Thursday, July 31, 2025

MAWAR HITAM 28

 MAWAR HITAM  28

(Tien Kumalasari)

 

Andira terkejut melihat ponsel suaminya terjatuh. Ia kemudian membantu memungutnya, dan melihat wajah suaminya sedikit pucat.

“Mas, ada apa? Ini tadi telpon dari siapa?”

Andira ingin membuka ponselnya untuk mengetahui siapa yang menelpon, tapi Andra mengambil ponsel itu dan mematikannya.

“Dari siapa sih?"

"Urusan kantor.”

“Mas kelihatan panik, ada apa?”

“Bukan panik, aku kesal kalau urusan beginian disampaikan saat aku tidak sedang ada di kantor.”

“Ya sudah, tidak usah marah. Bisa diselesaikan besok kan?”

“Ya, besok saja. Baiklah, ayo kita …. eh, aku belum membayar di kasir tadi,” kata Andra yang tiba-tiba bingung sehingga transaksi di kasir terhenti.

“Maaf … maaf,” katanya sambil mengeluarkan sejumlah uang.

Pegawai kasir itu tersenyum. Untunglah tidak ada yang mengantre untuk membayar.

Begitu selesai, Andra segera menarik tangan istrinya, diajaknya keluar.

“Kita mau ke mana lagi Mas?”

“Pulang saja, atau … kamu pengin ke mana lagi?”

“Nggak. Atau pengin makan di luar?”

“Nggak usah, kasihan simbok sudah memasak untuk kita, sayang juga kalau dibuang kan?”

“Iya benar. Lagipula aku kan tidak bisa lagi makan sembarang jajanan. Dirumah lebih sehat, simbok pasti sudah menyediakannya.”

“Bagus sekali, jadi kita pulang ya, mungkin aku akan ke kantor sebentar, untuk menyelesaikan urusan ini tadi.”

“Itu lebih baik, daripada wajah Mas keruh begitu, tampaknya memang terbebani sekali sih Mas.”

“Tidak, jangan khawatir,” kata Andra sambil merangkul pundak sang istri untuk menenangkannya.

Mereka pulang ke rumah.

Andira yang begitu bersemangat untuk mencoba baju-bajunya, lalu mengijinkan suaminya kembali ke kantor untuk menyelesaikan urusannya.

***

Simbok membantu nyonya majikan untuk mengenakan baju-bajunya, tersenyum senang ketika Andira kemudian memberikan baju-bajunya untuk dirinya. Terkekeh-kekeh simbok ketika memasukkan baju bekas Andira ke tubuhnya, karena tentu saja baju itu begitu longgar dan nyaris merosot ke bawah kalau tidak segera dipeganginya.

“Mbok, bawalah ke tukang jahit, suruh mengecilkan baju-baju itu sehingga pas untuk kamu pakai.”

“Iya, Nyonya. Kalau tidak dikecilkan, lalu simbok nekat memakainya, bisa menjadi bahan tertawaan.”

“Sekarang aku sudah punya baju-baju yang pas untuk tubuhku. Semoga sebentar lagi aku bisa lebih kecil lagi.”

“Iya, Nyonya. Seperti itu lho, foto Nyonya ketika menikah, masih kelihatan ramping,” kata simbok sambil menuding ke arah meja di kamar itu, dimana ada foto ketika Andira menikah.

“Iya, semoga bisa kembali sekecil itu lagi ya Mbok.”

“Kalau Nyonya tertib menjalani puasa makan enak, pasti bisa.”

Andira tertawa mendengar istilah simbok tentang ‘tertib puasa makan enak’.

“Sekarang saya menata meja untuk makan malam dulu Nyonya.”

“Nanti saja Mbok, mas Andra sedang kembali ke kantor, tadi tampaknya ada urusan yang sangat penting.

“Tuan selalu sibuk dengan pekerjaannya. Tidak seperti orang biasa, yang kalau sudah pulang kerja, lalu istirahat dan tidur dengan nyenyak.”

“Mas Andra itu kan seperti ayahku Mbok, kalau sudah kerja lupa segalanya. Tadi marah-marah karena mendapat telpon ketika sedang belanja, aku kira dia mendiamkannya saja, ternyata dia juga memikirkan pekerjaan itu, lalu begitu sampai di rumah langsung pergi ke kantor. Tidak ada capek-capeknya.”

“Nanti kalau sudah pulang, Nyonya pijitin ya, kalau sudah dijamah istri, capeknya pasti hilang.”

Andira tersenyum, ia mengumpulkan baju-baju yang sudah dibeli.

“Biar saya cuci dulu, Nyonya, langsung distrika, baru Nyonya bisa memakainya.”

“Ya sudah terserah kamu saja, tolong rapikan semuanya.”

***

Bagus masih ada di dalam kamar Sinah, sepulang dari rumah sakit. Ia sudah mendapat obat, dan harus istirahat.

“Mengapa kamu bilang kalau kamu hamil? Bukankah dokter mengatakan bahwa kamu hanya sakit lambung karena makan tidak teratur?”

“Biar saja. Aku belum ingin bercerai dari pak Andra. Aku harus punya kedudukan terhormat di perusahaan itu. Enak saja dia menceraikan aku.”

“Apa dia akan mempercayai begitu saja apa yang kamu katakan?”

“Dia itu pengusaha tapi bodoh. Lihat saja, sekarang aku menjadi begini karena aku berhasil membodohi dia.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar, sekarang aku harus bisa mencapai keinginanku. Yang pernah aku mimpikan sejak lama harus bisa menjadi kenyataan. Itu sebabnya aku minta kamu bisa menyingkirkan Dewi.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan? Dengan status kamu nanti sebagai istri pak Andra, apa kamu bisa menggaet Satria, pacar Dewi?”

“Nanti akan ada caranya. Kamu cukup menjalankan apa yang aku perintahkan.”

“Sebenarnya aku masih kangen sama kamu.”

“Yang tadi sudah cukup. Kamu lupa Bagus? Kamu harus bisa melakukan tugas itu dengan baik? Jangan berharap apapun kalau kamu belum berhasil dan membuat aku senang.”

Tiba-tiba orang kepercayaan Sinah mengetuk pintu.

“Bu Mawar, pak Andra menunggu Ibu diluar.”

“Apa? Mengapa menunggu diluar?” sambil bertanya itu Sinah memberi isyarat kepada Bagus agar keluar secepatnya melalui pintu belakang.

“Saya sudah memintanya masuk, beliau tidak mau.”

“Suruh masuk saja, katakan kalau aku sedang sakit,” katanya setelah yakin bahwa Bagus sudah benar-benar menghilang dari kamarnya.

“Baik.”

Pembantu Sinah kembali menemui Andra yang masih duduk di kursi pengunjung rumah makan.

“Bapak diminta masuk, bu Mawar sedang sakit.”

Biasanya Andra langsung masuk ke dalam, tapi kali itu ia merasa tak ingin berbicara di dalam.

Dengan enggan Andra segera masuk ke kamar Sinah, dan melihat Sinah sedang berbaring sambil memeluk guling.

“Kamu bicara tentang apa? Waktu itu aku sedang bersama istriku.”

“Ya ampun Mas, aku bilang bahwa aku hamil. Itu kata dokter tadi. Tentu aku panik, karena Mas bilang sudah menceraikan aku.”

“Walaupun kamu hamil, aku tidak harus menjadikan kamu istriku.”

“Mengapa begitu? Masa bayi ini akan terlahir tanpa ayah?”

“Kalau benar kamu mengandung, bayi itu bukan anakku.”

“Mas mengingkarinya? Kalau begitu anak siapa yang ada di dalam kandunganku ini?”

“Mana aku tahu?”

“Aku menjadi istri Mas selama ini, lalu aku hamil, bagaimana Mas bisa berkata begitu?”

“Apa kamu tahu? Aku ini mandul.”

“Apa?”

“Aku tidak bisa punya anak, dan sedang berusaha agar istriku segera hamil, tapi belum aku lakukan. Jadi terserah kamu bilang apa.”

“Mas Andra, kalau bukan anakmu, lalu ini anak siapa?”

“Anak siapa, hanya kamu yang tahu. Yang jelas bukan anakku. Jangan bermimpi dan mengada-ada,” katanya sambil membalikkan tubuhnya.

“Kamu bohong Mas, ini anakmu. Aku hanya melayani kamu!” Sinah berteriak.

Andra meneruskan langkahnya, tapi sebelum mencapai pintu, ia melihat sepasang sepatu laki-laki tergeletak di dekat ranjang. Baru saat mau keluar dia melihatnya.

“Sepatu itu milik siapa?” katanya, lalu melanjutkan langkahnya keluar, setelah membanting pintunya keras sekali.

Sinah terpana di ranjangnya. Ia bangkit dan melihat sepatu Bagus masih tertinggal di dekatnya. Rupanya karena tergesa-gesa, Bagus lari melalui pintu belakang, tanpa mengenakan sepatunya. Sinah sadar, pasti ada yang dipikirkan Andra tentang sepatu itu. Andra pasti mengerti. Seorang laki-laki sudah masuk ke kamarnya, bahkan sudah pasti menaiki ranjangnya. Wajah Sinah memerah, karena marah.

“Dasar bodoh! Bodoh! Bagaimana aku bisa bertemu orang bodoh seperti kamu, Bagus!!” umpatnya berulang-ulang.

***

Sementara itu Andra pulang dengan melenggang. Ia tak harus khawatir, sepatu laki-laki di kamar Sinah, adalah bukti bahwa ada laki-laki lain yang sering menyambangi Sinah. Kalau dia hamil, mengapa harus dia yang menjadi ayah bayi itu? Kenyataan bahwa dirinya lemah, sedikit sekali kemungkinan bahwa Sinah hamil karena dirinya.

***

Andira senang ketika Andra pulang tak lama setelah kepergiannya.

“Kok sudah pulang Mas?”

“Iya, aku lapar sekarang, simbok sudah menata makan untuk kita?” jawabnya sambil tersenyum, lalu mendekati istrinya, duduk lalu meraih bahu sang istri.

“Mbok, kita mau makan sekarang ya,” teriaknya.

“Mengapa baju yang tadi dibeli belum dipakai?”

“Mau dicuci dulu sama simbok, jadi baru besok bisa memakainya.”

“O, begitu?”

“Urusannya sudah selesai?”

“Sudah. Bukan hal berat.”

“Kalau bukan hal berat mengapa sampai menelpon Mas diluar jam kerja?”

“Hanya sebuah kekhawatiran .. tidak usah dipikirkan.”

Walau begitu Andra masih merasa khawatir. Ia berhadapan dengan perempuan licik seperti Sinah. Walau diijinkannya bekerja di kantornya adalah disebutkan permintaan terakhir, tapi tak mungkin Sinah berhenti begitu saja.

Perkataan bahwa dia hamil, lalu menuntut agar dia menikahinya secara resmi, sudah dipatahkannya dengan kenyataan bahwa dia ‘mandul’ dan dengan adanya sepasang sepatu laki-laki di dekat ranjang Sinah.

Tapi apakah Setelah itu Sinah bisa menerimanya, lalu tidak akan lagi membuat ulah? Andra menyesali dirinya sendiri yang tak punya keberanian untuk berterus terang tentang apa yang terjadi, paling tidak kepada istrinya terlebih dulu.

“Makan sudah siap, Nyonya.”

“Mas, ayo kita makan.”

Andra mengikuti istrinya yang menarik tangannya dengan hangat. Ketulusan cinta sang istri membuatnya semakin takut kehilangan.

Ketika duduk, seperti biasa ia melihat piring untuk sang istri hanya berisi sayur dan buah, yang kemudian Andira duduk di depannya, sambil menikmati sajian khusus itu dengan mata berbinar.

Andra menatapnya trenyuh. Begitu besar keinginannya untuk menyenangkan sang suami, dengan membuat tubuhnya bisa menarik seperti dulu.

Andira baru mencomot sepotong buah, kemudian melayani sang suami dengan mengambilkan nasi dan sayur.

“Kamu tidak ingin ini?” tanya Andra sambil menunjuk ke arah sepotong daging dimasak rendang.

Andira menggeleng, dia malah mencomot lagi sepotong mentimun muda, yang dikunyahnya dengan nikmat.

“Andira, apakah kamu mencintai aku dengan sepenuh hatimu?” tiba-tiba kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Andra.

Andira menatapnya dengan membulatkan matanya.

“Pertanyaan apa itu? Setelah bertahun-tahun kita berumah tangga, tiba-tiba Mas menanyakan hal bodoh seperti itu?”

“Cinta kan bisa saja luntur.”

“Itu cinta yang palsu. Cintaku bukan palsu. Mas adalah segalanya bagiku. Mas saja yang terkadang mengabaikan aku, dengan alasan pekerjaan. Mas tahu, terkadang aku menangis kalau saat aku sangat kangen pada Mas, lalu Mas tidak peduli, lalu pergi begitu saja, dan alasannya sama, tentang pekerjaan.”

“Maaf Andira, aku janji tak akan mengulanginya.”

“Terima kasih Mas. Tapi mengapa tiba-tiba Mas menanyakan tentang cinta aku? Apakah selama ini Mas menganggap bahwa aku tidak bersungguh-sungguh mencintai?”

“Kalau misalnya aku melakukan kesalahan, apakah kamu masih akan tetap mencintai aku?”

“Tergantung kesalahannya apa.”

“Kesalahan itu kan banyak. Misalnya mengingkari janji, lupa sesuatu ….”

“Itu kesalahan yang lumrah. Tidak menepati janji kan ada alasannya. Lupa bukan sesuatu yang disengaja. Kecuali kalau Mas selingkuh.”

Andra tersedak sampai terbatuk-batuk.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

Wednesday, July 30, 2025

MAWAR HITAM 27

 MAWAR HITAM  27

(Tien Kumalasari)

 

Mereka sampai di kantin, lalu duduk bertiga. Sinah dengan tanpa sungkan segera mendahului duduk di samping Satria, sedangkan Tatik di depannya.

Satria tak menggubrisnya ketika Sinah menawarkan mau makan apa. Ia justru menatap Tatik sambil bertanya apa macam menunya.

“Di sini ada soto, ada kare, ada nasi pecel, ada gudeg juga. Pak Satria pilih yang mana?”

“Aku pilihkan ya, bagaimana kalau gudeg?” sela Sinah tak tahu malu, padahal bukan dia yang diajak bicara.

“Tidak, saya sama dengan Mbak Tatik saja.”

“Saya hanya mau soto, tempe goreng dan kerupuk,” jawab Tatik.

