Thursday, October 2, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 26

 LANGIT TAK LAGI KELAM  26

(Tien Kumalasari)

 

Misnah terus mengawasi punggung laki-laki yang melintas dan berjalan semakin jauh. Tapi ada yang dirasakannya dan terasa aneh.

“Misnah? Bukankah namaku Misnah?”

Misnah masih terus menatapnya, lalu ia melihat ada sebuah bungkusan plastik terjatuh dari tangan laki-laki itu, yang tak dihiraukannya.

Misnah bangkit perlahan. Bungkusan itu dihampirinya, lalu diambilnya. Kemudian dia berteriak.

“Pak … Pak, bungkusannya jatuh.”

Laki-laki itu bergeming dan terus melangkah.

Misnah mengikutinya sambil mengacungkan bungkusan itu.

“Paaak, bungkusannya jatuh,” ia melangkah semakin cepat. Tapi laki-laki itu seperti tak mempedulikannya. Misnah terus saja berteriak.

“Paaak. Bungkusannya.”

“Biarkan saja, aku tak mau makan kalau belum bertemu Misnah,” katanya sambil terus melangkah.

“Tapi Misnah itu aku.”

“Jangan menggangguku. Hei, apa kamu Misnah? Suaranya mirip anakku ….”

Laki-laki itu berhenti, menunggu orang yang mengejarnya. Lalu dengan gemetar tangannya menggapai.

“Kamu ,,, Misnah?”

“Ini bungkusannya jatuh.”

“Kamu Misnah … Misnah … anakku … “ lalu laki-laki tua itu memeluknya.

Misnah merasa kepalanya berdenyut.

“Kamu … ayahku?”

“Misnah …”

Pak Misdi menangis mengguguk sambil memeluk Misnah. Ada kilatan-kilatan ingatan yang melewati kepala Misnah … antara sebuah mimpi dan nyata.

“Aku punya bapak kan?”

“Mengapa kamu begini? Misnah, anakku …”

“Kamu Bapak ya?”

“Misnah … “

Lalu keduanya berpelukan erat, kemudian ambruk ke tanah bersama-sama.

***

Malam itu Satria dan Dewi masih ada di rumah pak Hasbi. Ia sudah diperiksa dokter, yang menurut dokter sakit pak Hasbi hanya karena perasaan tertekan. Ada obat yang diberikan, dan sudah diambil Satria di apotek.

“Kakek harus banyak istirahat, tidak boleh banyak pikiran,” kata Dewi di kamar pak Hasbi, di mana pak Hasbi sedang terbaring.

“Sudah aku bilang, bahwa aku tidak sakit.”

“Pokoknya Kakek tidak boleh bandel,” kata Dewi tandas.

Pak Hasbi tersenyum. Ia senang Dewi selalu memperhatikannya.

“Apa Dewi biar tidur di sini dulu sementara waktu?” kata Satria.

“Jangan Nak. Kamu kan suaminya, masa membiarkan istrinya menjaga orang lain. Lagian aku kan tidak apa-apa.”

“Tapi Kakek sedang sakit,” kata Satria lagi.

“Aku tidak apa-apa. Besok saja Dewi ke sini lagi, seperti janjinya. Malam ini harus pulang,” tandas pak Hasbi.

“Baiklah kalau Kakek tidak apa-apa, tapi besok pagi jangan lupa minum obatnya. Kalau malam ini sudah diminum semua kan?”

“Bapak sakit apa?” tiba-tiba Rizki muncul.

“Ke mana saja kamu, dari tadi baru muncul?” tegur pak Hasbi.

“Maaf Pak, Rizki ketiduran, capek muter-muter.”

Sudah kamu selesaikan tugasmu?”

“Sudah beres Pak.”

“Mana kwitansinya? Biasanya mereka memberi tanda terima.”

“Baiklah, ini Pak, sudah Rizki bawa,” kata Riski sambil mengulurkan setumpuk kertas.

