Monday, September 22, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 17

 LANGIT TAK LAGI KELAM  17

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi menatap Rizki tak berkedip. Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh anak angkatnya ini?

“Mengapa Bapak sepertinya heran? Terkadang orang yang kelihatannya baik, bisa saja menyimpan hati yang jahat. Semuanya sudah kelihatan walau masih samar. Ada yang mengambil uang Bapak, entah sedikit demi sedikit, atau langsung banyak. Ini sudah jelas. Kalau dulu Bapak tak pernah kehilangan, mengapa sekarang tiba-tiba kehilangan? Dan terjadinya setelah ada orang baru.”

“Dia hanya orang sederhana, miskin.”

“Kalau dia orang kaya, tak mungkin akan mencuri.”

Mereka bicara berbisik-bisik, dan hal itu membuat pak Hasbi merasa sedikit pusing. Ia masih saja tak percaya walau Rizki menggambarkan tentang segala kemungkinan sehingga terjadilah pencurian itu.

“Bapak tak pernah mengunci kamar. Bapak meletakkan kunci juga sembarangan saja.”

“Pada suatu pagi, Misnah pernah menemukan uang yang tercecer di depan kamar bapak. Dia kembalikan kok. Masa iya dia mau mencuri?”

“Terkadang sebuah perbuatan yang tampaknya baik, hanya untuk memberikan kesan bahwa dia benar-benar baik. Apa Bapak tahu apa yang ada di dalam pikirannya? Pokoknya Bapak jangan percaya pada semua kebaikannya yang tampak. Harus hati-hati. Bapak boleh berbaik hati kepada siapapun, memberi kepada siapapun, tapi memberi dan  membiarkan barang dicuri itu berbeda Pak.”

Banyak sekali ungkapan yang dikatakan Rizki, yang mau tak mau juga masuk ke dalam benak pak Hasbi.

“Nanti kita pasti akan bisa membuktikannya Pak, percayalah. Tapi Bapak jangan mengatakan apapun juga, walau kepada simbok yang Bapak percayai sekalipun. Serahkan semuanya pada Rizki.”

***

Pak Misdi heran, karena keesokan harinya ia tak melihat pak Hasbi duduk di bawah pohon sawo seperti biasanya. Tak ada yang mengomentari tanaman bunganya yang mulai tumbuh subur karena dirawat dengan sangat baik oleh pak Misdi.

“Apakah tuan Hasbi sakit ya? Tapi tadi pagi kelihatan masih duduk di ruang tengah sambil minum kopi.”

Pak Misdi membuang daun-daun yang mulai menguning, agar tanaman sedap dipandang. Kuncup-kuncup mawar sudah tampak di sana-sini. 

"Kalau nanti berbunga bersama pasti taman ini kelihatan semarak, dan tuan Hasbi akan senang. Hanya kolam yang ditengah itu belum sempat dibuat. Kata tuan akan digarap minggu depan, menunggu tukang yang akan sanggup mengerjakannya."

Ketika menyapu daun-daun kering, pak Misdi melongok ke dalam rumah. Tak dilihatnya bayangan pak Hasbi.

“Ini aneh.”

“Ketika ia melihat simbok keluar dari rumah sambil membawa keranjang belanjaan, pak Misdi memerlukan bertanya.

“Mbok, dari tadi kok aku tidak melihat tuan ya?”

“Tuan duduk di ruang tengah, sendirian.”

“Biasanya duduk di situ, di bangku bawah pohon sawo itu, sambil mengomentari pekerjaanku.”

“Iya ya, biasanya duduk di situ sambil ngobrol sama sampeyan.”

“Tapi nggak sakit kan Mbok?”

“Aku kira nggak apa-apa. Kalau sakit pasti mengatakannya, atau mengeluh. Mungkin agak capek, dan sedang ingin sendirian.”

“Ya sudah kalau memang tidak sakit. Karena tidak biasanya begini.”

“Kelihatannya baik-baik saja kok.”

“Simbok mau belanja?”

“Iya, ke warung situ saja, hanya ada sedikit bumbu yang kurang,” kata simbok sambil berlalu.

Pak Misdi melanjutkan pekerjaannya. Kebun sudah bersih, taman yang dibuat sudah rapi, lalu pak Misdi ingin ke belakang, karena merasa haus. Ketika melewati sebuah jendela besar di tengah rumah, ia melihat pak Hasbi sedang duduk sendirian. Pak Misdi berdiri di dekat jendela, lalu menyapanya.

