KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 13
(Tien Kumalasari)
Arumi heran melihat sikap Bachtiar yang kelihatan tidak suka. Ia mengira, Bachtiar tidak suka disusul-susul sampai ke tempat kerjanya.
“Barangkali ada yang sangat penting, sehingga dia menyusul ke tempat kerja,” kata Arumi sok tahu.
“Aku belum punya calon istri,” kata Bachtiar dingin.
“Lhoh, kalau begitu mengapa dia mengaku-ngaku?”
“Jangan hiraukan, dia kurang kerjaan. Tapi aku pamit dulu, mau ke proyek. Oh ya, aku sudah mau memulai membuat tandon-tandon air bersih di beberapa tempat, salah satunya tidak jauh dari sini. Kamu nanti tidak perlu ke sumber untuk mengambil air,” kata Bachtiar sambil tersenyum.
“Sekarangpun aku sudah tidak pernah mengambil air, mas Tiar bersusah payah membeli bergalon-galon air untuk kami.”
“Tidak apa-apa, harganya tidak mahal, dan aku lebih kuat dari kamu. Tidak berat kalau hanya mengusung beberapa galon dari mobil ke rumah ini,” katanya sambil berjalan keluar, lalu berpamit kepada mbok Truno dan pak Truno yang masih duduk di depan rumah.
“Bagaimana kakinya Pak? Sudah lebih baik kan?”
“Sudah, barangkali minggu depan saya sudah mau bekerja lagi.”
“Ada baiknya masih tetap dibalut, supaya benar-benar sudah pulih.”
“Kaki saya hanya keseleo, bukan patah. Barangkali sudah bisa dilepas, tapi nanti akan saya coba dulu.”
“Baiklah, sekarang saya permisi dulu.”
Arumi mengantarkan sampai Bachtiar masuk ke dalam mobil, menunggunya sampai mobil yang membawa laki-laki tampan itu berlalu.
“Tampaknya mas Tiar takut kalau sesungguhnya kaki bapak itu retak, makanya melarang untuk cepat-cepat dilepas,” kata Arumi sambil mendekati ayahnya.
“Masa sih retak? Hanya keseleo ketika orang-orang memukul aku, lalu aku terjatuh.”
“Bapak kan tidak mau di bawa ke rumah sakit, jadi tidak ketahuan, retak atau tidak.”
“Tadi pagi waktu simbok mengganti bebatnya, sepertinya baik-baik saja, aku pegang-pegang katanya sudah nggak terasa sakit,” kata mbok Truno.
“Memang nggak sakit kok, kan aku sudah bisa berjalan dengan baik, tidak terpincang-pincang.”
“Ya sudah, coba mulai besok tidak usah dibebat, kalau memang sudah baik ya nggak usah dibebat lagi.”
“Soalnya bapak tidak mau diperiksa ke rumah sakit, jadi semuanya hanya kira-kira,” omel Arumi.
“Yang penting kan sembuh,” kata pak Truno cemberut.
“Kata nak Tiar tadi, yang kemarin datang itu bukan calon istrinya lhoh,” kata mbok Truno mengalihkan pembicaraan.
“Bukan?”
“Katanya dia belum punya calon istri.”
“Kenapa wanita itu mengaku sebagai calon istri?”
“Mungkin dia yang ingin jadi calon istri, sedangkan nak Bachtiar tidak suka.”
“Katanya gadis itu cantik.”
“Suka itu ukurannya bukan hanya cantik. Barangkali sikapnya yang membuat nak Tiar tidak suka. Kata Arumi gadis itu tidak punya sopan santun.”
“Ya sudah, biarkan saja. Kita tidak usah ikut-ikutan menilai orang. Apalagi itu bukan urusan kita.”
“Hanya ngomong ala kadarnya saja. Memang bukan urusan kita.”
“Mbok, jadi suruhan belanja nggak?”
“Hanya beberapa bumbu saja.”
“Apa uangnya masih ada? Di saku celanaku sepertinya masih ada beberapa puluh ribu.”