“Baiklah, saya juga sama. Soto, tempe goreng, kerupuk,” kata Satria, membuat Sinah bertambah geram, hanya saja dia harus menahannya. Ia sedang berusaha menjadi gadis yang baik di mata Satria.

“Bu Mawar apa?”

“Aku nasi gudeg, sambel goreng, tambahin cabe yang banyak,” jawabnya santai.

“Suka pedas, Bu Mawar?”

“Suka sekali,” jawab Sinah sambil tersenyum.

“Baiklah,” kata Tatik yang menuliskan semua pesanan.

“Oh ya, minumnya apa, pak Satria?”

“Mbak Tatik minum apa?”

“Saya teh hangat saja.”

“Aku pakai es, yang banyak,” sambung Sinah tanpa ditawari.

Tatik menyerahkan pesanannya kepada pelayan kantin.

“Mbak Tatik sudah lama bekerja di sini?”

“Sudah lama Pak, tiga tahun.”

“Oh, lumayan lama ya.”

“Sebelum ini pak Satria bekerja di mana?” tanya Tatik.

“Saya belum pernah bekerja di manapun. Ini pengalaman pertama saya.”

“Benarkah? Tapi kata pak Asmat, pak Satria sudah paham semua yang harus dikerjakan.”

“Masa sih? Sebelum saya mulai bertugas, saya belajar pada pak Asmat. Beliau yang banyak membimbing saya.”

“Tapi kalau tidak cerdas, pasti susah menjalani pekerjaan yang belum pernah dikerjakan.”

“Itu berlebihan,” kata Satria tersipu.

“Kalau bu Mawar sebelumnya bekerja di mana?”

“Saya pemilik rumah makan,” agak terdengar sombong ketika Sinah mengucapkannya.

“Lhoh, mengapa pemilik rumah makan memilih bekerja di sini? Bukankah lebih suka menjadi atasan daripada menjadi bawahan?”

“Bosan saja,” katanya sambil mengaduk es teh yang sudah dihidangkan.

“Silakan dimakan Pak, ayo bu Mawar.”

“Masih panas,” kata Satria yang memilih mencecap minumannya terlebih dulu.

“Panas tapi segar. Saya lebih suka makanan dengan kuah bening.”

“Kok sama, saya juga begitu. Lebih suka sayur bening, pokoknya yang kuahnya bening. Kalau yang santan-santan begitu, hanya kadang-kadang saja.”

Tiba-tiba Sinah mengeluh perutnya sakit.

“Adduh,” keluhnya sambil memegangi perutnya.

“Bu Mawar kenapa?”

“Nggak tahu nih, tiba-tiba perut saya mual, begitu menyendok nasi gudegnya.”

“Mungkin terlalu gurih, jadi  eneg,” kata Tatik dengan nada khawatir.

“Saya mau ke toilet dulu,” katanya sambil berdiri, lalu bergegas menuju ke toilet sambil memegangi perutnya.

“Kenapa dia?” kata Satria yang sudah mulai menyuap makanannya.

“Mungkin karena nasi gudegnya terlalu gurih, mudah-mudahan tidak apa-apa.”

“Panas begini, dia minum minuman dingin. Pasti nggak enak terasa di perut.”

“Iya.”

Ketika kembali, Sinah tampak pucat.

“Saya mau pulang dulu, kalau sudah baikan saya kembali.”

“Ke klinik saja dulu Bu, mari saya antar. Di sana ada dokternya, nanti kan Ibu diberi obatnya sekalian,” kata Tatik.

“Tidak usah, saya pulang saja, oh ya, saya harus bayar berapa ini tadi?”

“Biar nanti saya yang bayar Bu,” kata Tatik yang benar-benar khawatir melihat wajah ‘bu Mawar’ yang sangat pucat.

“Terima kasih, saya pulang dulu, Sat… eh .. pak Satria …” katanya sambil berlalu dengan cepat.

“Tampaknya sakit beneran,” ujar Satria, yang sebenarnya ingin tertawa karena mungkin sambil menahan sakit, dia hampir memanggilnya Satria, seperti sebelumnya, karena Sinah kan teman sekolahnya dulu. Tapi kalau sebagai bu Mawar, pasti dia harus memanggilnya pak Satria kan? Tapi Satria tak mengucapkan apapun lagi, kecuali segera menghabiskan makanannya.

“Apa benar dia istri pak Andra?” tanya Tatik tiba-tiba.

“Benarkah?”

“Saya tidak yakin. Pasti dia hanya mengada-ada. Tapi tampaknya memang sangat dekat dengan pak Andra.”

“Mungkin dulu mereka berteman.”

“Tapi pak Andra juga tidak begitu memperhatikan seperti sikapnya kepada seorang istri. Kalau istrinya kan bu Andira, orangnya gemuk, tapi cantik, juga baik. Tapi beliau tidak pernah datang ke kantor. Beliau datang kalau ada acara di kantor, misalnya meresmikan anak cabang baru, atau ulang tahun perusahaan, begitu. Apakah .. bu Mawar itu selingkuhannya ya?”

Satria tertawa lalu menghabiskan minumannya.  Walaupun dia banyak mengetahui tentang kehidupan Andra dan keluarganya, tapi Satria tak mungin mengatakan itu kepada setiap orang.

Mereka berbincang sampai waktu istirahat usai. Tapi sampai kemudian mereka kembali ke ruang kerja masing-masing, Satria tidak melihat Sinah. Barangkali benar, dia sakit hingga tak mampu menahan, karenanya ia tak lagi kembali ke kantor.

***

Suasana sedikit riuh ketika anak buah Satria tak mendapati ‘Mawar’ kembali ke kantor, membuat pak Asmat menegurnya.

“Ketika dia ada, kalian merasa sebel. Ketika dia tak ada, kalian merasa kehilangan,” ledek pak Asmat yang disambut tertawa oleh anak buahnya.

“Aneh juga, orang begitu bisa jatuh sakit,” celetuk salah satu yang ada di sana.

“Kecapekan, di sini cuma disuruh bersih-bersih,” seru yang lain.

“Kamu sudah menghadap pak Andra dan menyatakan bahwa kita keberatan?”

“Belum ada kesempatan, tadi pak Andra langsung pulang.”

"Semenjak istrinya sakit, pak Andra kalau saatnya makan siang, sering pulang, makan bersama istrinya.”

“Setiap hari pak Andra juga pulang awal, tidak bernah berada di kantornya seperti kemarin-kemarin, yang terkadang sampai malam.”

“Semoga bu Andra cepat pulih.”

“Ya sudah, selesaikan gosipnya, saatnya kembali bekerja,” kata pak Asmat.

Lalu mereka terdiam ketika pak Asmat menegurnya.

***

Andra memang selalu makan siang di rumah, semenjak Andira pulang dari rumah sakit. Hari itu Andira sudah bisa berjalan tanpa penyangga. Wajahnya juga semakin kelihatan segar.

Ia mengikuti anjuran untuk mengurangi berat badan dari dokter gizi, dan Andira senang dalam seminggu berat badannya sudah turun tiga kilo.

“Mas, beberapa baju aku sudah kebesaran, terutama di pinggangnya. Saatnya beli baju-baju yang sesuai dengan badanku.”

“Berani jalan-jalan ke mal untuk beli baju?”

