CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 46
(Tien Kumalasari)
Tangkil hanya mendengarkan sang bendoro yang asyik menelpon.
“Ada yang ingin aku katakan, Kangmas.”
“Ada apa? Sejak keluarga kamu mengecewakan aku, aku belum pernah berhubungan lagi dengan kamu. Ketemu di keratonpun kamu juga mengacuhkan aku, kan?”
“Sebenarnya bukan aku mengacuhkan, Kangmas, aku hanya sungkan karena mengecewakanmu.”
“Ya sudah, semuanya sudah lama berlalu. Ada apa menelpon?”
“Aku ingin bicara tentang Listyo.”
“Bicara apa lagi? Anakmu sudah menolak. Istrimu mengatakan kalau Dewi sudah pulang dan tetap akan menolak Listyo. Kalau dipaksakan lagi nanti pasti kabur lagi. Dasar gadis tak tahu adat. Bisa-bisanya anak priyayi kabur entah ke mana.”
“Maaf Kangmas, bukankah Kangmas sendiri mengatakan kalau semua sudah berlalu dan kita harus bisa menerimanya dengan legowo?”
“Tapi bukan berarti kamu bisa kembali menjodohkan Listyo dengan anakmu.”
“Bukan itu, bukankah Listyo sudah menemukan perempuan yang akan dijadikannya istri? Apa Kangmas sudah tahu tentang hal itu?”
“Kamu malah sudah tahu? Aku marah pada dia. Anak tak tahu diuntung Listyo itu. Apa kamu sudah tahu perempuan mana yang sudah janda dan punya anak dua, lalu anakku tergila-gila padanya? Aku yakin perempuan itu pasti memakai guna-guna agar Listyo jatuh cinta pada dia.”
“Aku bahkan sudah mengenal perempuan itu. Sangat mengenalnya.”
“Bagaimana kamu bisa mengenalnya? Jangan-jangan kamu juga pernah dipelet olehnya.”
“Kangmas tidak tahu ya, perempuan itu bekas selirku.”
“Apa?” teriakan Ranu membuat Adisoma sampai menjauhkan ponsel dari kupingnya karena tumenggung Ranu berteriak sangat keras.
“Itu benar.”
“Perempuan itu bekas selirmu?” kata Ranu, masih berteriak.
“Benar, dua orang anaknya adalah darah dagingku.”
“Ini gila. Benar-benar Listyo sudah gila. Pasti perempuan itu telah mengguna-gunai anakku.”
“Perempuan itu memang cantik, dan menarik. Tak perlu guna-guna untuk jatuh cinta pada dia.”
“Ya sudah, hentikan. Aku akan memanggilnya pulang. Kelakuan yang memalukan ini tidak bisa diteruskan. Aku tidak sudi memiliki menantu bekas selirmu.”
Ranu segera menutup ponselnya, pasti dengan amarah yang memuncak.
Adisoma menyimpan kembali ponselnya, bibirnya tersenyum puas. Ia yakin Listyo tak akan mendapat restu orang tuanya.
“Mohon maaf Den Mas, apakah Den Mas menceritakan tentang den Arum kepada den mas Ranu?”
“Tentu saja. Kamu kan sudah tahu bagaimana tadi kejadiannya. Gara-gara Arum, Listyo seperti tidak menghargaiku. Sama sekali tak ada hormat-hormatnya padaku yang masih terhitung pamannya. Biarpun yang kerabat kangmas Ranu itu istriku, tapi kan sama saja, aku ini tetap saja pamannya?”
“Sebenarnya memanas-manaskan suasana itu kan tidak akan membuat semuanya menjadi tenang. Maaf Den Mas, saya mengatakan karena saya sangat berharap Den Mas menjadi priyayi yang memegang teguh sifat ksatria. Menerima apa yang sudah menjadi takdir, dan_”
“Tangkil, apa kamu ingin aku memecatmu?”
“Mohon maaf.”
“Kamu itu hanya abdi. Abdi itu gedibal. Tidak punya hak untuk bersuara.”
“Den Mas …”
“Diaamm!”
“Saya melakukannya karena saya adalah abdi dan gedibal yang sangat menjaga kehormatan dan martabat bendoro saya.”
“Omong kosong apa kamu itu.”
“Apa Den Mas lupa bahwa saya selalu menjaga Den Mas? Ketika sabuk Den Mas tertinggal di kamar den Arum, ketika Den Mas secara sembunyi-sembunyi mencarikan rumah untuk den Arum, ketika Den Mas memukuli saya karena mengira saya berkhianat, dan saya tetap mengabdi. Apakah itu semua tidak menunjukkan bahwa saya sangat peduli kepada Den Mas? Tapi kalau memang semua itu tidak ada artinya bagi Den Mas, dan Den mas ingin memecat saya, saya pasrah. Mulai besok saya akan keluar dari ndalem Adisoma.”
Adisoma terkejut, Tangkil benar-benar akan meninggalkannya? Bukankah tadi dia hanya mengancam saja? Masa dia akan membiarkan Tangkil pergi, dimana Tangkil adalah abdi setia yang selalu membelanya? Dan apa yang diucapkannya dengan mencela tindakannya kepada tumenggung Ranu juga adalah ujud kepeduliannya kepadanya?
Adisoma menyandarkan tubuh dan kepalanya pada sandaran mobil. Ia yakin bahwa tak akan sanggup ditinggalkan Tangkil yang sudah berpuluh tahun mengabdi kepadanya dengan segala pengabdian dan kesetiaannya.
“Aku hanya bingung,” gumamnya pelan.
Tangkil hanya diam. Takut ucapannya akan menambah murka sang bendoro.
“Mengapa kamu diam Kil?”
Tangkil menoleh ke arah sang bendoro.
“Saya harus bagaimana Den Mas? Tadi Den Mas menyuruh saya diam …”
“Kamu mengejek aku kan? Karena kegagalanku? Iya kan?” bicara Adisoma semakin aneh menurut Tangkil. Tapi dia mana berani berkomentar?
“Kenapa diam? Aku menyuruh kamu bicara sekarang.”
“Den Mas itu sebenarnya gagal dalam hal apa? Maksud saya, menurut Den Mas sendiri, yang gagal itu dibagian mana?” Tangkil agak berani bicara.
“Entahlah. Aku merasa semuanya tidak baik-baik saja. Barangkali aku gagal dalam memelihara rumah tanggaku, hidupku. Kamu tahu, aku merasa hidupku ini seperti melayang tanpa pegangan. Kacau. Apa yang harus aku lakukan Tangkil? Katakan, aku menyuruhmu bicara.”
“Maaf Den Mas, menurut saya, Den Mas harus melakukan sesuatu yang pasti.”
“Pasti itu apa?”
“Pasti yang saya maksud adalah sesuatu yang seharusnya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Yang seharusnya Den Mas lakukan sekarang adalah memperbaiki rumah tangga yang rusak, yang tercerai berai.”
“Aku laki-laki Kil, masa aku harus mengemis belas kasihan istriku? Aku sudah mengatakan kalau aku tak akan menceraikannya. Apakah itu tidak cukup?”
“Untuk sebuah keinginan yang mulia, jangan lagi mengingat harga diri. Jangan berpegang pada kesombongan, mentang-mentang Den Mas adalah seorang laki-laki. Segala sesuatu yang ingin dicapai harus melalui sebuah pengorbanan.”
“Aku harus berkorban apa?”
“Korban perasaan.”
“Apa maksudmu?”
“Jangan Den Mas merasa tinggi, merasa menjadi laki-laki. Hilangkan rasa itu, demi terwujudnya sebuah keadaan yang baik, yang menciptakan ketenteraman dalam hidup. Kalau semua berpegang pada ke ‘aku’an, semua itu tidak akan terwujud.”
