MAWAR HITAM 03
(Tien Kumalasari)
Malam semakin larut. Nyonya Andra yang terkapar lelap tak peduli atau bahkan tak mendengar, ada desah dan tangis terdengar dari kamarnya.
Tangis itu adalah tangis Sinah yang tak kuasa membendung kekuatan dahsyat dalam deru mabuk yang menyerangnya habis-habisan. Ketika kemudian tuan Andra tergolek di atas pembaringan, Sinah membenahi pakaiannya lalu lari keluar dari dalam kamar itu.
Ia melanjutkan tangisnya di dalam kamarnya sendiri, sambil memukul-mukulkan tangannya ke atas bantal.
“Dasar biadab. Majikan menjijikkan. Bagaimana dia bisa memaksa aku sehingga aku menjadi kesakitan seperti ini? Apa yang harus aku lakukan? Biar jelek-jelek dan hanya pembantu, aku tak mau diperlakukan seperti benda pemuas nafsu. Dia harus bertanggung jawab. Orang gila!! Bagaimana kalau nyonya tahu? Bagaimana kalau kemudian aku dipecat? Lalu aku bakal kehilangan mata pencaharian?”
Sinah tak tidur sampai menjelang pagi, sampai ketika di dapur sudah ada kesibukan pembantu yang menyiapkan segala sesuatunya untuk sang majikan.
Sinah langsung ke kamar mandi, mengguyur seluruh tubuhnya, menyabunnya wangi, menggosoknya sampai bersih. Jangan sampai penampilannya nanti membuat sang nyonya curiga. Mata sembabnya diguyurnya berkali-kali, sebelum kemudian dia keluar, lalu mengganti bajunya, dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Ia membawa baju kotornya ke keranjang kotoran, dan melihat bercak darah di sana.
“Ya ampuun, tuan majikan yang menjijikkan, aku sudah bukan Sinah yang suci lagi. Awas kamu. Perbuatan ini tak bisa dimaafkan, kamu harus bertanggung jawab,” gumamnya berkali-kali.
Setelah sedikit berdandan, ia melangkah ke depan. Tubuhnya terasa sakit semua, tapi ia menahan kesakitan itu karena takut membuat sang nyonya majikan menjadi curiga. Ia bersyukur, ketika ke ruang tengah, sang nyonya masih pulas.
Ketika pembantu meletakkan dua gelas coklat susu ke meja, ia mengomeli Sinah karena membiarkan majikannya tidur di sofa.
“Harusnya semalam kamu bangunkan nyonya, masa sampai pagi masih tidur di sini, sementara aku juga tahu kalau tuan sudah datang karena tadi melihat mobilnya sudah ada di garasi.”
“Kamu seperti tidak tahu bagaimana nyonya saja. Kalau sudah tidur, bagaimana membangunkannya? Bisa-bisa aku dimaki-maki karena dianggap mengganggu.”
Pembantu itu mengiyakan, lalu beranjak ke belakang. Apa yang dikatakan Sinah memang benar.
Sinah menoleh ke arah kamar majikannya. Ia membukanya sedikit, dan melihat sang tuan menggeliat. Dengan berani Sinah mendekat.
“Tuan harus bangun. Jangan sampai nyonya mengetahui semuanya,” katanya kesal. Ia sama sekali tidak takut. Ia akan meminta pertanggung jawaban atas perbuatan sang tuan yang telah mengobrak-abrik kesuciannya.
Andra membuka matanya lebar-lebar. Alas tidurnya kusut, tapi dia tak melihat istrinya di sana.
“Mana Nyonya?”
“Masih tidur di atas sofa. Apa Tuan sadar apa yang Tuan lakukan?”
Andra mengucek matanya dan melihat pakaiannya berantakan. Sinah mengambil baju-baju tuannya yang berserak, melemparkannya ke atas kasur. Bukan Sinah kalau tak berani bicara. Ia bukan pembantu biasa.
“Apa maksudmu?”
“Apa maksudmu bagaimana? Tuan sadar apa yang Tuan lakukan? Cepat turun, biar aku bereskan tempat tidur ini supaya nyonya tidak curiga.
“Curiga apa? Bukankah aku tadi … “
Tiba-tiba Andra melihat pakaian dalam tergeletak di atas kasur, yang dia tahu itu bukan milik istrinya. Ia segera meraihnya, tapi Sinah sudah lebih dulu mengambil dan menyembunyikannya. Mata Andra terbelalak melihat ada bercak darah pula di sana.
“Itu milik siapa? Bukan milik nyonya?”
