M E L A T I 19
(Tien Kumalasari)
Perlahan Daniel mendekat, lalu menyapa dengan lembut.
“Ibu ….”
Karti menurunkan kedua belah tangannya. Matanya yang buram karena basah, tidak bisa melihat jelas siapa yang datang. Ia mengusapnya dengan ujung baju, dan melihat seorang anak muda berdiri berpegang pada sandaran kursi.
“Nak?”
“Saya Daniel, teman Melati.”
“Oh, iya … ttappi … Melati sedang tidak ada di rumah.”
“Apa yang terjadi, mengapa ibu menangis? Melati membuat ibu marah?” tanya Daniel yang kemudian duduk, tanpa dipersilakan.
Karti menggoyang-goyangkan kedua belah tangannya.
“Tidak … tidak … Melati tidak pernah membuat saya marah.”
“Di mana dia?”
“Dia sedang … pergi.”
“Bu, kalau ada sesuatu yang membuat ibu sedih, katakan saja. Siapa tahu saya bisa membantu.”
“Tidak ada … tidak ada … “
“Mengapa ibu menangis?”
Air mata kembali merebak, Karti tak kuasa menahannya. Tapi ia tak ingin mengatakan apapun kepada orang lain tentang permasalahannya. Tidak, Melati tidak akan suka. Semua pedih perih akan mereka tanggung sendiri.
“Bu, saya adalah sahabat Melati. Percayalah saya akan membantu, apapun yang menjadi beban ibu. Tolong katakan Bu, saya bersungguh-sungguh ingin membantu, sebisa saya mampu melakukannya."
“Ini terlalu berat. Tolong berhentilah bertanya.”
“Bu, apakah ibu tidak percaya kepada saya?”
“Saya hanya tidak ingin membebani orang lain dengan permasalahan saya.”
“Saya adalah sahabat Melati. Saya mencintai Melati,” akhirnya Daniel mengatakan perasaan hatinya kepada Karti.
Karti menatap laki-laki ganteng yang duduk dan bersikap seperti penuh perhatian kepada dirinya.
“Oh, apakah nak Daniel tahu, bahwa Melati anak orang tak punya?”
“Siapapun dia, saya mencintainya. Saya belum pernah mengatakan ini kepada Melati. Baru kepada Ibu saya berterus terang.”
Karti hanya diam. Walaupun Daniel mengatakan bahwa dia mencintai Melati, tetap saja dia bukan apa-apanya.
“Maukah ibu mengatakan, kenapa ibu menangis? Dan kemanakah perginya Melati?”
Karti terdiam beberapa saat lamanya.
“Katakan Bu.”
“Saya … hanya sedang teringat kepada suami saya … yang … sudah meninggal,” katanya terbata.
“Hanya karena itu?”
“Iya Nak, dia meninggal, dan karena itu Melati harus bekerja keras.”
“Di mana Melati?”
“Dia … sedang bekerja.”
“Bekerja? Dia baru pulang sore hari, lalu bekerja lagi? Di mana? Masih di tempat katering itu?”
“Tidak …,” Karti ingin mengatakan ‘iya’, tapi pasti Daniel akan menyusul ke sana, sementara kantor katering itu tutup di sore harinya. Kecuali ada pesanan untuk malam, tapi kalau itu terjadi, pasti kesibukannya bukan ada di kantornya.
“Bekerja di mana lagi Bu? Mengapa Melati harus bekerja sekeras itu?”
“Iya Nak, untuk … mencukupi kebutuhan hidup … “
Tapi Daniel tidak percaya begitu saja. Karti sedang berbohong. Hal itu kelihatan dari perkataannya yang agak terbata-bata, dan jawaban yang seperti dibuat-buat. Daniel semakin curiga.
Ketika Daniel ingin mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar ponsel berdering. Karti berdiri, mengambil ponsel itu.
“Sebentar Nak, ada yang menelpon, biar saya menjawabnya dulu.”
