Thursday, April 25, 2024

M E L A T I 28

 M E L A T I    28

(Tien Kumalasari)

 

Akhirnya Daniel bersedia mengikuti Nurin. Tiba-tiba ia merasa sangat jahat kepada Nurin, yang selalu menaruh perhatian kepadanya. Kalau Nurin suka, apakah salah? Sebuah rasa bukan salah. Kalau dirinya menolak, ya tidak usah menanggapi. Tapi tidak harus bersikap kasar dan berwajah masam. Bukankah begitu. Lalu Daniel memaksa bibirnya untuk mengulaskan senyum. Daniel bukan laki-laki jahat yang memiliki kesombongan. Kemudian diapun tersenyum, ketika Nurin mempersilakannya masuk ke dalam mobil.

“Bapak, karena lebih tua, duduk di belakang ya?” katanya kepada Baskoro.

“Iya, Nak. Terima kasih.”

“Mas Daniel di depan. Mau kan? Supaya aku tidak tampak seperti sopir?” ucapan Nurin ini sedikit pedas. Seperti mencela seandainya Daniel tidak mau duduk di sampingnya.

Tapi Daniel kemudian segera duduk tanpa disuruh dua kali. Ia juga tak meninggalkan senyumannya.

“Apa aku saja yang mengemudi?” kata Daniel.

Nurin menatapnya sebelum masuk untuk duduk di belakang kemudi.

“Aku sudah sering mengemudi mobil rumah sakit, bahkan mobil ambulans, ketika sopir berhalangan di jalan.”

Nurin tersenyum.

“Biar aku saja Mas, kan mas Daniel baru sembuh dari sakit, dan belum sembuh sempurna,” katanya sambil duduk di belakang kemudi, tanpa menatapnya.

“Terima kasih karena sudah bersusah payah menjemput,” kata Daniel setelah mobil Nurin melaju.

“Aku tidak akan melakukannya kalau Nilam tidak menelpon. Eh, tadinya aku yang menelpon, karena akan menanyakan kaca mataku yang mungkin tertinggal di rumah Nilam, tapi dia malah mengeluh perutnya sakit dan mengira dirinya akan melahirkan, padahal sudah janji mau menjemput Mas. Jadi aku menawarkan untuk menjemputnya. Semoga mas Daniel tidak kecewa.”

“Mengapa kecewa? Aku justru harus berterima kasih. Ini kan hari sibuk, tapi kamu justru meluangkan waktu untuk menjemput aku.”

“Tidak apa-apa. Ini untuk Nilam.”

Daniel menoleh ke arah samping. Nurin tampak sangat serius mengemudi, tak sedikitpun menoleh ke arahnya. Daniel jadi semakin merasa bersalah, karena merasa bahwa Nurin pasti tersakiti oleh sikapnya yang sedikit kasar.

“Kamu sudah tahu rumahku?”

“Nilam sudah memberi ancar-ancar tadi.”

“Owh. Jadi tidak perlu takut kamu nyasar,” Daniel mencoba bercanda. Nurin sedang bersamanya, masa akan nyasar?

Daniel melihat Nurin hanya tersenyum tipis.

“Nak Daniel, karena nak Daniel sudah ada yang mengantar, bolehkah saya turun di warung saja?” tiba-tiba kata Baskoro.

“Oh, Bapak mau turun di mana?” sahut Nurin.

“Di warung tempat saya berjualan.”

“Baiklah, saya antarkan dulu Bapak ke sana. Di mana tempatnya?”

“Setelah perempatan itu belok ke kiri. Nanti ada sekolahan, nah warung saya di depannya.”

“Bapak jualan apa?”

“Saya jualan soto. Kapan-kapan nak … eh… namanya siapa tadi, kita kan belum berkenalan, tadi saya hanya mendengar nak Daniel memanggil … Nurin ya?”

“Saya Nurina, Pak, dipanggil Nurin. Bapak siapa?” kata Nurin sambil tertawa.

“Saya Baskoro. Kapan-kapan mampirlah ke warung saya. Tapi hanya warung biasa, bukan restoran mewah lhoh.”

“Kapan-kapan saya pasti mampir, kalau sudah tahu tempatnya.”

“Nah, di depan itu kan ada sekolahan. Saya berhenti di situ saja, biar saya menyeberang sendiri.”

“Jangan Pak, saya akan menurunkan Bapak di depan warung.”

Nurin benar-benar menyeberangkan mobilnya ketika sudah sampai di dekat warungnya, dan berhenti tepat di warung Baskoro.

“Wah, warungnya ramai sekali,” kata Nurin.

“Terima kasih sekali, nak Nurin. Nak Daniel tidak apa-apa kan, saya tidak mengantar sampai ke rumah? Kamar sudah saya bersihkan, biarkan pakaian kotor di keranjang, nanti saya cuci.”

“Terima kasih Pak, tidak apa-apa, nanti saya ke laundry saja.”

“Baiklah kalau begitu.”

Baskoro melambaikan tangan sebelum masuk ke warung, lalu Nurin kembali memacu mobilnya.

“Warung pak Baskoro ramai sekali ya?” kata Nurin.

“Ya, lumayan ramai. Tadi dia meluangkan waktu untuk menjemput saya, padahal warungnya ramai, dan dia selalu menangani sendiri semuanya.”

“Ada pembantu kan?”

“Ada, beberapa. Tapi yang masak pak Baskoro sendiri.”

“Oh ya? Hebat, seorang laki-laki memasak. Mas Daniel kenal sudah lama?”

“Kami tinggal satu rumah.”

“Tinggal satu rumah? Masih saudara?”

“Tiba-tiba menjadi saudara.”

“Gimana sih, ceritanya. Jadi tadinya orang lain, lalu menjadi saudara?”

“Ceritanya panjang. Tak cukup sehari.”

Nurin tertawa pelan, tapi ia tak menoleh ke arah Daniel. Sikap Nurin yang tiba-tiba tidak begitu ramah kepadanya,  diam-diam membuat Daniel penasaran. Aneh sekali. Saat dia mendekat, dirinya acuh. Ketika dia terlihat acuh, dirinya menjadi penasaran.

“Yang mana Mas, di daerah sini kan?”

“Di depan, yang ada mobil parkir warna putih, depannya lagi.”

Nurin menghentikan mobilnya persis di depan rumah kecil sederhana, lalu memasukkan mobilnya ke halaman yang tidak begitu luas.

Daniel turun lebih dulu setelah Nurin membuka kunci pintunya.

Ada beberapa barang yang diturunkan. Dan tanpa diminta Nurin membantunya.

Ketika itulah seorang gadis sedang mengayuh sepeda dan menoleh ke sana.

Rupanya setiap akan berangkat bekerja, Melati selalu melewati rumah itu. Hari itu Melati berangkat agak siang, karena akan ada pesanan malam nanti, jadi ia harus ikut mengawasi semua yang dipesan, dan yakin bahwa semuanya sudah sesuai serta tidak mengecewakan. Tanpa diduga ia melihat Nurin yang sedang membantu Daniel menurunkan barang-barang.

Melati mengayuh sepedanya lebih kencang, berusaha mengendapkan perasaannya yang agak terguncang.

***

Kesibukan Daniel yang baru saja pulang dari rumah sakit masih berlanjut. Beberapa barang harus diturunkan.

Ada tas ransel, ada tas berisi perlengkapan makan, dan rantang serta keresek berisi pakaian kotor.

“Letakkan saja di situ. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membantu,” kata Daniel sambil tersenyum.

“Banyak waktu luang saya, tidak usah sungkan,” katanya sambil meletakkan sebuah tas keresek di atas meja teras.

“Inilah rumah aku, kecil, sederhana,” katanya sambil membuka pintu dengan kunci yang dibawanya.

“Aku bawa masuk ya?” kata Nurin.

“Biar disitu, nanti aku yang membereskannya.”

“Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya,” kata Nurin yang kemudian membalikkan tubuhnya.

“Sekali lagi terima kasih.”

Nurin hanya mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobilnya dan berlalu.

Daniel menghela napas, dan merasa aneh dengan perasaannya. Mengapa kecewa karena Nurin tidak terlihat ramah seperti biasanya?

“Nurin berubah karena melihat rumahku yang sederhana? Tapi sikap dinginnya sudah terlihat sejak dari rumah sakit tadi, jadi bukan karena rumah ini.”

Beberapa saat lamanya Daniel berdiri kaku, tapi kemudian sadar ketika barang bawaannya masih ada di teras.  Ia segera membawanya ke belakang, dan mengibaskan perasaan aneh yang melandanya.

“Aku terlalu sombong. Pasti sikapku menyakiti. Aku akan menebusnya nanti,” gumamnya sambil membawa barang-barangnya masuk ke dalam rumah.

***

Nilam sedang diperiksa, Wijan menunggu di luar dengan gelisah. Memang sih waktu yang diperkirakan dokter masih bulan depan, yaitu sekitar kurang dari dua minggu. Tapi mengapa Nilam sudah merasa sangat kesakitan?

Ia sudah menelpon Suri yang sudah dianggap ibu oleh Nilam, karena ia tak sanggup gelisah seorang diri tanpa ada yang menemani.

Ketika kemudian salah seorang perawat keluar, Wijan menghambur mendekatinya.

“Bagaimana istri saya?”

“Bapak suami ibu Nilam? Dokter ingin bicara, silakan masuk ke ruangannya,” kata perawat itu.

“Apakah istri saya dalam bahaya?”

“Tidak, istri Bapak sudah saatnya melahirkan, silakan ketemu dokternya.”

Wijan masuk mengikuti perawat itu.

Ketika itulah seorang gadis terburu-buru datang, dan terpaku diluar pintu. Dia adalah Nurin, yang setelah mengantarkan Daniel, lalu langsung ke rumah sakit untuk melihat keadaan Nilam.

“Apa bu Nilam sudah ada di dalam?” tanyanya kepada perawat yang kebetulan keluar dari ruangan itu.

“Bu Nilam sedang ditangani, suaminya sedang bersama dokter. Silakan menunggu,” kata perawat yang kemudian berlalu dengan terburu-buru.

“Mbak sedang menunggui anak saya, Nilam?” tiba-tiba seorang wanita mendekat.

“Saya temannya Nilam.”

”Saya ibunya.”

“Ah, iya … bu Suri kan? Saya hampir lupa, karena lama tidak ketemu. Dulu saya sering pergi main ke rumah dan makan ayam bakar di sana.”

Suri tertawa pelan, kemudian ia ingat Nurin, temannya Nilam, yang anak seorang pengusaha kaya.

“Aduh, nak Nurin ya, ibu lupa, soalnya lama tidak ketemu. Semakin cantik saja. Bagaimana Nilam? Apa sudah melahirkan?”

“Kelihatannya belum, Bu. Saya sedang menunggu. Mas Wijan ada di dalam, entah kenapa. Saya kok jadi berdebar-debar,” kata Nurin.

“Apa? Sebenarnya kenapa? Apa ada masalah?” kata Suri yang tiba-tiba merasa cemas.

Ketika itulah tiba-tiba Wijan keluar.

“Nak Wijan? Bagaimana keadaan Nilam?”

“Nilam harus dioperasi, tadi saya diminta untuk menandatangani surat persetujuan operasi.”

“Mengapa harus operasi?”

“Sudah saatnya melahirkan, tapi pembukaan masih sedikit. Dia juga berteriak-teriak kesakitan, saya tidak tahan, Bu.”

“Ya Tuhan … selamatkan anak hamba,” desis Suri dengan linangan air mata.

“Ibu tenang saja, kata dokter tidak ada yang perlu dicemaskan. Nilam akan segera dioperasi, sekarang sedang dipersiapkan,” kata Wijan untuk menenangkan ‘ibu mertuanya’, sementara dirinya sendiri juga sedang merasa cemas.

“Mungkin Nilam kecapekan,” gumam Nurin yang sejak tadi diam saja.

Ketika pintu terbuka dan Nilam terbaring lemas diatas brankar, Wijan segera memburunya, diikuti Suri dan Nurin.

“Ibu …. “ bisik Nilam lemah, sementara Wijan menggenggam tangannya erat sambil mengikuti jalannya brankar.

“Nilam, ibu di sini, menunggui kamu. Kamu kuat, kamu akan melahirkan cucu ibu yang ganteng, jangan cemas ya,” kata Suri sambil memegangi tangan Nilam yang satunya.

“Doakan ya Bu….”

“Tentu saja ibu doakan, semoga semua lancar, dan kamu serta bayimu sehat.”

“Mas, sakiit ….” rintihnya sambil meremas tangan suaminya.

“Sebentar lagi tidak akan sakit, kamu ibu yang kuat. Jangan lupa, sebentar lagi kita akan menggendong si kecil dengan bahagia,” kata Wijan.

Mereka saling melepaskan genggaman ketika brankar sudah memasuki ruang operasi. Wijan menatap nanar pintu ruang itu, seakan ingin menembus ke dalamnya. Suri menarik tangannya, dan mengajaknya duduk.

“Beberapa hari yang lalu, dia bilang masih bulan depan,” kata Suri.

“Iya Bu, entahlah. Barangkali salah perhitungan, atau barangkali memang harus dilahirkan sekarang.”

“Keburu ingin melihat wajah ayahnya,” kata Nurin sambil tersenyum.

“Benar,” sambung Suri.

Wijan mengangkat ponselnya ketika ponsel itu berdering. Dari Daniel.

“Ya Mas. Mas sudah pulang? Nilam bilang hari ini."

“Aku sudah di rumah, teman Nilam yang menjemput aku. Bagaimana Nilam? Katanya sudah ada di rumah sakit? Aku baru bisa mengabarkan, setelah membenahi barang-barangku.”

“Nilam masih ada di ruang operasi.”

“Operasi?”

“Harus dioperasi, karena … ah, aku tidak bisa menceritakan secara detail. Pokoknya harus dioperasi untuk keselamatan ibu dan bayinya.”

“Keadaannya bagaimana? Apa aku harus ke rumah sakit?”

“Tidak Mas, kita tunggu saja. Mas kan baru sembuh dan belum pulih benar. Nanti aku akan mengabari. Doakan saja agar semuanya lancar dan baik-baik saja.”

“Baiklah, tentu aku doakan. Kabari kalau keponakanku sudah lahir.”

***

Melati sudah disibukkan dengan pekerjaannya. Pesanan nanti malam tidak begitu banyak, tapi selalu membuatnya sibuk, karena Melati sangat teliti dalam mencermati setiap hidangan yang akan disuguhkan. Itu sebabnya pemilik katering memilih Melati sebagai koordinator yang mengurus segalanya. Karena capek itulah ia melupakan bayangan Nurin yang sedang membantu Daniel menurunkan barang-barang dari atas mobilnya.

Tapi ketika semuanya selesai, dan Melati sudah sampai di rumahnya kembali, lalu beristirahat di kamarnya, bayangan itu kembali muncul. Darimana datangnya rasa sakit itu, sementara dia sudah berjanji akan ‘tahu diri’ tentang hubungannya dengan Daniel?

Melati mengelus dadanya, mencoba menghentikan detak rasa sakit yang mengiris. Melati baru sadar bahwa dia memang mencintai Daniel. Tapi ia selalu merasa tak pantas.

“Aku jadi menyesal, mengapa aku harus menoleh ke arah kiri dan melihat pemandangan itu? Aku sadar, dia lebih pantas berdampingan dengan gadis itu. Aku tak harus sakit hati. Aku harus menghentikannya,” gumamnya sambil menutupi wajahnya dengan bantal, dan mencoba meredam rasa sakit yang menghimpit.

Ketika itulah ponselnya berdering. Melati meraih ponselnya, dan menatap wajah tampan yang terpampang di layarnya.

Apakah Melati harus mengabaikannya?

***

Besok lagi ya.

 

 

54 comments:

  1. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  2. 𝘈𝘭𝘩𝘢𝘮𝘥𝘶𝘭𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩.....
    𝘔𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪 𝘦𝘱𝘴_28 𝘴𝘥𝘩 𝘵𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨..
    𝘔𝘢𝘵𝘶𝘳 𝘯𝘶𝘸𝘶𝘯 𝘣𝘶 𝘛𝘪𝘦𝘯, 𝘴𝘢𝘬𝘢𝘮 𝘚𝘌𝘙𝘖𝘑𝘈 & 𝘵𝘦𝘵𝘦𝘱 𝘈𝘋𝘜𝘏𝘈𝘐... 😊😊😊🙏

    ReplyDelete
  3. 🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MELATI 28 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu Tien
    yang baik hati.
    Semoga Bu Tien tetap
    sehat & smangaats.
    Salam Seroja...🌹😍
    🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah tayang *MELATI* ke dua puluh delapan
    Moga bunda Tien sehat selalu doaku
    Aamiin yaa Rabbal'alamiin

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun salam sehat penuh berkat

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah melati 28 sdh tayang , maturnuwun bu Tien... semoga ibu selalu sehat dan bahagia salam hangat dan aduhai bun

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu...

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat,Kisah si Melati tidak bisa di prediksi bikin pinisirin 😄👍
    Maturnuwun🌷🌻🙏🙏👍

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, MELATI 28 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  12. Persaingan mulai memanas. Nurin berhasil memikat hati Daniel dengan penampilan barunya. Bagaimana Melati, sanggup bersaing apa tidak.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  13. Penasaran nih... Gimana ya selanjutnya.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu aduhai.

    ReplyDelete

  14. Alhamdullilah
    Cerbung *MELATI 28* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  15. Alhamdulillah MELATI~28 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  16. Apakah Daniel jatuh hati pada Nurin? Penasaran siapa yang akhirnya jodoh Daniel, Melati atau Nurin? Terimakasih bunda Tien, salam sehat dan axuhai selalu dan selamanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Komariah

      Delete
  17. Hehe...seru nih dibikin bu Tien...Nurin sudah terhubung dengan Baskoro dan Suri, besok mesti dia bingung dengan kekerabatan mereka dengan Nugi yang ruwet itu.😀

    Terima kasih, ibu Tien.🙏

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah
    Terima kadih bunda Tien

    ReplyDelete
  19. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Munthoni

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillaah, Cemburu ya Melati,, ayo diangkat nnt menyesal loh,,,, 😂

    Matur nuwun Bu Tien
    Sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰
    Salam Aduhaiii,, Daniel ,😍

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Semoga Bu atien bersama klg sehat sejahtera selalu. Aamiin
    Salam aduhai

    ReplyDelete
  22. Terimakasih... Bunda Tien, sehat selalu

    ReplyDelete
  23. Sami2 ibu Nanik
    Aamiin atas doanya.

    ReplyDelete
  24. baru saja tayang koq sudah banyak komen....ketinggalan nih. Alhamdulillah episode 29 sudah tayang. Alhamdulillah Nilam sehat dan anaknya juga sehat. Nah ini dua penggemar Daniel bertemu...bagaimana jadinya? tunggu episode selanjutnya. Salam sehat da semangat berkarya katur bu Tien.

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...