“Milik saya.”
“Kamu? Ini apa?” tanyanya sambil menujuk ke arah bercak merah yang membuatnya heran.
“Tuan telah memperkosa saya,” kata Sinah berterus terang, lalu dengan berani menarik sang tuan segera turun, karena Sinah mendengar sang nyonya terbatuk-batuk, dan berarti dia sudah bangun.
Andra memegangi kepalanya yang berdenyut. Ia lupa-lupa ingat akan apa yang telah dilakukannya.
“Sebaiknya tuan segera ke kamar mandi, saya harus membersihkan semuanya.”
“Mem … per … kosa?”
“Cepaat, Tuan.”
Dengan linglung Andra melangkah ke kamar mandi, sementara Sinah segera menarik seprei dari atas kasur. Ia juga melepas semua sarung bantal lalu dibiarkan semuanya teronggok di lantai.
“Sinaaaah!”
Tuh kan. Sinah meraup semua alas tidur itu dengan tangannya, lalu tergopoh keluar.
Ketika melewati sang nyonya yang sudah duduk, ia menunjukkan barang-barang kotor yang dibawanya.
“Nyonya masih tidur, saya sedang membersihkan kamar Nyonya,” katanya sambil berlalu.
“Cepat ke sini setelahnya.”
Sinah melemparkan semuanya ke dalam mesin cuci, kemudian kembali menemui sang nyonya. Ia lupa masih menyembunyikan pakaian dalam yang tadi masih tertinggal di kamar, di dalam sakunya.
“Nyonya mau ke kamar mandi?”
“Iya, cepat, bantu aku berdiri.”
Sinah membungkukkan badannya untuk membantu sang nyonya berdiri.
“Tapi kamar mandi yang ada di kamar Nyonya sedang dipakai tuan.”
“Maksudmu, suamiku?”
“Iya, Nyonya.”
“Kapan dia pulang, mengapa dia tidak membangunkan aku?”
“Mungkin kasihan melihat Nyonya sudah tidur dan kelihatan sangat nyenyak.”
"Sepuluh hari dia pergi, pasti kangen sama istrinya,” gumamnya sambil berdiri, lalu melangkah ke arah kamar.
“Siapkan baju ganti untukku, setelah mas Andra, aku akan segera mandi.”
“Baik.”
Andira duduk di sofa yang ada di kamar itu.
“Di saku bajumu itu ada apa? Kamu menyimpan sesuatu di situ?”
Sinah terkejut, sampai jantungnya hampir copot.
“Ini … ini baju dalam saya, tadi tergesa-gesa karena bangun kesiangan, lupa tidak meletakkannya di keranjang kotoran, akan saya bawa ke belakang dulu, maaf Nyonya,” kata Sinah sambil beranjak ke belakang.
Sinah sangat terkejut ketika kembali ke kamar, sang nyonya menanyakan sesuatu.
“Mengapa jalanmu seperti itu? Kakimu sakit?”
“Oh, iya Nyonya, saya agak sakit, entah kenapa kaki saya sakit, sehingga kalau berjalan agak gimana … gitu.”
“Jangan sampai kamu pura-pura sakit untuk menghindari pekerjaan kamu.”
“Tentu saja tidak, masa saya berbuat begitu kepada orang yang sudah sangat baik kepada saya. Bertahun-tahun saya mengabdi, masa Nyonya tidak mengerti.”
“Bagus kalau kamu tahu. Itu tempat tidur ternyata belum kamu bereskan,” katanya sambil menunjuk ke arah tempat tidur yang belum rapi beralas.
“Maaf Nyonya, tadi baru mau mengambil seprei dan teman-temannya, keburu Nyonya memanggil saya.”
“Dan teman-temannya siapa?”
“Teman seprei itu tadi Nyonya, sarung bantal, sarung guling, itu kan teman-temannya seprei.”
“Nggak lucu,” cemberut sang nyonya majikan, membuat pipinya bertambah membulat.
Sementara itu Andra sudah keluar dari kamar mandi, sang istri menyambutnya dengan senyuman.
“Mas pulang semalam, kenapa tidak membangunkan aku?”
“Bukankah … oh … tidak, iya … kamu tidur nyenyak sekali tadi malam.”
“Aku mau mandi dulu, mas tunggu aku ya, pasti mas sangat kangen karena sepuluh hari lebih baru pulang.”
“Pekerjaan sedang banyak. Sekarang mandilah.”
Sinah membantu sang nyonya masuk ke kamar mandi, menyiapkan airnya dan menyiapkan air hangat di bathup, kemudian membantu sang nyonya majikan melepas pakaiannya, dan membantu masuk ke dalamnya.
“Kamu siapkan baju ganti, tunggu aku di luar,” titah sang nyonya.
Sinah mengangguk. Ia keluar dari kamar mandi. Sambil menyiapkan seprei dan lain-lainnya, wajahnya tampak cemberut, ketika sang tuan menatapnya.
“Sinah, aku minta maaf, aku tidak sengaja.”
“Tidak sengaja? Enak saja Tuan bicara. Tuan membuat aku kesakitan dan tuan membuat aku bukan lagi perawan.”
“Aku mabuk berat setelah ketemu teman-temanku di keramaian.”
“Mabuk atau waras, Tuan harus bertanggung jawab.”
“Akan aku bayar kamu, limaratus ribu.”
“Tidak mau.”
“Apa maksudmu? Itu uang yang banyak.”
“Tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan keadaan saya. Lagi pula kalau Tuan tidak menuruti kemauan saya, maka akan saya laporkan kelakuan Tuan kepada istri Tuan.”
“Kamu sudah gila?”
“Terserah Tuan mau bilang apa,” kata Sinah sambil mulai membenahi tempat tidur.
“Bagaimana kalau satu juta?”
Pada jaman itu, uang sejuta sudah bisa dikatakan sangat banyak. Gaji Sinah saja baru ratusan ribu, dan sudah merasa luar biasa.
“Atau lebih baik saya laporkan saja pada nyonya, apa yang sudah Tuan lakukan kepada saya.”
“Sinah!”
Andra tentu saja sangat takut. Dia memang pengusaha kaya, tapi setelah menikahi Andira, ia diberikan modal yang tidak sedikit oleh mertuanya, sehingga perusahaannya semakin besar dan maju pesat. Kalau sampai istrinya mengetahi apa yang dia lakukan semalam, bukan tak mungkin mertuanya akan mengambil semua uang yang sudah dikeluarkannya.
“Terserah Tuan mana yang lebih baik?”
“Lalu kamu mau berapa? Jangan memerasku hanya karena kesenangan yang hanya sesaat dan tidak aku sengaja itu.”
“Hanya? Tuan mengatakan hanya? Enak saja. Tuan membuat saya cacat sebagai seorang gadis.”
“Lalu kamu mau berapa?”
“Ambil aku sebagai istri tuan.”
“Apa?” Andra berteriak.
“Sinaaaah,” Andira memanggilnya dari dalam kamar mandi.
“Sinah melemparkan bantal yang akan diberinya sarung, lalu bergegas ke kamar mandi.
“Ya, Nyonya.”
“Apakah Tuan berteriak?”
“Iya, Tuan marah karena saya tidak selesai-selesai merapikan tempat tidur.”
“Makanya kamu jangan lelet.”
Sinah kembali keluar dan melanjutkan pekerjaannya. Dilihatnya Andra sedang memakai sepatu, tampaknya dia akan pergi lagi. Ditatapnya wajah sang majikan yang tampak muram. Tapi diam-diam Sinah mengagumi wajah sang majikan, yang ternyata lumayan gagah dan tampan.
“Sinah, kamu jangan gila. Bagaimana aku bisa melakukannya?”
“Hanya itu syaratnya. Kalau tidak ….”
“Nanti aku pikirkan lagi, aku sedang ada pekerjaan besar di luar kota.”
“Waktu Tuan hanya seminggu,” kata Sinah seenaknya.
***
Sinah bukan gadis biasa, yang bisa menangisi kejadian yang sudah merobek-robek harga dirinya. Hanya sesaat dia menyesal, tapi kemudian pikiran cemerlang melintas. Kalau dia bisa menjadi nyonya, bukankah derajatnya akan terangkat? Nasib menjadi pembantu sejak bertahun-tahun lalu harus sudah berakhir. Rupanya kejadian semalam adalah jalan yang akan bisa merubah hidupnya. Sinah tidak menyesal. Tapi bagaimana dengan nyonya Andra? Sinah sudah selesai menata tempat tidur majikannya, dan menyiapkan baju ganti, ketika sang nyonya berteriak lagi.
Bergegas Sinah masuk ke dalam kamar mandi.
“Aku sudah selesai,” kata sang nyonya majikan.
Andra meraih bathrobe yang sudah disiapkan, lalu membantu sang nyonya memakainya setelah keluar dari bathup. Benar-benar menguras tenaga mengangkat tubuh sebesar itu. Pantas saja Tuannya tampak tidak berselera.
