorang yang semula berdiri diam kemudian maju ke depan, karena yakin bahwa yang datang akan membantu korbannya.

“Pak Yudi? Siapa mereka?”

Laki-laki yang datang adalah Barjo, salah seorang stafnya, yang entah bagaimana, bisa sampai ke tempat itu. Barjo bertubuh tinggi  tegap. Ia melihat ada darah di lengan atasannya. Kemarahannya memuncak. Tanpa aba-apa ia menyerang si pembawa belati, yang karena tak menduga datangnya serangan, kemudian ia terhuyung kebelakang dan belati yang digenggamnya terlempar. Barjo mengejarnya. Salah seorang yang ingin memukul Barjo dari belakang, mendapat perlawanan dari Wahyudi, sehingga ia mengurungkan serangannya.

Satu orang yang ingin membantunya, terkejut ketika mendengar teriakan penyerang pertama. Ternyata Barjo berhasil meringkusnya, menelikung kedua tangannya membuatnya tak bisa bergerak.

“Menyerah, atau aku habisi temanmu ini?” ancam Barjo.

Tak disangka, dua orang temannya kemudian lari, mengambil salah satu sepeda motornya dan kabur.

Barjo dan Wahyudi membiarkannya, laki-laki yang ditelikung tangannya masih mengaduh-aduh kesakitan.

Wahyudi membuka topeng kain hitam yang menutupi wajahnya, dan betapa terkejutnya ketika melihat wajah itu, yang ternyata adalah Sartono.

“Kamu ?”

“Tolong lepaskan.”

“Orang jahat. Permintaan maaf yang palsu, dasar penjahat. Laporkan polisi saja.”

***

Wahyudi dan Barjo keluar dari kantor polisi setelah selesai memberikan keterangan. Tapi Wahyudi masih belum mengerti, mengapa Barjo bisa berada ditempat itu, sementara arah rumah Barjo berlawanan dengan rumahnya.

“Saya ingin mengantarkan ini Pak,” kata Barjo sambil menyerahkan sebuah ponsel.

“Ini? Ponsel saya?”

“Ponsel Bapak ketinggalan di meja satpam ketika Bapak berpesan sesuatu pada satpam. Saya kebetulan pulang beberapa menit setelah Bapak, dan satpam mengatakan bahwa ponsel Bapak ketinggalan.”

“Ya ampun, iya. Saya lupa membawa ponsel saya.”

“Saya mengejar Bapak, dan heran ketika Bapak berbelok ke arah kiri, dan Bapak mengendarai sepeda motor sangat kencang. Saya terus mengikutinya walau tertinggal jauh.”

“Dan karena itulah Pak Barjo bisa menolong saya.”

“Entahlah, ada yang menuntun saya untuk terus mengejar Bapak, tak tahunya Bapak berada dalam bahaya.”

“Terima kasih telah menyelamatkan saya,” kata Wahyudi.

“Bapak perlu ke rumah sakit? Lengan Bapak berdarah.”

“Tidak apa-apa, hanya luka ringan. Tadi sudah diobati di kantor polisi.”

“Baiklah, saya antar Bapak pulang saja.”

“Tidak usah, ini sudah malam, dan Pak Barjo harus segera beristirahat bukan?”

“Tidak apa-apa, pulang sendiri?”

“Tidak, rumah saya sudah dekat. Sekali lagi terima kasih.”

“Sama-sama Pak. Hati-hati di jalan.”

***

Kejadian bahwa Sartono ditangkap polisi sudah tersebar di seluruh desa. Tapi Murti dan Murni tidak tahu secara jelas apa yang terjadi. Katanya, Sartono dan teman-temannya terlibat dalam peristiwa pengeroyokan.

Baru ketika Wahyudi datang dan menceritakan kejadian itu, mereka mengerti bahwa Sartono berusaha mencelakai Wahyudi.

“Aku kira dia benar-benar menyesal saat menemui ibu itu,” kata Murni.