Pak Hasbi menerimanya, lalu mengerutkan keningnya.

“Ini apa?”

“Bapak minta tanda terima. Itu tanda terimanya.”

“Kok seperti ini? Biasanya setiap lembar tanda terima itu ada stempel resminya. Tiap-tiap panti dan yayasan kan punya stempel.”

“Ya nggak tahu Pak, tadi Rizki hanya diberi itu.”

“Kok aneh.”

Dewi mendekat, dan meminta kertas-kertas itu.

“Ini tanda terima dari yayasan-yayasan itu? Ini bukan tanda terima resmi. Masa hanya ditulis dengan kertas biasa?” kata Dewi sambil menatap tajam Rizki.

“Tunggu. Jangan dulu memarahi aku. Tadi kan Rizki berangkatnya sudah siang, jadi mungkin kantor-kantor mereka sudah tutup, jadi Rizki hanya diberi kertas biasa yang ditulisi tanda terima itu.”

“Ini aneh. Urusan uang banyak, mengapa tanda terimanya seperti ini?” kata Dewi.

“Iya, bagaimana sih kamu Rizki. Kamu itu anak sekolahan. Mahasiswa hampir jadi sarjana, mengapa mau diberi tanda terima seperti ini?” tegur pak Hasbi.

“Baiklah, baiklah … besok ini semua akan Rizki kembalikan, dan minta tanda terima resmi.”

“Bekerja tidak becus kamu ini,” omel pak Hasbi.

“Kan Rizki sudah bilang, mungkin karena tadi kantor mereka sudah tutup lalu Rizki diberi tanda terima seadanya.”

“Tidak bisa begini.” tegur Dewi dengan wajah kesal.

“Bagaimana kamu percaya begitu saja kepada orang yang menerima? Masa enam panti dan yayasan semua kompak memberi tanda terima tidak resmi?” kata pak Hasbi.

“Karena aku mengenal bahwa penerimanya juga pegawai di sana. Bajunya pakai seragam kok.”

“Rizki, pokoknya kamu harus kembali besok dan meminta tanda terima yang asli.” kata Pak Hasbi tandas, sambil memberikan kertas-kertas itu. Rizki berlalu dengan wajah masam.

Dewi saling pandang dengan suaminya.

“Kakek tidak usah memikirkannya, besok Rizki akan mengurusnya. Kalau tidak beres juga, biar Dewi membantunya,” kata Dewi.

“Ya sudah, sekarang kalian pulanglah, aku juga merasa mengantuk. Kelihatannya obat yang diberikan efeknya ngantuk.”

“Iya Kek, supaya Kakek bisa beristirahat.”

***

Di perjalanan pulang, Satria baru bisa mengatakan kepada Dewi, bahwa Andira, istri Andra tadi melihat pak Misdi di suatu tempat. Sebelum nyamperin pak Hasbi, Satria sudah berusaha melacaknya, tapi tak berhasil.

“Bu Andira sudah kenal pak Misdi?”

“Sebelumnya tidak. Dia hanya kasihan pada seorang laki-laki tua yang kelelahan di pinggir jalan, kemudian diberinya makan. Ternyata bu Andira pernah melihatnya di sebuah sekolah, ketika pak Misdi mengantarkan Misnah. Bu Andira mengenalnya dari dekat, karena pak Misdi waktu itu mengambilkan dompetnya yang jatuh ketika turun dari mobil.”

“Dari mana dia tahu kalau itu pak Misdi?”

“Pada awalnya dia tidak tahu namanya. Tapi karena waktu itu pak Misdi menyebut nama Misnah.  Ketika disuruh makan nasinya, dia bilang kalau akan dimakan kalau nanti bersama Misnah.”

“Bu Andira langsung tahu kalau dia orang yang kita cari?”

