Wednesday, July 23, 2025

MAWAR HITAM 21

 MAWAR HITAM  21

(Tien Kumalasari)

 

Mendengar pekik sang istri, pak Sunu segera meletakkan jari telunjukknya ke bibir, sebagai pertanda agar sang istri menutup mulutnya.

“Pak. Tapi itu kan ….”

“Bukan Sinah. Dia bu Mawar,” kata pak Sunu berbisik.”

“Oh … buk … bukan?”

“Lanjutkan makanmu,” titahnya sambil menundukkan wajahnya untuk menyendok makanannya. Bu Sunu mengikutinya, dengan perasaan heran.

“Eeh, ini ada tamu istimewa,” tiba-tiba Sinah sudah sampai di samping meja dimana pak Sunu dan istrinya duduk.

Pak Sunu mengangkat wajahnya dan mengangguk. Dengan heran dia menatapnya. Benar-benar seperti Sinah. Untunglah dia sudah mendengar dari Andira bahwa pemilik rumah makan itu wajahnya mirip sekali dengan Sinah, kalau tidak pasti dia sudah berteriak seperti istrinya dengan memanggilnya Sinah.

“Selamat siang Pak, selamat siang Bu,” sapa Sinah ramah.

“Selamat siang … “ jawab pak Sunu hampir bersamaan dengan istrinya.

“Kalau tidak salah ini kan pak Sunu?” kata Sinah lagi.

“Dari mana Anda tahu nama saya?”

Sinah tertawa pelan.

“Tidak sulit mengenal orang terkenal seperti Bapak.”

“Saya … terkenal?”

“Saya sering melihat televisi, dan melihat wajah Bapak sebagai pengusaha sukses. Jawab Sinah sekenanya, padahal dia tidak pernah melihat televisi yang acaranya bukan hiburan, sedangkan pak Sunu hanya pernah satu dua kali muncul di acara berita. Dan tentu saja Sinah mengenalnya, bukan karena melihat tayangan di televisi, tapi karena pak Sunu adalah tuan besar yang sering datang menyambangi putrinya, Andira, sedangkan Andira pernah menjadi majikannya.

“Ah, masa? Saya jarang muncul di televisi, hanya satu atau dua kali.”

“Ya, yang satu atau dua kali itu kan bisa membuat orang mengenal pak Sunu.”

“Oh ya, terima kasih. Rupanya bu Mawar memiliki wawasan yang luas.”

“Sebagai pengusaha, saya harus sering melihat berita-berita penting,” kata Sinah dengan sombong walau kosong.

“Silakan dilanjutkan makannya, semoga tidak mengecewakan,” kata Sinah sambil berlalu.

“Terima kasih,” jawab pak Sunu, sedangkan istrinya hanya diam saja.

Lalu bu Sunu menatap suaminya, setelah melihat Sinah menghilang di balik pintu.

“Bahkan suaranya juga mirip. Bagaimana Bapak tahu kalau dia bukan Sinah?”

“Pertama, pelayan tadi mengatakan bahwa bu Mawar datang. Keduanya, Andira pernah mengatakan bahwa pemilik rumah makan ini wajahnya sangat mirip dengan Sinah.”

“O, Andira juga pernah makan di sini?”

“Pastinya iya. Tadi dia mengatakannya, makanya begitu melihatnya datang saya langsung tahu bahwa dia pemilik rumah makan ini.”

“Bapak jadi mau beli rumah makan ini?”

“Bagaimana menurutmu? Kamu kelihatan tidak suka.”

“Memang, terlalu banyak yang dipikirkan, untuk apa. Bukankah aku sudah mengatakan kalau Andira lebih baik fokus berusaha hamil. Sesampai di Jakarta nanti aku akan mencari dokter terbaik yang bisa membantu kehamilan Andira. Bapak tidak ingin segera menimang cucu? Jangan hanya suka menimang harta saja, cucu itu penting untuk kelanjutan kita, bukan?”

“Iya, aku tahu. Tapi aku kurang senang kamu mengatakan aku suka menimang harta. Itu tidak benar,” kesal pak Sunu.

“Maaf. Maksudku, Bapak itu hanya suka bekerja dan bekerja.”

“Harta yang kita punya bukan untuk kita makan sendiri kan Bu, kita juga mengirimkannya ke badan-badan sosial, ke anak yatim piatu.”

“Iya, aku tahu. Maaf, istilah yang aku katakan kurang pas.”

“Ya sudah, berarti kamu tidak setuju?”

“Kalau bapak mau mendengarkan kata-kataku, lebih baik jangan.”