“Tuan ….”

Pak Hasbi mengangkat wajahnya, menoleh ke arah jendela. Ia tersenyum tipis melihat pak Misdi berdiri di sana.

“Tumben Tuan tidak duduk di depan.”

“Tidak apa-apa, aku sedang malas saja.”

“Tuan kecapekan, karena tidak pernah istirahat siang.”

“Mungkin,” jawabannya singkat.

“Ya sudah, Tuan istirahat saja. Saya mau ke belakang sebentar.”

Pak Hasbi hanya mengangguk pelan.

“Orang sebaik pak Misdi, masa iya dia mau melakukan hal seburuk itu? Padahal aku sudah merasa senang, dia bisa menjadi teman ngobrol yang baik, sehingga aku tidak merasa kesepian. Apa sebenarnya yang diinginkannya? Hidup senang? Punya banyak uang? Mengapa sepertinya dia menolak ketika aku memberinya uang? Ah, itu kan hanya pura-pura, supaya kelihatan baik. Begitu kan kata Rizki?” gumam pak Hasbi pelan.

Sesungguhnya pak Hasbi merasa sedih. Bukan karena uangnya yang hilang, tapi karena merasa dikhianati. Apa kurang kebaikan yang diberikannya sehingga pak Misdi masih mau melakukan hal buruk dan sangat tercela?

***

Citra merasa senang karena Rizki hampir  berhasil mengelabui ayahnya tentang siapa yang seharusnya dituduh menncuri.

“Dengan begitu, aku tidak akan punya kesempatan mengambil uang lagi.”

“Mengapa begitu?”

“Bapak akan lebih berhati-hati dalam menyimpan uangnya.”

“Bukankah dengan perginya tukang kebun dan anaknya nanti, kamu masih bisa melakukannya?”

“Aku kira tidak semudah itu lagi. Entahlah. Sekarang aku jadi bingung, tindakanku ini benar atau salah. Dengan perginya pak Misdi, tak ada lagi yang akan menjadi kambing hitam.”

“Tenang saja, pasti masih akan ada jalan lain. Yang penting kecurigaan ayahmu kali ini sudah akan mengarah ke tukang kebun itu. Tapi bagaimana caranya kamu menjebaknya? Sebaiknya segera kamu lakukan, supaya keinginan kita segera tercapai.”

Rizki diam saja. Ada hal lain yang dipikirkannya.

***

Misnah pulang sekolah, menatap ke arah teras, tapi ia tak melihat pak Hasbi duduk di sana. Ayahnyalah yang menyapanya, dari bawah sawo, sendirian.

“Baru pulang Nduk?”

“Iya, kok Bapak sendirian, biasanga ada tuan Hasbi di situ?”

“Entahlah, sejak tadi bapak juga tak melihatnya.”

“Tumben. Apa tuan sakit?”

“Tidak, tadi duduk di ruang tengah, sendirian. Tak banyak bicara ketika bapak menyapanya,” kata pak Misdi mengikuti anaknya menuju belakang.

Ketika melewati jendela ruang tengah, ia melihat jendela itu sekarang tertutup korden, yang bergerak-gerak pelan karena tertiup angin.

“Jendelanya tertutup, padahal tadi tidak,” kata pak Misdi.

Mereka langsung masuk ke kamar belakang, tapi sebelum masuk, simbok menyapanya.

“Baru pulang Nah?”

“Iya Mbok. Tadi ada tambahan pelajaran.”

“Udara panas sekali. Segera kemari, makan sudah aku siapkan.”

“Ya Mbok, terima kasih.”

“Ayahmu juga belum makan, ajak sekalian.”

Misnah mengangguk.

“Bapak kok juga belum makan? Aku tadi ada tambahan, jadi pulang agak siang. Harusnya Bapak tadi makan dulu,” kata Misnah sambil meletakkan tas sekolahnya di meja.

“Entah mengapa, perasaanku tak enak, jadi menunggu kamu saja.”

“Tak enak kenapa sih Pak?”

“Nggak tahu aku. Tiba-tiba nggak merasa lapar.”

“Apa tuan Hasbi sakit? Lalu Bapak memikirkannya?”

“Kelihatannya tidak, simbok juga mengatakan kalau tidak apa-apa.”

“Kalau begitu Bapak tidak usah memikirkannya, sampai nggak doyan makan pula.”

“Aku tidak memikirkannya. Hanya belum lapar. Cepat cuci kaki tangan dan ganti pakaianmu, bapak temani makan.”

“Bapak duluan sana, Misnah ke kamar mandi dulu.”

Ketika pak Misdi sampai di dapur, dilihatnya simbok sudah menunggu.

“Ayo sini, mana Misnah?”

“Baru ganti pakaian.”

“Mengapa baru sekarang mau makan, biasanya sampeyan makan duluan. Ini sudah hampir sore.”

“Iya, entah kenapa, tadi belum lapar. Tuan sudah makan?”

“Ya sudah. Dari tadi Tuan makan.”

“Seharian ini tidak menemui saya. Biasanya kami ngobrol sampai siang. Benar ya, tuan tidak sakit?”

“Tidak. Tuan tidak mengatakan apa-apa. Sejak siang duduk di ruang tengah. Membaca buku-buku, atau apa. Memang sejak dulu Tuan suka membaca. Kalau tidak membaca ya tiduran di kamar.”

“Tapi selama aku di sini, tuan sering ngobrol di depan.”

“Tidak usah sampeyan pikirkan. Tuan baik-baik saja. Nah, itu Misnah. Sini Nduk, sayur lodeh sama ikan lele.”

“Enak sekali,” kata Misnah.

“Kamu selalu bilang enak. Pakai ikan asin kamu bilang enak, ikan lele, apalagi.”

“Memang masakan Simbok enak.”

“Ya sudah, makan, yang kenyang, aku akan membawakan jus buah ini untuk tuan,” kata simbok sambil membawa baki berisi segelas jus.

Pak Hasbi masih duduk di ruang tengah, membaca lembaran-lembaran buku yang entah sudah berapa halaman dibacanya, entah buku apa, simbok tentu saja tidak mengerti, ia segera meletakkan gelasnya di meja.

“Tuan tidak sakit kan?”

“Mengapa kamu mengira aku sakit?”

“Hari ini Tuan berbeda dengan hari-hari biasa. Karena itulah pak Misdi tidak doyan makan, mengira Tuan sedang sakit.”

“Aku baik-baik saja.”

“Tapi Tuan tidak seperti biasanya. Ngobrol dengan pak Misdi sejak pagi, makan cemilan ringan sambil terkadang tertawa-tawa.”

“Aku sedang tidak ingin banyak bicara.”

“Tapi Tuan tidak sakit bukan?”

“Tidak, sedikit pusing, sudah biasa bagi orang tua, bukan?”

“Jadi Tuan merasa pusing? Simbok ambilkan obatnya? Yang mana obat pusing,  biar kotaknya simbok bawa kemari.”

“Tidak … tidak, aku hanya ingin beristirahat saja. Tidak ingin minum obat.”

“Baiklah, kalau begitu Tuan minum saja jus buahnya, biar sehat.”

Pak Hasbi tersenyum tipis, lalu meneguk jus buahnya.

“Pak Misdi dan Misnah sedang makan di dapur. Misnah baru pulang sesiang ini," kata simbok lagi.

Pak Hasbi mengangguk, lalu memberi isyarat agar simbok kembali ke dapur.

Simbok undur diri dengan perasaan sedikit heran. Hari ini memang berbeda. Tuannya tidak sakit, hanya enggan bicara. Mengeluh pusing tapi tidak ingin minum obat.

“Tuan baik-baik saja, hanya sedikit pusing,” kata simbok sesampainya di dapur.

“Setelah makan saya akan menemui Tuan. Saya bisa memijit, barangkali bisa sedikit mengurangi pusing,” kata pak  Misdi yang segera mempercepat makannya.

***

Pak Hasbi sedang meneguk sisa jusnya ketika pak Misdi mendekat.

“Tuan, saya bisa sedikit memijit, barangkali bisa mengurangi rasa pusing,” kata pak Misdi sambil ngelesot di samping pak Hasbi.

Pak Hasbi menoleh, menatap pak Misdi dengan tatapan hambar.

“Tidak, aku tidak apa-apa.”

“Kata simbok, Tuan pusing.”

“Hanya sedikit, aku hanya ingin berbaring saja,” kata pak Hasbi sambil berdiri, lalu melangkah ke arah kamarnya tanpa mengatakan apapun juga.

Pak Misdi menatapnya heran. Ketika kembali ke dapur, tampak sinar mata kecewa pada wajah pak Misdi.