“Tidak. Aku terkejut ketika bu Andira bercerita tentang orang yang diberinya makan, lalu tampaknya sedang mencari anaknya yang bernama Misnah. Itu sebabnya kemudian aku bertanya, di mana dia melihat laki-laki itu.”

“Sayang sekali kamu tidak berhasil menemukannya. Tampaknya pak Misdi yang kehilangan Misnah lalu mencarinya ke mana-mana. Kasihan sekali.”

Ketika itu ponsel Dewi berdering. Dari Listyo.

“Ya Mas, ada berita apa?” tanya Dewi.

“Berita bagus. Polisi sudah menemukan Misnah, bahkan bersama ayahnya.”

“Benarkah?” Dewi berteriak.

“Aku tuliskan alamat rumah sakitnya, aku juga sedang dalam perjalanan ke sana.”

“Baik, aku juga mau ke sana,” kata Dewi riang.

“Ada apa?” tanya Satria.

“Misnah dan ayahnya ditemukan. Sekarang mereka dirawat di sebuah rumah sakit. Ini alamatnya, kita langsung ya Sat?”

***

Pak Misdi dan Misnah dirawat di kamar yang sama. Kalau pak Misdi sudah sepenuhnya sadar, tidak demikian dengan Misnah. Ia sesungguhnya memang sedang sakit. Terluka dan gegar otak. Lalu dibawa paksa keluar dari rumah sakit, dibawa ke satu tempat, dipindah ke tempat lain, lalu terlantar di jalanan, yang oleh karena kebesaran Allah kemudian dipertemukan dengan ayahnya. Barangkali karena jeritan pak Misdi yang membubung menembus langit, maka Allah mengabulkannya. Berkali-kali air matanya menitik, manakala melihat keadaan sang anak yang lemah tak berdaya. Misnah belum bisa berkata banyak, ia hanya ingat namanya, dan ayahnya yang ketemu di jalan. Ia ingat ketika dompetnya dicopet, lalu diserempet mobil, tapi tak ingat kejadian selanjutnya.

Walau begitu pak Misdi sudah merasa lega, bisa bertemu anak perempuan yang dikasihi dan mengasihinya.

Pak Misdi juga senang ketika melihat Dewi mengunjunginya malam itu.

“Bagaimana non Dewi bisa tahu kalau saya ada di sini?”

“Banyak kejadian menimpa Misnah. Apa Misnah belum menceritakan semuanya?”

“Misnah hanya ingat bahwa saya adalah ayahnya. Ia hanya bercerita kalau dompetnya dicopet orang, lalu dia keserempet mobil. Dia masih lemah, belum bisa bercerita banyak, dokter juga melarang saya memaksa bertanya.”

“Benar pak Misdi. Jangan memaksa Misnah untuk mengingat ingat. Dengan berjalannya waktu maka dia pasti bisa mengatakan semuanya.”

“Mengapa Non Dewi datang kemari? Saya dianggap pencuri oleh tuan Hasbi, sehingga diusir dari rumahnya,” katanya sendu.

“Sebenarnya apa yang terjadi?”

“Saya dan Misnah hanya kambing hitam. Seumur-umur saya tidak pernah mencuri atau berbohong. Entah mengapa saya bisa mendapatkan musibah ini. Tiba-tiba ada uang bertumpuk di almari saya. Saya tidak mengerti. Uang apa dan siapa pemiliknya, saya tidak tahu menahu. Tiba-tiba saya dituduh mencuri. Ya Allah, tega sekali orang yang memfitnah saya.”

“Pak Misdi sabar ya. Percayalah bahwa yang baik dan yang buruk akan terkuak semuanya.”

“Gara-gara semua itu, anak saya menjadi korban, sampai sekarang masih terbaring lemah. Apa salah dan dosanya, coba?” air mata pak Misdipun meleleh.

“Sekarang semuanya sudah ditangani yang berwajib.”