Adisoma terdiam. Sang abdi yang disebutnya sebagai gedibal itu bisa bicara sebagus itu? Hal yang tak pernah terpikirkan, sekarang diucapkan oleh seorang gedibal. Adisoma tidak membungkamnya dengan menyuruhnya diam. Justru dialah yang sekarang diam, mencoba merenung tentang kebenaran dari ucapan sang gedibal.
***
Mbok Manis masih menggendong Sekar. Untunglah Arum juga membawa bekal susu dalam kaleng dan botol, sehingga Sekar tidak rewel karena kelaparan. Bayi mungil itu sedang terlelap kekenyangan, sedangkan Aryo sudah beberapa saat lalu tidur di ranjang Saraswati.
Ketika mbok Manis akan menidurkan Sekar, Dewi memasuki ruangan, diikuti oleh Arum dan Listyo.
Dewi segera mendekati mbok Manis.
“Mbok, bayi ini adikku, bukan?” tanyanya sambil mengelus lembut pipi Sekar.
“Benar Den Ajeng, ini adik Den Ajeng.”
“Dia cantik.”
“Wajahnya mirip Den Ajeng.”
Dewi mencium pipinya, tapi kemudian ditegur oleh mbok Manis.
“Sebaiknya Den Ajeng cuci kaki tangan dulu, baru bisa menjamah bayi.”
“Harus begitu?”
Mbok Manis mengangguk, Dewi setengah berlari pergi ke kamar mandi.
“Mbok, Sekar tidak rewel?” tanya Arum.
“Tidak Den, sudah dua kali saya buatkan susu yang den Arum bawa.”
“Saya cuci kaki tangan dulu.”
“Den Arum tidak apa-apa?”
“Saya baik-baik saja,” katanya sambil berlalu.
“Saya akan menidurkannya di dekat den Aryo.”
Arum hanya mengangguk.
“Bibi mana?” tanya Listyo.
“Ada di kamar, sambil menidurkan den Sekar saya akan memberi tahu kalau den Listyo sudah datang.”
“Baiklah, aku tunggu di sini. Ini minuman utuh? Boleh aku minum?” tanya Listyo sambil meraih cangkir berisi minuman di atas meja.
“Masih utuh Den, nanti saya buatkan lagi setelah menidurkannya,” kata mbok Manis sambil berlalu.
***
Saraswati duduk di hadapan Listyo dan Arum, ketika Dewi menunggui Aryo dan Sekar yang terlelap di tempat tidurnya.
“Dewi senang sekali punya adik yang lucu-lucu, tampan dan cantik pula,” kata Saraswati dengan wajah berseri.
“Paman sudah pulang?”
“Pulang begitu saja, entah apa yang dipikirkannya. Tampaknya dia tak rela Arum bakal menjadi istri kamu.”
“Arum sudah bercerai.”
“Aku tahu, pamanmu juga tahu. Semoga ada yang bisa mengendapkan hatinya. Bagaimana keadaan Arum?”
“Saya baik, Den Ayu. Setelah infus habis saya minta pulang.”
“Kamu tidak boleh menyembunyikan rasa sakitmu, hanya karena memikirkan anak-anakmu.”
“Saya benar-benar baik, Den Ayu.”
“Itu, wajah Listyo juga masih sembab.”
“Tidak apa-apa Bibi, tadi sudah diolesi obat, nanti bengkaknya juga pasti hilang. Yang penting Arum baik-baik saja.”
“Maafkan pamanmu yang sedang gelap mata.”
“Saya bisa mengerti, Bibi.”
Tiba-tiba ponsel Listyo berdering.
“Dari kanjeng rama,” katanya sambil mengangkat ponsel.
“Ya, Kanjeng Rama … baiklah, besok saya pulang, ini masih di Jogya. Ini sedang di rumah bibi Saraswati. Baiklah.”
Rupanya Ranu ingin bicara dengan Saraswati, jadi Listyo segera mengulurkan ponselnya kepada bibinya.
“Ya, Kangmas,” sapa Saraswati sambil berdiri, dan menjauh dari Listyo dan Arum untuk menghindari perasaan tidak enak karena ia yakin sang kangmas Ranu akan bicara tentang hubungan Listyo dan Arum.
“Aku langsung ke pokok permasalahan saja ya. Beberapa waktu yang lalu aku kan nitip pesan sama kamu. Ini tentang Listyo. Kan aku sudah bilang, Listyo itu tergila-gila pada seorang janda, orang yang tidak punya derajat, dan punya dua anak pula. Itu kan tidak benar, itu kan melanggar tatanan yang ada pada keluarga kita? Karena itu aku kan minta pada kamu, supaya kamu mengingatkan Listyo, agar dia sadar bahwa jalan yang ditempuhnya itu salah. Oh ya, satu lagi … bukankah dia juga bekas selir suami kamu? Lalu apa jawabmu sekarang Diajeng?”
Saraswati diam, dia sedang berpikir, darimana Ranu tahu bahwa Arum adalah bekas selir Adisoma? Oo, ya … pasti Adisoma sendiri yang mengatakannya. Dia masih tidak terima bekas selirnya menjadi istri laki-laki yang masih terhitung keponakannya. Tiba-tiba rasa kesal kepada suaminya muncul kembali, setelah beberapa saat sebelumnya ia merasa iba melihat keadaannya yang seperti orang linglung.
“Rupanya kangmas Adisoma sudah mengatakan semuanya kepada Kangmas?”
“Suamimu mengerti apa yang harus dilakukannya. Dia juga pasti tidak terima kalau bekas selirnya menjadi istri keponakannya. Ini kan tidak benar, Diajeng. Kamu tahu kan maksudku? Bukan hanya karena perempuan itu bekas selir suami kamu, tapi juga karena dia itu perempuan yang tidak punya derajat. Aku emoh punya menantu orang kebanyakan, Diajeng.”
“Kangmas, aku mohon maaf. Cara berpikir Kangmas dan aku sekarang sudah berbeda. Bahwa derajat seseorang bukan terletak pada dari mana dia dilahirkan, tapi dari budi luhur dan hati mulia yang dimilikinya.”
“Kamu itu sedang ngelindur? Mengigau?”
“Aku bicara dari hatiku yang paling dalam. Perjalanan hidup yang aku lalui mengajarkan aku tentang banyak hal.”
“Jadi maksudnya kamu menyetujui hubungan Listyo dengan perempuan pidak pedarakan itu?”
“Cinta itu suci. Cinta itu tidak memilih. Aku hanya melihat bahwa dia wanita yang baik, dan pasti tidak akan mengecewakan, karena aku tahu semenjak dia mengabdi di rumahku kala itu. Kangmas Adisoma merusaknya, membuatnya menderita.”
“Sekali lagi aku akan bertanya kepadamu, apakah kamu mendukung hubungan yang memalukan itu?”
“Maaf Kangmas, kalau boleh aku bicara. Putra Kangmas hanya satu. Harapan orang tua adalah melihat anaknya bahagia, bukankah begitu?”
“Tentu saja. Kamu tidak usah menggurui aku.”
“Kalau begitu biarkanlah dia memilih jalan hidupnya, karena hanya itu yang membuatnya bahagia.”
“Saraswati! Kamu tidak berpihak kepadaku!” Ranu berteriak.
“Kalau Kangmas ingin Listyo bahagia, biarkanlah dia memilih jalan hidupnya. Listyo bukan anak kecil, dia tahu mana yang harus dilakukannya.”
Lalu Saraswati menutup ponselnya, membiarkan tumenggung Ranu yang pastinya mencak-mencak karena kata-katanya.
***
Arum dan anak-anaknya diminta oleh Saraswati agar menginap sehari lagi, mengingat Dewi yang begitu senang bercanda dengan dua anak kecil yang adalah adik-adiknya satu ayah.
Listyo kembali ke Solo seorang diri, karena ia harus menemui sang ayah yang memanggilnya untuk menghadap.
***
Listyo sudah siap jawaban tentang keinginannya memperistri Arum. Ia tak akan mundur, bukan karena tak menghormati sang ayahanda dan ibundanya, tapi karena dia ingin memperjuangkan cintanya.
“Kamu benar-benar bodoh! Kamu tidak bertindak dengan akal warasmu dengan melupakan semua tatanan yang ada. Kamu ingin mempermalukan keluarga. Iya kan?”
“Mohon Kanjeng Rama memaafkan Listyo. Ini adalah pilihan hidup Listyo.”
“Kamu itu terkena guna-guna! Perempuan rendahan itu telah mempergunakan kekuatan setan untuk meluluhkan hatimu!”
“Kanjeng Rama jangan menuduh yang bukan-bukan. Arum perempuan baik-baik. Dia tidak perlu memakai guna-guna untuk menundukkan setiap pria.”
“Kamu benar-benar kurangajar! Kamu berani menentang ayahandamu ini, kalau begitu lebih baik ….”
Tumenggung Ranu sudah mengangkat tongkat penopang tubuhnya untuk menghajar sang putra, tapi tiba-tiba terdengar teriakan.
“Hentikan!!”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteCeJeDePeeS_46 sudah hadir......
Ayo Listyo ... Perjuangkan cintamu.....🩷
Matur nuwun mas Kakek
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku jauh di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 46" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
🍁🍂🍁🍂🍁🍂🍁🍂
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_46
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🍁🍂🍁🍂🍁🍂🍁🍂
Aamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah terimakasih bunda tien
ReplyDeleteSami2 ibu Endah
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Aamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Wahh kerreen.... terima kasih mbu tien
ReplyDeleteSami2 pak Zimi
DeleteAlhamdulillah , terimakasih Bunda Tien, salam sehat, barokalloh aamiin YR'A
ReplyDeleteAamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Alhamdulillah, CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG (CJDPS) 46 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah , matursuwun Bu Tien, salam sehat, barokalloh Aamiin Ya robbal 'alamin
ReplyDeleteAamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 46 "sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah .... Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu sekeluarga dan bahagia... Aduhaaii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAfuhaii
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 46...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Mantab...wejangan nya Tangkil persis seperti Ki Lurah Semar yang selalu melindungi Bendoro nya..😁😁
Semoga Adisoma tersadar dari tidur lelap nya dan gantian membela Listyo yang akan di rangket oleh Ayahnda nya..🤭
Aamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah, ceritanya semakin menarik, tokoh2 protagonis seperti Saraswati, Listyo, Dewi, Satria, Maturnuwun Bu Tien, tetap ditunggu dng setia eps selanjutnya, sehat dan bahagia selalu bersama Kel tercinta....🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteAduhai
Alhamdulillah Cintaku Jauh di Pulau Seberang sudah tayang, terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteKalimat bijak justru keluar dari mulut seorang gedibal. Belum tentu 'orang terpandang' selalu berperilaku baik.
ReplyDeleteApakah ibunya Listyo justru membela anaknya? Kita tunggu besok lagi..
Salam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga aamiin
Aamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Ibu Listyo datang...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Benarkah?
DeleteSami2 Mas MERa
Mantab 👍❤️, seruuuu. Full penasaran
ReplyDeleteSemangat Listyo...,😁
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya, semakin membaik ya Pak Tom Widayat ,,🙏🥰
Aamiin Yaa Ronbbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Apakah ibunda yang datang membela Listyo? Hmm...🤔
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam bahagia.🙏🏻
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam bahagia