“Ya, saya ibunya. Melati sedang pergi. Dia … dia … pergi bekerja ... dia … iya, pak Samiaji, saya … saya … apa? Bagaimana pak Samiaji tahu bahwa Melati bekerja di sana? Apa Melati mengatakannya? Apa? Berbahaya? Iya … iya, saya tahu … tapi … tapi … apa? Bapak tahu semuanya? Tapi … ya Allah … bagaimana ini … apa yang harus saya lakukan? Baiklah, tolonglah Pak, kalau Bapak bisa menolongnya … saya sudah merasa tidak enak sejak sore … di mana alamatnya, saya malah tidak tahu, saya akan menyusul ke sana … Bagaimana? Tidak perlu…?”
Daniel bingung, Karti meletakkan ponsel sambil kembali menangis.
“Bu, saya benar-benar ingin menolong. Ibu bicara tadi, bahwa Melati dalam bahaya? Tolong katakan, saya akan melakukan apa saja.”
“Dia … dia … “
Lalu akhirnya dengan terpaksa Karti menceritakan sekilas tentang sesuatu yang menimpa. Daniel segera bangkit.
“Saya tahu rumah tuan Harjo, namanya Harjono, pemilik dealer kan? Jadi Melati bekerja di sana?”
“Tampaknya tuan Harjo punya niat kurang baik, saya sangat khawatir.”
“Saya akan ke sana sekarang. Sebisa saya akan saya bantu Melati,” kata Daniel yang segera beranjak keluar, lalu memacu sepeda motornya keluar dari halaman.
Karti terpaku di tempat, bingung harus melakukan apa. Ia ingin pergi, tapi pak Samiaji melarangnya. Bagaimana pak Samiaji bisa mengetahui semuanya? Benarkah dia akan menolongnya?
“Nak Daniel pergi ke sana? Ya Allah, bahaya apa yang mengancam anakku?”
Tangis Karti kembali pecah.
“Tolong selamatkan Melati, Ya Allah …”
***
“Bapak jangan pergi sendiri, biar saya mengantarkan Bapak,” kata Ramon yang juga sudah bersiap ketika melihat ayah mertuanya akan pergi.
“Aku menunggu berita dari ayah kamu, berapa sebenarnya hutang Melati kepadanya, tapi dia tidak mengindahkan permintaanku. Sampai sekarang tidak ada kabarnya. Aku sudah menelponnya, tapi tidak diangkat,” omel Samiaji.
“Sebaiknya ditemui lagi saja. Ayah saya hanya sungkan sama Bapak. Saya tidak akan berhasil membujuknya.”
“Baiklah, ayo kita pergi sekarang.”
Raisa tidak mau ikut, karena dia sudah tahu bahwa akan terjadi perdebatan sengit diantara ayah dan mertuanya, mengingat pertemuannya sejak siang belum juga menemukan titik temu.
“Semoga berhasil,” katanya ketika ayah dan suaminya berangkat.
“Non Raisa tidak ikut?” tiba-tiba bibik yang akan menutup pintu heran melihat Raisa ternyata masih ada di rumah.
“Tidak Bik, menemani Bibik saja. Aku jadi penasaran tentang gadis bernama Melati itu. Bibik pernah melihatnya?”
“Ya pernah Non, waktu datang kemari kan bibik yang membukakan pintu. Dia itu cantik, tapi sederhana. Dan walaupun kelihatannya bukan orang berada, tapi dia sangat jujur, dengan mengembalikan dompet bapak.”
“Jaman sekarang jarang ada orang jujur, walaupun ternyata ada.”
“Kalau mau, bisa saja uang di dalam dompet dikuras, baru kemudian dompetnya dikembalikan, dengan alasan hanya nemu dompet dan surat-suratnya saja. Nah gadis itu mengembalikan semuanya, padahal bapak bilang uangnya sangat banyak.”
“Iya, benar. Suatu hari aku ingin bertemu dia.”
***
Ketika Melati menyandarkan sepedanya, dilihatnya Harjo sedang duduk di teras. Barangkali menunggu kedatangannya. Mungkin juga baru saja datang, karena ia melihat mobilnya masih terparkir di halaman. Melati merasa bahwa Harjo akan memarahinya, karena pagi harinya dia pulang sebelum bertemu dengannya. Tapi bukankah tuan muda Ramon yang menyuruhnya?
Melati melangkah perlahan kearah teras. Harjo menatapnya tajam.
“Siapa menyuruh kamu pulang sebelum aku bangun?”
“Saya sudah menyiapkan minum dan sarapan untuk Tuan.”
“Tapi kan kamu belum bertemu aku?”
“Maaf, Tuan. Tuan muda Ramon yang menyuruh saya pulang. Saya tidak berani membantahnya.”
“Dia itu memang lancang. Lain kali kamu hanya boleh melakukan sesuatu yang aku perintahkan, bukan orang lain.”
Melati mengangguk, dan bermaksud beranjak ke belakang, untuk membuatkan minuman.
Tapi Harjo menahannya.
“Tidak usah masuk. Kamu harus ikut aku.”
Melati berhenti melangkah.
“Ikut … ke mana?”
“Pokoknya ikut, di sini banyak pengganggu.”
Melati berdebar.
“Ayo, mobilnya sudah siap.”
“Tidak Tuan, di dalam perjanjian tidak ada yang mengatakan bahwa Tuan akan mengajak saya pergi. Saya hanya akan melakukan pekerjaan di rumah ini.”
“Bodoh. Aku yang berkuasa memerintah, kamu tidak boleh protes.”
Melati mundur, turun dari teras. Ia menolak untuk ikut.
“Melati, dengar. Ini sebagai hukuman, karena kamu mau menyampurkan obat tidur ke dalam jus yang kamu buat,” kata Harjo dengan senyum mengejek.
Melati terkejut. Bagaimana si tuan tua itu bisa tahu tentang obat itu?
“Kamu heran, kenapa aku bisa tahu? Apapun yang dilakukan semua orang di rumah ini, aku bisa mengetahuinya.”
Melati baru sadar. Bibik pembantu pernah mengatakan bahwa banyak kamera dipasang di rumah itu. Melati menyesal melakukannya. Usaha untuk membuat si tuan tua itu tertidur, sia-sia saja, malah dirinya yang dipaksa meminumnya, dan membuatnya terlelap hampir semalaman. Untunglah tidak terjadi apa-apa. Tuhan melindunginya. Tapi sekarang si tua itu akan mengajaknya pergi? Lalu apa yang akan dilakukannya nanti? Melati benar-benar ketakutan.
“Hei, kamu mau ke mana?”
“Saya … tidak mau ikut … saya … di sini saja,” kata Melati dengan gemetar.
Tapi tiba-tiba Harjo berdiri, dan turun dari teras, melangkah mendekatinya.
Melati mundur, sampai ke depan mobil. Ia harus menolaknya, ia ingin lari, tapi kakinya gemetaran.
“Kamu tidak akan bisa lari, Melati. Kamu sudah berjanji akan melayani aku. Atau kamu bisa melunasi semua hutang itu?”
Melati tak bisa berpikir jernih, ia harus kabur, entah bagaimana nanti ia harus mengembalikan uangnya, ia akan meminjam dari perusahaan katering tempatnya bekerja. Biarpun tak mungkin bisa berhutang sebanyak itu, dia harus mencobanya. Dia tak sanggup lagi bekerja semacam yang diinginkan Harjo. Serba tidak jelas, dan selalu membuatnya takut. Ia membalikkan tubuhnya, bermaksud kabur. Tapi tiba-tiba Harjo berhasil mendekapnya dari belakang.
“Tooolooong, lepaskan, aku tidak mau,” jeritnya.
“Kenapa kamu bandel Melati, bukankah kamu sudah berjanji?”
“Saya tidak pernah berjanji untuk mengikuti Tuan pergi, tolong lepaskan, saya akan berusaha mencari uangnya, saya akan berusaha ….”
“Hahaahahaaahhh …. waktumu sudah habis Melati. Lagi pula aku sudah tidak butuh uang itu lagi. Janji yang kamu ucapkan dan tertulis, cukup untuk aku, agar bisa mengikatmu, tidak ada pilihan lain.”