“Orang seperti dia itu sombongnya bukan main. Biasanya orang sombong itu enggan mengeluarkan kata ‘minta maaf’. Aku heran ketika dia datang kemari dan menyatakan menyesal. Ternyata dia masih dendam sama mas Wahyudi,” sambung Murti.

“Namanya manusia kan bermacam-macam. Ada yang pemaaf, ada yang enggan minta maaf, ada yang mudah melupakan kebenciannya kepada seseorang, tapi ada yang dendam sampai tega berbuat kejam.”

“Untunglah mas Wahyudi tidak kenapa-kenapa.”

“Hanya luka gores sedikit, nih, sudah mengering,” kata Wahyudi sambil menunjukkan bekas lukanya.”

“Ya ampun Mas, entah bagaimana kalau terjadi apa-apa sama mas Yudi,” kata Murni sambil menutup mulutnya.

“Bagaimana kalau aku sampai celaka?” pancing Wahyudi.

“Jangan ngomong yang enggak-enggak Mas, nggak baik itu.”

“Hanya seandainya kok. Pasti kamu senang dong, nggak ada yang ngegangguin?”

“Nggak ah, jangan sampai hal itu terjadi.”

“Iya, Mas Wahyudi nggak boleh berandai-andai tentang sesuatu yang buruk. Kita harus bersyukur, tidak terjadi apa-apa pada mas Yudi,” timpal Murti.

“Iya benar.”

“Tentu, aku harus bersyukur karena Allah melindungi aku dari kejahatan seseorang. Sudah dua kali aku dicelakakan, dan aku masih berada dalam lindunganNya,” kata Wahyudi.

“Orang baik akan selalu terlindungi,” kata Murni.

“Haa, ternyata aku baik menurutmu, bukan?”

“Kalau Mas tidak baik, mana aku mau dekat-dekat sama Mas. Padahal Mas kan sudah jauh lebih tua dari aku,” kata Murni sambil tersenyum.

“Yaaah, masalah ‘tua’ lagi?”

“Ya nggak apa-apa, kan Mas memang sudah tua?”

Wahyudi pura-pura merengut, tapi Murni terkekeh melihatnya.

“Mas lucu deh kalau lagi merengut.”

“Jelek ya?” kata Wahyudi.

“Nggak sih.”

“Tetap ganteng berarti.”

“Idiiih, siapa bilang ganteng?” kata Murni walau dalam hati mengakuinya.

“Lha kalau nggak jelek berarti ganteng kan?”

Wahyudi terkekeh senang. Setiap menghadapi Murni dia selalu teringat Wuri. Murni ini mirip sekali Wuri. Suka mengejak bahwa dia tua, cerewet dan selalu tidak mau kalah dalam berdebat, walau hanya dalam gurauan. Itu sebabnya Wahyudi begitu bersemangat mendekati Murni, yang dianggapnya akan selalu bisa membuatnya bahagia. Ia ingat ketika dirinya limbung saat putus dari Retno. Ia hampir putus asa, tapi Wuri selalu membangkitkan semangatnya. Seandainya Wuri tidak mencintai Budi, maka akan begitu mudah bagi Wahyudi untuk jatuh cinta padanya. Tapi ternyata rasa cinta itu adalah cinta kepada adiknya sendiri, karena kalau benar-benar cinta, maka pasti hatinya akan terluka ketika menyadari bahwa Wuri mencintai pria lain.

“Kok ngelamun sih Mas?” tanya Murti.

“Mas marah ya, aku bilang tua?”

“Tidak, mengapa harus marah, aku kan memang sudah tua?”

“Nggak apa-apa tua. Tua itu bukan halangan untuk bersahabat,” tiba-tiba bu Lasminah keluar sambil membawa sepiring makanan.

“Wah, rupanya Ibu mendengarkan pembicaraan kami,” kata Wahyudi.