“Aku ingin memijitnya, tapi tuan tidak mau,” kata pak Misdi mirip sebuah keluhan, lalu duduk di kursi dapur, di samping Misnah yang belum menyelesaikan makannya.

“Tuan tidak biasa dipijit. Selama ini tidak pernah pijit. Kalau lelah inginnya tidur saja.”

“Sikapnya sangat berbeda. Apa aku melakukan kesalahan ya Mbok?”

“Sampeyan itu kok macam-macam, Tuan tidak pernah marah. Kalaupun ada yang melakukan kesalahan, Tuan pasti memaafkannya. Sudah, tidak usah dipikirkan.”

“Bapak itu terlalu perasa,” kata Misnah sambil menumpuk piring kotor bekas makan.”

Ketika itu Rizki baru pulang dan minta simbok agar menata makanan untuk dirinya.

Pak Misdi kembali ke depan, dan Misnah membantu simbok bersih-bersih dapur.

“Sebentar mas Rizki, sayurnya simbok panasin sebentar,” kata simbok. Rizki masuk ke kamarnya, agak lama baru kembali ke ruang makan.

***

Malam hari itu Rizki masuk ke kamar ayahnya. Pak Hasbi belum tidur, hanya berbaring saja.

Rizki mendekat dan menunjukkan setumpuk uang.

“Pak, Rizki sudah menemukan bukti pencurian yang dilakukan Misnah ataupun pak Misdi. Lihat, ada setumpuk uang Rizki temukan di kamar mereka.”

***

Besok lagi ya.

 

 

25 comments:

  1. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 17 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  2. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 17 " sampun tayang...
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~17 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah.
    Matur nuwun Bunda Tien,mugi tansah pinaringan sehat.

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  7. Syukur Alhamdulillah...
    Pak Hasbi, pak Misdi, mBok dan Misnah keluarga baik didukung Dewi, Satria, Listyo dan Arum, sudah hadir.
    Semoga sang penulis idola kita, selalu diberkahi kesehatan yang prima, sehingga tetap eksis berkarya.
    Aamiin.

    ReplyDelete
  8. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  9. Woo....memang kurang ajar si Rizki, dasar anak ga tahu diri. Malah senangnya memfitnah orang lain. Kapoklah uangnya dikembalikan ke pak Hasbi, pasti si Citra besok marah-marah, makin lama ga bisa beli mobilnya.πŸ˜…

    Terima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu bersama pak Tom tercintanya ya...πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 17 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat.....

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Sy7kron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete

  13. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *LANGIT TAK LAGI
    KELAM 17*
    * sdh hadir...
    Semoga sehat dan
    bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, cerbung yg menarik dah tayang, semoga Bu Tien sehat dan terus berkarya,untuk hiburan para pembaca yg setia, besuk lagi yg bikin penasaran..πŸ˜€πŸ™

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Doaku Bu Tien sehat dan bahagia bersama keluarga. Aamiin πŸ™

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..17..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.

    Kakek kok gampang kena pengaruh Rizki. Padahal Rizki yang jahat tapi pura2 baik.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matur nuwun Bunda Tien.
    Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  18. πŸͺ·πŸͺ»πŸͺ·πŸͺ»πŸͺ·πŸͺ»πŸͺ·πŸͺ»
    Alhamdulillah πŸ™πŸ’πŸ¦‹
    Cerbung eLTe'eLKa_17
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien dan
    keluarga sehat terus,
    banyak berkah dan
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🀲.Salam seroja 😍
    πŸͺ·πŸͺ»πŸͺ·πŸͺ»πŸͺ·πŸͺ»πŸͺ·πŸͺ»

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillaah matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    Mantab Bu Tien, bikin pembaca tambah tdk suka dg Rizky...πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    ReplyDelete
  20. Mudah-mudahan cepat ketahuan fitnah Rizky pada pak Misdi dan Misnah. Terimakasih bunda Tien, salam sehat dan bahagia selalu....aduhaaii

    ReplyDelete
  21. Wah... rizki sama kejamnya dg Misnah... seomga sllu ada jln untuk mmbongkar kebusukan rizki.

    Seht sllu Mbu Tien bersama keluarga trcnta

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 17

  LANGIT TAK LAGI KELAM  17 (Tien Kumalasari)   Pak Hasbi menatap Rizki tak berkedip. Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh anak angkatnya ini...