Melati meronta. Pada saat itu ponsel Harjo berdering. Ia memberi isyarat kepada Kabul yang sejak tadi berjaga di sana, agar mengambil ponsel yang tertinggal di meja teras. Kabul berlari mengambilnya.
“Dari tuan Samiaji.”
“Abaikan saja. Oh, tidak, bawa kesini, aku harus menjawabnya, supaya dia berhenti menggangguku.”
Kabul menyerahkan ponselnya. Sebelah tangan Harjo memegangi Melati, sebelahnya lagi mengangkat panggilan telpon.
“Ya Pak. Ada apa?”
“Tolooong ….”
“Harjo, siapa berteriak?”
“Oh, dia pembantu saya,” kata Harjo sambil memberi isyarat kepada Kabul agar membungkam mulut Melati.
Kabul dengan cekatan mengerjakan tugasnya. Ia menarik sapu tangan dekil dari saku celananya, dan menyumpalkannya ke mulut Melati.
“Aku menunggu kabar dari kamu. Berapa hutang Melati?”
“Maaf Pak, saat ini Melati sudah terikat dengan sebuah perjanjian yang dia buat. Jadi saya sudah tidak lagi menginginkan uang.”
“Apa kamu tidak mendengar? Melati adalah kerabatku. Kamu harus melepaskannya.”
“Maaf, Pak.”
“Harjo, kamu melawan hukum, dengan memeras seseorang dan menindas dengan perbuatan kejam.”
“Hukum? Kenapa saya harus takut? Selama saya masih punya uang, tak akan ada yang bisa menentang saya.”
“Harjo!”
“Dan maaf pak Samiaji, hubungan diantara kita tentang modal yang pernah Bapak pinjamkan, sudah saya bayar lunas, bukan? Jadi saya mohon Bapak tidak lagi mengintimidasi saya.”
“Harjo!”
Tapi Harjo sudah menutup ponselnya, lalu melemparkannya ke arah Kabul yang segera menangkapnya.
***
“Ramon, bisakah kamu mempercepat laju mobilnya? Tampaknya Melati dalam bahaya. Aku mendengar teriakan minta tolong.”
“Iya Pak, tapi jalanan macet begini.”
“Hmmmh, kenapa di jam segini jalanan macet sih?”
“Sabar Pak, saya akan masuk ke jalan kecil di depan itu, barangkali bisa cepat sampai di sana.”
“Iya, aku percaya kamu bisa melakukannya.”
Lalu Ramon mencari jalan ke arah kiri, agar bisa masuk di sebuah gang kecil di depannya.
“Perasaanku tak enak. Aku menyesal tidak menyelesaikannya sejak siang tadi. Soalnya aku pikir dia masih mau mendengarkan apa kata saya.”
“Tenang Pak, kita sudah terlepas dari kemacetan, biarpun jalannya tidak rata, tapi barangkali kita bisa lebih cepat sampai.”
***
Harjo dengan sekuat tenaga menarik Melati yang meronta-ronta. Pada saat itulah di pintu gerbang berdiri seseorang, yang kemudian menerobos masuk karena gerbangnya terbuka. Penjaga membukanya karena Harjo mau keluar dengan mobilnya saat itu.
“Mmppphh…mmmmh …” Melati melambaikan tangannya melihat siapa yang datang. Ia tak harus bertanya bagaimana Daniel bisa datang, yang jelas dia berharap Daniel bisa menolongnya.
“Lepaskan gadis itu!” teriaknya.
“Kamu siapa? Gadis ini milikku.”
Harjo memberi isyarat kepada Kabul agar membuka pintu mobil, lalu Harjo melemparkan Melati ke dalamnya.
"Jaga dia, jangan sampai kabur," perintahnya kepada Kabul, sebelum kemudian dia masuk ke dalamnya dan mengunci pintunya.
“Hentikaaan!!!” Daniel berteriak. Tapi Kabul dengan tubuh kekarnya kemudian mendekat dan menariknya, lalu membantingnya ke arah samping.
Harjo yang sudah ada di belakang setir, lalu memacu mobilnya keluar dari halaman.
***
Besok lagi ya.
Suwun mb Tien
ReplyDeleteSmg sht sll
DeleteSami2 Yangtie
DeleteIbu, jangan kejam-kejam kepada Melati Bu. Kasihan dia.
DeleteAlhamdulillah tayang *MELATI* ke sembilan belas
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa Rabbal'alamiin
🌼🌷🪴🌼🌹🪴🌼☘️🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah ..... Melati_19 sudah hadir tepat waktu.....
Matur nuwun, bu Tien.
Semoga gak pada penasaran, pas tegang²nya..........
Besok lagi ya.
🌼🌷🪴🌼🌹🪴🌼☘️🌷
Sami2 mas Kakek
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete💜🪻💜🪻💜🪻💜🪻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 19 sdh hadir.
Bismillah, semoga Melati
selamat dr si tua bangka
Harjono...Orang baik akan
ketemu dgn orang baik
pula, utk menolongnya.
Duuuh penisirin trs nih
akhirnya...🤔
Matur nuwun Bu Tienkuuh.
Doaku smoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam aduhai...😍🌹
💜🪻💜🪻💜🪻💜🪻
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Terimakasih melati 19
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Wiwik
DeleteAlhamdulillah.semoga Bunda tetap sehat dan semangat.akhirnya semua siap menolong Melati.Maturnuwun sanget
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah ..Terima kasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Atiek
DeleteIni dia puncak ketegangan yang ditunggu. Tapi mungkin Harjo akan lolos dari Daniel. Apalagi ada Pengawal yang bertubuh besar.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulilah Melati 19 sdh tayang, maturnuwun bu Tien... semoga bu Tien selalu sehat dan bahagia ..salam hangat dan aduhai bun
ReplyDeleteOalaaah harjo harjo..
Sdh nekat banget .. untunglah ada daniel... dan pak samiaji yg akan.menolong melati. Gak sabar nunggu lanjutannya
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Hamdallah...cerbung Melati 19 telah tayang
ReplyDeleteTaqaballahu Minna Wa Minkum
Terima kasih Bunda Tien
Sehat selalu nggeh Bunda. Bahagia bersama Keluarga di Sala.
Waduh cerita nya benar benar menegangkan, Harjono nekat membawa kabur Melati.
Semoga Daniel berhasil menjadi pahlawan nya Melati...
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Aduuh...mbak Tien, aku benar-benar deg-deg an...
ReplyDeleteMaturnuwun, Melati 19 sudah hadir
Hehee... sampai kedengaran dari sini lhoh..
DeleteSami2 jeng Iyeng
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteTerimakasih bu Tien, Melati sdh muncul. Salam sehat sll.
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 19* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah, Matur nwn bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bams
Trm ksh bu Tien, Melati 19 sdh tayang. Semakin seru. Salam sehat sll bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, MELATI 19 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Aamiin
ReplyDeleteTerima kasih ibu Uchu
Rasanya ikut sport jantung baca ini. Terimakasih.. Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Salamah
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng In
Alhamdulillah MELATI~19 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲.
Matur nuwun jeng Tien Aku baca sampek panas dingin rasanya
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien...ceritanya makin seru. Tetap sehat njih Bu....
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Melati ke 19 hadir.. terimakasih bunda Tien. Salam sehat selalu dan aduhai selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAsyiikk....pahlawan sejati sudah datang, siap menolong Melati. 👍👍
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Sehat selalu ya...🙏🙏🙏😘😘😀
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin seruu..
Salam hangat selalu aduhai
Alhamdulillaah, baru bisa baca Melatihku,,
ReplyDeleteCucian baju menumpuk, mesin cuci rusak , alhamdulillah,, sabaaar ,hihi😁
Daniel kamu TDK apa-apa kan ,,
Wah kabur si Harjo,, nnt di pintu ketemu Ramon bisa hukum yg bicara nih,,,🤩
Matur nuwun Bu Tien
Salam sehat wal'afiat selalu
🙏🤗🥰
Alhamdulillah... Sehat selalu mbakyu...
ReplyDeleteMulai panas
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien