Thursday, November 7, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 06

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  06

(Tien Kumalasari)

 

Pak Truno memang bertubuh gagah dan berotot, sekali memukul, salah seorang teman bertaninya tersungkur. Tapi ia kemudian dikeroyok oleh yang lainnya, yang tidak terima temannya dipukul. Pak Truno roboh ketanah berlumpur, dengan wajah matang biru. Untunglah seseorang kemudian menghentikannya.

“Sudah … sudah … cukup, nanti kalau dia mati bisa jadi perkara.”

Ketika itu, dari jauh Arumi datang membawa rantang. Ia masih berada di pinggir jalan. Ia melihat orang-orang berkerumun. Lalu ketika hampir dekat, seseorang yang kebetulan bersimpangan di jalan mengatakan sesuatu yang mengejutkannya.

“Rumi, lihat. Akibat kelakuanmu, bapakmu hampir mati,” katanya sambil berlalu.

Arumi terkejut bukan alang kepalang. Rantang yang dipegangnya terlempar ke jalan ketika kakinya tersandung batu. Ia memang tidak terjatuh, tapi rantang dan isinya terserak di jalan dan Arumi tidak memperhatikannya.

Ia berlari ketengah sawah, sambil berteriak-teriak.

“Bapaaak, bapaaaak.”

Orang-orang sudah pada menyingkir, Arumi melihat ayahnya bersandar di sebuah batu dengan wajah lebam dan kotor berlumpur.

“Pak, ada apa ini? Mereka memukuli Bapak? Kenapa?” Arumi meraih tempat minum yang pagi tadi dibawa sang ayah, lalu mempergunakannya untuk membersihkan wajah ayahnya. Pak Truno meringis kesakitan, karena ada luka menganga yang terasa perih.

“Mengapa Pak? Bapak bertengkar dengan mereka?”

“Mereka main keroyokan. Coba berani satu lawan satu. Aku hajar mereka semuanya,” geramnya.

“Sebenarnya ada apa? Biasanya baik-baik saja kan?”

“Mereka menghina kita. Merendahkan kamu,” katanya sambil terengah engah.

“Menghina bagaimana? Kita memang orang miskin, tidak apa-apa kalau ada yang menghina kita. Biarkan saja. Mengapa Bapak meladeninya?”

“Ini bukan mereka menghina kemiskinan kita. Ini masalah harga diri. Ayo kita pulang,” katanya sambil bangkit.

“Arumi tidak mengerti.”

“Mereka mengira aku telah menjual kamu.”

“Apa?”

Pak Truno ingin bangkit, tapi kakinya sakit sekali. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya ke pematang sawah.

“Gara-gara … kamu naik mobil waktu itu.”

“Ini seperti yang dikatakan Sutris waktu itu?”

“Benar, dan berita itu sudah tersebar, bahwa aku menjual anakku pada orang kaya bermobil.”

“Ya Tuhan.”

Arumi merasa panik, orang-orang di sekitar tempat itu telah pergi, sedangkan ayahnya tak kuat berdiri.

“Bapak suntik di rumah pak mantri saja.”

“Tidak usah, biarkan. Paling-paling pak Mantri juga sudah mendengar berita itu, nanti dia pasti mengatakan hal yang membuatku marah lagi. Bantu bapak, kita jalan pelan-pelan.”

"Sebentar Pak, Rumi mengambil pucuk daun lamtoro itu dulu, untuk mengobati luka bapak. Bapak rupanya juga terkilir, ada daun sligi di dekat sana, sebentar Pak, sekalian pulang, sekalian Arumi bawa daun-daun itu, biar langsung bisa mengobati luka Bapak,” kata Arumi sambil setengah berlari pergi ke kebun sebelah. Ada pohon lamtoro, yang kemudian Arumi memetik daunnya yang masih muda. Ia menggenggamnya, lalu mencari daun sligi  di sekitar tempat itu.

Seorang laki-laki muda yang rupanya pemilik kebun itu mendekat.

“Kamu mencari apa, Rumi?”

“Mas Mardi, maaf aku mengambil daun lamtoro muda tanpa bilang terlebih dulu.”

“Untuk apa, daun lamtoro muda ini?”

“Bapak terluka dikeroyok orang. Apa di sini ada daun sligi ya Mas?”

“Itu, yang di pojok itu daun sligi. Yang di bawah pohon asam.”

Arumi mendekat, lalu mengambilnya beberapa tangkai.

“Aku punya kantong plastik nih, tadinya mau aku pakai untuk wadah pakan burung. Tempatkan saja daun-daun itu di sini, supaya tidak berceceran di jalan.”

“Terima kasih ya Mas.”

“Mengapa bapakmu dikeroyok orang?”

“Bertengkar, karena bapak sakit hati,” kata Arumi sambil berjalan kembali ke tampat bapaknya menunggu. Mardi mengikutinya.

Sambil berjalan Arumi bercerita. Mardi yang rumahnya di desa sebelah tidak pernah atau belum mendengar berita itu. Ia mengenal Arumi karena Arumi setiap hari mengirim ayahnya makan, dan Mardi sedang mencari ulat untuk makanan burungnya.

“Keterlaluan mereka. Tidak tahu yang sebenarnya, sudah menyebarkan berita seperti itu.”

“Lha iya Mas, apa Mas juga percaya sama berita itu?”

“Kamu gadis baik dan sederhana, mana mungkin melakukan hal seperti itu?”

“Terima kasih Mas, tapi nanti setelah merawat bapak, aku mau ke tempat pak Lurah. Aku harus bisa membersihkan namaku dan nama orang tuaku.”

“Nanti aku antarkan kamu, Rumi.”

“Tidak usah Mas, rumahmu kan jauh.”

“Tidak apa-apa.”

Lalu mereka sudah sampai di tempat di mana pak Truno bersandar dengan mata terpejam.

“Pak, ini daun obatnya sudah dapat.”

“Ayo pulang,” kata pak Truno sambil mencoba berdiri, tapi terasa berat. Kaki kanannya sakit sekali. Mungkin keseleo.

“Mari saya bantu, pak Truno.”

“Mardi? Kok kamu ada di sini?”

“Iya, Arumi mengambil daun lamtoro dan daun sligi di kebun dekat rumah, saya kebetulan melihatnya,” kata Mardi sambil membantu pak Truno berdiri.

Akhirnya sambil meringis kesakitan, pak Truno bisa berdiri. Dengan bantuan Mardi, pak Truno bisa melangkah pelan.

Sementara itu Bachtiar yang siang itu melewati jalan di dekat persawahan, terkejut ketika melihat rantang tergeletak di jalan, dan ada nasi beserta lauknya berserakan. Bachtiar mengenali rantang itu.

“Bukankah itu rantang Arumi? Mengapa dibiarkan tergeletak di jalan?”

Bachtiar menghentikan mobilnya, lalu turun ke jalan. Ia memungut rantang itu, lalu menoleh ke arah persawahan. Ia terkejut, melihat pak Truno berjalan dengan dipapah seorang laki-laki dan Arumi di kiri kanannya.

Bergegas Bachtiar mendekat, tak peduli sepatunya menginjak tanah berlumpur, karena belum lama para petani mengairi sawah dan membasahi pematangnya juga.

“Arumi!” teriaknya.

Arumi melihat Bachtiar bergegas mendekati.

“Mas, di situ saja, licin di sini.”

Tapi Bachtiar terus melangkah. Tanah di pematang memang licin, pada suatu saat dia kehilangan keseimbangan dan terperosok ke area persawahan yang benar-benar berujud lumpur.

“Maaas!” Arumi berteriak.

Arumi melepaskan pegangan di lengan ayahnya, lalu membantu Bachtiar berdiri.

“Tidak apa-apa, aku tidak apa-apa. Kenapa bapak? Apa yang terjadi?” katanya sambil berdiri, lalu mendekati pak Truno. Melihat wajahnya lebam dan ada beberapa luka di sana, Bachtiar merasa miris.

Ia segera mendekati pak Truno, lalu menggendongnya, tapi melalui pematang yang agak lebar dan kering. Agak lebih jauh, tapi dia bisa berjalan cepat. Tadi Mardi memilih jalan sempit, maksudnya agak lebih cepat sampai ke jalan.

Arumi terbelalak melihat ayahnya dalam gendongan Bachtiar. Ia dan Mardi mengikutinya,

“Kita bawa bapak ke rumah sakit,” kata Bachtiar sambil memasukkan pak Truno ke dalam mobilnya.

“Tidak, aku tidak mau,” kata pak Truno.

“Bapak terluka, harus segera dibawa ke dokter.”

“Tidak. Kalau memang mau menolongku, bawa aku ke rumah saja.”

“Mas, selamanya bapak tidak pernah mau ke dokter, tolong antarkan pulang saja, aku sudah membawa daun obat untuk mengobatinya,” kata Arumi.

“Tolong, bawa pulang,” kata pak Truno lagi.

Bachtiar tak bisa memaksanya. Nanti malah dia berteriak-teriak di jalan, bagaimana? Jadi dia lebih baik mengantarkannya pulang. Kalau terpaksa dia akan membawa dokter saja nanti, ke rumah pak Truno.

“Arumi, sudah ada yang menolong, aku pulang dulu,” kata Mardi.

“Ya Mas, terima kasih ya,” kata Arumi.

Bachtiar membawa pak Truno pulang, dan mendengarkan cerita pak Truno tentang kejadian yang menimpanya.

Bachtiar sangat menyesal tidak segera bertindak ketika kemarin mendengar Suyono mengoceh tentang Arumi.

“Besok aku mau ke kelurahan, nama keluargaku harus dibersihkan,” kata Arumi.

“Nanti aku akan mengurusnya. Aku juga merasa bersalah,” kata Bachtiar.

“Oh, baiklah,” kata Arumi sedikit merasa lega.

“Kamu tadi bilang daun obat untuk mengobati itu apa?” tanya Bachtiar.

“Ini, daun pucuk lamtoro, nanti dihaluskan, ditempelkan di lukanya bapak. Yang satunya daun sligi, untuk kaki bapak yang keseleo.”

“Daun lamtoro itu apa?”

“Itu lho Mas, daun petai cina, di sini namanya lamtoro.”

“Oh. Tapi aku khawatir, kalau nanti lukanya malah jadi infeksi.”

“Orang desa jarang ke dokter Mas. Ini obat bagus kok.”

“Besok aku panggil dokter saja, biar datang ke rumah untuk memeriksa luka bapak.”

“Jangan Mas. Nggak usah. Nanti bapak malah rewel.”

”Iya, jangan macam-macam Nak. Nanti keterusan, sedikit-sedikit dokter.”

Bachtiar menghela napas panjang. Bagaimanapun ia merasa khawatir. Ia bukan penduduk desa itu yang begitu percaya pada daun obat. Kalau sakit, ya dokter yang bisa mengobati, bukan daun lamtoro atau daun sligi.

Sesampai di rumah, Bachtiar kembali menggendong pak Truno, lalu dibaringkannya di balai-balai.

Mbok Truno tentu saja terkejut melihat keadaan suaminya. Ia segera berteriak panik, dan bingung harus berbuat apa.

“Ada apa ini? Kenapa bapakmu ini Arumi?”

“Nanti saja ceritanya Mbok, tolong ganti baju bapak dulu, Arumi akan mengobati luka bapak, ini sudah ada daun lamtoro muda dan daun sligi."

Mbok Truno segera sibuk mengganti baju suaminya. Bachtiar mengambil sekotak tissue di mobilnya, juga ada tissue basah, yang diberikannya kepada mbok Truno untuk membersihkan luka dan tangan kaki pak Truno yang kotor terkena lumpur.

Tak lama kemudian Arumi sudah datang membawa dua mangkuk berisi tumbukan kedua daun yang dibawanya.

“Ini Mbok,” kata Arumi.

Mbok Truno sudah membersihkan tubuh pak Truno, lalu membalurkan kedua daun obat itu di tempat yang semestinya. Kelihatannya keluarga itu sudah terbiasa mengobati luka, dan mengerti bagaimana cara membubuhkan daun sligi di kaki pak Truno yang kelihatan agak bengkak, lalu membungkusnya dengan kain bersih.

Bachtiar merasa ngeri. Begitu sederhana, benarkah bisa sembuh?

“Mbok, tadi Bapak belum sempat makan, aduh, rantangnya?” kata Arumi yang tiba-tiba teringat bahwa rantangnya terjatuh di jalan. Tapi dia terkejut ketika Bachtiar lari ke mobilnya dan kembali dengan membawa rantang yang telah kosong.

“Mas kok bisa nemu rantang ini?”

“Aku tahu kalau sesuatu terjadi, karena melihat rantang tergeletak di jalan.”

“Ya ampun Mas, terima kasih ya Mas.”

Pak Truno tampak lebih tenang. Pengobatan tradisional yang mencengangkan itu penyebabnya.

“Tidak perih Pak?” tanya Bachtiar.

“Adem rasanya.”

Mbok Truno mengambilkan makan dan minum untuk suaminya, sementara Bachtiar berpamit untuk pergi ke balai desa.

Sambil menyuapi sang suami itu mbok Truno mendengarkan apa yang terjadi, dan ikut merasa geram.

“Siapa sebenarnya yang menyebarkan berita bohong itu?” geramnya.

“Kalau saja berani satu lawan satu, aku habisi mereka semua,” kata pak Truno tiba-tiba.

“Eeh, Bapak itu sudah tua, jangan suka berantem. Harusnya kan bisa toh Pak, semuanya diselesaikan dengan baik-baik?”

“Enak saja kamu ngomong. Panas hatiku mendengar kicau murahan itu. Dasar pengecut, beraninya keroyokan.”

“Sudah, sudah Pak, habiskan dulu makannya, jangan marah-marah lagi.”

“Makannya sudah, bibirku sakit. Lihat nih, luka kan?”

“Di dapur ada madu sedikit, nanti diolesi madu kan sembuh,” kata mbok Truno.

***

Bachtiar datang ke Balai Desa, ada pak Lurah yang menyambutnya dengan tergopoh-gopoh, karena Bachtiar dikenal sebagai pemilik proyek pasar yang sedang dibangun, dan akan dijual dengan harga murah kepada para pedagang yang semula menempati tempat yang kumuh dan kurang memadai.

“Silakan pak Bachtiar, maaf kami tidak menyambutnya dengan semestinya, karena pak Bachtiar tidak mengatakan sebelumnya bahwa akan datang ke Balai Desa.”

“Tidak apa-apa, mengapa harus disambut, seperti pejabat saja, saya kan orang biasa Pak,” kata Bachtiar merendah.

“Ya tidak Pak, bagi kami, pak Bachtiar adalah tamu kami yang luar biasa. Baiklah, silakan masuk,” kata pak Lurah ramah.

Dan Bachtiarpun duduk, ditemui oleh pak Lurah di kamar tamunya yang sederhana.

Ketika itu, tanpa disangka, Wahyuni datang ke Balai Desa untuk mencari ayahnya.

Tapi ia tertegun, ketika di halaman Balai Desa itu ada mobil hitam yang dikenalnya.

“Ini kan mobil yang membawa Arumi itu?” teriaknya, menarik perhatian para perangkat desa, karena masalah Arumi sedang hangat dibicarakan.

“Apa kamu bilang? Ini mobil pak Bachtiar, bos bangunan pasar yang sedang dibangun,” kata salah seorang perangkat.

“Tapi mobil ini yang saya lihat membawa Arumi waktu itu,” teriaknya tak mau kalah.

“Jangan ngawur. Mobil seperti itu banyak di mana-mana.”

“Tapi aku hafal sekali, bukan nomor mobilnya, tapi gambar garuda di pojok kanan, dan ada tulisan Arab ditengah-tengahnya. Jelas ini yang membawa Arumi.

Mendengar ada yang menyebut Arumi, semuanya berhamburan keluar, bahkan Bachtiar yang sedang berbicara sebentar dengan pak Lurah juga ikut keluar.

***

Besok lagi ya.

50 comments:

  1. ๐ŸŒท๐ŸŒบ๐Ÿฅ€๐ŸŒน๐ŸŒท๐ŸŒบ๐Ÿฅ€๐ŸŒน
    Alhamdulillah ๐Ÿ™๐Ÿคฉ
    KaBeTeeS_06 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai๐Ÿ˜๐Ÿฆ‹
    ๐ŸŒท๐ŸŒบ๐Ÿฅ€๐ŸŒน๐ŸŒท๐ŸŒบ๐Ÿฅ€๐ŸŒน

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Allahumma Aamiin
      Nuwun jeng Sari
      Aduhai selalu

      Delete
  2. ๐ŸŒœ๐ŸŒด๐ŸŒœ๐ŸŒน๐ŸŒ›๐ŸŒน๐ŸŒ›๐ŸŒด
    ๐ŸŒœ๐ŸŒน๐ŸŒ›๐ŸŒด

    Alhamdulillah....,
    Terimq kasih Bu Tien yang baik hati.
    KaeRTeeS_07 sdh ditayangkan.

    Bagaimana nasib Luki? Yuk kita simak bersama. ๐Ÿค“๐Ÿค“

    ๐ŸŒœ๐ŸŒด๐ŸŒœ๐ŸŒน๐ŸŒ›๐ŸŒน๐ŸŒ›๐ŸŒด
    ๐ŸŒœ๐ŸŒน๐ŸŒ›๐ŸŒด

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  4. Nuwun mbak Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun sami2 ibu Kharisma

      Delete
  5. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu s

    ReplyDelete
  6. Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  7. Maturnuwun bu Tien , salam sehat dan aduhai aduhai bun ๐Ÿฅฐ๐Ÿฅฐ

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah ini wahyuni penebar fitnah semoga segera di adili masyarakat bikin geger orang sekampung

      Delete
  8. Matur nuwun ibu ๐Ÿ™๐Ÿป

    ReplyDelete
  9. Apa penyebar fitnah segera ketahuan ya.. kalau begitu segera dapat diklarifikasi.
    Terus pengeroyok pak Truno apa bebas tanpa tanggung jawab. Harusnya ada tindak lanjut.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Mks bun KBTS 06 ...Akan terkuakah siapa yg menyebarkan fitnah pada Arumi.....tunggu saja besok
    Selamat mlm bun .,....smg sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete
  11. Nah, bagus tuh...rumor tentang Arumi pasti cepat terselesaikan bila si biang kerok muncul.๐Ÿ˜

    Terima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu.๐Ÿ™๐Ÿป

    ReplyDelete
  12. Wiiih seru nih,,,gaspol

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya ๐Ÿค—๐Ÿฅฐ

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat ๐Ÿคฒ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  14. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 06 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin.

    Biang keladi penyebar fitnah hampir ketahuan dan Tiar ingin klarifikasi, membersihkan nama nya dan kel Arumi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete

  15. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 06* sdh hadir...
    Demoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  16. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun obu Enny

    ReplyDelete
  17. Makasih Bu Tien .. cerbung tayang sbg hiburan mnjelang tidur ๐Ÿฅฐ salam sehat selalu ...

    ReplyDelete
  18. Selamat pagii bunda..terima ksih cerbungnya .slm sht selalu unk bunda sekel๐Ÿ™๐Ÿฅฐ❤️๐ŸŒน

    ReplyDelete

SENANDUNG KECILKU

SENANDUNG KECILKU (Tien Kumalasari) Hai senja, kau datang ketika merah jingga mewarnai langit dibarat sana ada senandung kecil berkumandang ...