“Saya tidak punya uang, uang dibawa Misnah semuanya dan dicopet orang jahat. Ini nanti bagaimana bayar rumah sakitnya?”

“Pak Misdi tidak usah memikirkannya. Semuanya akan baik-baik saja. Banyak yang bersimpati pada pak Misdi serta Misnah. Pak Misdi beristirahat dulu di sini sampai sembuh, sudah ada yang mengurusnya.”

“Terima kasih banyak Non.”

“Pak Misdi, apakah pak Misdi mencurigai sesuatu?”

“Maksud Non apa?”

“Pak Misdi kan tidak merasa melakukan pencurian itu?”

“Tentu saja Non, jangan sampai saya melakukannya. Biar miskin saya tidak pernah punya niat untuk melakukan itu.”

“Pasti pak Misdi mencurigai, ada seseorang yang memfitnah. Ya kan?”

Pak Misdi diam. Ia merasa ragu, akan mengatakannya ataukah tidak.

“Pak, saya di sini akan membantu menguak kejadian yang sebenarnya terjadi. Jadi pak Misdi jangan takut mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran pak Misdi.”

“Saya tidak berani mengatakannya.”

“Jangan takut. Saya dan suami saya ini, juga ini … saudara saya, akan membantu bahkan melindungi pak Misdi.”

“Sebenarnya Misnah yang mencurigai sesuatu.”

“Misnah pernah melihat sesuatu yang mencurigakan?”

“Dia mengatakannya kepada saya. Dia ingin membuka semuanya kepada tuan Hasbi, tapi saya melarangnya. Saya tidak ingin melihat orang celaka.”

“Apa yang dilihat Misnah?”

“Katakan saja pak Misdi, kami di sini akan membantu membuka semuanya.”

“Saya sudah merasa hidup nyaman dengan keseharian saya. Saya tidak ingin … karena mengatakan ini, lalu dianggap ingin kembali kepada tuan Hasbi.”

“Bukan karena itu, tapi yang baik harus dibela, yang jahat harus dihukum, ya kan?”

Agak lama pak Misdi terdiam, sampai pada akhirnya dia mau mengatakannya.

“Misnah pernah melihat mas Rizki membuka almari penyimpan uang tuan Hasbi.”

“Dia diam saja?”

“Mana Misnah berani? Dia hanya mengatakannya kepada saya, dan saya menyuruhnya diam saja, jangan ikut campur.”

“Baiklah, ada yang lain?”

“Entahlah, tapi sejak saat itu kelihatan sekali mas Rizki tidak suka pada kami.”

Dewi mencatatnya dalam hati.

***

Pagi hari itu Satria mengantarkan istrinya ke rumah pak Hasbi. Ia tahu Dewi akan pergi ke panti dan yayasan yang biasanya mendapat sumbangan dari pak Hasbi.

“Kamu nanti naik mobil saja, atau aku antar?”

“Kendaraanku kan masih ada di rumah kakek, jadi aku nanti naik motor saja.”

“Tidak apa-apa, naik motor muter-muter ke mana-mana?”

“Ya tidak apa-apa, cuma motoran dalam kota saja, kamu kok kelihatan khawatir sekali?”

“Asalkan kamu hati-hati. Tapi bagaimana kalau nanti ternyata Rizki sudah ke sana dan minta tanda terima aslinya?”

“Mana mungkin? Sudah kelihatan dia bohong, mana ada sebuah yayasan memberi tanda terima diatas kertas biasa? Aku hanya akan membuktikannya secara nyata. Supaya dia tidak bisa berkelit.”

Tapi ketika sampai di rumah pak Hasbi, simbok menyambut kedatangannya dengan panik.

“Non … Non, tuan Non.”

“Ada apa?”

“Setelah minum obat tadi pagi, tuan tidak bangun sama sekali.”

***

Besok lagi ya.