“Apa tuan masih ada di kamar?”
“Tuan pergi dengan tergesa-gesa.”
“Tergesa-gesa bagaimana? Bukankah aku minta agar dia menunggu?”
“Tadi ganti pakaian, pakai sepatu, lalu pergi begitu saja. Katanya ada urusan penting, begitu.”
“Urusan penting … urusan penting terus. Tolong ambil ponselku.”
Sinah mengambilkan ponsel sang nyonya, sementara dia menggantikan pakaiannya dengan susah payah.
“Kemana? Bukankah aku minta Mas agar menunggu aku?”
“Maaf, sayang, benar-benar sangat mendesak, aku harap kamu mengerti. Aku sudah meninggalkan uang di meja untuk kamu.”
“Mas nanti pulang kan? Aku kangen, tahu nggak sih.”
“Iya, aku usahakan untuk pulang. Kamu tenang saja, dan tolong jangan mengganggu dulu, aku sedang membicarakan sebuah proyek besar. Ini penting untuk kita.”
Andira menutup ponselnya lalu melemparkannya begitu saja ke meja. Wajahnya gelap seperti langit tertutup mendung.
Sinah diam saja, asyik melayani sang majikan berpakaian, lalu membantunya duduk di depan cermin untuk memoles wajahnya seperti biasa.
Setelah itu ia mengajak Sinah keluar. Satu gelas coklat susu sudah kosong, berarti sang suami sudah meminumnya. Lalu ada sebuah amplop berwarna coklat, memang benar suaminya meninggalkan setumpuk uang.
“Sinah, kalau begitu nanti kita jalan-jalan saja. Makan di restoran, masuk ke toko baju dan belanja.”
“Baik, Nyonya, memang lebih baik begitu, daripada Nyonya marah-marah.”
***
Andira mengajak Sinah mampir ke toko miliknya lebih dulu, toko souvenir yang menjual bermacam-macam souvenir, baik untuk pernikahan, untuk hadiah, dan masih banyak lagi.
Ketika mereka masuk, tiba-tiba Andira melihat sosok laki-laki yang dulu pernah dilihatnya. Tanpa ragu dia mengatakan pada Sinah.
“Lihat, bukankah dia bekas pacarmu?”
Sinah menoleh dan melihat Satria sedang memilih souvenir untuk bayi.
***
Besok lagi ya.
🌹🖤🌹🖤🌹🖤🌹🖤
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung eMHa_03
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai 💐🦋
🌹🖤🌹🖤🌹🖤🌹🖤
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam episd 03 " sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan Pak Tom bertambah sehat dan semangat serta selalu dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteSampun tayang....
Sinah dilawan....
Senjata makan tuan....
Matur nuwun Bu Tien. Salam SEROJA, dan salam juga untuk pa Dayat.
Sugeng dalu.
Sami2 mas Kakek.
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteMoga sehat selalu doaku
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 03 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Terima kasih Mbu Tien...
ReplyDeleteSami2 pak Zimi
DeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung * MAWAR HITAM 03* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur nuwun Mbak Tien yg ditunggu tunggu dah hadir.. salam sehat dan bahagia selalu.
ReplyDeleteSami2 jeng Ira
DeleteSuwe ora jamu
Makasih Bunda cerbungnya, sehat selalu, aamiin yra
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Engkas
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillaah bisa baca walaupun tertinggal, sdh 3 episode
ReplyDeleteTambah seru nih,. Sinah gitu loh dasarnya tukang berontak n penasaran
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya, in syaa Allaah Pak Tom Widayat semakin membaik ya 🙏😊
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mb Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdullilah Mawar Hitam sdh tayang..terima ksih bundaqu..slmt mpm dan slmt istrhat..salam sehat sll unk bunda bersama misua.🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 03 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah.... cerbung asyiik sdh tayang, Apakah Sinah sdh move on dari Satria?
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien,salam sehat selalu sekeluarga.... Aduhaaiii
Sami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai
Kok ada orang seperti Sinah itu ya?
ReplyDeletePetaka bisa diubah jadi anugerah dari setan...
Terimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteTerima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 03...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Sinah otak nya cemerlang, tapi jadi licik. Mungkin tdk akan lama lagi, akan menjadi Nyonya Besar ke dua...😁😁
Derajat nya akan naik dari waitress, menjadi kepala Rumah Tangga..😳🤭
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Terimakasih Bu Tien, semoga panjenengan sehat dan bahagia bersama Kel tercinta,agar selalu bisa berkarya menulis buat para pembaca...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik