MAWAR HITAM 47
(Tien Kumalasari)
Pak Hasbi menuding ke arah perempuan itu.
“Kamu siapa?”
Perempuan lusuh dan bau itu merangkapkan kedua belah tangannya.
“Bapak, saya mohon. Ijinkan saya bersembunyi di sini sebentar saja, sampai orang yang mengejar saya pergi. Setelah itu saya tidak akan mengganggu Bapak lagi.”
“Aku bertanya, kamu itu siapa?”
“Saya Mawar … boleh Ya Pak, saya ke sana saja, dekat kamar mandi, dibalik kulkas itu, saya mohon. Orang-orang jahat mengejar saya.”
“Melihat penampilan kamu, pasti kamu orang jahat itu, bukan orang jahat yang mengejar kamu.”
Perempuan itu gemetar. Dia memang Sinah. Setelah melompat dari lobang angin di kamar mandi saat dia pura-pura ingin ke kamar mandi, Sinah terluka di bagian kaki yang menginjak batu runcing, dan lengannya juga terluka oleh bebatuan. Tapi ia terus berlari. Ia melihat sungai di sana, secepat kilat berlari, melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, lalu terjun ke dalam sungai yang lumayan dalam. Ia mendengar langkah-langkah kaki mendekati sungai, lalu ia menenggelamkan dirinya. Sinah adalah gadis dusun yang sejak kecil suka bermain di sungai. Berenang, menyelam, adalah permainannya. Karenanya ia betah bersembunyi di dalam air, yang diatasnya ada ranting-ranting dan akar pohon yang berjuntai. Tak ada yang mengira kalau tahanan yang kabur berada di dalam sungai. Apalagi ia seorang perempuan. Sinah juga tahu bahwa polisi menyusuri sepanjang aliran sungai. Tubuhnya timbul tenggelam selama beberapa jam. Lalu setelah situasi dianggap aman, ia keluar dari sana, mencari jalan keluar, kemudian mampir ke sebuah poliklinik yang buka sore hari. Ia mengaku terjatuh ke sungai, lalu melepaskan jam tangan yang dipakainya untuk membayar, karena ia tak punya uang sepeserpun.
Ia masih punya cincin yang kemudian dijualnya sembarangan, untuk membeli makanan. Ia selalu mencari tempat bersembunyi dan mencurigai setiap ada yang mengawasinya. Ketika kemudian lukanya terasa sakit, ia tak berani lagi pergi berobat. Ia menahan lukanya, dan berjalan sembunyi-sembunyi, bahkan tak berani membeli pakaian yang bersih walau bajunya kotor oleh lumpur. Ketika ia sedang mau membeli makanan, tiba-tiba ia mendengar sirene mobil polisi. Sinah dengan sigap berdiri dari warung yang disinggahinya, kemudian berlari diantara lalu lalang orang yang berbelanja di area pertokoan itu.
Tanpa disangka, polisi yang sedang berpatroli, mencurigai gerak gerik Sinah yang seperti orang ketakutan, padahal mereka tidak sedang bertugas untuk mencari tahanan yang kabur. Mereka turun dan mengejarnya. Sinah menahan rasa sakitnya, dan terus berlari, kemudian memasuki sebuah halaman rumah sakit. Beberapa petugas menegurnya, tapi Sinah tetap saja masuk, lalu tanpa diduga ia memasuki sebuah kamar, yang ternyata adalah kamar rawat pak Hasbi.
Tapi pak Hasbi tidak menerimanya dengan ramah. Ia justru menatapnya dengan jijik. Sinah menyadari, berhari-hari tidak mandi, lukanya tidak diobati, bajunya kotor dan tentu saja bau badan dan baju itu berbaur menimbulkan aroma yang menusuk hidung.
“Pak, saya minta maaf, tolonglah saya, saya ingin selamat, mereka akan membunuhku.”
“Tidak ada orang membunuh sembarangan. Memangnya ini di hutan?”
“Pak, tolonglah saya. Saya luka parah, saya dikejar penjahat, walau tidak dibunuh, saya pasti akan disiksa.”
“Mbok, suruh dia pergi, kamar ini menjadi berbau. Aku yakin dia orang jahat.”
“Pak, tolonglah saya.”
Sinah yang keras kepala dan tak ingin kalah oleh siapapun, sekarang bersimpuh lalu kepalanya dibiarkan menyentuh lantai, sambil berkata menghiba.
“Tolonglah saya … “ katanya memelas.
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk, lalu seseorang masuk. Sinah terkejut, ia mengangkat kepalanya, lalu matanya terbelalak ketika melihat siapa yang masuk.
Dewi, setelah memberi kesempatan simbok untuk bercerita, lalu berusaha kembali untuk melihat, apakah pak Hasbi sudah ingat dirinya, atau belum. Begitu melihat orang sedang bersimpuh mencium lantai, ia merasa heran, dan heran itu bercampur terkejut ketika melihat siapa dia. Ia segera keluar dan berusaha lapor kepada polisi, tapi Sinah berteriak.
“Kalau kamu lapor polisi, orang tua itu akan aku bunuh!”
Dan entah bagaimana dan dari mana, Sinah sudah memegang sebilah belati, lalu melompat ke arah pak Hasbi.
Dewi urung keluar.
“Jangan berteriak, apalagi lapor polisi.!!”
“Sudah aku duga, kamu orang jahat,” kata pak Hasbi.
“Sinah! Kamu dimana-mana melakukan kejahatan. Kapan kamu bertobat?”
“Aku? Bertobat? Aku harus bisa mencapai semua keinginanku. Kalau kamu berikan Satria, aku akan bertobat,” kata Sinah, lantang.
“Satria tidak akan mau berdekatan dengan orang jahat seperti kamu. Lebih baik kamu menyerah, sehingga dosamu diperingan.”
“Omong kosong apa kamu itu, kamu kira aku orang bodoh? Aku tidak mau dipenjara. Biarkan aku sembunyi di sini, sampai aku bisa keluar dengan selamat, maka pak tua ini masih akan bisa hidup lebih lama.”
“Non, biarkan saja dia bersembunyi di sini, agar tuan tidak diapa-apakan,” kata simbok yang ketakutan.
“Tidak bisa, biarkan dia membunuh aku, asalkan penjahat bau ini tertangkap,” kata kakek dengan suara pelan tapi tandas.
“Oh ya, benarkah kamu sudah bosan hidup?”
“Sinah, sadarlah. Simbokmu sakit gara-gara memikirkan kamu.”
“Oh ya, aku lupa kalau aku punya simbok. Dia sudah kenyang hidup enak dan tidak kekurangan walau dia hanya gedibal keluargamu.”
“Dewi meraba ponselnya, ia ingin menghubungi Satria, yang walau tidak bisa bicara, tapi kalau tersambung, pasti dia akan mendengar apa yang terjadi. Tapi gerakan tangannya terlihat oleh Sinah yang berdiri di samping kepala pak Hasbi.
“Jangan menghubungi siapapun!” teriak Sinah.
Dewi melangkah mendekat, tapi Sinah sudah meletakkan ujung pisaunya di leher pak Hasbi. Simbok menangis keras, tapi Sinah membentaknya.
“Diam!! Aku bunuh bendoro kamu ini kalau kamu nekat menangis.”
Simbok menutup mulutnya.
Dewi berdiri hanya beberapa tindak di depan Sinah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba simbok berdiri, berusaha keluar dan minta pertolongan.
“Heii! Lihat. Bendoromu hampir mati.”
“Sinah, mengapa kamu tidak sadar bahwa perbuatanmu akan menambah hukumanmu bertambah banyak?”
Simbok sudah berhenti melangkah.
“Laporkan polisi saja, biar saja kalau dia ingin membunuhku.”
Ponsel Dewi berdering, Dewi ingin mengambilnya dari dalam tas, tapi Sinah lagi-lagi melarangnya.
Sekarang Dewi hanya berharap, ada perawat masuk, tapi tampaknya belum saatnya ada perawat memasuki kamar pak Hasbi.
Dering ponsel berkali kali terdengar, Dewi tak berani menyentuhnya.
Sinah sudah gelap mata, tampaknya tak ada jalan untuk meloloskan diri. Tiba-tiba ia melambaikan tangan ke arah Dewi.
“Sini kamu, Den Ajeng!”
Tak ada yang bisa dilakukan Dewi kecuali menurut.
“Lebih dekat.”
Dan tanpa diduga, Sinah meraih tangan Dewi dan mencengkeramnya keras.
“Apa maksudmu?”
“Antarkan aku keluar,” katanya sambil memindahkan arah belati yang dibawanya ke dada Dewi.
“Sinah!”
“Antarkan aku keluar dari sini, tapi ambilkan aku baju. Gedibal! Cepat!”
“Ba … baju apa?”
“Bajumu atau baju siapa, terserah, asalkan aku bisa ganti baju. Den Ajeng, bawa aku mengikuti dia.”
Dewi memberi isyarat agar simbok menuruti kemauannya. Simbok beranjak ke dekat kamar mandi, mengambil bajunya yang memang dibawanya untuk berganti pakaian karena dia selalu tidur di rumah sakit. Ia memberikan baju itu kepada Sinah.
“Lepaskan bajuku, kenakan baju itu!” titahnya.
Sinah tak mau melepaskan pegangannya pada belati yang mengarah ke tubuh Dewi. Simbok terpaksa menurut, melepaskan baju kotor dan bau itu, lalu mengenakan bajunya kepada Sinah.
Tanpa diduga, pak Hasbi memencet tombol untuk memanggil perawat, yang begitu Sinah sudah berganti baju, seorang perawat masuk.
Dewi berharap bisa terlepas dari suasana mencekam itu, tapi Sinah juga mengancam perawat agar tidak melakukan apapun. Perawat itu bingung, tidak menduga ada kejadian tak terduga, tapi ia kemudian hanya tegak berdiri.
“Ayo antarkan aku keluar,” perintahnya kepada Dewi. Pisau belati yang dibawanya sekarang berada di dalam baju Dewi yang kebetulan memakai blous sehingga tangan Sinah bisa masuk ke dalamnya.
Sebelum keluar, ia mengancam kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan.
“Kalau kalian melapor atau melakukan apa saja yang bisa membuat aku tertangkap, perempuan ini tak akan selamat!”
Seperti kelihatan sedang merangkul Dewi, Sinah mendorong Dewi keluar dari ruangan.
“Antarkan aku sampai aku mendapatkan tempat yang aman,” bisiknya penuh ancaman.
“Sinah, kamu mau lari kemana? Lebih baik menyerah saja.”
“Antarkan aku kemana saja. Cari kendaraan, becak juga tidak apa-apa, atau taksi? Terserah, tapi kamu tetap harus ikut sampai aku benar-benar berada di tempat yang aman. Untunglah polisi tidak mengejarku sampai kemari.”
Tapi Sinah keliru, gaung sirene mobil polisi terdengar, lalu serombongan polisi keluar dari sana.
“Ternyata dia tahu kalau aku pergi kemari,” gumam Sinah.
Dewi berdebar. Apakah dia bisa tertolong?
Pada saat itu seluruh petugas rumah sakit sudah keluar. Perawat tak harus berhenti hanya karena ancaman Sinah. Ia tetap melapor atas kejadian mencekam itu.
Tapi dasar Sinah, dia tetap berjalan santai, seperti bukan orang yang sedang melarikan diri. Polisi mengamati wajah Dewi, dan wanita disampingnya yang merangkulnya. Mereka curiga karena rangkulan itu menerobos ke dalam baju atasan Dewi.
Tiba-tiba seseorang berteriak.
“Dewi!”
“Satria.” Dewi hampir menangis karena gembira.
“Jangan mendekat! Keselamatan dia ada di tanganku!”
Satria tertegun. Ia mendekat ke arah para polisi, dan mengatakan bahwa pesakitan yang mereka buru sedang mengancam keselamatan Dewi.
Polisi sudah tahu, mereka sedang mencari celah untuk bisa menangkap tapi jangan sampai mencelakai orang yang diancamnya.
Tiba-tiba seorang satpam memukul kepala Sinah dari belakang, membuat Sinah menjerit dan terjungkal. Belati itu terlempar. Dewi segera menghambur ke arah Satria, dan menangis terisak di sana.
Drama aneh yang mencekam itu berakhir dengan ditangkapnya Sinah.
***
Dewi dan Satria kembali ke ruang rawat pak Hasbi. Seorang perawat dan dokter sedang memeriksa dan menangani pak Hasbi, yang sedikit shock akibat kejadian tadi.
“Bagaimana keadaan kakek?”
“Pak Hasbi tidak apa-apa, sudah tertangani. Dia sudah lebih tenang,” kata dokter.
“Terima kasih, dokter.”
Ketika dokter dan perawat itu pergi, Dewi mendekati pak Hasbi.
“Kakek baik-baik saja?”
“Syukur kamu selamat. Kamu gadis yang baik. Tapi siapa sebenarnya kamu?”
Dewi tertegun. Simbok belum berhasil dengan ceritanya?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah cerbung eMHa_47 sudah tayang.
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu, khususnya untuk pa Tom semoga bertambah sehat. Aamiin.
Salam SEROJA, dan tetap ADUHAI 🤝🤝🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete🌸🪻🌸🪻🌸🪻🌸🪻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏😍
Cerbung eMHa_47
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai 💐🦋
🌸🪻🌸🪻🌸🪻🌸🪻
Hamdallah...sampun tayang
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah MAWAR HITAM~47 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..🤲
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan keluarga srhat walafiat
Salam aduhai hai hai
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah........ terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 47" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🩷🩷
ReplyDeleteSngat menegangkan .... terima kasih Mbu Tien.. sehat sllu bersama keluarga trcnta
ReplyDeleteAlhamdulillah, MH tayang dngn cerita aduhai bikin deg2an, sikap Sinah yg luar biasa, Alhamdulillah Dewi dpt ketemu satria, tertangkapnya Sinah mmbuat hati puas,..
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien, sehat dan bahagia bersama suami tercinta
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah dah tayang makasih bunda, detik" akan habis cerita mawar hitam
ReplyDeleteAlhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 47 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 47* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Alhamdulillah MH-47 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bunda Tien, dan keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin 🤲
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 47..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Benar2 adegan yang menegangkan. Sinah mirip penjahat kelas Kakap, tapi akhir nya dapat di lumpuhkan dengan Gada Rujakpolo nya Bimasena...😁😁
Waduh...kakek Hasbi sadar klu Bening sdh meninggal tapi jadi lupa sama Dewi...gadis yang pernah di tolong nya. Lupa lupa tapi ingat kata Kuburan Band..😁😁
Alhamdullilah bunda terima ksih mhnya..slmt mlm dan slm seroja unk bunda sekel 🙏🥰🌹
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien atas cerita Sinah yg aduhai. Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 47 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah... terima kasih bunda Tien cerbung MH nya, semoga bunda sekeluarga selalu sehat senantiasa dlm lindungan Allah SWT Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien. Sehat selalu nggih Bu 💖
ReplyDeleteWalah, Sinah berulah lagi...rupanya dia benar-benar terobsesi dengan Satria. Bersyukur drama mencekam itu berakhir dengan ditangkapnya Sinah kembali.
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu.🙏🏻
Serial action, terasa pendek sekali...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Tetap semangat dan terus berkarya
ReplyDelete