Wednesday, October 1, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 25

 LANGIT TAK LAGI KELAM  25

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi merasa senang dengan kedatangan Dewi, sehingga tak memperhatikan perubahan wajah Dewi ketika mendengar penuturannya. Dewi mencurigai Rizki, entah mengapa. Karena Rizki kelihatan kalau tak suka pada pak Misdi dan anaknya. Ia merasa pak Misdi tak mungkin melakukan hal buruk itu sementara semua kebutuhannya tercukupi. Kalau memang dia butuh uang dengan jumlah banyak, mengapa amplop gajinya masih utuh dan justru ditinggalkan ketika dia pergi. Mata polos Misnah juga sedikit sekali kemungkinannya untuk melakukan perbuatan tercela. Yang paling mungkin adalah Rizki melakukannya, tapi ingin mengkambing hitamkan Misnah dan pak Misdi yang paling gampang untuk dituduh. Tapi Dewi belum menemukan bukti untuk itu, karenanya dia tak ingin mengatakannya kepada kakeknya tentang apa yang dipikirkannya. Yang jadi nanti malah kakeknya justru semakin bingung.

“Mengapa kamu diam, Dewi?” tak urung pak Hasbi menangkap rasa tidak suka di wajah Dewi.

“Tidak apa-apa, kan Dewi sedang mendengarkan Kakek bicara.”

“Rizki sekarang sudah banyak berubah. Dia baik, santun, dan malah menawarkan diri untuk membantu mengirimkan sumbangan-sumbangan yang biasanya dilakukan simbok. Dengan begitu pekerjaan simbok menjadi lebih enteng kan?”

“Iya, Kek. Syukurlah.”

“Dia juga tidak pernah meminta uang berlebih. Kalau merasa uangnya cukup, tidak pernah minta uang saku. Kakek senang melihat perubahannya. Semoga dia benar-benar menjadi baik.”

Dewi mengangguk-angguk, untuk menyenangkan hati sang kakek.

“Kesibukan apa yang kamu lakukan, sehingga baru sekarang menemui kakek?”

“Bukan hal penting, hanya urusan rumah tangga biasa. Kakek marah ya?”

“Tidak, mengapa marah? Kakek bisa memaklumi keadaan kamu, kan kamu sudah punya suami, sebenarnya aku tak boleh mengganggu kesibukan kamu melayani suami kamu.”

“Satria kan setiap hari ke kantor Kek, sedangkan dia melarang Dewi bekerja, jadi Dewi tidak punya pekerjaan di rumah. Itu sebabnya Dewi berjanji akan sering menemani Kakek.”

“Iya, aku tahu.”

Tapi Dewi melihat wajah pak Hasbi sedikit pucat.

“Apakah Kakek sakit?”

“Tidak, hanya sedikit pusing. Tapi tidak masalah, rasa pusingnya sudah hilang ketika kamu datang.”

”Jangan begitu Kek, kalau memang sakit harus dibawa ke dokter.”

“Tidak usah, di dekat sini ada mantri kesehatan yang pintar. Nanti biar simbok memanggilnya.”

“Kalau mantri kesehatan kan hanya melihat sekilas Kek, tapi di rumah sakit, Kakek akan diperiksa semuanya. Jadi penyebab sakitnya apa, obatnya harus yang seperti apa. Gitu Kek.”

“Ini sakit biasa, aku tidak suka ke rumah sakit. Dulu pernah kan, aku sama sekali tidak kerasan.”

“Masa? Bukankah Kakek waktu itu malah mengatakan bahwa lebih suka di rumah sakit?”

Pak Hasbi tertawa.

“Iya, waktu itu. Kakek benar-benar seperti anak kecil ya. Waktu itu kakek takut kalau kakek pulang, lalu kamu tidak mau merawat kakek lagi.”

“Ternyata tidak kan? Dewi sudah mengatakan kalau Dewi cucunya Kakek. Masa Dewi tidak mau merawat Kakek. Ada-ada saja Kakek nih. Nanti sore Dewi antar ke dokter ya? Beneran nih, Kakek harus mau.”

"Pak Mantri sajalah.”

“Dokter sajalah. Sekarang Kakek istirahat dulu, Dewi mau menelpon mas Satria, supaya dari kantor nanti langsung kemari untuk mengantarkan Kakek.”

“Kasihan suami kamu sih Dew, kan capek, habis kerja disuruh mengantar ke dokter.”

“Ya tidak apa-apa Kek, demi Kakek, tidak ada kata capek. Ayo sekarang Kakek ke kamar dulu. Dewi mau ke dapur, tanya bumbu masakan,” kata Dewi yang langsung menggandeng kakeknya masuk ke kamar.

***

Dewi mendekati simbok yang sedang menjerang air. Ia duduk di kursi dapur, melihat apa yang dilakukan pembantu yang rajin dan setia itu.

“Kakek sepertinya sakit, nanti aku akan membawanya ke dokter.”

“Bagus Non, simbok juga merasa begitu. Wajah tuan kelihatan pucat, tapi selalu bilang tidak apa-apa. Menurut simbok, sebenarnya tuan itu sayang sama pak Misdi, ada rasa kecewa ditinggalkan pak Misdi. Tapi kenapa kemudian ada kejadian seperti itu,” kata simbok mirip sebuah keluhan.

“Simbok percaya, kalau pak Misdi atau Misnah melakukannya?”

"Kalau menurut hati kecil simbok sih, sepertinya tidak mungkin. Misnah itu gadis lugu. Ketika pada suatu hari dia menyapu, lalu menemukan uang jatuh di depan kamar tuan, uang itu juga dikembalikan. Kalau memang dia tidak jujur, pasti uang itu dimasukkan ke dalam sakunya. Tapi mau bagaimana lagi, bukti-bukti mengarah ke pak Misdi, gara-gara mas Rizki menemukan uang di almari pak Misdi.”

“Apa simbok pernah berpikir, ada orang lain memasukkan uang itu ke almari pak Misdi, supaya pak Misdi jadi tersangka?”

“Nah, simbok pernah berpikir begitu, tapi kan simbok hanya pembantu. Kalau simbok bicara pada tuan, yang sedikit saja membela pak Misdi, tuan langsung menghentikan omongan simbok. Pokoknya pak Misdi dan anaknya tetap dianggap bersalah. Tapi simbok yakin, jauh di dasar hati tuan, ada rasa sayang pada keduanya.”

"Menurut simbok, mengapa Rizki mengkambing hitamkan pak Misdi dan Misnah?”

“Dari awal mas Rizki sudah tidak suka pada mereka, entah kenapa.”

“Apa simbok tahu kalau Misnah hilang?”

“Hilang? Beberapa hari yang lalu ada dua temannya mencari Misnah kemari. Saat itu Misnah tidak masuk sekolah, lalu gurunya menyuruh teman Misnah menanyakannya ke rumah. Tapi kan  Misnah sudah tidak ada di sini? Simbok tidak bisa berkata apa-apa. Ternyata hilang?”

“Misnah keserempet mobil, jatuh pingsan, kebetulan mas Listyo, saudaraku yang melihatnya, kemudian membawanya ke rumah sakit. Tapi ketika aku ke sana, Misnah hilang.”

“Kok bisa hilang sih Non.”

“Sekarang sedang ditangani polisi. Ini sangat rumit.”

“Apa mas Rizki yang melakukannya?”

“Entahlah, semuanya harus dibuktikan.”

***

Riski dan Citra sudah sampai di depan rumah temannya, tapi sang teman malah sudah menyambutnya sebelum mereka turun dari mobil.

“Maaf Citra, maaf sekali.”

“Ada apa?” tanya Citra sambil turun.

“Anak itu pergi.”

“Pergi? Mengapa kamu membiarkannya pergi?” kata Citra berteriak. Ia marah sekali.

“Aku sudah memberi kamu uang, aku hanya bilang titip dan jagalah dia, mengapa kamu biarkan dia pergi?” sambung Citra karena sang teman tampak bingung tak bisa menjawabnya.

“Ya karena itulah aku minta maaf. Bukan aku tidak menjaganya. Ia aku suruh tidur di kamar belakang, sementara karena mengantuk aku juga tidur di kamarku. Tapi ibuku melihat dia, lalu mengusirnya. Ada orang yang mau kost dan memilih kamar belakang, padahal ada anak kecil itu. Lalu ibuku mengusirnya begitu saja.”

“Kamu tidak mengejarnya?”

“Aku terbangun baru saja, dia pergi sudah beberapa jam lalu, sebelum hujan turun.”

“Kamu ini benar-benar tidak bertanggung jawab!” hardik Citra yang kemudian masuk ke dalam mobil.

“Ke arah mana dia pergi?” tanya Rizki.

“Maaf, saya juga tidak tahu.”

“Dasar bodoh!!”

Sebelum mobil berlalu, sang teman masih berteriak meminta maaf.

Rizki dan Citra bertengkar di dalam mobil. Mencoba menyusuri kemana kira-kira Misnah pergi, tapi tak ditemukannya.

***

Ketika itu Satria dan Andra serta temannya berbincang tentang bangunan yang akan diserahkan padanya.

Mereka kemudian makan dari nasi bungkus yang dibelikan Andira.

“Kamu tadi lama sekali sih, padahal kamu meninggalkan bayi di rumah,” tegur Andra kepada istrinya.

“Maaf, aku tadi tuh melihat seorang laki-laki setengah tua yang kehujanan, aku beri dia bungkusan nasi itu, tapi dia tak mau makan, katanya hanya mau makan bersama anaknya yang hilang. Namanya Misnah.”

“Misnah?” Satria berteriak, tentu saja dia mengenal nama itu. Tapi apakah yang dimaksud adalah orang yang sama?

“Kenapa berteriak Sat? Kamu kenal nama itu?”

“Yang sangat mengenalnya adalah istri saya Pak. Dia itu anak dari seorang tukang tambal ban yang disekolahkan oleh pak Hasbi.”

“Oh ya? Pak Hasbi, cucunya dulu hampir menjadi istriku, tapi kemudian dia meninggal. Kami ketemu ketika kamu menikah.”

“Bahkan mengantarkan beliau pulang,” sambung Andira.

“Tunggu, bu Andira ketemu ayah Misnah? Sekarang dia ada di mana?”

“Entahlah, aku menawarkan untuk mengantarkan dia, tapi dia tidak mau. Badannya kurus kering, kelihatan lemah, tapi tak mau berhenti. Kasihan aku melihatnya. Sebenarnya aku mengenalnya. Itu lho mas, laki2 yang mengambilkan dompetku ketika jatuh saat aku turun dari mobil."

"O, ketika ada pekerjaan renovasi di sebuah sekolah?"

"Iya, ternyata Misnah sekolah di sana. Waktu itu ayahnya sedang mengantarnya."

“Kalau begitu aku mau mencarinya, tolong di mana bu Andira melihatnya? Yang namanya Misnah itu hilang diculik orang.”

“Diculik?”

“Iya, karenanya aku pamit dulu. Aku juga harus mengantar kakek Hasbi ke dokter. Tapi aku akan mencoba mencari bapaknya itu dulu.”

Andira memberi ancar-ancar di mana ketemu pak Misdi, kemudian Satria  bergegas pergi.

Tapi sudah hampir satu jam dia berputar-putar di daerah yang ditunjukkan Andira, sama sekali tak ditemukannya laki-laki setengah tua yang dikenalinya sebagai pak Misdi, sementara Dewi sudah menelpon karena harus mengantarkan pak Hasbi ke rumah sakit.