“Kebetulan saja mendengar, ketika mau keluar menghidangkan ini. Nak Yudi ini sudah cukup umur, bukan terlalu tua, dan Murni ini terkadang masih kekanak-kanakan. Kalau menurut ibu, sebaiknya memang Murni berjodoh dengan pria yang jauh lebih tua, supaya bisa berpikiran lebih dewasa.”

“Nah, ternyata Ibu sudah tahu maksudku,” celetuk Wahyudi yang kemudian mengambil makanan terbungkus daun pisang yang terhidang di meja.

“Nak Marno sudah mengatakan sama ibu, bahwa nak Wahyudi ingin mempersunting Murni,” kata bu Lasminah terus terang.

Murni menundukkan wajahnya. Malu.

“Itu benar Nak?”

“Benar Bu, hanya saya belum berani mengatakannya pada Ibu sekarang, karena Ibu masih sibuk mempersiapkan pernikahan Murti dan Nano.”

“Kalau memang Nak Yudi benar-benar bisa mencintai dan menjaga Murni, saya akan senang menerimanya.”

“Benarkah?” mata Wahyudi berbinar, lalu melirik ke arah Murni yang masih saja menundukkan wajahnya, mempermainkan kuku-kuku jari tangannya.

“Saya berjanji akan mencintai dan menjaga Murni.”

“Ya sudah, nanti kita bicara lagi, sekarang habiskan makanannya.”

“Ini namanya apa Bu?”

“Itu namanya UTRI. Dibuat dari parutan ketela pohon dan kelapa serta gula jawa, kemudian dibungkus daun pisang lalu dikukus.”

“Enak,” kata Wahyudi setelah menggigit  utrinya.

“Makanan orang desa, Nak.”

“Makanan ini tidak akan membuat bosan, legit dan enak, saya suka Bu.”

“Syukurlah Nak, sekarang lanjutkan berbincang, ibu mau ke belakang lagi.”

***

“Budi, bapak ingin tahu, mengapa kamu memilih membangun rumah mertua kamu, dan bukan membenahi rumah kamu sendiri yang sudah bapak persiapkan sejak lama?” tanya pak Siswanto ketika Budi ke rumahnya.

“Budi bermaksud membesarkan warungnya bu Mantri Pak, supaya lebih menarik sehingga lebih banyak di datangi pelanggan.”

“Bukankah dia bisa membuka warung di rumah kamu sana? Tempatnya lebih strategis karena di dekat jalan besar?”

“Barangkali nanti Pak, siapa tahu bu Mantri ingin membuka cabang, nanti Budi persiapkan di rumah Budi sana, supaya Wuri juga punya kesibukan. Tapi saat ini biarlah memperbesar yang sudah ada dulu.”

“Kamu tidak suka, rumah yang bapak persiapkan untuk kamu?” tanya pak Siswanto kecewa.

“Bukan Pak. Bapak jangan kecewa, Budi akan tetap menempatinya, barangkali Budi juga akan sering tidur disana, kadang-kadang di rumah mertua. Supaya bu Mantri terbiasa berpisah dengan anaknya.”

“Namanya anak yang sudah dewasa, pastilah nantinya juga akan ikut suaminya.”

“Bapak benar, tapi bu Mantri kan sendirian, nanti pelan-pelan dia akan terbiasa tanpa Wuri. Sekarang biarlah dia senang karena akan mengelola warungnya yang akan Budi perbesar ruangannya, dan mungkin akan ada pembantu yang akan menemani dan membantunya juga. Kalau sudah terbiasa, pasti dengan mudah dia bisa melepaskan anaknya. Bapak harus mengerti, karena dia kan sendiri.”

“Seperti ibunya Retno itu, dia juga sendiri kan?”

