AKU BENCI AYAHKU 40
(Tien Kumalasari)
Monik berhenti melangkah. Tak tahu harus berbuat apa. Ponsel yang digenggamnya masih mengumandangkan dering, karena dia belum mengangkatnya. Ketika kemudian dia mengangkatnya, tamu-tamunya berhenti, menunggu.
“Ya, Pak,” jawabnya.
“Monik, apa anakmu sakit?”
“Ini saya masih ada di rumah sakit, sejak tadi pagi.”
“Kenapa dia?”
“Menurut dokter, Boy terkena tipes.”
“Bagaimana bisa? Kamu kurang menjaganya. Pasti dia makan sembarang makanan. Kamu tidak mengawasinya.”
“Tidak begitu mengawasinya ketika Monik bekerja," Monik memberi alasan, agak takut karena ayah mertuanya seperti marah.
“Baiklah, memang namanya penyakit. Mulai sekarang kamu tidak usah bekerja, kalau memang tak ada yang mengawasi anakmu.”
“Sebenarnya teman saya, bu Lany juga menjaganya dengan baik, karena dia juga punya anak seumuran Boy.”
“Ya sudah, sekarang berikan dia kamar yang baik. Jangan sampai dia merasa tidak nyaman. Aku akan menelpon direktur rumah sakit ini.”
“Saya sudah menempatkannya di kamar kelas satu. Cukup baik kok.”
“Sudah, jangan membantah. Jaga saja anakmu. Tapi aku ingin mendengar suaranya. Mana Boy? Dia harus tahu kalau kakeknya menelpon.”
“Boy sedang tidur. Saya mau pulang mengambil baju ganti dan_”
“Kamu meninggalkannya sendirian, biarpun dia sedang tidur?”
“Boy sedang bersama mas Tomy.”
“Ah, ya, syukurlah.”
Pak Drajat menutup ponselnya begitu saja. Monik tersenyum kepada tamu-tamunya.
“Apakah anda yang bernama Monik, istri Tomy?” kata pak Ratman sambil menyalami Monik. Monik menyambutnya sambil mengangguk.
“Ya, Pak.”
“Saya Ratman, sahabat mertua kamu. Tomy bekerja di kantor saya. Memang hanya sopir, tapi mas Drajat memintanya begitu. Saya tidak boleh mengganti posisinya dengan kedudukan lebih tinggi.”
“Ya, saya mengerti.”
“Ini Kartika. Kalian sudah saling kenal bukan? Sebenarnya dia sakit, tapi memaksa ingin ikut kembali ke rumah sakit ini. Ia juga membawakan mainan yang banyak untuk Boy.”
“Ya Mbak, tadi Boy menanyakan mobil-mobilan, saya membawakannya," sambung Kartika.
“Ah ya, terima kasih banyak,” kata Monik sambil tersenyum, ketika Kartika juga mengulaskan senyuman. Tulus.
“Bagaimana keadaan Boy?” giliran Satria menanyakannya.
“Panasnya sudah mereda. Sekarang dia tidur, mas Tomy menungguinya.”
“Syukurlah,” kata Satria dan pak Ratman bersama-sama.
“Dari mana kalian semua tahu bahwa Boy sedang sakit? Bahkan ayah mertua saya juga mendengarnya.”
“Kartika pulang dan mengatakan bahwa dia sangat cemas, karena Boy sakit,” Satria menjawabnya.
“Oh, terima kasih, Kartika,” katanya sambil menatap Kartika. Tiba-tiba rasa cemburu itu sudah hilang entah ke mana, ketika ia menyadari bahwa Kartika gadis yang baik.
“Silakan masuk,” kata Monik yang baru sadar bahwa mereka berbincang diluar pintu kamar.
Monik kembali masuk ke dalam, diikuti tamu-tamunya.
Tomy agak terkejut melihat Monik kembali masuk bersama tamu-tamu yang sangat dikenalnya.
“Bagaimana keadaannya?” tanya pak Ratman.
“Sudah tidak panas lagi, sehingga bisa tidur lebih tenang.”
Karena Boy tampak pulas, mereka kemudian menjauh dari tempat tidur itu.
Tiba-tiba seorang perawat masuk.
“Maaf, pimpinan kami memerintahkan untuk memindahkan pasien Boy ke ruang VVIP.”
Semuanya terkejut. Tapi Monik sudah menduga, bahwa ayah mertuanya pasti sudah menghubungi pimpinan rumah sakit itu.
“Tapi dia sedang tidur nyenyak,” protes Tomy yang tak ingin tidur anaknya terganggu,
“Tidak apa-apa, kami akan menjaganya agar tidurnya tidak terganggu.”
Dua orang perawat lagi masuk ke dalam sambil membawa brankar. Perawat yang pertama ingin mengangkat tubuh Boy, tapi Tomy menolaknya.
“Biar saya saja memindahkannya,” katanya sambil berdiri.
Perawat itu mengangguk. Dia meraih botol infus yang masih terhubung di lengan Boy, lalu ia meminta Tomy agar mulai mengangkatnya.
Tomy meraih tubuh Boy perlahan, sangat perlahan, karena sangat menjaga agar Boy tidak terbangun. Dengan hati-hati pula ia meletakkan di brankar, dan merasa lega karena Boy masih terlelap.
Semuanya mengikuti brankar yang membawa Boy, dan Tomy terus mengiringi di sampingnya.
Ternyata perawat membawa Boy ke ruangan yang lebih luas dan lebih bagus. Ada tempat tidur untuk yang menjaganya, dan sofa yang tertata apik agak jauh dari tempat di mana kemudian Boy dibaringkan.
Perlengkapan kamar juga lebih lengkap dan bagus.
Tomy merasa lega karena Boy seperti tidak terusik. Kemudian ia mempersilakan semuanya agar duduk di sofa yang letaknya tidak berdekatan dengan tempat tidur Boy.
Satria tersenyum melihat Tomy begitu memperhatikan anaknya. Ia yakin keluarga yang tercerai akan segera bersatu.
Tapi Tomy sedang berpikir, mengapa anaknya tiba-tiba dipindahkan ke ruang VVIP? Pak Ratman kah yang melakukannya? Ketika dia akan menanyakannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Tomy mengangkatnya. Ternyata dari ayahnya. Ia berjalan menjauh dari Boy yang masih saja terlelap, agar tidak mengganggu tidurnya.
“Ya, Pak.”
“Apakah anakmu sudah dipindahkan ke ruang yang lebih baik?”
“Ini sudah ada di ruangan yang baru dan lebih bagus. Tapi, siapa nanti yang akan membayarnya?”
“Yang jelas bukan kamu. Berapa gajimu sehingga akan bisa membayar biaya untuk perawatan yang istimewa ini?”
“Ya, tidak mungkin Pak. Jadi semuanya Bapak yang melakukannya?”
“Aku sudah menstransfer ke rumah sakit ini, untuk semua biaya yang mungkin akan dikeluarkan selama Boy ada di sini. Kalau ada kekurangan, mereka akan menghubungi aku, jadi jangan sampai Boy merasa tidak nyaman karena ruangan pengap dan berbau orang sakit.”
Tomy melihat ke sekeliling ruangan. Memang berbeda dari kamar sebelumnya, yang walaupun cukup bagus, tapi fasiitas di kamar baru ini lebih lengkap dan menyenangkan.
“Terima kasih, Pak.”
“Kamu sudah berbincang dengan istri kamu?”
“Sudah.”
“Apakah dia menolakmu?”
“Sepertinya … tidak.”
“Segera ajak dia kembali membangun rumah tangga yang benar. Jangan sampai menyakitinya lagi.”
“Boy belum sepenuhnya menyukai Tomy,” katanya sedih.
“Itu urusan kamu. Lakukan apa saja untuk membujuknya.”
“Baiklah.”
Ketika Tomy masih akan mengatakan sesuatu, sang ayah sudah menutup ponselnya.
Tomy menghela napas.
Satria mendekat ke arah Boy berbaring, menatapnya iba. Si kecil yang begitu menyayanginya itu sekarang sedang berbaring tak berdaya. Pasti sakit rasanya ketika jarum infus itu menembus kulit dagingnya.
Tapi entah oleh ikatan yang dari mana datangnya, tiba-tiba mata Boy terbuka. Hal pertama yang diteriakkannya adalah memanggil namanya dengan suara nyaring.
“Om Satria.”
Semua orang menoleh ke arah ranjang, lalu mendekat ketika melihat Boy sudah bangun.
Boy melihat ke sekelilingnya. Ada orang asing yang belum pernah dilihatnya. Boy menatapnya, tapi tidak mengatakan apapun.
“Panggil aku kakek Ratman. Aku ini, ayahnya mbak Kartika,” kata pak Ratman sambil mengelus tangan Boy.
“Mbak Kartika …,“ mata Boy mencari- cari, dan melihat Kartika berdiri paling ujung. Ia segera mendekat begitu Boy menyebut namanya.
Ia urung mengatakan tentang mainan yang dibawanya, karena sang ayah melarangnya. Ia khawatir, kalau Boy melihatnya, maka dia akan minta bermain, sementara untuk penyakit seperti yang diderita Boy, dokter menyarankan agar tidak banyak bergerak.
Tapi dengan adanya Satria, Boy tidak begitu memperhatikan Kartika lagi.
“Mana ibu Minar?”
“Ibu Minar di rumah, kalau Boy mau, nanti akan aku ajak dia kemari untuk menjenguk Boy.”
“Aku mau pulang.”
“Nanti kalau Boy sudah sembuh, baru boleh pulang.”
Ketika Tomy mendekat setelah selesai bertelpon, Boy tidak memperhatikannya. Ia asyik berbincang dengan Satria. Banyak sekali yang ditanyakannya, dan Satria menjawabnya dengan sabar.
“Aku suka bapak Satria.”
Ucapan Boy ini kembali melukai hati Tomy, yang hampir seharian menunggui Boy dengan perasaan khawatir.
“Kamu juga harus suka bapak Tomy. Dia sejak pagi menunggui kamu di sini, dan sangat mengkhawatirkanmu,” kata Satria sambil menarik Tomy agar mendekat.
“Tapi aku tidak mau diajak pulang sama dia.”
“Aku tidak akan membawa kamu pulang, Boy,” kata Tomy, lembut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kartika dan pak Ratman menatap mereka dengan heran, karena tidak begitu paham apa yang sebenarnya terjadi.
“Monik, bukankah tadi kamu mau mengambil baju-baju ganti? Biar aku saja yang mengambil, kamu tetap di sini,” kata Tomy ketika pak Ratman dan Kartika berpamit pulang.
“Mana Mas tahu di mana saya menyimpan baju-baju dan mana yang saya butuhkan."
“Kalian pulang saja berdua, biar aku menemani Boy di sini,” kata Satria.
“Ibu pulang dulu ya Boy? Mengambil baju ganti, untuk ibu juga,” kata Monik kepada Boy.
“Aku juga mau pulang,” Boy merengek.
“Boy belum boleh pulang. Di sini saja, om Satria menemani sampai ibu dan bapakmu kembali."
Boy menatap Tomy yang lagi-lagi terlihat merangkul pundak Monik. Sudah dua kali Boy melihatnya, dan membuatnya heran. Bapak kejam itu sikapnya berubah manis, bukan hanya kepada dirinya, tapi juga kepada ibunya. Kebencian itu sedikit demi sedikit menguap, seiring dengan kepergian mereka, meninggalkan bapak Satria yang dikaguminya, yang berdiri dengan tersenyum di dekatnya.
***
Birah sedang menunggui tokonya, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti, dan seorang wanita cantik turun dari mobil itu.
Ada perasaan tak enak ketika Birah tahu, bahwa wanita itu adalah Kirani, istri Sutar, yang dulu sekali pernah berseteru dengannya.
Birah pura-pura mengambil sesuatu dari dalam laci, lalu menyibukkan dirinya dengan membuka-buka catatan. Seorang pegawai melayani Kirani. Ia membeli beberapa kilo beras, gula dan sabun. Entah disengaja atau tidak, kali itu Kirani belanja banyak kebutuhannya di toko Birah.
Kehidupan Sutar yang menjadi baik, memang tidak membuat Birah menjadi iri, karena Birah sudah menyadari, bahwa dia telah mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dari yang pernah dibayangkan, ketika Murtono batal memperistrinya. Lepas dari Murtono, dia menemukan ketenangan karena Murtono memberinya pekerjaan yang membuatnya tak harus menjadi perempuan jalanan yang terlunta-lunta. Perjalanan hidup yang membuatnya pontang panting dalam mengejar cinta dan kemewahan, memberinya pelajaran bahwa buah yang dipetiknya adalah hasil dari pohon yang ditanamnya. Birah ikhlas menerimanya. Ia juga ikhlas ketika laki-laki yang pernah dicintainya telah menemukan perempuan baik yang bersedia mendampingi di masa tua.
“Inilah hidupku,” kata batinnya. Ia mengibaskan rasa perih ketika Kirani sudah berdiri di depannya dengan membaca catatan belanjaan, siap membayarnya.
“Ini uang saya Mbak,” sapa Kirani dengan manis.
“Oh, eh … iya, maaf, sedang meneliti catatan,” kata Birah memberi alasan.
“Sibuk ya, karena tokonya laris?”
“Tidak juga, tapi lumayan,” katanya sambil menerima uang dan melihat catatan yang dituliskan pegawainya.
“Apa mbak Birah tahu, Minar sudah mengandung?”
“Iya, saya tahu. Minar pernah mengabari saya ketika sedang ngidam anaknya.”
“Sepertinya sekarang sudah tidak begitu rewel. Sudah doyan makan, dan sudah rajin memasak dan melakukan banyak pekerjaan.”
Birah tersenyum. Rupanya Minar lebih banyak bercerita tentang keadaannya kepada ibu sambungnya. Tapi Birah tidak menjadi sakit hati. Ia sudah bersalah kepada suami dan anaknya waktu itu. Kalau sekarang ada luka yang walau tinggal bekasnya, Birah bisa memakluminya.
“Syukurlah.”
“Minggu depan saya mau ke Jakarta. Apa mbak Birah mau ikut bersama saya? Pasti senang nanti bisa ketemu Minar dan suaminya.”
Birah menatap Kirani. Ke Jakarta dan bisa ketemu Minar? Tentu saja dia ingin.
“Saya tidak bersama mas Sutar, karena ada urusan di sini yang harus ditangani. Ada proyek yang saya harus mendatanginya di sana. Kalau mbak Birah mau, saya akan beli tiket untuk berdua. Saya akan senang sekali kalau ada temannya, karena sebenarnya mas Sutar tidak mengijinkan saya berangkat sendiri.”
“Saya tertarik untuk pergi ke Jakarta, berapa harga tiketnya? Akan saya titipkan sekarang. Nanti saya akan bilang mas Murtono agar ada orang yang menggantikan saya di sini.”
“Soal tiket nanti gampang, biar saya beli saja dulu, karena saya belum tahu persis harganya. Yang penting mbak Birah mau.,”
“Iya, saya mau,” kata Birah bersemangat. Kirani senang melihatnya.
“Saya minta nomor kontaknya, nanti saya hubungi, kapan persisnya kita berangkat. Saya akan ada di Jakarta sekitar tiga atau empat hari. Mungkin lebih, sampai urusan saya selesai.”
“Baiklah, terima kasih banyak."
Birah sangat gembira, gembira karena wanita cantik istri bekas suaminya melupakan bahwa dirinya adalah bekas istri suaminya. Ia juga gembira karena bakal ketemu anaknya.
***
Murtono sedang duduk sendirian di teras, sebelum berangkat ke kantor. Birah sedang pergi ke Jakarta, dan setiap hari dia harus mengontrol barang-barang dan uang yang berputar di toko yang biasanya dikelola Birah.
Tiba-tiba sebuah taksi berhenti di depan pagar. Murtono menatap siapa yang datang, dan terkejut ketika melihat bahwa yang turun dari taksi adalah Rohana.
***
Besok lagi ya,
🎋🪴🎋🪴🎋🪴🎋🪴
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
AaBeAy_40 sdh hadir.
Manusang nggih, doaku
semoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia
lahir bathin. Aamiin.
Salam seroja...😍🤩
🎋🪴🎋🪴🎋🪴🎋🪴
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Yes
ReplyDeleteSht sll buat mb Tien
DeleteAamiin
DeleteMatur nuwun Yangtie
Boy
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
Delete🌹🌻🌹🌻☘️🌻🌹🌻🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah ....
Syukron Bu Tien, AaBeAy_40 sudah hadir.
Senengnya Birah.. diajak Kirani ke Jakarta, menengok Minar dan menantunya 🤝🤝🙏
🌹🌻🌹🌻☘️🌻🌹🌻🌹
Sami2 mas Kakek
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien..sehat sehat..sehat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Susi
Alhamdulillaah dah tayang makasih bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 40 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Alhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 i bu Anik
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah, matur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteMatur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteSalam Bagas waras
Sami2 mbak Yaniiiik
DeleteAlhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~40 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Mosok sih sifat jelèk Tomy bisa cepat lenyap. Terlalu cepat. Sekali2 dong dimunculkan. (Kanggoku)
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah ceritanya sudah tayang. Terima kasih, ibu.
ReplyDeleteSami2 ibu Linaun-nisa
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ABA 40'a
Semoga bunda Tien K selalu sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun anrikodk
alhamdulullah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Samo2 ibu Nanik
DeleteTampaknya keluarga Tomy sudah dapat dipersatukan kembali. Menunggu nasib Desy yang ada didekat ayah Tomy.
ReplyDeleteKirani mengajak Birah ke Jakarta, urusan apa ya...
Satu lagi, Rohana bisa diluruskan apa tidak perangai buruknya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Salam aduhai hai hai
Sami2 ibu Endah
DeleteAduhai hai deh
Maturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
.Hamdallah...cerbung Aku Benci Ayahku part 40 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Mantab...Istri Sutar dan mantan Istri Sutar...kompak pergi halan halan ke Jkt. Sdh tdk ada prasangka negatif di antara mereka. Birah sdh rela, Sutar jadi suami Kiran, dan Kiran tentu nya berbahagia bersuami kan Sutar, krn asmara terpendam nya, skrng sdh tdk di pendam 😁😁
Betapa senang nya Minar di tiliki oleh ke dua ibu nya tsb.
Matur nuwun pak Munthoni
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam aduhai aduhai deh
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteBetapa senangnya jika Boy mau menerima Tomy kembali, jd bisa berkumpul .Pokoknya Aduhaiii
Rohana kira2 mau apa ya..apa mau beli beras atau mau pijam.. penasaran,,,
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillaah, matursuwun Bu Tien,
ReplyDeleteSalam hangat semoga sehat wal'afiat selalu semuanya
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Membaca episode yg ini, merebaklah air mata.
ReplyDeleteTerima kasih Prisc21
DeleteLama nggak komen
Super
ReplyDeleteSuperih
DeleteMakasih mba Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Sul
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteDeg-degan membayangkan reaksi Minar bertemu duo ibunya...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat selalu.🙏