“Asalkan Mas menemani, aku pasti berani. Kalau dengan simbok aku takut, simbok kan sudah tua, barangkali dia tak akan kuat kalau aku bersandar padanya.”

“Iya, aku tahu. Kapan kamu mau perginya?”

“Nanti malam, kalau Mas sudah pulang dari kantor.”

“Boleh, aku akan pulang awal nanti.”

“Oh iya Mas, tadi ibu menelpon, tentang dokter yang dibicarakan ibu waktu pulang.”

“Ya, apa kata ibu?”

“Minggu depan dokter itu akan datang kemari. Kalau mungkin, pemeriksaan akan dilakukan di sini, jadi kita tidak usah datang ke Jakarta.”

“Baguslah kalau begitu. Kapan persisnya dokter itu akan datang?”

“Nanti akan dikabari hari pastinya, kalau tidak salah ibu juga akan datang bersama dokter itu.”

“Bersama bapak juga?”

“Bapak belum pasti bisa, karena di Jakarta bapak juga punya banyak kesibukan. Aku heran, mengapa suamiku menurun dari ayah mertuanya. Gila kerja, dan terkadang mengabaikan waktu istirahat. Barangkali itu juga memicu belum bisanya aku hamil.”

“Dokter di sini dulu juga bilang kalau aku yang tidak sehat. Tapi mudah-mudahan semuanya bisa teratasi. Aku juga ingin sekali punya anak.”

“Seneng ya Mas, kalau punya anak. Kalau Mas lagi sibuk, aku tidak lagi kesepian, tidak lagi suka jalan-jalan.”

“Dan karena suka jalan dan makan itulah maka badanmu tumbuh subur,” ledek Andra.

Andira tertawa sambil mencubit lengan suaminya.

“Sekarang tidak lagi Mas, lihat saja makanan aku sekarang, semuanya tidak membuat gemuk, justru badanku semakin ramping.”

“Sekarang aku kembali ke kantor dulu, nanti akan pulang lebih awal.”

“Baiklah, nanti kita perginya bisa lebih sorean.”

***

Di kantor, Andra mendapat laporan dari sekretarisnya, bahwa ‘bu Mawar’ pulang karena sakit.

“Sakit? Bukankah tadi baik-baik saja?”

“Benar, sepertinya tadi baik-baik saja, tapi ketika makan, tiba-tiba merasa perutnya sakit, wajahnya pucat. Setelah ke toilet, saya kira perutnya membaik, tapi dia memaksa pulang, saya suruh ke klinik tidak mau.”

“Ya sudah, biarkan saja,” kata Andra tak acuh.

Walau merasa heran atas sikap pimpinannya, Tatik tak berani mengucapkan apapun. Padahal dulu perempuan bernama ‘Mawar’ itu mengaku menjadi istri Andra. Apakah sesungguhnya dia selingkuhannya? Lalu memaksa minta bekerja walau menurut orang-orang di divisi keuangan, ‘Mawar’ hanya dianggap lelucon yang menjengkelkan? Beribu pertanyaan yang muncul tak juga menemukan jawaban, dan Tatikpun tak mungkin berani menanyakannya.

Ketika Andra sedang memeriksa beberapa laporan yang masuk, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Sinah. Sebenarnya Andra tak ingin mengangkatnya, tapi mengingat kenekatan Sinah, ia terpaksa menjawabnya.

“Ada apa?” tanyanya menahan kesal.

“Mas, aku sakit nih.”

“Istirahat saja, nggak usah masuk kerja lagi.”

“Aku mau ke dokter.”

“Ya sudah sana, ke dokter. Mengapa harus bilang ke saya?”

“Mas, kamu kan suami aku?”

“Kamu lupa ya, kita sudah bercerai, jangan lagi meminta agar aku masih memperhatikan kamu.”

“Kalau aku sakit, Mas juga tega?”

“Pergilah ke dokter. Aku bukan dokter.”

“Masa aku sendirian?”

“Anak buahmu banyak, suruh mereka mengantar. Pekerjaanku banyak, dan aku jangan lagi diganggu dengan permasalahan yang tidak penting.”

Andra menutup ponselnya dan mematikannya, agar Sinah tak lagi bisa menghubunginya.

***

Bagus sedang berbincang dengan salah seorang temannya tentang rencana untuk menculik Dewi, ketika tiba-tiba Sinah menelponnya.

“Ya, Mawar, sabarlah sebentar, aku sedang bicara dengan teman yang bisa membantu. Soalnya semua harus dilakukan dengan cermat.”

“Berhentilah mengoceh, datanglah ke rumah, aku sedang sakit.”

“Kamu sakit?"

"Sejak siang tadi aku merasa tubuhku rasanya nggak enak benar. Perutku sakit, tadi di kantor sempat muntah-muntah.k Mungkin aku keracunan.”

“Kamu makan apa?”

“Aku sedang makan di kantin, tiba-tiba perutku mual. Barangkali kantin itu tidak menjaga kebersihan.”

“Salah sendiri, mengapa makan di kantin? Cari yang murah? Seperti yang nggak punya uang saja.”

“Ada yang mengajakku tadi.”

“Kamu tidak meminta tolong suami kamu agar mengantarkan kamu ke dokter?”

“Aku sudah diceraikan, aku tidak lagi istrinya. Menikahnya dulu juga hanya menikah siri, dan asal-asalan.”

“Sepertinya dia tidak sayang sama istrinya.”

“Kamu jangan banyak omong Bagus, cepatlah kemari.”

“Baiklah, baiklah, aku segera ke sana.

***

Sore hari itu Andra mengantarkan istrinya belanja, karena ukuran bajunya sudah kedodoran dengan menyusutnya tubuh gajahnya.

Memang agak tertatih, tapi dengan tubuh gagahnya, Andra menuntun sang istri memilih baju-baju yang sesuai dengan ukuran tubuhnya setelah sedikit kurus.

“Tidak usah terlalu banyak, nanti kalau lebih kurus lagi pasti butuh baju yang lebih kecil pula.”

“Tidak Mas, hanya lima potong. Nanti baju-baju lama akan aku berikan simbok.”

“Simbok mana bisa pakai baju kamu? Simbok badannya ramping begitu.”

“Ya suruh dikecilin Mas, sayang kalau dibuang.”

“Benar, atau kalau nggak dibagi ke siapa yang membutuhkan.”

“Iya, biar simbok nanti yang mengurusnya.”

Ketika Andra sedang membayar semua pembelian ke kasir, tiba-tiba ponselnya berdering. Lagi-lagi dari Sinah? Andra enggan mengangkatnya.

“Kok tidak diangkat sih Mas?”

“Telpon nggak penting.”

Ketika kemudian dering itu berhenti, Andra merasa lega. Tapi seperti yang sudah menjadi kebiasaannya, Sinah menelpon lagi.

Dengan kesal kemudian Andra mengangkatnya, dan langsung menghardiknya.

“Ada apa, aku sedang bersama istriku, belanja.”

“Aku hanya mau bilang, bahwa aku hamil.”

Ponsel Andra meluncur begitu saja ke lantai.

***

Besok lagi ya.

 

 

Tuesday, July 29, 2025

MAWAR HITAM 26

 MAWAR HITAM  26

(Tien Kumalasari)

 

Sinah sudah membuka almari file yang ditunjuk Satria, tapi kemudian dia membalikkan tubuhnya. Ia melihat OB melangkah keluar sambil membawa rantang berisi makanan yang diperuntukkan bagi Satria. Matanya merah menahan marah.

“Berhenti!” teriaknya.

OB itu berhenti, tak mengerti.

“Letakkan rantang itu kembali ke tempatnya,” titahnya lantang.

Satria mengangkat wajahnya, melihat sang OB kebingungan. Satria segera berdiri, lalu melangkah mendekat, di mana OB itu berdiri.

“Sudah, bawa saja ke belakang. Itu untuk kamu,” katanya sambil tersenyum.

OB itu mengangguk dan melanjutkan langkahnya, sedikit bingung, tapi perintah Satria sang manager keuangan ada diatas segalanya. Teriakan perempuan yang baru sekali dilihatnya itu tak dihiraukannya.

Sinah akan mengejarnya, tapi Satria menghadang di depannya.

“Bu Mawar mau ke mana?”

“Pak Satria, ini namanya penghinaan,” sergahnya.

“Siapa yang menghina?”

“Pak Satria.”

“Mengapa begitu?”

“Saya memberikan makanan itu untuk pak Satria, tapi Anda memberikannya kepada OB itu. Enak saja, lauknya adalah lauk pilihan, dan khusus aku bawakan untuk pak Satria. Mengapa pak Satria melakukan itu?”

“Bukankah bu Mawar memberikan makanan itu untuk saya?”

“Ya, apa kurang jelas?”

“Berarti makanan itu sudah menjadi milik saya, jadi mau saya berikan kepada siapa, terserah saya, kan itu milik saya? Bahkan seandainya saya buangpun, saya kira tidak ada masalah.”

Beberapa staf yang ada di situ menutup mulutnya dengan tangan, agar suara tawanya tak sampai keluar.

Sinah membanting-banting kakinya. Pria yang dicintainya telah menyakiti hatinya. Gemas dan kesal bercampur aduk dalam hatinya.

“Bu Mawar, ruangan ini tempat orang bekerja. Kalau bu Mawar ingin bekerja di sini, maka lakukan apa yang menjadi perintah saya, karena saya adalah manager di ruangan ini,” kata Satria tandas.

Tiba-tiba Sinah merasa menyesal. Cara kerja di sebuah perusahaan berbeda sekali dengan di rumah makan miliknya. Ia bisa melakukan apapun yang dia sukai, dan dia tak pernah bisa diperintah oleh siapapun. Tapi di sini, ia harus diperintah. Pekerjaan yang dipilihnya, ternyata membuatnya sangat terhina. Bukan duduk di sebuah kursi yang bisa diputar, di depan meja kerja yang dihiasi dengan bunga segar. Itu pekerjaan anak buahnya atas perintahnya. Tapi di sini, ia mendapatkan meja di sudut ruangan yang belum pernah dia duduk di depannya. Meja yang sepertinya tersisih dari meja-meja lainnya. Tidak mengkilap, apalagi dilapisi kaca. Lalu sekarang dia diperintah untuk merapikan almari? Apakah Andra memberinya pekerjaan sebagai pembantu?

Tapi Sinah masih berusaha bersabar. Baiklah, barangkali dia berpikir, kalau ia penurut, pekerjaannya baik, maka Satria akan menaruh perhatian padanya. Karena itu ia menyunggingkan senyum setelah mendengar perintah bapak manager.

“Baiklah Pak, mohon maaf, saya tadi khilaf,” katanya sambil mendekati almari yang sejak tadi sudah dibukanya.

Sinah bersin beberapa kali. Itu kan almari tua, isinya bertumpuk-tumpuk map yang dia tidak tahu apa isinya. Sedikit berdebu.

“Susun kembali tapi jangan merubah susunannya, urutkan per bulan, seperti sebelumnya,” sambung pak Asmat.

Sinah merengut. Laki-laki setengah tua tapi yang oleh Satria begitu dihormati itu bukan manager, tapi ia berpengaruh dan menguasai segalanya. Itu sebabnya Satria menaruh hormat. Bukan karena tingkatan kedudukannya lebih tinggi maka Satria  berlaku seperti seorang pemimpin, tapi sikap santun dan pengalaman yang dimiliki pak Asmatlah maka Satria harus mengacungkan jempol dan menunduk hormat terhadapnya. Sinah tahu itu, karena pernah bertemu keduanya ketika ia datang setelah menemui Andra. Karena itulah Sinah tak berani meremehkannya, takut kalau sikapnya akan membuat Satria kecewa.

Satria menatap Sinah yang mengerjakan apa yang menjadi perintahnya, lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa sebenarnya yang diinginkan wanita itu?” kata batin Satria.

Alangkah besar pengorbanan Sinah. Demi bisa mendekati dirinya maka dia bersedia meninggalkan usaha yang digelutinya, dan memilih menjadi pekerja di tempat itu. Dan bahkan ingin mencelakai Dewi? Tiba-tiba Satria teringat sesuatu. Ia harus menelpon Dewi. Maka diambilnyalah ponselnya, kemudian ditelponnya Dewi.

“Ya Mas, aku sedang ada di kampus nih.”

“Oh, sedang ada kelas?”

“Tidak, belum masuk. Lima menit lagi. Ada apa nih, pak manager tiba-tiba menelpon saya?”

“Hanya mengingatkan. Kamu tadi naik motor?”

“Iya, katamu demi keselamatan.”

“Iya, tentu saja.”

“Ya sudah, hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja.”

“Aku akan berhati-hati.”

“Ya sudah, tetaplah berhati-hati.”

Almari yang dirapikan Sinah letaknya tidak jauh dari meja Satria, jadi Sinah mendengar pembicaraan itu.

“Jadi Dewi sekarang naik motor? Aku harus segera memberi tahu Bagus,” kata batinnya sambil melangkah keluar ruangan.

“Eh, barang-barang masih berantakan, mau ditinggal ke mana?” tegur pak Asmat.

“Sebentar, mau ke toilet,” jawab Sinah tanpa menghentikan langkahnya.

Pak Asmat mengangkat bahu, Satria menatapnya sambil tersenyum.

“Seperti sebuah lelucon …” kata pak Asmat yang tidak tahu apa sebenarnya maksud sang bos dengan mempekerjakan orang tidak waras bernama Mawar itu. Ya, tentu saja Sinah dianggap tidak waras, karena tidak tahu tata krama, dan tidak bisa mengerti bagaimana bersikap sebagai karyawan.

“Saya pikir, bu Mawar itu suka pada pak Satria,” kata pak Asmat sambil tersenyum.

“Siapa yang tidak suka, manager ganteng begini dimana-mana pasti banyak disukai gadis-gadis,” sambung karyawan yang duduk di belakang pak Asmat.

“Sudah ada issue kalau Tatik juga suka sama pak Satria lhoh,” sambung yang lain.

Sejenak ruangan itu menjadi sedikit heboh, sedangkan Satria hanya tersenyum-senyum saja.

***

Didalam toilet, Sinah menelpon Bagus.

“Sudah kamu kerjakan Gus?”

“Belum hari ini Mawar, aku sedang merancang rencana yang akan aku jalankan nanti.”

“Kelamaan sekali kamu Gus. Aku kira bisa mengatasi masalah, sudah sehari semalam masih saja membuat rencana.”

“Ini bukan masalah biasa. Kecuali aku harus menculiknya, aku juga harus menjaga jangan sampai ada salah satu atau bahkan semua dari kita akan tertangkap”

“Bodoh! Awas kamu ya, jangan sekali-sekali menyebut namaku kalau kamu atau siapapun temanmu itu sampai tertangkap.”

“Iya, aku tahu. Ini aku juga sedang menghubungi teman yang biasa menyewakan mobil.”

“Ya sudah, pokoknya kamu kerjakan dengan rapi. Eh, tapi ada yang penting, aku sampai lupa memberi tahu.”

“Apa tuh?”

“Sekarang dia ke kampusnya naik sepeda motor.”

“Tuh kan, beruntung kamu mengatakannya. Jadinya aku harus merubah rencanaku.”

“Hei, siapa di dalam? Kalau di toilet jangan telpon-telponan dong, gantian!” terdengar teriakan sambil menggedor-gedor pintu.

Sinah segera sadar bahwa dia tidak sedang ada di rumahnya sendiri. Ia keluar sambil menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku.

“Reseh!!” umpat Sinah sambil pergi menjauh, kembali ke ruang keuangan. Wanita yang menegurnya, menatapnya heran, karena kebetulan belum pernah melihat adanya perempuan asing di tempat itu. Dan dia berpikir, barangkali salah seorang tamu yang menumpang ke toilet. Tamu yang sangat kasar, lalu dia menyesal karena mengata-ngatainya saat dia di dalam kamar mandi. Kalau dilaporkan pimpinan, dia bisa kena tegur.

***

Tanpa peduli pada pandangan aneh setiap orang, Sinah melanjutkan pekerjaannya. Ia berharap Bagus bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.

Pada dasarnya, saat menjadi pembantu Andira, Sinah memang pekerja yang baik, rajin dan rapi. Ia menata isi almari itu dengan baik, seperti apa yang dianjurkan pak Asmat, urut sesuai bulan dan tahun. Sebenarnya isi almari itu tidak sepenuhnya berantakan, dan Sinah tidak begitu susah menatanya, kecuali hanya kurang rapi menyusunnya.

Ia menutup almari itu, lalu dengan senyum ia mendekati Satria, seakan tidak ada rasa marah walau makanan yang diberikannya barangkali sekarang sudah dilahap sang OB dengan penuh rasa nikmat.

“Apa lagi yang harus saya lakukan, pak Satria yang terhormat?” katanya setengah bercanda. Walau bercanda tapi bagi yang mendengarnya, Sinah tetap terlihat sangat tidak sopan mencandai seorang pejabat sambil tersenyum-senyum.

“Istirahatlah dan minum, di sana, di meja yang ada di sudut itu,” kata Satria sambil menunjuk ke arah meja, dimana tadi OB menaruh minuman di sana.

“Bolehkan saat makan siang nanti saya menemani pak Satria? Saya membawa mobil.”

“Tidak, saya biasa makan di kantin,” jawab Satria tak senang.

“Bersama bapak itu juga boleh,” katanya sambil menunjuk ke arah pak Asmat.

“Namanya pak Asmat.”

“Nah, pak Asmat, mau kan nanti makan siang bersama? Saya yang mentraktir, sebagai rasa senang saya karena bisa mulai bekerja hari ini. Atau siapa saja yang mau ikut? Seluruh ruangan ini boleh kok.”

“Tidak, terima kasih,” kata pak Asmat, dan yang lain tidak bereaksi. Sikap Sinah tetap dianggap orang aneh.

“Nanti saya akan menghadap pak direktur, kehadirannya justru mengganggu, bukan?” kata seorang wanita dengan berbisik ke arah rekan kerja disampingnya, yang kemudian mengangguk setuju.

“Tidak ada yang mau ya?” katanya sambil melenggang ke arah meja yang ditunjuk Satria, lalu meneguk minumannya.

***

Di saat istrahat, Sinah memasuki ruangan Andra dengan wajah cemberut.

“Mas, aku tidak mau bekerja seperti itu. Aku kan ya anak sekolahan, masa disuruh merapikan almari yang berdebu pula. Memangnya aku ini pembantu?”

“Lalu kamu mau pekerjaan apa? Semua sudah ada yang bertugas. Jadi sebenarnya tidak ada lowongan di sini.”

“Saya kan bisa menulis, bisa mencatat,” katanya sambil mulutnya tetap saja mengerucut seperti ujung kukusan.

“Semua sudah ada yang bertugas, yang masih kurang adalah tenaga menata dan merapi-rapikan ruangan,” kata Andra enteng.

“Pembantu dong.”

“Sinah, aku mau pulang makan, karena Andira sedang menunggu aku. Jalani saja pekerjaanmu dengan baik, supaya kamu juga bisa mendapat gaji yang baik,” kata Andra sambil berdiri.

“Mas, jangan memanggilku Sinah dong, bukankah namaku Mawar?”

“Susah mengganti panggilan. Bukankah di rumah aku juga memanggilmu Sinah?”

“Di sana tidak ada yang mendengar cara Mas memanggilku, tapi di sini banyak orang. Jangan begitu dong Mas, tolong,” kata Sinah sambil mengikuti Andra dari belakang.

Ia berjalan seakan menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat dekat antara dirinya dan pemilik perusahaan itu.

Disebelah ruangannya, ia berpesan kepada Tatik, sekretarisnya.

“Tatik, tolong temani pak Satria makan di kantin, mungkin dia belum terbiasa sehingga butuh teman.”

“Baik Pak,” jawab Tatik dengan tersenyum. Sinah melotot menatap Andra.

“Aku juga belum tahu di mana kantinnya, aku akan bersama mbak Tatik juga,” kata Sinah tak tahu malu. Sebenarnya ia tak suka ada perempuan lain yang menemani Satria, tapi masih ada rasa sungkan karena ada Andra.

Ketika di depan pintu ruang keuangan, Satria baru saja keluar, Tatik menyambutnya sambil tersenyum.

“Pak Satria, pak Andra meminta agar saya menemani Bapak makan di kantin.”

Satria melirik sekilas kepada Sinah, lalu mengangguk sambil tersenyum ke arah Tatik.

“Baiklah, mari mbak Tatik menemani saya,” katanya sambil berjalan di samping Tatik, sikapnya sangat manis, dan tidak mempedulikan Sinah yang tetap mengikutinya, dengan darah yang nyaris mendidih.

***

Besok lagi ya.

 

Monday, July 28, 2025

MAWAR HITAM 25

 MAWAR HITAM  25

(Tien Kumalasari)

 

Satria masih bengong ketika pak Asmat mendekat.

“Pak Satria kenal dia?” tanyanya.

“Oh, tidak … eh .. kenal ketika di ruang pak Andra.”

“Dulu pernah datang kemari dan mengaku kalau dia itu istri pak Andra.

Satria tersenyum miring. Ia pasti juga tahu tentang adanya suami istri itu. Perempuan itu yang memaksa, Sejenak pak Andra terlena, kemudian dia sadar bahwa Sinah hanya memaksa karena tahu kelemahan Andra.

“Apakah pak Satria percaya? Kami semua sudah tahu kalau istri pak Andra adalah  bu Andira yang badannya gede, tapi sebenarnya sangat cantik. Beliau sangat baik, ramah dan selalu bersikap santun walau kepada bawahan suaminya."

“Tampaknya memang meragukan, pak Andra sendiri tidak bersikap seperti seorang suami.”

“Kalau begitu mengapa pak Andra membiarkan perempuan itu bekerja di sini? Di divisi kita pula. Saya yakin tak akan ada yang suka.”

“Pasti ada alasan mengapa pak Andra mengijinkannya. Semoga hal ini tak akan berlangsung lama.”

“Benar, jangan sampai semuanya berantakan gara-gara dia. Lagipula mau diberi pekerjaan apa dia?”

“Nanti saya akan bicara dengan pak Andra,” kata Satria.

Tapi sebenarnya Satria sedang memikirkan perkataan Sinah saat ditelpon seseorang, entah siapa. Sepertinya dia marah-marah karena terlambat lapor, dia juga marah mengapa dia mengendarai sepeda motor. Adakah hubungan semua itu dengan percobaan penculikan yang  menimpa Dewi di hari kemarin?

Semuanya serba belum jelas, tapi mengapa perasaan Satria tiba-tiba mengarah ke sana?

“Ya sudah, pak Satria tidak perlu memikirkannya sekarang, mari kita lanjutkan pekerjaan kita,” kata pak Asmat pada akhirnya.

“Baiklah, tapi saya mau ketemu pak Andra dulu sebentar,” kata Satria sambil berdiri.

Ia keluar dan langsung menuju ke arah ruang direktur utama. Ia masuk setelah mengetuk pintu dan Andra mempersilakannya.

“Silakan pak Satria.”

Satria duduk di depan Andra. Tapi sebelum Satria membuka mulutnya, Andra sudah langsung mengatakan sesuatu.

“Dia minta ditempatkan di bagian keuangan, ya sudah, biarkan saja.”

“Lalu bagaimana dia, pekerjaan apa yang harus kami berikan?”

“Pak Satria kan sudah tahu semua permasalahan, jadi saya harap pak Satria bisa membantu saya.”

“Baiklah, saya mengerti.”

Walau Satria menjawab mengerti, sesungguhnya dia tidak mengerti. Yang tidak dimengerti ialah, akan diberi pekerjaan apa pegawai pemaksa yang melakukan sesuatu tanpa pemikiran yang waras. Tapi sekarang dia mengerti, Sinah memaksa ingin bekerja di situ karena ingin mendekati dirinya. Dan itu membuat Satria semakin muak mengingatnya.

Hanya saja Satria sebenarnya ingin mengungkap dalang penculikan yang menimpa Dewi, kekasih hatinya, jadi ia harus bersikap baik terlebih dulu.

“Apakah pak Satria memikirkan sesuatu? Bisa saja nanti dia disuruh merapikan almari file yang ada, atau menyusun laporan keuangan sesuai hari dan tanggal, pokoknya yang gampang-gampang.”

Satria mengangguk-angguk.

Tapi siang hari itu saat makan siang Satria menolak ketika Andra mengajaknya makan bersama. Ia ingin melakukan sesuatu, sehingga ia meminta ijin untuk makan di luar.

***

Siang hari itu rumah makan makan Mawar Hitam seperti hari-hari kemarin, masih sepi pengunjung. Bagus yang datang tergesa-gesa langsung memasuki kamar Sinah. Tak ada yang melarang karena sudah biasa Bagus datang dan bersikap seperti tuan rumah, sedangkan tuan Andra yang menurut mereka adalah suami Sinah, sudah lama tidak ‘pulang’.

Ketika masuk, Sinah juga baru saja duduk. Wajahnya muram. Kemarahan sejak ia menerima telpon di kantor Andra belum juga sirna. Ia tak mengira Bagus sebodoh itu. Menculik dengan sepeda motor?

“Sudah lama menunggu?”

“Mengapa baru tadi kamu melaporkan kegagalan kamu? Aku kira perempuan itu sudah berada dalam sekapan kamu. Betapa bodoh, begitu saja tidak berhasil.”

“Mau bagaimana lagi, aku kan tidak punya mobil? Punyaku hanya sepeda motor.”

“Kamu kan pegang uang, apa tidak bisa menyewa mobil untuk melakukan itu? Padahal hampir berhasil, dan ternyata gagal. Aku tidak mengira kamu tidak becus melakukannya.”

“Kamu tidak menyuruh aku menyewa mobil, atau kamu pinjamkan saja mobil kamu.”

“Bagus, aku tidak mengira kamu sebodoh ini. Aku serahkan semuanya sama kamu, dan berarti kamu sudah tahu hal terbaik yang bisa kamu lakukan. Bisa-bisanya kamu mengatakan bahwa aku harus menyuruhmu, atau harus meminjamkan mobil sama kamu?”

“Mana mungkin aku bekerja sendiri?”

“Kalau kamu pintar, maka kamu tidak membutuhkan orang lain untuk membantu kamu, apa lagi aku, yang sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu.”

“Baiklah, aku akan mengulanginya. Apa aku tidak boleh meminjam mobil kamu?”

“Tidak. Bagaimana kalau mobil aku sudah banyak yang mengenalinya? Aku ini bukan orang biasa, sudah banyak yang mengenali mobil ini. Apa kamu akan mengajakku celaka bersama kamu?”

“Baiklah, tapi uang yang kamu berikan tinggal sedikit.”

“Yang kamu pikirkan hanya uang dan uang dan uang dan uang saja.”

“Lalu bagaimana aku bisa menyewa mobil kalau uangnya tinggal sedikit?”

Sinah membuka laci mejanya dan mengeluarkan setumpuk uang untuk Bagus, membuat mata Bagus bersinar terang. Ia memang sangat menyukai uang, dan sumber uang itu didapatnya hanya dari Sinah.

“Jangan senang dulu. Ini aku berikan tidak cuma-cuma. Dan aku minta kamu benar-benar berhasil. Kalau gagal lagi, jangan pernah mendekati aku dan jangan bermimpi mendapatkan uangku,” tandas kata Sinah.

“Baiklah Mawar, kamu jangan khawatir. Kali ini aku tak akan gagal,” katanya sambil berdiri.

Sinah mengikutinya keluar, dan kembali melontarkan pesan yang sangat tandas.

“Kali ini kamu harus berhasil! Jangan lagi memakai sepeda motor.”

Bagus mengangguk dan berlalu, setelah memasukkan uangnya lebih ke dalam di sakunya.

Sinah ingin kembali masuk, ketika kemudian dilihatnya seseorang sedang makan di sebuah meja.

“Satria? Eh, pak Satria?”

Satria mengangkat wajahnya. Sudah lama ia memperhatikan Sinah dan laki-laki tampan yang kemudian bergegas keluar setelah Sinah berpesan wanti-wanti. Tapi kemudian ia menundukkan wajahnya, pura-pura makan dengan lahap.

Dengan melenggang manis Sinah mendekat.

“Pak Satria, ternyata Anda makan siang di sini? Tahu begitu tadi aku tungguin dan kita bisa pergi bersama-sama.”

“Saya sedang  bertugas ke bank, tadi. Lalu ketika lewat tempat ini, saya ingat bahwa sebenarnya saya lapar. Jadi saya mampir.”

“Senang sekali melihat pak Satria makan. Biar saya temani ya,” katanya sambil melambaikan tangannya ke arah pelayan. Pelayan sudah tahu apa maksud majikan. Isyarat itu mengatakan bahwa sang majikan ingin makan dan makanan kesukaannya ...  mereka sudah sangat mengerti.

“Rumah makan ini akan dijual ya? Saya membaca tulisannya di depan,” kata Satria yang pura-pura bersikap manis.

“Iya Pak, saya sudah lelah mengurus usaha ini. Ada saingan yang menjatuhkan usaha saya, dan saya memilih mundur.”

“Lalu bu Mawar ingin menjadi karyawan pak Andra?”

“Ya, begitulah. Saya tinggal mengerjakan sesuatu, lalu mendapatkan gaji. Bukan berusaha mati-matian, bersaing, berhitung untung rugi, bukankah itu sangat melelahkan?”

“Berarti bu Mawar memang bukan pengusaha.”

“Benar, pengusaha itu sangat capek. Banyak pikiran. Kalau situasi seperti ini, saya benar-benar putus asa.”

Pelayan menghidangkan pesanan Sinah, lalu ia makan dengan lahap.

“Saya heran sampai sekarang belum menemukan pembeli yang cocok.”

“Harganya terlalu mahal, barangkali.”

“Kebanyakan bukan karena harga. Mereka mengatakan tempatnya kurang strategis. Iyalah, dulu ketika belum ada saingan, rumah makan ini sangat ramai, karena dekat perkantoran-perkantoran. Tapi sejak ada yang mendirikan rumah makan di sebelah sana, saya jadi malas melanjutkan usaha ini.  Kalau sampai akhir bulan belum juga laku, saya akan menutup saja rumah makan ini.”

“Kasihan karyawan-karyawannya. Mereka akan kehilangan mata pencaharian.”

“Anda kasihan kepada mereka, tapi tidak kasihan kepada aku.”

“Anda sudah kaya, tidak pantas dikasihani.”

Sinah terkekeh. Tapi ia senang bisa berbincang dengan laki-laki yang diimpikannya siang dan malam.

Satria bukan tak sadar saat Sinah terus mengawasinya, tapi ia pura-pura menikmati makanannya.

“Setelah ini saya mau ke toko pakaian. Pak Andra menyuruh saya berpakaian lebih baik. Dia tidak suka pakaian yang saya kenakan.”

“Lebih baik begitu.”

“Maukah pak Satria ikut bersama saya?”

“Tidak mungkin, saya kan sedang bekerja. Saya datang kemari karena kebetulan lewat setelah dari bank.”

“Nanti saya bilang pada pak Andra, kalau dia menegur Anda. Percayalah, Anda tidak akan kena tegur.”

“Bukan masalah kena tegur atau tidak. Saya hanya karyawan, harus mematuhi aturan. Sekarang saya sudah selesai,” katanya sambil membuka dompetnya.

“Eh jangan. Hari ini karena ketemu pemilik rumah makan, maka pak Satria tidak usah membayar. Gratis.”

“Tidak bisa begitu, saya harus membayar, sesuai ketentuan,” katanya sambil meletakkan selembar uang yang sekiranya cukup untuk membayar apa yang sudah dimakan dan diminumnya, lalu dia berdiri.

“Pak Satria, mengapa menolak kebaikan saya? Bukankah besok kita akan menjadi rekan kerja?”

Satria hanya tersenyum, tapi ia kemudian bergegas melangkah keluar. Ia sudah menemukan sesuatu yang kemudian dicatatnya. Laki-laki yang menemui Sinah, apakah dia pelaku penculikan itu? Dia pergi dengan sepeda motor. Dan Sinah berpesan agar jangan menggunakan sepeda motor. Dengan mobil?

Satria kembali ke kantor dengan masih saja mengotak atik segala kemungkinan yang terjadi.

***

Pagi harinya Sinah sudah sampai di kantor Andra, langsung memasuki ruang kantornya.

Andra menatapnya, dan tak mengucapkan apapun melihat Sinah sudah dengan mengenakan pakaian yang lebih santun.

“Bagaimana penampilan aku?” tanyanya sambil tersenyum manis.

“Kamu akan mulai hari ini juga?”

“Tentu saja Mas, dan aku minta, Mas memperkenalkan aku kepada semua karyawanmu, bahwa aku adalah karyawan baru di sini.”

“Tidak usah diperkenalkan. Mereka sudah tahu.”

“Mereka sudah tahu kalau aku istri Mas?”

“Bukan itu. Aku kan sudah bilang bahwa kamu aku ceraikan?”

“Tidak begitu, mengapa harus cerai? Aku akan lebih terhormat kalau menjadi istri kamu.”

“Aku sudah bilang kalau kamu kerja di sini, aku akan menceraikan kamu. Apa kamu lupa? Mulai detik ini kamu sudah bukan istriku. Aku sudah mengurusnya.”

Sinah diam, dulu dia sudah sanggup diceraikan, dan dia sudah senang bisa berdekatan dengan Satria.

“Aku ke ruang keuangan sekarang?”

“Hm,” hanya itu jawaban Andra.

Tapi sebenarnya Andra masih berpikir, bahwa tak cukup menceraikannya, karena mulut Sinah bisa sangat berbahaya. Ia selalu ingat saran Satria, bahwa yang terbaik adalah berterus terang kepada istri dan mertuanya. Ia sedang mengumpulkan keberaniannya.

***

Sinah melenggang dengan langkah dibuat-buat. Walau pakaiannya lebih santun tapi sepatu hak tingginya mengeluarkan ketukan yang menarik perhatian semua orang.

Begitu memasuki kantor keuangan, ia langsung menuju ke meja Satria, dimana Satria baru saja duduk di kursi kerjanya.

“Pak Satria, saya bawakan sarapan pagi untuk pak Satria,” katanya cukup keras dan itu menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan itu. Sontak semuanya menatap ke atas meja Satria, dimana sebuah rantang susun tiga terletak di sana.

“Bu Mawar, jangan melakukan hal seperti ini. Saya sudah sarapan dan tidak bisa makan lagi.”

“Tidak apa-apa pak Satria, bisa dimakan nanti siang, tidak akan basi kok.”

Satria memindahkan rantang itu ke meja kecil  di sampingnya. Sinah masih tersenyum, karena Satria tidak menolaknya. Tidak apa-apa di makan nanti siang, asalkan dia menerima pemberiannya.

“Bu Mawar. Sekarang mulailah bekerja.”

“Oh, tentu, apa yang harus saya kerjakan?”

“Almari di depan itu, saya lihat agak berantakan. Tolong bu Mawar merapikannya.”

“Apa? Aku disuruh merapikan almari? Lalu di mana meja kerja saya?” tanyanya dengan mata melotot tak senang.

“Di sudut itu adalah meja Anda, bu Mawar, dan saya diperintahkan pak Andra agar Anda merapikan isi almari itu dulu.”

“Keterlaluan!!” Sinah mengumpat, dan yang ada di ruangan itu menahan senyuman  mereka.

Ketika itu seorang OB masuk, membawa nampan beberapa gelas berisi minuman, yang ke mudian diletakkannya di setiap meja.

“Mas, meja yang di sudut itu meja bu Mawar, taruh minumannya di sana. Setelah itu Mas bawa rantang ini untuk sarapan ya?”

Mawar yang dengan kesal menuju ke arah almari dimana ia kemudian membukanya, menoleh dengan marah mendengar perkataan terakhir Satria.

***

Besok lagi ya.

 

MAWAR HITAM 41

  MAWAR HITAM  41 (Tien Kumalasari)   Pak Hasbi nyaris masuk ke dalam mobil, lalu berhenti ketika melihat Dewi menatap ke arah suara laki-la...