KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 05
(Tien Kumalasari)
Bachtiar menatap ibu dan ayahnya bergantian. Tapi sang ayah kemudian hanya mengangkat bahu. Sepertinya ibunyalah yang berperan dalam ucapan mengejutkan itu. Mereka, pak Wirawan dan istri, datang membawa gadis pilihan mereka? Bachtiar langsung muram.
“Tiar, mengapa kamu menatap ibu seperti itu? Orang tua Luki adalah sahabat kami. Sudah lama sekali, sejak Luki berangkat ke luar negri, kami membicarakan sebuah perjodohan diantara kamu lan Luki.”
“Mengapa ibu menjodohkan Bachtiar tanpa bicara dulu dengan Bachtiar?”
“Tiar. Ibu memilih sesuatu yang indah untuk kamu. Aku yakin kamu tidak akan kecewa. Lihatlah, Luki begitu cantik dan mempesona. Ia pantas duduk bersanding denganmu. Ibu yakin kalian akan berbahagia.”
“Tidak Bu.”
“Apa maksudmu tidak?” sang ibu mengerutkan dahinya tanda tak suka.
“Bachtiar belum ingin punya istri.”
“Kamu sudah cukup umur untuk beristri. Ibu memilihkan yang terbaik untuk kamu.”
“Tapi Bachtiar masih punya pekerjaan. Masih banyak yang belum terselesaikan.”
“Luki akan menunggu, bukankah begitu, Luki?” tanya bu Wirawan sambil memandang Luki, yang dari tadi bergayut manja di lengannya.
“Jangan. Lebih baik jangan memikirkan perjodohan. Bachtiar juga tak suka dijodohkan. Biarkan Bachtiar menekuni semua pekerjaan dan Bachtiar mohon Ibu dan Bapak jangan mengganggu.”
“Bachtiar, orang tua itu menginginkan kebahagiaan anak. Hanya kamu anak ibu, dan ibu serta bapak hanya menginginkan kamu mendapat pendamping yang cocok.”
“Bachtiar mohon, jangan memaksa Bachtiar. Bachtiar tidak bisa menerima perjodohan ini.”
“Mengapa? Apa Luki kurang cantik?”
“Bukan karena cantik atau tidak cantik. Bachtiar hanya tidak suka. Maafkan Bachtiar,” kata Bachtiar sambil berdiri.
“Hei, kamu mau ke mana?”
“Bachtiar sangat lelah. Besok harus pergi pagi-pagi. Maaf ya Bu.”
“Pak, mengapa diam saja? Bicaralah agar Bachtiar bisa mengerti,” kata bu Wirawan kepada suaminya.
“Kamu sudah bicara banyak, Bachtiar pasti sudah mengerti. Dan Bachtiar juga sudah menjawab banyak, jadi ibu juga harus sudah mengerti,” kata pak Wirawan dengan sikap tenang dan berwibawa.
“Ternyata Bapak tidak membantu ibu untuk bicara,” kata bu Wirawan melengking seperti senar gitar sedang berdenting.
“Aku harus bicara apa lagi?”
“Bujuk Bachtiar dong Pak.”
“Bachtiar bukan anak kecil. Dia tahu apa yang harus dia lakukan.”
“Ini keterlaluan. Pokoknya Bachtiar harus menurut. Aku sudah terlanjur bicara pada orang tua Luki, dan Luki juga mengatakan bahwa dia mencintai Bachtiar, sahabat masa kecilnya.”
“Tapi Bachtiar tidak mencintai Luki, Bu.”
“Apa? Lalu gadis seperti apa yang kamu cintai?”
“Bachtiar belum memikirkannya, tolong mengertilah Bu.”
“Sudahlah Bu, lebih baik kita pulang dulu. Barangkali hal ini terlalu tiba-tiba bagi anakmu, biarkan dia memikirkan dulu, dan biarkan dia memilih mana yang dia pilih,” kata pak Wirawan sambil berdiri.
“Kalau begitu biarlah Luki menginap di sini.”
“Apa?” Bachtiar berteriak.
“Luki baru datang dari Jakarta, kasihan dia.”
“Bukankah dia datang bersama Ibu? Mana pantas seorang gadis menginap di rumah seorang perjaka? Apa kata orang nanti.”
“Ayo Bu, ajak Luki pulang, biar dia menginap di rumah kita saja, mana pantas Ibu suruh dia menginap di sini?”
“Ada beberapa kamar kosong di sini, kan?”
“Tidak pantas,” kata pak Wirawan keras, sambil berjalan ke arah pintu keluar.
Bu Wirawan terpaksa mengikutinya, sambil menggandeng Luki, dengan wajah muram seperti langit tertutup mendung.
Bachtiar merasa lega. Ia menutup pintu rumahnya, lalu mematikan lampu dan berjalan ke arah kamar. Wajah Arumi melintas, membuat Bachtiar tersenyum. Mana bisa Arumi yang lugu dan sederhana dibandingkan dengan Luki?
Bachtiar membaringkan tubuhnya, berharap bermimpi tentang Arumi.
***
Di sepanjang jalan menuju rumah pak Wirawan, wajah Luki tampak murung. Pria yang diimpikannya, menolaknya mentah-mentah, padahal dia sudah berdandan secantik mungkin. Luki memang cantik. Ketika kuliah dia menjadi rebutan. Di luar negri dia memiliki banyak teman pria yang mengaguminya. Karenanya dia kesal ketika melihat Bachtiar sedikitpun tidak melirik kepada dirinya.
“Luki, jangan sedih ya. Bachtiar memang belum tahu bahwa kami, para orang tua menjodohkanmu dengannya. Barangkali dia kaget, dan belum bisa menata hatinya yang mendengar hal besar ini secara tiba-tiba. Nanti, pasti dia memikirkannya, dan tidak mungkin dia menolak gadis secantik kamu.”
“Barangkali Tiar sudah punya pacar, siapa tahu.”
“Mana ada gadis yang bisa melebihi kecantikan kamu?” hibur bu Wirawan, sedangkan suaminya yang duduk si sebelah sopir hanya diam. Dia tidak setuju dengan pendapat sang istri. Bachtiar bukan kanak-kanak. Tidak bisa dipaksa. Dan sesungguhnya sebagai sesama laki-laki dia juga tidak suka pada penampilan Luki. Terlalu menyolok dan justru tampak seperti memakai topeng. Kecantikannya bukan memancar dari wajah aslinya, tapi dari polesan yang menutupinya.
“Luki, kamu tenang saja. Selama kamu di sini, kamu harus sering menemuinya, dan bersikap manis padanya. Tak mungkin dia akan tetap keras seperti batu. Kamu gadis rupawan yang sangat bisa menarik hati setiap pria. Pasti kamu bisa. Jangan pernah mundur, selalu dekati dia.”
“Baiklah, Bu, akan Luki coba mendekati dia.”
“Semoga kamu berhasil. Dan harus sabar ya, sejak kecil Bachtiar memang keras kepala. Tapi karena itulah dia pintar, dan sekarang sedang membangun sebuah pasar di sebuah desa.”
“Sebuah desa? Mengapa di desa?”
“Dia ingin melakukannya di desa-desa. Itu keinginannya, biarkan saja, karena ayahnya juga mendukung. Ya kan Pak?”
“Hm,” hanya itu jawab sang suami.
Lalu semuanya terdiam, sampai kemudian mereka sampai di sebuah rumah besar, milik keluarga Wirawan yang kaya raya.
“Tinggallah di sini selama kamu suka, anggap seperti rumah kamu sendiri,” kata bu Wirawan lagi.
***
Pagi itu Bachtiar bangun dengan tubuh lebih segar. Ia keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi. Lalu ia menuju dapur, untuk membuat kopi manis kesukaannya.
Ia memang sendirian di rumah yang dibelinya sendiri. Dan ia melakukan semuanya juga sendiri. Terkadang dia memasak, kalau sedang ada waktu, utamanya kalau hari Minggu. Tapi selebihnya dia makan di luar, atau kalau ingin dia makan di proyek bersama para karyawannya.
Tapi pagi itu, sambil menyeruput kopinya, ia teringat pada Suyono, salah satu mandornya yang sering melayaninya. Ia kesal karena mendengar Suyono menganggap rendah Arumi, bahkan melecehkannya dengan kata-kata. Bachtiar yakin seyakin-yakinnya bahwa yang dimaksud dengan laki-laki bermobil yang membawa Arumi pada hari Selasa itu adalah dirinya, dan seseorang yang melihatnya telah berpikir yang tidak-tidak. Akibatnya nama Arumi segera tersebar dengan perilaku buruk yang membuatnya kemudian dianggap rendah oleh semua orang.
“Kasihan sekali kamu, Arumi,” bisiknya sambil memikirkan bagaimana cara membersihkan nama Arumi.
Tidak mungkin juga dia kemudian berkeliling desa lalu berteriak-teriak bahwa laki-laki bermobil itu adalah dirinya. Harus dengan cara yang halus dan mengena. Tapi apa? Bachtiar menyandarkan tubuhnya ke sofa, ketika tiba-tiba terdengar sebuah mobil berhenti di halaman.
Bachtiar berdiri, dan wajahnya langsung muram ketika melihat siapa yang datang.
Luki turun dari mobil, dengan celana pendek dan kaos ketat, serta memakai topi sport yang manis. Bachtiar tak ingin membukakan pintu, tapi ia yakin bahwa Luki akan tetap mengetuk pintunya.
Sekarang ia berdiri di teras, menunggu Luki yang melenggang mendekatinya.
“Selamat pagi, Tiar,” sapanya manis.
“Mau apa kamu datang pagi-pagi? Sebentar lagi aku akan berangkat bekerja,” kata Bachtiar, tak ada ramah-ramahnya.
“Tiar, kenapa sikap kamu berubah? Apa salah aku?”
“Kamu datang di saat yang tidak tepat.”
“Tadi aku bangun pagi, lalu pergi dengan mobil, kemudian jalan-jalan di sebuah lapangan. Banyak orang jalan di sana. Bukankah olah raga jalan itu menyehatkan? Lalu aku melihat orang menjual gorengan, aku beli pisang goreng, ayo kita makan bersama,” katanya sambil duduk di teras, tanpa dipersilakan.
“Aku sudah bilang, bahwa sebentar lagi akan berangkat bekerja.”
“Aihh, aku mencium bau kopi. Boleh aku membuatnya sendiri di belakang?” kata Luki yang langsung berjalan ke belakang, membuat mata Bachtiar melotot tak suka.
“Perempuan tidak tahu diri,” omelnya.
Ia menatap ke arah meja, di mana Luki meletakkan bungkusan pisang goreng di sana. Itu makanan kesukaannya, tapi sedikitpun Bachtiar tak ingin menyentuhnya.
Ia masih duduk dengan banyak pemikiran yang memenuhi benaknya, ketika Luki muncul dengan membawa secangkir kopi.
“Aku tahu kamu sudah ngopi. Kasihan juga Tiar, hidup sendirian, ngopi sendiri, atau bahkan kalau lapar kamu juga makan sendiri?”
“Bukan urusan kamu,” katanya ketus.
“Yah, diajak ngomong baik-baik, kenapa jawabnya galak begitu?”
Lalu Luki menyeruput kopinya pelan.
“Kenapa pisangnya tidak di makan?”
“Aku nggak suka pisang.”
“Masa? Dulu kamu suka sekali pisang goreng. Bahkan ketika masih sekolah taman kanak-kanak, ibumu sering membawakan kamu pisang goreng.”
“Sekarang tidak. Dan aku minta, segera habiskan kopi kamu, lalu tinggalkan rumah ini, karena aku akan segera pergi.”
“Bolehkah aku ikut bersamamu?”
“Apa?” Bachtiar berteriak.
“Aku ikut bersamamu, percayalah aku tidak akan mengganggu.”
“Aku bukan sedang jalan-jalan, aku bekerja.”
“Tidak apa-apa, aku akan_”
“Tidak!” kata Bachtiar sambil masuk ke dalam rumah. Tanpa disangka, Luki mengikutinya.
“Aku mau ganti baju, mau apa kamu mengikuti aku?”
“Kamu sombong amat sih, aku ingin melihat kamar kamu.”
“Kamu itu gadis yang tidak tahu malu ya. Sekarang pergilah, dan jangan lagi datang ke rumah ini.”
“Tiar, kamu jahat.”
Bachtiar masuk ke kamarnya, dan menutupnya dengan membantingnya, keras, sampai Luki terlonjak karenanya.
“Ya ampuun, bagaimana cara merayunya? Tante Wirawan bicara seenaknya, padahal hati anaknya sekeras batu,” omelnya sambil kembali duduk di teras, lalu menghabiskan separuh bungkus pisang goreng yang dibelinya.
Ketika mendengar suara pintu ditutup, lalu langkah kaki mendekat, Luki segera berdiri dan keluar dari teras. Ia sudah diusir berkali-kali.
***
Bachtiar menyusuri jalan desa yang berbatu, dengan pikiran dipenuhi oleh Arumi. Arumi pasti belum tahu kalau dirinya banyak digunjingkan oleh orang-orang desa, karena memang dia jarang keluar rumah.
Tapi pak Truno yang sedang bekerja di sawah, mendengar tetangga sesama penggarap sawah sedang bicara tentang anaknya. Mendengar nama Arumi disebut, pak Truno mendekat.
“Ada apa? Kenapa dengan Arumi?”
“Owalah No, kamu tadi mendengar juga apa yang kami bicarakan?” kata salah seorang diantaranya.
“Memangnya ada apa?”
“Kamu itu lho No, sebentar lagi pasti akan menjadi kaya.”
“Apa maksudmu? Kita ini hanya penggarap sawah, kapan bisa kaya?”
“Tapi kamu kan punya anak gadis cantik.”
“Ya, tadi kamu menyebut nama anakku, memangnya kenapa kalau dia cantik?”
“Kalau cantik kan bisa dijual mahal?”
Pak Truno terkejut. Perkataan dijual mahal itu membuatnya heran dan sangat tidak suka. Apanya yang dijual?
“Kamu sedang bicara apa? Aku tidak mengerti.”
“Kamu tidak usah berpura-pura No, nanti kalau kamu kaya, pasti tidak akan melupakan kami semua, ya kan?”
Perkataan itu membuat yang lain mengiyakan, membuat pak Truno semakin tidak mengerti.
“Bicara yang jelas, aku sungguh tidak mengerti.”
“No, kami semua sudah tahu, kalau Arumi sudah bisa mencari uang untuk orang tuanya, semoga laris ya No.”
“Apa maksudmu?” pak Truno berteriak karena masih saja tidak mengerti.
“Bukankah Arumi pernah dibawa oleh seorang laki-laki bermobil? Pasti mahal tarifnya bukan? Kamu akan segera kaya.”
Lalu mereka bersahutan mengiyakan. Pak Truno mulai mengerti. Laki-laki bermobil, dan tarif mahal? Jadi mereka mengira dirinya menjual Arumi kepada laki-laki bermobil? Apakah maksudnya adalah laki-laki baik yang sangat santun itu?
“Kurangajar kalian!! Arumi bukan seperti ituuu!” pak Trumo berteriak. Suaranya hampir membelah langit di atas tanah persawahan itu, membuat teman-temannya terkejut.
“No, kamu tidak usah malu dan tidak perlu menyembunyikannya, semua orang sudah tahu kok.”
Kemarahan pak Truno tak tertahankan lagi. Ia maju selangkah dan menghajar orang yang paling dekat dengannya, sehingga orang itu jatuh tersungkur. Tapi teman-teman lainnya yang melihat justru marah kepada pak Truno. Mereka maju bersama-sama dan membalasnya, memukulnya berganti-ganti.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteSuuwun mb Tien
DeleteAlhamdulillah ..... Yangtie sprinter terhebat.... Selamat ya selalu menjuarai menjemput Arumi.....
DeleteNuwun Yangtie
DeleteNuwun mas Kakek
Yes
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteADUHAI
Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Delete๐ฅ๐ต๐ฅ๐ต๐ฅ๐ต๐ฅ๐ต
ReplyDeleteAlhamdulillah ๐๐คฉ
KaBeTeeS_05 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja๐๐ฆ
๐ฅ๐ต๐ฅ๐ต๐ฅ๐ต๐ฅ๐ต
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien..๐
Sami2 jeng Ning
DeleteSalam ADUHAI Bu Tien.
ReplyDeleteSelamat njagong .....
Mugi² sehat terus nggih. Aja kaya dek wingi, atos² yen dahar.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Alhamdullilah bunda cerbung sdh hadir..terima ksih y bund..slmt mlm dan slmt istrhat salam sht sll unk keluarga๐๐ฅฐ๐น❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Maturnuwun bu Tien, semoga ibu selalu sehat fan bahagia..
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai deh
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteWaduuh...kasihan pak Truno membela anaknya malah dipukuli, soalnya rumor sudah beredar sih...harusnya kan sejak awal Bachtiar bisa jelaskan ke pak Carik, atau pak Truno jelaskan pada Sutris waktu ke rumah. Hidup di desa memang saling mengawasi...kasihan Arumi...☹️
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sudah memutar-mutar fakta sedemikian rupa walaupun masih di awal cerita.๐
Sehat2 selalu ya, buu...๐๐ป๐๐ป๐๐ป
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat ๐คฒ๐๐๐
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Mks bun KBTS 05 nya, ...selamat malam....salam sehat
ReplyDeleteSami2 ibu Supriyati
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah. Matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam hangat, semoga sehat dan bahagia selalu nggih Bu๐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Waduh... sampai terjadi baku hantam. Bagaimana kalau sampai terjadi urusan polisi. Biar pada 'melek hukum' tentunya.
ReplyDeleteKalau Luki makin mengejar, Bahtiar akan makin menjauh.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 05* sdh hadir...
Demoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah
ReplyDeleteIn Sya Alloh Happy End ...
Syukron nggih Mbak Tien๐ท๐ท๐ท๐ท๐ท
Sami2 jeng Susi
DeleteTerimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam aduhai deh
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 05 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin.
Luki tdk tahu malu, sdh di usir beberapa kali..tetep aja maju terus pantang mundur ๐
Kasihan pak Truno, di gebuki teman2 nya, gara2 ...teman2 nya sdh terhasut oleh berita 'miring'. Semoga dewa penolong datang, dan Tiar lah orang nya.
Waduh, kasihan sekali pak Trimo
ReplyDeleteApakah penduduk desa cepat sekali menerima informasi yg tdk baik tanpa tahu sebenarnya ya,, kasihan Arumi juga, hny Bachtiar yg bisa menjelaskan
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya, salam Aduhaiii ๐ค๐ฅฐ๐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun ibu Ika
Deletepak Truno : pak Trumo
ReplyDeleteMatur nuwun ibu ๐๐ป
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 Mas MERa
DeleteAlhamdulillah, mtnw, sehat selalu๐น
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Kun