“Ibunya mbak Retno punya pembantu dalam mengelola toko sembakonya kan Pak, dan mbak Retno sudah lebih dulu berada di sini waktu itu. Pokoknya Bapak jangan khawatir, rumah pemberian Bapak pasti akan Budi tempati. Sekarang juga Budi sudah mengisinya dengan perabot, sehingga setiap saat Budi dan Wuri bisa tidur di sana,” kata Budi menghibur hati ayahnya yang agak kecewa ketika dia memilih tinggal bersama mertuanya.

“Ya sudah, terserah kamu saja. Yang penting bapak sudah mempersiapkan semuanya untuk anak-anak bapak, jangan sampai tidak berguna.”

“Berguna dong Pak, mengapa Bapak berkata begitu. Rumah itu sudah mulai Budi isi dengan perabot, kapan-kapan Bapak bisa melihatnya,” kata Budi sambil merangkul ayahnya.

“Ya … ya, bapak hanya ingin kalian hidup tenang dan bahagia,” kata pak Siswanto sambil menepuk-nepuk bahu anak bungsunya.

***

Hari itu Wahyudi sedang berbincang dengan Barjo tentang banyak hal mengenai perusahaannya. Wahyudi akan cuti selama dua hari,  bersamaan dengan menikahnya Nano dan Murti.

“Baik Pak, saya sudah mengerti.  Semuanya akan saya urus dengan sebaik-baiknya. Bapak kan harus fokus pada pernikahan itu, karena ada gadis yang akan segera Bapak nikahi juga kan?” kata Barjo yang sudah mengerti tentang gadis yang dicintainya, dan menyebabkan dia hampir celaka dikeroyok oleh pesaingnya.

“Doakan saya ya Pak.”

“Tentu. Paling tidak setahun lagi Bapak akan menikah juga.”

“Kenapa pak Barjo yakin kalau setahun lagi?”

“Orang jawa tidak akan menikahkan anaknya dua kali dalam setahun. Harus berganti tahun  baru mau melaksanakannya lagi.”

“Oh, begitu ya.”

“Iya dong Pak, Bapak masih harus bersabar setahun lagi.”

Keduanya sedang tertawa-tawa karena Barjo sedang menggoda Wahyudi, ketika tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Sekretaris mengatakan bahwa ada seorang wanita ingin menemui Wahyudi.

***

Besok lagi ya.

Monday, August 1, 2022

KEMBANG CANTIKKU 36

 

KEMBANG CANTIKKU 36

(Tien Kumalasari)

 

“Selamat siang,” sapa Sartono sambil mengangguk hormat.

Sikapnya ini mengherankan Wahyudi dan Murni, tapi keduanya menjawab serempak.

“Siang …”

“Apakah ibu ada?” tanya Sartono.

“Ada di belakang,” jawab Murni.

Tiba-tiba Sartono langsung naik ke teras lalu bergegas masuk kedalam rumah.

“Heeiii … mau apa kamu?” teriak Murni yang segera mengejarnya, diikuti Wahyudi yang juga merasa khawatir.

Tapi setibanya di belakang, dilihatnya Sartono sedang bersimpuh, sambil memeluk kaki bu Lasminah.

Bu Lasminah terkejut melihat Sartono yang tiba-tiba melakukan hal itu.

“Eeh, ada apa ini? Ada apa? Berdirilah,” kata bu Lasminah sambil menarik-narik pundak Sartono yang masih memeluk kakinya.

“Saya merasa bersalah sama Ibu, saya sungguh menyesal Bu, saya terbawa emosi, saya khilaf, mohon maafkanlah saya Bu,” kata Sartono sambil terus memeluk kaki bu Lasminah.

“Tolong berdirilah, aku bisa terjatuh, ini.”

Sartono berdiri, dan bu Lasminah melihat air mata membasahi pipi Sartono, tampaknya dia memang sangat menyesali perbuatannya.

“Ya sudah, ya sudah, lupakanlah semuanya.”

“Maafkan saya Bu,” katanya dengan suara serak.

“Iya, tentu aku maafkan. Lain kali berperilakulah yang baik, apalagi terhadap orang tua,” kata bu Lasminah.

“Iya Bu, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi.”

“Senang mendengarnya Nak, sudah, sekarang jangan memikirkan masalah itu lagi.”

Sartono menoleh ke arah Murni dan Wahyudi yang berdiri mematung menatapnya. Tiba-tiba Sartono mendekati Wahyudi, merangkulnya erat.

“Saya minta maaf,” katanya.

“Ya, ya … tidak apa-apa, saya sudah memaafkannya,” kata Wahyudi yang agak gelagapan karena tiba-tiba dipeluk sangat erat.

Setelah itu ia mendekati Murni, bermaksud menyalaminya, tapi Murni mengundurkan tubuhnya, lalu merangkapkan kedua tangannya.

“Maaf Murni, aku telah melakukan kesalahan.”

“Iya, aku maafkan, aku sudah melupakannya,” jawab Murni.

“Baiklah, terima kasih telah memaafkan aku, aku sungguh menyesal.”

Lalu Sartono membalikkan tubuhnya, kemudian berlalu begitu saja.

“Mungkin dia sangat menyesali perbuatannya beberapa waktu lalu,” kata bu Lasminah.

“Baguslah kalau begitu.”

“Sebuah penyesalan harus kita sambut dengan sangat baik,” sambung Wahyudi.

Apapun yang terjadi, apa yang dilakukan Sartono itu melegakan. Dengan demikian semua yang menjadi ganjalan akan menjadi sirna, karena sesungguhnya permusuhan itu hanya akan menorehkan luka yang tak akan bisa disembuhkan, kecuali oleh keikhlasan dan kelegaan hati.

***

Hari itu perhelatan pernikahan Budiono dan Wuri digelar. Cukup meriah, dan berbeda dengan ketika Sapto menikahi Retno yang diadakan di rumah Retno dengan sederhana, kali itu keluarga Siswanto mengadakan pesta yang begitu meriah dan dihadiri oleh segenap relasi dan rekan bisnisnya.

Wahyudi juga melihat pak Kartiko bersama istri, juga Wisnu dan Nano yang ikut bersama mereka. Dengan segera dia mendekati dan menyalami serta mencium tangan kedua suami istri itu.

“Senang melihat Bapak sudah bisa berjalan sendiri dan tampak sehat,” kata Wahyudi sambil mempersilakannya duduk.

“Iya, bapak tidak mau terlalu membebani orang lain, apalagi ibumu ini. Nanti kalau dia kecapekan dan sakit, aku juga susah,” kata pak Kartiko.

“Semangat akan membuat kita lebih sehat Pak.”

“Kamu benar Yudi. Lalu kapan kamu menikah? Jangan lupa kabari kami, karena kamu juga anak kami,” kata pak Kartiko bersungguh-sungguh.

“Mohon doanya saja Pak. Setelah ini bukankah Nano yang akan menikah?”

“Benar, bulan depan ini Nano, dia sudah bersiap-siap. Bukan begitu Nano?” kata bu Kartiko kemudian kepada Nano.”

“Inshaa Allah Bu, doakan semoga lancar semuanya.”

“Mengapa calon kamu tidak diajak datang bersama kamu No?” tanya Wahyudi.

“Ibunya tidak gampang melepaskan anak gadisnya, apalagi saat malam hari. Kamu kan tahu bagaimana bu Lasminah?”

Wahyudi tersenyum.

“Iya, aku tahu. Nanti kalau sudah jadi istri bisa kamu bawa ke mana saja.”

“Nanti mereka akan tinggal juga bersama kami, ya kan No?” kata bu Kartiko.

“Iya bu, saya sudah bilang, tampaknya dia mau.”

“Besok kamar yang di belakang aku suruh bersihkan dan ditambah sedikit untuk duduk-duduk lebih santai, dan kata ibumu juga akan di buatkan dapur,” kata pak Kartiko.

“Bapak, itu sudah cukup, nanti saya yang akan mengaturnya,” kata Nano sungkan.

“Sudah, jangan protes. Lagian ini di perjamuan, kenapa berdebat soal dapur?” kata pak Kartiko sambil tertawa.

Keluarga pak Siswanto juga menyambut tamu  istimewanya, seorang yang sebenarnya lama sudah dikenalnya, tapi belum lama ketemu gara-gara Qila dan Mila yang berteman dengan lucunya.

Pak Siswanto yang semula arogan dan semena-mena terhadap orang yang dianggap tidak se level dengan kedudukannya, sudah berubah sejak peristiwa hilangnya Qila atas kelakuan menantu yang semula disayanginya, Mata hatinya terbuka, dan sadar bahwa kemuliaan hati bukanlah milik keluarga terpandang. Itu dibuktikannya dengan kelakuan Kori dibandingkan dengan perilaku Retno yang sangat santun dan mulia hatinya.

Itulah sebabnya, mengapa mereka bisa menerima Wuri yang hanya anak seorang pedagang nasi, yang kemudian diterima dengan rasa bersyukur oleh bu Mantri yang tentunya merasa ragu-ragu pada awalnya.

***

“Retno, apa kamu kecewa saat pernikahan kita tidak dirayakan semeriah pernikahan Budi?” tanya Sapto kepada Retno ketika mereka sedang beristirahat berdua.

“Mengapa kamu berkata begitu?”

“Dulu kita menikah secara sederhana, di rumah kamu, dengan suasana yang sangat tidak nyaman, dengan situasi yang tidak menyenangkan, dengan_”

“Stop mas. Itu masa lalu yang tidak selayaknya dibicarakan. Bukankah kita bahagia sekarang ini? Atau kamu yang pura-pura menyayangi aku karena merasa bersalah dihari-hari sebelumnya?”

“Bukan. Kamu salah Retno. Aku sungguh-sungguh mencintai kamu, sejak aku tahu betapa mulia hati kamu. Aku salah telah meremehkan kamu sebelumnya, tapi aku menebusnya dengan cinta kasih yang sangat tulus. Kamu harus percaya, apalagi kita akan memiliki lagi seorang anak. Dia akan melengkapi kebahagiaan kita.”

“Jadi bukankah sekarang kita hidup bahagia?”

“Benar.”

“Kalau begitu tidak perlu kita mempermasalahkan adanya sebuah pesta, karena kita sudah berpesta dengan segala cinta yang kita miliki.”

Sapto tersenyum bahagia, kemudian memeluk istrinya dengan segenap perasaan cintanya.

“Terima kasih telah membuatku menemukan sebuah cinta yang tulus,” bisiknya mesra.

“Terima kasih pula karena telah memberikanku hari-hari yang indah dan penuh kasih sayang,” balas Retno sambil menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya.

Alangkah indahnya ketika duka dan derita telah terlewatkan, berganti dengan bahagia yang tak terhingga,

“Mas, besok ibu akan mengajakku menengok bapak di penjara.”

“Oh ya, silakan saja. Walau bagaimanapun, dia orang tua kamu.”

“Benar Mas, dan mungkin beberapa bulan lagi bapak sudah bebas dari hukuman.”

“Semoga yang telah dilaluinya menjadi pelajaran berharga untuk menjalani kehidupan selanjutnya.”

“Aku yakin bapak akan menyesalinya.”

***

“Apakah nak Budi akan membawa Wuri ke rumah nak Budi sendiri?” tanya bu Mantri yang tentu saja sesungguhnya berat untuk berpisah dengan anak semata wayangnya.

“Bagaimana kalau saya memperbaiki rumah ibu ini, membuat tatanan warung makan yang lebih bagus, sehingga ibu bisa memperbesar usaha ini di rumah saja?”

“Waduh, untuk ibu, ini sudah cukup Nak. Saya hanya bermaksud menanyakan tentang Wuri, apakah Nak Budi akan membawanya. Kalau memang begitu ya tidak apa-apa, karena sekarang Wuri adalah milik nak Budi sepenuhnya.”

“Saya akan membangun rumah ini, karena saya ingin tinggal di sini bersama Wuri dan Ibu,” kata Budi sambil tertawa.

“Benarkah?” kata bu Mantri dengan mata berbinar. Ia tahu, pastilah rumahnya yang sederhana tidak akan membuat Budi nyaman untuk tinggal.

“Wuri juga akan berat kalau harus berjauhan dengan Ibu. Nah, saya akan secepatnya mengatur pembangunan rumah dan warung ibu. Warungnya di perbesar, kamarnya boleh dibuat di lantai atas. Bagaimana?”

“Terserah Nak Budi saja, karena rumah ini sebenarnya kan juga rumah Wuri?”

“Baiklah Bu, bagi saya yang penting ibu senang.”

“Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang tua. Ibu berharap nak Budi bisa menjaga dan mengasihinya, selamanya.”

“Saya berjanji akan selalu membuat Wuri bahagia, ibu jangan khawatir.”

“Ibu percaya, Nak Budi akan bisa melakukannya. Ibu tidak ingin yang berlebihan, karena kami terbiasa hidup sederhana. Keinginan ibu juga sederhana, yaitu bisa hidup tenang dan nyaman.”

“Iya Bu, saya mengerti.”

***

Hari Minggu itu Wahyudi tidak menemui Murni, karena di rumah pak Kartiko sedang ada kesibukan. Pak Kartiko membuat kamar yang agak besar untuk Nano, membuat dapur dan tempat bersantai di depan kamarnya. Sebenarnya Nano keberatan, karena merepotkan keluarga Kartiko, tapi pak Kartiko memarahinya ketika dia menolak.

“Kamu itu sudah seperti keluargaku, bahkan anakku, jadi jangan menolak apapun yang aku berikan. Kamu anak baik, dan akan tetap berada di dekat kami selama kamu mau. Aku buat ini, agar istri kamu juga nyaman berada di sini. Bahkan kalau mertua kamu datang kemari, masih ada kamar bekas kamu yang bisa dipergunakan untuk menginap.”

Panjang lebar kata-kata pak Kartiko, ketika Nano merasa sungkan menerimanya.

Hari itu Wahyudi datang, bermaksud membantu, tapi lagi-lagi pak Kartiko melarangnya.

“Sudah ada tukang bangunan yang melakukannya. Kamu katakan saja apa yang kurang, nanti biar mereka melakukannya.”

Keluarga Kartiko memang keluarga yang baik, dan tak pernah bisa melupakan kebaikan orang lain. Kekayaannya yang berlimpah tidak dinikmatinya sendiri, tapi dipergunakan untuk berbagi. Dengan kegiatan sosial diantara yayasan-yayasan anak yatim, untuk kaum duafa, dan itu membuat mereka bahagia. Itu sebabnya dia juga tak keberatan membuatkan tempat tinggal bagi Nano yang sudah melayani keluarganya dengan sangat baik.

“Kalau Wahyudi mau, nanti aku akan buatkan kamar lagi bersama istrinya.”

Wahyudi tertawa.

“Terima kasih banyak Bapak, tapi saya sudah punya rumah tinggal yang walaupun sederhana, tapi dekat dengan tempat saya bekerja. Kalau dari sini terlalu jauh.”

“Baiklah, tapi jangan lupa selalu datang kemari, nanti Mila juga akan merindukan kamu.”

“Baik, Pak, saya pasti akan sering datang kemari.”

“Ya sudah, lihatlah mereka bekerja, beri masukan kepada Nano, apa yang menurutmu kurang,” kata pak Kartiko sambil masuk kembali ke rumah.

“Benar-benar keluarga yang luar biasa. Sungkan aku sebenarnya.”

“Ya sudah, diterima saja. Ini namanya anugerah dan hadiah sebelum pernikahan kalian. Hebat ya, belum menikah, hadiahnya sudah ada.”

“Benar. Aku bersyukur untuk itu. Tapi tumben hari Minggu kamu datang kemari, bukannya menemui Murni?”

“Aku sebenarnya ingin bantu-bantu, tapi nggak diperbolehkan sama bapak.”

“Bagaimana hubunganmu dengan Murni?”

“Dia itu kan jinak-jinak merpati. Sukanya memancing-mancing, tapi ketika aku bicara terus terang, jawabnya menggemaskan.”

“Menggemaskan bagaimana?”

“Yang pertama, dia bilang ibunya pasti menolak, ketika aku hampir menyerah, dia bilang, soalnya kakaknya belum menikah. Lalu aku kejar dia, jadi kalau Murti sudah menikah … boleh dong, katanya ...  suruh bilang sama ibunya saja. Gemes kan?”

Nano tertawa.

“Murni beda dengan kakaknya yang pendiam. Tapi jawaban itu bukan penolakan, masa kamu tidak merasakannya?”

“Iya, tapi gemes, tahu nggak sih.”

“Kamu harus bersabar. Yang penting dia tidak menolak. Bagaimana dengan Sartono, sudah tidak mengganggu kan?”

“Aku lupa bilang, beberapa minggu yang lalu dia datang kesana.”

“Bikin heboh apa lagi dia?”

“Yaa, sedikit heboh sih, tiba-tiba masuk ke rumah dan bersujud sambil merangkul kaki bu Lasminah.”

“Haa? Benarkah?”

“Pokoknya dia meminta maaf, sama aku juga, dan sama Murni. Waktu itu Murti nggak ada, lagi menjemur baju di belakang.”

“Syukurlah kalau kemudian dia menyesali perbuatannya. Apa kabarnya Wuri?”

“Saat ini sedang ada di rumah mertuanya.”

“Ibunya sendiri dong.”

“Nantinya mereka akan tinggal bersama ibunya, tapi mas Budi ingin membangun rumahnya dulu. Yang di bawah untuk warung makan, mereka tidur di atas.”

“Syukurlah. Ibunya tidak kesepian jadinya. Lalu bagaimana kalau nanti kamu menikahi Murni? Bu Lasminah bakal sendirian juga kan?”

“Sudah aku pikirkan, ibunya akan aku minta agar tinggal di rumah aku saja, semoga dia mau.”

“Ya sudah, atur hidup kita agar nyaman senyaman-nyamannya. Ya kan?”

***

Hari itu Wahyudi lembur di kantornya, sehingga pulang ketika hari mulai gelap. Rasa letih dan lelah menghimpitnya, karena hari itu benar-benar banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. Ia juga merasa sangat mengantuk, sehingga memutuskan akan segera tidur setelah sampai di rumah.

Tapi karena mengantuk, dia tak sadar telah mengendarai sepeda motornya dengan melewati jalan  memutar, sehingga menjadi lebih jauh untuk sampai di rumah.

“Aduh, gimana sih aku, kok jadi lewat sini. Harusnya di perempatan tadi aku lurus ke depan, bukannya belok kiri. Hm, jadi lebih jauh dong,” gumamnya sambil memacu sepeda motornya.

Jalanan yang dilaluinya agak sepi, hanya satu dua kendaraan yang lewat, Wahyudi menguap beberapa kali. Lalu tiba-tiba dia terkejut, ketika tiga orang laki-laki berpakaian hitam menghadang di depannya.

***

Besok lagi ya.

LANGIT TAK LAGI KELAM 10

  LANGIT TAK LAGI KELAM  10 (Tien Kumalasari)   Rizki menatap tajam ayahnya, dengan pandangan tak percaya. “Bapak bilang apa?” “Apa kurang j...