“Baiklah, ayo kita habiskan makanan kita, dan kita pulang.”

***

Sementara itu setelah pak Sunu berdua pergi, Mawar memanggil karyawan yang tadi mengatakan bahwa sepertinya pak Sunu berminat membeli rumah makannya.

“Kamu bilang dia berminat, mengapa mereka pergi begitu saja?”

“Entahlah Bu, tadi dia menanyakan Ibu, dan juga bilang ingin bertemu Ibu.”

“Kamu salah dengar, barangkali.”

“Masa iya, saya bohong pada Ibu. Tadi dia benar-benar ingin bertemu Ibu dan menanyakan apa benar rumah makan ini akan dijual.”

“Yang menanyakan, bapaknya, atau istrinya.”

“Bapaknya. Kalau istrinya tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya istrinya yang tidak suka. Kelihatan sekali dia tidak mengucapkan apapun. Tampaknya memang dia tidak setuju.”

“Begitu ya? Memang istrinya seperti kurang bersahabat. Dia hanya menjawab sepatah dua patah kata ketika aku menyapanya.”

“Apa Ibu tidak bisa menghubungi bapak tadi itu untuk meyakinkannya?”

“Nanti gampang. Biar aku mengurusnya. Tapi kalau ada orang lain yang berminat, biarkan saja, tidak usah mempedulikan orang tadi itu."

***

Andra terkejut ketika sang istri mengatakan bahwa ayahnya ingin membeli rumah makan Mawar Hitam. Ia tidak ingin membuka tabir Mawar yang sesungguhnya adalah Sinah, karena hal itu bisa berbuntut panjang yang menyangkut kehidupan usahanya. Ia sedang mencari cara untuk melenyapkan Sinah dari kehidupannya.

“Mengapa Mas diam? Apa sebenarnya Mas juga setuju kalau bapak mau membeli rumah makan itu?”

“Bukannya tidak setuju, tapi bukankah hal itu akan menambah beban pikiran kita? Apa kamu sanggup mengelolanya?”

“Banyak yang ditawarkan bapak, yang bekerja di kantor Mas, yang mengelola rumah makan  ….”

Andra berharap tak satupun dari keduanya  diminati istrinya. Dua-duanya akan membuatnya bertambah pusing.

“Menurut aku, lebih baik kamu di rumah saja. Ah ya, bukankah kamu ingin diet ketat? Dan itu harus dibarengi dengan olah raga juga lhoh. Kalau kamu bekerja, apapun pekerjaan itu, kamu tidak punya waktu untuk olah raga.”

“Mas benar-benar ingin agar aku langsing?”

“Bukan begitu. Yang ingin kan kamu sendiri. Aku sih, terserah kamu. Biar kamu gemuk atau langsing, kamu tetap adalah istriku yang aku sayangi.”

“Benar?”

“Benar lah, masa aku bohong.”

“Ya sudah, Mas istirahat saja dulu. Kan baru pulang kerja. Mas boleh tidur di rumah. Kalau di sini nanti tidak bisa istirahat.”

“Bukankah besok kamu bisa pulang ke rumah, kata dokter?”

“Iya, tadi dokternya visite kebetulan ada bapak. Aku senang bisa pulang segera.”

“Tapi kamu harus benar-benar bisa menjaga kesehatan kamu, patuhi petunjuk dokter, supaya segera pulih.”

“Iya, aku tahu.”

“Seperti janjiku, setiap hari, mulai sekarang aku akan pulang ke rumah kamu.”

“Mas, apa Mas tahu? Senang sekali aku mendengarnya.”

“Apa jawabmu kalau nanti bapak menanyakannya lagi?”

“Tentang pekerjaan di kantor, atau mengelola rumah makan?”

“Iya, pasti bapak akan bertanya lagi.”

“Aku menurut kata Mas saja.”

“Jangan bilang begitu pada bapak, nanti aku dikira mempengaruhi kamu.”

“Bukankah seorang istri harus patuh kepada suaminya? Aku kira tidak salah kalau aku mengatakan bahwa Mas tidak setuju.”

“Jangan begitu, beliau orang tua kamu, dia akan kecewa kalau aku mempengaruhi kamu.”

“Baiklah, nanti akan aku katakan kalau belum bisa saat ini, karena sedang memikirkan sakitku, keinginan dietku, dan satu lagi, ibu akan mencari dokter terbaik yang bisa membantu agar aku cepat bisa hamil.”

Andra tersenyum sambil memeluk istrinya.

“Aku juga ingin. Semoga keinginan kita segera terkabul.”

***

Andra tidak pulang malam itu, memilih menemani sang istri di malam terakhir berada di rumah sakit itu. Tapi belum sampai dia memejamkan mata, ponselnya berdering. Dari Sinah. Wajah Andra murung seketika. Ia melirik ke arah tempat tidur istrinya, dan melihat Andira sudah terlelap. Ia segera membuka ponselnya. 

“Ada apa?”

“Mas, waktu seminggu yang aku berikan sudah habis besok pagi. Bagaimana jawaban Mas?”

“Tunggu dulu, mertuaku masih ada di sini. Kalau hal itu terjadi, aku bisa ditegur. Walaupun aku pimpinan, penerimaan karyawan tidak bisa sembarang aku putuskan.”

“Mengapa tidak?”

“Selama mertuaku ada di sini, pasti aku diawasi langsung. Beberapa kali beliau sidak ke kantor. Jadi jangan mempersulit aku dengan keinginanmu itu.”

“Tapi pada prinsipnya Mas mengijikan?”

“Akan aku pertimbangkan.”

“Bagaimana sih? Jawabanya hanya ya atau tidak, lalu aku segera bisa menentukan bagaimana aku bersikap,” kata Sinah, mengandung ancaman.

Andra menghela napas berat, tapi ia tak ingin berbincang lama, bagaimanapun ia tak bisa berbuat apa-apa.

“Mas, kok diam? Nggak mau ya? Nggak boleh ya?”

“Bisa, bisa … tapi tunggu kalau mertuaku sudah pulang. Tolong mengertilah.”

“Baiklah, berarti bisa kan?”

Andra tak menjawab, langsung menutup ponselnya. Membiarkan Sinah berjingkrak-jingkrak kesenangan di seberang sana.

“Telpon dari siapa Mas?”

Andra terkejut, ternyata Andira mendengarnya.

“Dari … biasa … dari orang kantor.”

“Mas jawabnya bisik-bisik.”

“Iya, aku pikir kamu sudah tidur, takut mengganggu.”

“Aku terbangun mendengar ponsel Mas berdering.”

“Ya sudah, tidurlah lagi.”

“Ada apa telpon malam-malam?”

“Tidak apa-apa, hanya mengingatkan kalau besok ada rapat pagi-pagi, tapi aku menundanya, karena besok harus mengantarkan kamu pulang kan?”

“Sebenarnya tidak apa-apa, Mas ke kantor saja, kan ada bapak.”

“Tidak, mana mungkin aku biarkan kamu pulang tanpa aku. Sudah, tidurlah, jangan memikirkan apapun.”

Walau berkata begitu, tapi Andra sendiri sedang memikirkan Sinah yang selalu saja mengganggunya. Dan yang terakhir, sangatlah berat. Ia benar-benar tak bisa tidur nyenyak.

***

Mbok Manis sedang duduk sendirian di bawah sebatang pohon di dekat taman, ketika tiba-tiba Saraswati menghampirinya.

“Ternyata kamu di sini, Mbok?”

“Den Ayu mencari saya?”

“Bukan apa-apa, aku tidak melihat kamu sesiang ini, sedang melamun ya?”

“Tidak, Den Ayu.”

“Simbok bengong begitu, artinya simbok melamun. Sedang memikirkan Sinah?”

Mbok Manis hanya tersenyum, tipis.

“Jangan bilang simbok bermimpi lagi tentang Sinah.”

“Memang simbok bermimpi. Sangat buruk. Pasti Sinah sedang dalam bahaya.”

“Kamu itu kok selalu percaya pada mimpi. Mimpi itu kan bunganya tidur?”

“Menurut simbok, mimpi adalah sebuah firasat.”

“Jangan begitu Mbok, kamu tahu kan, mbok Randu sudah pernah mengatakan bahwa Sinah baik-baik saja? Dia berdagang keliling di sana, dan kelihatannya dia sehat serta baik-baik saja.”

“Mengapa Sinah tidak mau datang kemari ya Den Ayu, saya ingin bertemu dia, biarpun sebentar saja.”

“Mungkin dia takut simbok marah-marahin dia, kan dia tidak nurut ketika simbok menyuruh dia pulang kampung?”

“Iya juga sih, Den Ayu.”

“Ya sudah, jangan dipikirkan lagi, ayo ikut aku jalan-jalan Mbok, aku ingin ke pasar.”

***

Tapi pagi hari itu Sinah tiba-tiba muncul di rumah Dewi. Mbok Randu yang menemuinya.

“Kamu lagi, Nah.”

“Iya Mbok, kali ini aku jualan roti. Ini roti enak, harganya murah.”

“Kamu itu suka banget keluyuran di jalan. Kamu tahu tidak, mbokmu sangat merindukan ketemu kamu.”

“Simbok kan jauh dari sini, kalau aku pulang, harus pakai ongkos, mana aku punya uang Mbok.”

“Ya ampuun, hanya uang untuk naik bis saja kamu keberatan. Kamu jualan macam -macam itu uangnya kemana?”

“Jualan begini, uangnya tidak banyak Mbok, hanya cukup untuk makan. Aku mau menabung dulu, biar punya ongkos untuk ketemu simbok. Nanti kalau simbok menanyakan, katakan kalau Sinah baik-baik saja, sekarang sedang mengumpulkan uang untuk pulang.”

“Kasihan sama yu Manis, aku tuh. Anak cuma satu tapi tidak mau nurut.”

“Ini rotinya dibeli saja, jangan malah marah sama aku.”

“Ya sudah, beli satu saja. Harganya berapa?”

“Kok cuma satu sih Mbok. Den Ajeng Dewi mana?”

“Den Ajeng Dewi itu ya kuliah, setiap hari kuliah, nanti siang jam dua atau lebih biasanya baru pulang.”

“Kalau kuliah naik apa Mbok?”

“Ya naik becak. Den Ajeng itu disediakan sepeda motor, tapi tidak pernah mau naik sepeda motor, sukanya naik becak.”

“Owalah, gitu ya? Ya sudah Mbok, aku pergi dulu.”

“Lha ini rotinya kamu tinggal, harganya berapa, aku ambilkan uangnya.”

“Nggak usah dibayar Mbok, untuk mbok Randu saja, roti cuma satu saja,” kata Sinah sambil menjauh.

“Bocah aneh,” gumam mbok Randu.

***

Besok lagi ya.

45 comments:

  1. Alhamdulillah....
    eMHa_21 sudah tayang....

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam episod 21" sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan juga Pak Tom bertambah sehat dan semangat, semoga kel bu Tien selalu dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 21 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  5. Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 21 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Uchu

      Delete
  6. 💝🌷💝🌷💝🌷💝🌷
    Alhamdulillah 🙏😍
    Cerbung eMHa_21
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai 💐🦋
    💝🌷💝🌷💝🌷💝🌷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai

      Delete

  7. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung * MAWAR HITAM 21

    * sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  8. Alhamdulillah MAWAR HITAM~21 telah hadir... maturnuwun Bu Tien semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat wal'afiat dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  9. Alhamdulillah mawar hitam sudah tayang
    Terina kasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom Widayat sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  10. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah matur nuwun mbakyu TienKumalasari episode teranyar telah tayang, salam sehat sll untuk panjenengan sarimbit dgn mas Tom Widayat plus kelg tercinta inggih, wassalam dariku di Tanggamus, Lampung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 jeng Sis.
      Salam hangat untuk jeng dan keluarga dari Solo

      Delete
  12. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien,makin lama makin seru critanya.Sehat2 dan bahagia sll bersama Kel tercinta..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Tatik

      Delete
  14. Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 21...sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin

    Andra msh takut sama Sinah ya, klu ingin mendepak nya kan bisa 'nabok nyileh tangan' ..he..he Titiyang ngajari gak bener nih.

    Sinah lagi menyamar dodolan roti, tanya ke mbok Randu, jam berapa Dewi ada di rmh, kuliah naik apa, dll. Waduh gaswat juga nih.. Sinah ingin mencederai Dewi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  15. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  16. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua🙏🥰💖🌿🌸
    Polahnya Sinah ,,,sok tahu & sok akrab, mau meracuni Dewi ya ..🤭

    ReplyDelete
  17. Terima kasih, ibu. Ceritanya semakin seru. Semoga aja, Sinah kalau ingin ngerjain, Dewi tidak berhasil.

    ReplyDelete
  18. Setelah menjual mangga yang tak termakan, kini ganti roti. Apa tidak termakan lagi, kenapa..
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  19. Apa lagi Skenario Sinah?
    Ma meracuni Dewi dengan roti dengn kata-kata?
    Terimaksih Mbak Tien...

    ReplyDelete

MAWAR HITAM 21

  MAWAR HITAM  21 (Tien Kumalasari)   Mendengar pekik sang istri, pak Sunu segera meletakkan jari telunjukknya ke bibir, sebagai pertanda ag...