MELANI KEKASIHKU 16
(Tien Kumalasari)
Abi sangat terkejut, ia tak mengira ada yang memarkir sepeda motornya begitu dekat dengan pagar masuk ke halaman. Ia segera turun, bermaksud mendirikan lagi sepeda motor itu, dan melihat apakah ada yang rusak. Tapi tiba-tiba sebuah tangan mencengkeramnya.
“Kamu tidak punya mata ya? Itu sepeda motor aku.”
“Oh, maaf, aku kan tidak tahu bahwa ada sepeda motor diparkir didekat pagar masuk halaman.”
“Awas ya, kalau ada yang rusak, kamu harus menggantinya! !” hardik Aris sambil mengamati sepeda motor yang sudah didirikan Abi.
“Baiklah, kalau ada yang rusak aku pasti akan menggantinya. Bagaimana?”
“Kamu kecewa karena cinta kamu ditolak Melani kan? Sehingga kamu menjalankan mobil kamu dengan membabi buta?
“Apa ?” tanya Abi terkejut. Dia heran Aris mengetahui hal itu. Abi tidak tahu bahwa Aris keluar dari halaman rumah simbok, karena dia sibuk mendirikan lagi sepeda motor itu.
“Aku tahu bahwa kamu kecewa. Tapi jangan terus ngaco berkendara dong,” kata Aris sambil mengamati sepeda motornya dari ujung depan sampai belakang, lalu dari atas sampai ke bawah.
Abi ingin sekali menghajar laki-laki dengan mulut kurangajar itu, tapi ditahannya, begitu melihat simbok dan Melani keluar.
“Ada apa ini?”
“Laki-laki yang sedang sedih dan kecewa itu menabrak sepeda motorku mbok. Lihat, ada yang penyok. Kamu harus menggantinya.”
“Bawa ke bengkel, ini kartu nama aku, berapa biayanya aku akan ganti,” kata Abi sambil mengulurkan sebuah kartu kepada Aris.
“Mengapa kamu memarkir motor kamu disini? Dan mengepa kamu bersembunyi disana tadi. Kamu menguping pembicaraan kami ?” tegur simbok dengan marah.
“Begini mbok, saya kan sudah bilang bahwa saya akan menjaga ketertiban di kampung ini. Saya takut dia mengganggu keluarga simbok.”
“Apa katamu? Dia ini, seorang yang sopan dan terhormat. Yang mengganggu itu kamu. Dari tadi bikin onar. Dan kalau sepeda motor kamu rusak, jangan salahkan siapa-siapa. Itu salah kamu.”
“mBok, saya hanya..”
“Diam dan pergilah,” simbok memotong ucapan Aris karena apa yang dikatakannya tak masuk akal.
“Maaf mbok..”
“Jadi anak muda kok tidak bisa menjaga sikap dan tutur kata yang baik. Menguping pembicaraan orang itu sangat memalukan dan tidak sopan!”
“Saya kan sudah bilang, bahwa...”
“Apapun yang kamu katakan, tetap saja kamu tidak sopan. Jangan sekali-sekali menginjakkan kaki kamu dirumah ini lagi.”
“Aku kan sudah minta maaf..”
“Pergilah !!”
Aris mengibas-ngibaskan bajunya yang kotor oleh tempelan daun-daun kering, kemudian naik ke atas sepeda motornya dan berlalu.
“Maaf mbok, aku mengagetkan simbok.”
“Mas Abi tidak salah, bocah itu memang selalu melakukan hal-hal yang menjengkelkan.”
“Aku permisi dulu ya mbok..”
“Hati-hati ya mas, maafkan saya, dan juga Melani,” kata simbok penuh iba, ketika melihat wajah muramnya.
Abi hanya mengangguk, kemudian naik keatas mobilnya tanpa menoleh kepada Melani, yang diam terpaku didepan pagar.
Mobil Abi berlalu, diiringi rasa sesal di hati Melani. Sesal yang tak terhingga karena terpaksa menolak lamaran Abi. Bukan karena tak cinta, tapi hambatan yang ada sangat menakutkannya. Biarkan hatinya luka, asalkan ia bisa hidup tenang.
Simbok menggandeng tangan Melani, mengajaknya masuk kedalam rumah.
“Kamu sedih ?”
Melani tersenyum, tipis dan lesu. Simbok bisa menangkapnya. Ia merangkul pinggang Melani lalu mengajaknya duduk di teras.
“Apakah sesungguhnya kamu juga suka sama mas Abi?”
Melani menggeleng pelan. Ia merasa tak mampu meraih cinta seorang laki-laki yang bagaikan seorang pangeran di sebuah kerajaan, dan dia hanyalah hamba sahaya.
“Ya sudah, sekarang ayo kita istirahat saja untuk menenangkan pikiran, besok kita omong-omong lagi,” kata simbok sambil menarik tangan Melani.
“Apa simbok menyesal keluar dari pekerjaan simbok?”
“Tidak, simbok akan lebih menyesal kalau mendengar kamu disakiti.”
“Melani akan bekerja mbok, Melani kira akan cukup untuk makan kita berdua. Majikan Melani benar-benar mengikhlaskan uang yang hilang, dan membiarkan gaji Melani diterima utuh,” kata Melani sambil menggandeng lengan simbok.
***
Abi tidak langsung ke rumah. Ia menelpon Andra dan mengajaknya makan disebuah warung makan untuk diajaknya bicara. Hati Abi sangat kacau. Ia tahu bahwa ibunya pasti akan menolak Melani, tapi ia sama sekali tidak mengira bahwa Melani akan menolaknya. Benarkah Melani sudah punya pacar ? Abi tak pernah sekacau ini. Ia tidak mengutarakan rasa cintanya sebelumnya, karena ia ingin memberikan kejutan pada Melani. Ia tak menyangka ibunya akan berkata kasar dan menyakitkan. Pasti Melani terluka. Benarkah penolakannya karena luka itu, atau karena benar-benar sudah punya pacar? Abi tidak percaya. Pasti ia sangat terluka.
Abi menunggu disebuah meja disudut ruangan di warung itu, dan duduk melamun tanpa memesan apapun, sampai Andra menghampirinya.
“Ada apa nih ?”
“Aku kacau.. butuh teman untuk bicara.”
“Tampaknya gawat ..”
“Duduklah dan pesan makan minum sesuka kamu.”
“Kamu tadi pesan apa?”
“Belum pesan apa-apa..”
“Baru saja tiba?”
“Setengah jam yang lalu.”
“Ya ampuun.. Sekarang mau pesan apa?” kata Andra sambil melambaikan tangannya pada pelayan.”
“Terserah kamu saja. Butuh yang hangat-hangat, karena aku kedinginan.”
“Kamu kedinginan? Di hari sepanas ini ?”
“Hatiku yang kedinginan..”
Andra tertawa, kemudian menuliskan pesanannya.
“Ada apa nih, parah banget kelihatannya. Kamu tadi jadi menjemput Melani?”
“Jadi.”
“Lalu...”
Abi menghela napas berat, kemudian menceritakan semua yang terjadi, sampai simbok keluar dari rumahnya karena Melani memintanya.
“Waduh, ibu kamu sadis banget nih..”
“Aku tidak mengira..”
“Kamu ikut kerumah simbok? Ibuku menira Melani pulang ke rumah aku.”
“Mereka pulang, aku sudah menemuinya disana. Sedih aku. Melani menolak aku.”
“Menolak ? Ketika aku omong-omong, tak ada tanda-tanda bahwa dia menolak.”
“Dia bilang sudah punya pacar..”
“Bohong ‘kali.”
“Aku juga mengira demikian. Dia masih trauma karena perkataan ibuku yang kasar dan menyakitkan.”
“Jadi kamu harus bersabar sampai dia tenang.”
Abi menghirup wedang jahe yang dipesan Andra dan sudah terhidang di meja.
“Merasa hangat?”
“Dengan adanya kamu, aku merasa hangat.”
“Kamu sudah bilang sama ibu bahwa Melani sebenarnya keponakan ibuku? Barangkali sikapnya akan berubah kalau mengetahui hal itu.”
“Aku baru mengatakan bahwa dia bukan anaknya simbok. Ibu semakin murka. Lagi pula aku tidak ingin ibu menerima Melani karena dia siapa. Aku ingin Melani diterima sebagai Melani, entah dia anak siapa. Karena aku jatuh cinta bukan karena dia adik sepupu kamu.”
Andra mengangguk, dan ikut menghirup es beras kencur yang dipesannya. Ia memang merasa gerah, karena udara sangat panas waktu itu.
“Baiklah, sekarang tenangkan dulu hati kamu. Makan gih, ini lontong gado-gado kesukaan kamu lhoh.”
Abi masih kehilangan selera makannya. Bayangan Melani menari-nari dipelupuk matanya. Wajah cantik sederhana, dengan bulu mata lentik menghiasi sepasang matanya yang sedikit sipit. Bibirnya tipis, gemas kalau melihatnya bicara. Tapi bukan hanya itu yang membuatnya jatuh cinta. Kesederhanaan dalam penampilan dan ucapan, menunjukkan bahwa dia wanita baik. Sekarang bahkan dia tahu bahwa Melani tidak mudah tergiur oleh harta. Ibunya salah menilai kekasih hatinya.
“Makanlah dulu, sebelum kamu pingsan karena kelaparan,” kata Andra sambil mengaduk-aduk makanannya.
“Hm, baunya sedap, sangat mengundang selera,” kata Andra lagi.
Abi menarik piringnya dengan enggan.
“Nanti aku akan bicara sama Melani. Kamu tenang saja. Aku sudah bermimpi mendengar kamu memanggil aku ‘mas Andra’.”
Abi mencoba tertawa mendengar Andra menggodanya. Tapi janji Andra bahwa dia akan membantunya bicara sama Melani, sedikit melegakannya.
***
Malam itu Abi tidak pulang ke rumah. Pak Cokro yang sejak tadi duduk di teras, sebentar-sebentar melongok kearah jalan, barangkali mobil yang terdengar mendekat adalah mobil Abisatya. Tapi tidak, mobil-mobil itu berlalu begitu saja. Pak Cokro mulai gelisah. Ia tahu pasti Abi sangat kecewa dengan penolakan ibunya. Penolakan dengan merendahkan gadis yang dicintainya, menghinanya dan menganggapnya sebagai sampah tak berguna.
“Ibunya Abi memang keterlaluan,” gerutunya.
“Pak, makan malam sudah aku siapkan,” tiba-tiba bu Cokro keluar mendekatinya.
Pak Cokro menoleh sesaat kepada isterinya.
“Ayo makan..” kata bu Cokro lagi.
“Tidak, makan saja sendiri.”
“Kok gitu sih pak.”
“Aku tidak mau makan.”
“Ini sudah lewat jam makan kita, nanti perut bapak sakit.”
“Biarin. Aku menunggu Abi pulang.”
Bu Cokro duduk didepan suaminya.
“Abi itu keterlaluan,” bu Cokro masih akan memulai omelannya. Pak Cokro memalingkan wajahnya. Menatap ke arah halaman rumahnya yang lengang dan remang. Ia bersiap pergi dari tempat itu kalau isternya akan melanjutkan omelannya tentang Abi dan Melani.
“Mengapa aku dianggap salah? Orang tua memilihkan yang terbaik bagi anaknya itu kan tidak salah?”
“Kamu itu hanya memikirkan dirimu sendiri. Ego kamu, kesombongan kamu karena menjadi orang hebat dan terkenal. Tapi kamu tidak memikirkan perasaan anakmu, perasaan orang lain. Kamu menghina, merendahkan, merasa dirimu paling kaya dan tidak pantas berdampingan dengan orang biasa.”
“Nanti Abi kan tahu bahwa aku melakukan hal baik terhadap dirinya.”
“Bagaimana kalau dia tidak mau pulang?”
“Masa dia tidak akan pulang?”
“Kita lihat saja nanti,” kata pak Cokro sambil berdiri dan beranjak kebelakang. Bu Cokro mengikutinya.
“Tadi aku masak rawon, enak. Tidak kalah dengan masakan simbok. Kita makan ya?”
Pak Coko tidak menjawab. Ia bukannya menuju ke ruang makan, tapi masuk ke kamar Abi, dan membaringkan tubuhnya disana.
“Paak, tidak makan ?” bu Cokro melongok kedalam kamar.
Pak Cokro tidak menjawab. Ia memeluk guling dan berbaring membelakangi pintu.
***
Anggoro pulang dari kantor, sudah agak malam. Santi setia menunggunya dengan selalu menampakkan sikap yang amat manis. Ia bergelayut di lengan suaminya dengan kemanjaan yang selalu ditampilkannya.
“Mas, kok pulangnya malam sekali sih ?”
“Banyak pekerjaan di kantor,” katanya singkat, langsung masuk kekamar. Santi mengikutinya.
“Sini aku bantu melepaskan pakaian kamu. Kamu mau mandi dulu atau minum kopi ?”
“Mandi lalu tidur.”
“Lhoh, tidak minum kopi dulu, lalu makan malam ?”
“Tidak, aku tidak lapar. letih sekali, hanya ingin tidur.”
Santi cemberut. Ia sudah berbelanja makanan enak di sebuah restoran untuk makan malam bersama suaminya, dan akan bilang bahwa dia yang memasaknya, tapi suaminya menolak makan. Walau begitu ia tak ingin menampakkan wajah kesal. Ia masih saja tersenyum ketika membantu melepaskan baju suaminya.
“Aku ambilkan handuknya dulu,” katanya ketika Anggoro beranjak ke kamar mandi. Santi dengan hati kesal tapi memperlihatkan senyum manis mengambilkan handuk bersih di almari.
“Mau ditemani mandi?”
“Tidak.” Kata Anggoro dengan wajah sebal. Akhir-akhir ini Anggoro merasa tidak tenang. Apa yang dilakukan isterinya, yang semula dianggapnya manis dan menghanyutkan, sekarang tampak seperti terlalu dibuat-buat. Pikiran Anggoro tiba-tiba lari ke arah Anindita, yang lembut dan menampakkan senyuman dengan tulus. Lalu ia tidak percaya, benarkah wanita sebaik Anindita tega menghianatinya? Ia juga teringat anak semata wayangnya yang masih kecil ketika Anindita membawanya pergi. Saat itu hari mulai malam, dan langit tampak gelap oleh mendung yang menggantung. Ia tahu bibik amat menyayangi isterinya. Ia membiarkan ketika bibik mengikutinya dengan isak tertahan. Hatinya teriris, ketika melihat Melani kecil menangis dalam gendongan bibik, tapi kemarahan yang disebabkan oleh penghianatan isterinya mengalahkan segalanya.
“Mas, kok lama sekali sih ?” teriak Santi karena Anggoro terlalu lama di kamar mandi.
Anggoro tak menjawab. Ia keluar dari kamar mandi ketika merasa cukup, dan dengan cekatan ia mengelap tubuhnya lalu mengambil pakaian ganti yang sudah disiapkan isterinya. Ia menepiskan tangan Santi ketika Santi ingin membantunya berpakaian. Santi mencoba mengganggunya seperti hari-hari sebelumnya, tapi sedikitpun Anggoro tidak tertarik.
“Apa yang terjadi suamiku yang gagah ini ?” rayunya sambil menggelendot manja.
“Lepaskan, aku hanya ingin tidur,” katanya sambil membaringkan tubuhnya.
“Benar tidak mau makan? Aku lapar nih, belum makan gara-gara menunggu kamu pulang,” katanya merajuk, sambil menampakkan bibir cemberut.
“Makanlah sendiri. Aku hanya ingin istirahat.”
“Baiklah, nanti aku temani kamu tidur.”
Santi keluar, dan Anggoro mencoba memejamkan matanya. Ia memang sangat lelah, dan tak lama kemudian dia terlelap. Tiba-tiba Anggoro terkejut, ketika seorang gadis cantik mendekatinya.
“Kamu... Anindita?”
“Bukan, saya Melani pak..”
“Melani ?” Anggoro berteriak.
“Melaniii? “
Santi bergegas masuk ke kamar, melihat Anggoro duduk sambil memeluk lututnya, dan mulutnya terus menerus memanggil nama ‘Melani.”
***
Besok lagi ya.