***

Ketika simbok sedang bersih-bersih di dapur, ia mendengar Rizki pulang. Tapi dia tidak menyambutnya. Biasanya juga begitu. Ia hanya menyiapkan minuman yang diletakkannya di ruang tengah.

“Kok sepi? Bapak mana?”

“Tuan ke dokter.”

“Pak Mantri?”

“Bukan. Dokter ya dokter.”

“O, itu sepeda motor mbak Dewi ya?”

“Iya, non Dewi yang mengantarkannya ke dokter.”

“Ya sudah.”

“Tadi mas Rizki mengantarkan sumbangan ke panti-panti kan?”

“Iya.”

“Sudah beres?”

“Ya sudah, simbok nanya-nanya seperti wartawan saja.”

“Takutnya kesasar. Kan biasanya simbok.”

“Memangnya aku buta huruf? Kan sudah ada tulisannya, masa nyasar.”

“Ya sudah, cuma nanya, kok mas Rizki marah.”

“Simbok nggak usah nanya-nanya, ini urusanku sama bapak.”

“Ya sudah, maaf,” kata simbok sambil ngeloyor pergi.

“Cuma pembantu, kebanyakan nanya,” gumamnya kesal. Tapi kemudian dia masuk ke kamar sang ayah.

Simbok menatapnya heran, mengapa Rizki masuk ke kamar tuannya, sementara tuannya pergi?

Ketika simbok ingin meletakkan cemilan di atas meja, ia melirik ke dalam kamar sang tuan. Rizki masih ada di dalam, membuat simbok curiga. Setelah pembicaraannya dengan Dewi, simbok memang kemudian mencurigai Rizki. Tapi curiga tentang apa, simbok belum menemukannya.

Agak lama Rizki di dalam, dan simbok terkejut ketika Rizki keluar dari kamar itu, kemudian membentaknya.

“Apa yang simbok lakukan?”

“Tidak … simbok hanya meletakkan cemilan di meja, kan nanti ada non Dewi,” katanya sambil berlalu.

***

Seorang gadis kecil berjalan tertatih menyusuri jalanan. Sangat beruntung dia, entah bagaimana keadaannya, dia bisa terlepas dari cengkeraman orang jahat, Gadis itu adalah Misnah, yang diusir dari tempat kost teman Citra karena kamarnya sudah laku disewa.

Misnah masih belum sadar benar apa yang terjadi. Terkadang kepalanya berdenyut nyeri, lalu ia berhenti sejenak sambil memijit-mijitnya.

“Mengapa aku sampai di tempat asing ini? Di mana ayahku? Aku tadi di rumah siapa, diusir dengan semena-mena,” gumamnya lirih sambil memegangi tangannya.

Hari sudah sore, ia menginjak tanah basah setelah diguyur hujan, dan kakinya terasa sakit. Ia telanjang kaki, entah kemana larinya sepatu yang sejak awal dipakainya. Bajunya lusuh, ada bercak-bercak darah. Itu adalah seragam sekolah. Misnah menarik sedikit baju yang agak berbau amis itu, lalu teringat akan sekolahnya.

“Bukankah aku jualan roti? Lalu dompetku diserobot orang, lalu aku diserempet mobil, lalu aku tak ingat apa-apa lagi.”

Misnah berjongkok sambil memegangi kepalanya.

Ketika itu seorang laki-laki berjalan sempoyongan karena lelah. Ia melewati Misnah yang sedang berjongkok.

“Misnah, di mana kamu Misnah,” gumamnya.

Misnah mengangkat kepalanya, melihat punggung laki-laki itu tak berkedip.

***

Besok lagi ya.

LANGIT TAK LAGI KELAM 26

  LANGIT TAK LAGI KELAM  26 (Tien Kumalasari)   Misnah terus mengawasi punggung laki-laki yang melintas dan berjalan semakin jauh. Tapi ada ...