“Masih ada kok. Sisa simbok menjual sayur kemarin,” kata mbok Truno sambil mengulurkan uang kepada Arumi.
***
Pagi hari itu bu Wirawan menemani suaminya duduk di teras sambil ngopi dan makan camilan. Luki masih ada di dalam kamarnya, memeluk guling dan tampaknya masih pulas. Rasa kecewa terhadap sikap Bachtiar membuatnya malas melakukan apapun. Ia juga tidak jalan-jalan pagi seperti biasanya.
Bu Wirawan mengerti, dan merasa kasihan kepada gadis pilihannya untuk putra tunggalnya.
“Bachtiar kebangetan. Gadis secantik Luki ditolak, malah memilih gadis desa yang masih ingusan,” omelnya.
“Yang menjalani itu dia, jadi biarkan dia memilih mana yang terbaik untuk hidupnya. Ketika anak kita sudah dewasa, kita tidak bisa terlalu mengaturnya seperti ketika dia masih kanak-kanak,” jawab pak Wirawan sambil meraih koran baru yang belum lama diletakkan di mejanya.
“Bagaimana kalau pilihan itu keliru? Coba bapak bayangkan, yang dipilih itu gadis dusun, miskin, masih bocah pula.”
“Bagaimana ibu bisa tahu?”
“Luki sudah ke sana, sudah ketemu gadis itu, melihat rumahnya, keluarganya.”
“Mengapa tiba-tiba Luki menemui gadis itu? Dari mana asal mulanya dia tahu bahwa Bachtiar punya hubungan dengan seseorang?”
“Kemarin itu Luki menyusul ke tempat kerjanya, diberi tahu kalau Bachtiar ada di rumah seorang gadis. Luki mencarinya kesana, tidak ketemu Tiar, tapi ketemu gadis itu. Karena itu Luki tahu dengan gadis seperti apa Tiar berhubungan. Ibu sangat kecewa, ibu tidak sudi punya menantu gadis itu.”
“Tidak pantas Luki menyusul ke tempat kerja Bachtiar.”
“Hanya ingin tahu, apa tidak boleh?”
“Menyusul ke tempat kerja itu tidak pantas.”
“Mengapa Bapak menilai tentang kepergian Luki ke sana? Gadis yang berhubungan dengan Tiar itu yang harus Bapak pikirkan.”
“Tiar bukan anak kecil. Kalau dia memilih gadis desa, pasti ada sesuatu pada gadis itu yang menarik hatinya.”
“Jadi Bapak setuju punya menantu gadis itu?”
“Bagaimana bapak bisa mengatakan setuju atau tidak? Bachtiar tidak mengatakan apa-apa. Siapa tahu Luki hanya salah terima.”
“Bachtiar tidak menyangkalnya ketika ibu bicara. Kemungkinannya adalah benar.”
“Baru kemungkinannya. Dan kalaupun itu benar, kita lihat dulu bagaimana gadis itu, jangan menilai darimana dia berasal. Seorang istri harus baik, harus bisa menjadi pendamping yang benar-benar pantas dan bisa mengerti tentang suaminya. Seperti ibu ini lhoh,” kata pak Wirawan bermaksud meredakan kekesalan hati sang istri.
“Aku memang gadis desa, tapi orang tuaku kaya. Sawahnya berhektar-hektar,” kata bu Wirawan menyombongkan dirinya.
“Apa kekayaan itu yang membuat ibu bahagia?”
Bu Wirawan terdiam. Almarhum ayahnya punya beberapa istri, dan harta yang dimiliki habis untuk menghidupi istri-istrinya. Bu Wirawan berkecukupan karena menjadi istri pak Wirawan yang seorang pengusaha. Dulu, ia sangat menderita karena sang ibu selalu menangis ketika ayahnya punya istri baru lagi dan lagi. Sang ibu meninggal karena kesedihan demi kesedihan yang menderanya. Apakah ia bahagia? Memang tidak. Sang suami mengetahui hal itu. Ia jatuh cinta ketika melihat seorang gadis bernama Umiyatun, menderita karena kehilangan orang yang sangat dicintainya. Umiyatun yang sekarang kaya, dan lupa pada asal usulnya. Lupa bahwa harta bisa menjadikan orang sengsara.
“Mengapa diam?” tanya pak Wirawan yang mengetahui apa yang dipikirkan istrinya.
“Tapi manusia kan boleh punya keinginan. Bukankah cita-cita itu harus tinggi setinggi langit?” sangkalnya.
“Manusia boleh punya keinginan, tapi Allah Yang Maha Kuasa yang menentukan. Ibu tahu, mengapa bapak sering memberikan santunan kepada anak-anak yatim piatu, memberikan bantuan kepada para duafa? Karena bapak tahu bahwa harta itu tidak akan kita bawa mati, kecuali kebaikan yang kita tanam semasa hidup. Karena bapak tahu bahwa harta yang kita miliki bukan sesuatu yang membuat kita tinggi dan terhormat, kecuali perilaku yang baik dan mulia. Jadi jangan pernah merendahkan sebuah kemiskinan, menganggap hina kepada orang yang tidak punya derajat tinggi.”
Umiyatun yang sudah menjadi nyonya Wirawan itu terdiam. Apakah dia bisa mengerti apa yang dikatakan suaminya? Entahlah. Dia kemudian berdiri dan mengetuk pintu kamar Luki.
Ia membukanya karena pintu tidak terkunci. Dilihatnya Luki masih meringkuk memeluk guling.
“Luki,” panggilnya pelan.
Luki menggeliat.
“Sudah siang, ayuk sarapan. Bapak sudah mau bersiap ke kantornya.”
Luki membuka matanya.
“Luki sedang bermimpi bagus,” gumamnya sambil tersenyum, lalu bangkit.
“Oh ya? Mimpi apa sih?”
“Mimpi menikah sama Bachtiar.”
“Hadeeew, mimpi menikah itu buruk. Bangun dan meludah tiga kali, supaya mimpi buruk tidak menjadi nyata.”
“Menikah bukan buruk, kan bu?”
“Kalau beneran menikah itu baik, tapi kalau hanya mimpi? Cepat mandi, kami tunggu di ruang makan,” kata bu Wirawan sambil keluar dari kamar.
“Luki nanti sarapan sendiri saja Bu,” katanya tanpa turun dari tempat tidur.
Luki tersenyum sendiri. Mimpinya benar-benar indah, seperti nyata. Menikah dengan pria yang diimpikannya. Dalam mimpi itu kelihatan sekali Bachtiar sangat mencintainya, memeluknya tanpa melepaskannya sedikitpun. Sayang kemudian bu Wirawan membangunkannya.
Tapi kemudian wajah gadis lugu itu melintas, wajahnya berubah layu. Ia kembali merebahkan tubuhnya dengan lesu.
“Bagaimana caranya bisa menjatuhkan hatimu?”
***
Arumi sedang berjalan ke arah pasar, ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Arumi terkejut, ketika menoleh, dilihatnya Wahyuni tersenyum kepadanya.
“Mbak Yuni, aku kira siapa?”
“Mau ke mana?”
“Ke pasar. Mbak Yuni mau ke mana?”
“Ke pasar juga. Sekarang aku mau membantu bapak di toko.”
Arumi heran, sikap Wahyuni sangat baik. Tapi ia masih ragu, apakah Wahyuni hanya berpura-pura karena merasa bersalah pada dirinya?
“Biasanya yang ada di toko itu kan mas Sutris?” tanya Arumi.
"Sutris sedang sakit.”
“Sakit?”
“Iya. Tadi pagi badannya panas sekali.”
“Kasihan.”
“Dia itu terlalu banyak pikiran,” kata Wahyuni. Ia ingin mengatakan bahwa Sutris tergila-gila pada dirinya, tapi diurungkannya. Ia mencoba menjalani sikap baik kepada semua orang, seperti dikatakan oleh ibunya semalam. Karena itulah dia tak ingin membuat Arumi terganggu.
“Memangnya apa yang dipikirkan?”
“Entahlah. Terlalu bekerja keras membantu bapak, barangkali.”
“Pengusaha itu harus banyak berpikir hingga kecapekan ya Mbak.”
“Iya. Barangkali.”
“Semoga segera sembuh.”
“Kamu mau belanja apa? Bukankah kemarin lik Truno menjual sayuran ke pasar?”
“Simbok lupa beli bumbu-bumbu. Jadi aku hanya beli bumbu saja.”
“Beli di tokoku saja,” ajak Wahyuni.
“Memangnya di sana menjual bumbu-bumbu?”
“Kamu belum pernah mampir ke toko bapakku, jadi tidak tahu apa saja yang dijual. Dari kebutuhan rumah sampai kebutuhan dapur semuanya ada. Ayuk, kamu harus melihatnya, nanti aku kasih murah.”
Arumi terpaksa menurut. Ia masuk ke toko pak Carik yang sudah buka, agak segan melihat pak Carik duduk di sana.
“Kok baru datang? Bapak mau mengambil barang di kota,” tegur pak Carik tanpa memandang Arumi. Tapi Arumi berusaha bersikap baik. Ia menyapa pak Carik dengan santun.
“Selamat pagi Pak Carik.”
“Kamu ngapain datang kemari?” jawaban pak Carik justru membuatnya sedikit tersinggung.
“Arumi mau belanja bumbu. Ya sudah, kalau Bapak mau pergi, pergi saja.”
Pak Carik tidak menjawab, ia berlalu begitu saja.
“Masuk saja, jangan sungkan,” kata Wahyuni ramah.
Arumi masih saja heran akan sikap Wahyuni yang sangat baik. Tapi Arumi bersyukur, dan berharap semua itu bukan hanya berpura-pura.
“Kamu butuh bumbu apa? Merica, kemiri, bawang merah, bawang putih, minyak goreng?”
“Aku cuma beli sedikit-sedikit, apa boleh?”
“Boleh saja, suka-suka kamu.”
“Bawang merah, bawang putih, merica, seribuan, boleh?”
“Boleh, tungguin. Duduk saja Rumi, aku sendiri yang melayani.”
“Minyak goreng tiga ribu ya.”
“Iya, apa lagi?”
Tak ada sikap merendahkan pada Wahyuni, ketika Arumi hanya beli beberapa rupiah. Ia melayaninya dengan ramah dan baik.
Tiba-tiba ia berteriak.
“Mboook, beli mboook.”
Arumi menoleh, rupanya Wahyuni memanggil seorang penjual grontol, jagung pipil yang di rebus dan dimakan bersama kelapa.
“Minta dibungkus tiga, empat dipincuk saja ya Mbok, yang tiga bungkus dahulukan,” katanya kepada penjual grontol.
“Baik.”
Arumi sudah cukup belanjanya, ia mengulurkan uang pas sebanyak belanjaannya, dan Wahyuni menyerahkanya sudah dalam bungkusan keresek.
“Tapi tunggu dulu Rumi,” katanya sambil keluar dan menghampiri penjual grontol.
“Ini untuk kamu, tiga bungkus sama untuk bapak dan simbokmu," katanya kepada Arumi yang sudah keluar lebih dulu.
“Lhoh, ini harganya berapa? Uangku ….”
“Ini kamu tidak usah bayar.”
“Lhoh ….”
“Sudah, bawa saja,” katanya sambil memasukkan ketiga bungkus grontol ke dalam keresek.
“Ya ampun Mbak, terima kasih ya.”
“Ini jajanan untuk sahabatku,” kata Wahyuni sambil tersenyum.
Arumi berlalu dengan perasaan heran, atas perubahan sikap Wahyuni. Arumi tidak tahu, bahwa Wahyuni sedang menjalankan amanah sang ibu untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, dan dia sedang memulainya.
Perkataan ‘jajanan untuk sahabatku’ sangat menyentuh hati Arumi.
***
Wahyuni duduk di depan toko, membiarkan para petugas toko melayani pembeli. Ia sedang merasakan sesuatu yang lain pada perasaannya. Berbuat baik dan bersikap manis itu ternyata nikmat. Ia senang bisa membuat orang lain senang, ia juga senang membelikan sepincuk grontol pada para pegawai ayahnya. Hal yang belum pernah dilakukannya.
“Rokok!”
Wahyuni terkejut, dan lamunannya menjadi buyar. Suyono, anak pak lurah, sedang mengulurkan uang untuk membeli rokok.
“Merokok jangan banyak-banyak lho Mas, bisa merusak paru-paru,” kata Wahyuni sambil tersenyum dan mengulurkan rokok ke hadapan Suyono.
Suyono heran, Wahyuni bisa bersikap manis. Ditatapnya wajahnya, tidak jelek-jelek amat kok, ada juga manisnya kalau dia tersenyum. Lalu Suyono memarahi dirinya sendiri, mengapa tiba-tiba menaruh perhatian pada anak gadis pak Carik yang semula tak pernah diacuhkannya.
***
Besok lagi ya.
ππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
KaBeTeeS_13 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaππ¦
ππππππππ
Selamat jeng Sari, mendahui Yantie diposisi kedua dan disusul nTe Nuning dibelakangnya, baru kemudian Kakek Habi.......
DeleteHehehe... Pas mbuka eh ada lanjutannya, lsg deh komen... ππ
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Yrs
ReplyDeleteYess
DeleteYes
ReplyDeleteYess
Deleteπ΄π·πππππ·π΄
ReplyDelete***************************
Alhamdulillah, KaBeTeeS_13 sudah tayang.
Terima kasih
Bu Tien, tetap berkarya.
Wow.... Tiba-tiba Wahyuni bersikap baik kpd Arumi, jangan-jangan.....
***************************
π΄π·πππππ·π΄
Nuwun mas Kakek
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteSuwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Maturnuwun Bu Tien ... Semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillah... matur nuwun bunda Tien, smg sehat2 terus
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Maturnuwun bu Tien, cerbung kesayangan sdh tayang. Salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteSalam sehat dan selalu aduhai aduhai
Matur suwun
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH~13 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Semoga Wahyuni tetap berbuat baik ya ππ€
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Cieee... Suyono jath cinta sama wahyuni, itulah buah dari kebaikan yg dijalankan wahyuni
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Engkas
DeleteKalau benar Wahyuni menjadi baik, bisa loh berjodoh dengan anak pak lurah.
ReplyDeleteTapi Luki sepertinya tidak ada yang menuntun. Kacian dia, bisa patah hati.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Wah wah...cepat sekali Wahyuni berubah baik ya, syukurlah...kasihan juga sih peran antagonis kalau kelamaan ga disukai...π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...Salam sehat.ππ»
Sami2
DeleteSalam sehat juga ibu Nana
Matur nuwun ibu ππ»
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah Arumi datang ... menina bobo-kan cucu dulu jd telat .. Syukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
ReplyDeleteSami2 jeng Susi
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 13* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 13 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Sip...Wahyuni memulai kehidupan babak baru, pitutur dari Ibu nya bisa cemanthel, tdk masuk kuping kanan...lalu..keluar kuping kiri...adalah Suyono anak pak Lurah yng jadi tertarik dengan senyuman nya Wahyuni..ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya yg lancar
Semoga bu tien selalu sehat² n dimudahkan dlm segala urusan
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah "Ketika Bulan Tinggal Separuh-13" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Terima kasih bu Tien ... K B T S ke 13 sdh tayang ... Semangat dan sehat selalu bu Tien & kelrg ... Salam Aduhai
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Enny
Aduhai deh
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam hangat....semoga sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDelete