M E L A T I 01
(Tien Kumalasari)
Langit mendung sejak pagi. Matahari malu-malu menampakkan diri. Sedikit awan yang menyibak, menampakkan sinar yang samar, tak membuat udara menjadi panas. Ketika awan berarak kembali menjadi tirai kelabu, sorot cemerlang yang biasanya memancar itu kembali padam.
Walau begitu, di sebuah warung soto banyak pembeli yang memenuhi berderet kursi yang ditata rapi.
Baskoro dengan cekatan melayani setiap pemesan, dengan dibantu oleh dua orang karyawan yang meladeni pelanggan.
Senyum sumringah selalu menghiasi bibirnya, menandakan bahwa dia melayani semua orang dengan sangat ramah.
Sudah setahun Baskoro menekuni menjadi penjual soto, yang semula dijalani dengan coba-coba. Tidak disangka, warung yang semula hanya memiliki pembeli satu atau dua orang, sekarang sudah menjadi puluhan orang, bahkan terkadang bisa seratusan orang lebih.
Warung soto yang kemudian oleh Daniel diberinya nama SOTO BASKORO itu sudah dikenal oleh banyak orang. Sotonya enak, pelayanannya menyenangkan, penjual yang sudah setengah tua itu juga tampak bersih dan ramah.
Bagaimanapun Baskoro harus berterima kasih kepada Daniel, yang mengangkatnya dari manusia jalanan dengan predikat peminta-minta, menjadi juragan soto yang disukai. Sebelumnya Baskoro tidak pernah memimpikan kehidupan seperti yang dijalaninya sekarang. Ia bahkan pasrah ketika panas menyengat tubuhnya, dan hujan membasahi tubuhnya pula. Tanpa semangat ia melangkah, seperti ingin menunggu kematian agar segera menjemputnya.
Tapi kehadiran setetes benih yang kemudian menjadi seorang anak yang cakap dan pintar, membuatnya hidup yang benar-benar hidup. Walau pengakuan dari si anak belum didapat, tapi kehadirannya seperti embun mengguyur jiwanya yang kekeringan, menghidupkan semangatnya yang sudah sekarat. Memiliki sesuatu, adalah sebuah sinar penerang yang akan menerangi langkahnya. Dan sesuatu itu bernama Anugrah.
Hari sudah siang, ketika rintik hujan mulai turun. Beberapa orang berlarian ke arah warungnya. Sekedar berteduh sambil mengisi perut yang sudah keroncongan.
Seorang gadis dengan baju basah sudah berada di depan warung itu, dengan sepeda kayuh yang kemudian di sandarkannya di samping warung. Tapi dia tidak segera masuk. Dia hanya ingin memesan soto.
“Masuklah Nak,” Baskoro mempersilakannya dengan ramah.
“Tidak Pak, saya hanya ingin memesan sebungkus soto, untuk saya bawa pulang,” katanya.
Baskoro menyuruh seorang pelayan untuk membawakan sebuah kursi, agar gadis itu bisa duduk sambil menunggu pesanannya.
“Terima kasih,” kata si gadis dengan lembut. Suaranya yang merdu, menggelitik telinga siapapun yang mendengarnya. Pelayan itu bahkan berkali-kali menoleh ke arahnya, sampai hampir menabrak seorang pembeli yang mau keluar.
“Hei, Mas … hati-hati,” tegur pelanggan itu.
“Maaf, … maaf,” pelayan itu menyingkir sambil terbungkuk-bungkuk.
“Saya mau membayar Pak, berapa habisnya? Semangkuk nasi soto, sebutir telur pindang, dua potong sosis dan dua kerupuk.”
Baskoro mencatat apa yang dibelinya, kemudian menyodorkan total semua pembeliannya.
Pelanggan itu membayarnya.
“Masih hujan Pak, tuh, semakin deras,” Baskoro mengingatkan.
“Saya membawa mobil, lagipula saya sedang terburu-buru.”
Baskoro memerintahkan pelayan warung untuk mengambil payung, untuk memayungi sang pelanggan, sampai ke mobilnya. Pelanggan yang baik hati itu memberikan tip untuk pelayan itu, tapi kemudian ia menyerahkannya kepada Baskoro.
“Apa ini?”
“Bapak itu memberi saya uang, ini, Pak.”
“Mengapa kamu berikan ke aku? Ya sudah, ambil saja. Itu rejeki kamu,” kata Baskoro menolak.
Wajah pelayan itu sumringah. Baskoro memang majikan yang baik hati.
“Terima kasih, Pak.”
“Ini pesanan ibu yang di bangku pojok itu,” Baskoro memberi perintah, lalu ia melayani gadis yang duduk di depan warung.
“Hanya sebungkus Mbak?”
“Iya Pak, hanya untuk ibu saya.”
“Pakai nasi?”
“Tidak, soto saja.”
“Baiklah, tapi kalau mau, ada makanan ditata di belakang saya ini.”
“Tidak Pak, soto saja.”
“Baik.”
Baskoro sudah membungkus soto yang dipesan, lalu menyerahkannya kepada si gadis.
“Berapa Pak?”
“Lima belas ribu saja, Mbak. Tapi masih hujan, tunggu dulu sebentar, sampai agak reda.”
“Tidak apa-apa Pak, saya membawa jas hujan.”
“Meskipun begitu hujannya sangat deras lhoh.”
“Nggak apa-apa, ibu saya sedang menunggu. Dia sedang sakit.”
“Oh, maaf. Semoga setelah makan soto ini, ibu Mbak segera sembuh.”
Gadis itu tersenyum, menampakkan lesung pipit yang amat manis. Kemudian dia melangkah ke arah sepedanya, mengambil sesuatu yang tergantung di sana, yang ternyata sebuah jas hujan.
Ia mengenakan jas hujannya, kemudian meletakkan bungkusan soto di keranjang depan, lalu menuntunnya pergi, membelah derasnya hujan, yang disertai petir menggelegar.
Baskoro menatapnya khawatir.
“Hati-hati Mbak,” ia berteriak.
Pelayan yang tadi mengambilkan kusi, ikut melongok ke arah perginya si gadis.
“Dia itu bekerja di tukang katering yang ada diujung jalan sana,” katanya pelan.
“He, rupanya kamu sering memperhatikan dia ya? Makanya tadi sampai menabrak pembeli,” tegur Baskoro.
Pelayan warung itu hanya meringis lalu pergi melayani pembeli yang melambaikan tangan ke arahnya.
***
Seorang ibu yang tampak sakit, tertatih membuka pintu rumah, ketika mendengar ada yang menggedor-gedornya.
Seorang laki-laki yang tidak muda lagi, berdiri di depan tangga teras, dan seorang laki-laki berbadan besar berdiri di depan pintu, menatapnya dengan mata garang.
“Bapak mencari siapa?”
“Ini rumah Suyono kan?” kata laki-laki garang itu, tanpa mengucapkan salam.
“Iya, benar, saya Karti, istrinya. Tapi suami saya sudah meninggal setengah tahun yang lalu,” kata Kartini.
“Ya, saya tahu. Tapi apakah ibu tahu bahwa suami ibu meninggalkan hutang sebanyak lima puluh juta?”
“Apa?” Karti, terkejut setengah mati. Tubuhnya lemas karena tiga hari sakit panas, ditambah berita mengejutkan itu, membuatnya terhuyung, hampir jatuh dan pasti akan benar-benar jatuh kalau tidak segera berpegang pada daun pintu.
“Ibu terkejut ya? Suami ibu tidak pernah mengatakannya?”
Karti menggeleng lemah.
“Saya tidak tahu menahu.”
“Sekarang ibu sudah tahu kan? Dan karena itu adalah hutang suami ibu, maka ibu harus ikut bertanggung jawab untuk membayarnya. Lima puluh juta, ditambah bunga dua puluh persen setiap bulan. Padahal sudah hampir setahun. Apa saya perlu mengambil kalkulator untuk menghitungkannya?” kata laki-laki kasar itu tak kenal belas.
“Ss… ssess … saya … mana punya uang sebanyak itu ?”
“Saya tidak mau tahu. Tuan Harjo sedang menunggu. Dan katakan kalau tidak sekarang, kapan ibu akan membayarnya,” kata laki-laki itu sambil menunjuk ke arah laki-laki tambun yang berdiri sambil mengetuk-ngetukkan tongkat penyangga tubuhnya.
“Tt… tapi … ba … bagaimana ssaya .. bisa membay … yar sebanyak itu, saas.. saaaya hanya seorang … penjahit … dan …”
“Begini saja Bul, saya capek berdiri di sini. Katakan, kita beri waktu seminggu, kita akan kembali kemari. Kamu nanti yang mengurus dia,” kata tuan Harjo sambil menuruni tangga teras. Tapi karena licin habis hujan, tuan Harjo terjatuh.
“Aaaauuuwww… Bul … Kabul … “
Laki-laki yang dipanggil Kabul itu bergegas mendatangi majikannya, dan membantunya bangkit. Untunglah dia tidak terluka. Kabul membantunya berjalan menuju mobil, dan masuk ke dalamnya. Setelah itu Kabul kembali menemui Karti yang gemetar di depan pintu.
“Ibu dengar? Seminggu lagi saya akan kembali. Tolong disiapkan lima puluh juta dan bunganya selama setahun, mengerti?” kata Kabul sambil bergegas pergi, masuk ke dalam mobil dan membawa tuannya pergi.
Karti ambruk di depan pintu, pingsan.
***
Hujan mulai reda ketika Melati mengayuh sepedanya. Ia pulang setengah hari dari pekerjaannya sudah selama tiga hari ini, karena ibunya menderita sakit.
Ia melepaskan jas hujannya, menyampirkan sementara di setang sepedanya, kemudian mengambil bungkusan soto yang tadi dibelinya.
“Sudah agak dingin, aku akan memanaskannya lagi, supaya lebih enak ibu memakannya,” gumamnya sambil melangkah ke arah rumah.
Tapi Melati terkejut, ketika melihat ibunya terbaring diam di depan pintu.
“Ibuuuu!” Melati menjerit sekuatnya. Ia meletakkan bungkusan soto begitu saja di lantai, kemudian menubruk tubuh ibunya.
“Ibu … ibu … ibu kenapa?” rintihnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh ibunya yang tak bergerak.
Melati berlari ke arah dalam, memasuki kamar ibunya dan mengambil minyak kayu putih yang memang selalu tersedia di sana.
Ia keluar lagi, menggosokkan minyak itu di bawah hidung ibunya, sambil memanggil namanya terus menerus.
Mata kuyu itu terbuka, Melati sedikit merasa lega.
“Melati … kamu … sudah pulang?”
“Iya Bu, kan Melati sudah bilang, selama ibu sakit, Melati hanya akan bekerja setengah hari. Melati sudah minta ijin.”
Karti berusaha bangkit. Melati membantunya, dan memapahnya masuk ke dalam kamar.
“Sebenarnya ibu kenapa?”
Karti terdiam. Ia tak ingin membuat anaknya ikut memikirkannya.
“Tidak apa … apa, ibu hanya ingin menghirup udara diluar, setelah hujan pasti hawanya segar.”
“Ibu kan masih sakit, tiduran saja dulu.”
“Baju kamu basah? Kamu kehujanan?”
“Hanya basah sedikit, Melati memakai jas hujan. Oh ya Bu, ibu belum makan kan? Melati membeli soto, tapi karena kehujanan, jadi agak dingin, biar Melati hangatkan sebentar ya Bu.”
“Kamu ganti bajumu saja dulu, nanti masuk angin.”
“Ya, gampang. Ganti baju sambil menghangatkan soto kan juga bisa,” kata Melati sambil membalikkan badan, keluar dari dalam kamar.
Karti menghapus air matanya yang menitik. Rasa nyeri menambah beban sakitnya yang sebenarnya sudah membaik. Seperti mimpi dia ketika tiba-tiba seseorang datang dan menagih hutang suaminya. Tidak tanggung-tanggung, lima puluh juta berikut bunga dua puluh persen per bulan selama setahun? Tanpa bunga pun mana dia sanggup membayarnya.
Ia teringat bagaimana suaminya meninggal Ia dikeroyok orang ketika sedang berjudi. Ya, almarhum suaminya adalah seorang peminum dan penjudi. Ia meninggal dengan cara yang sangat mengenaskan. Di keroyok orang. Apakah pengeroyok itu membunuh karena suaminya berhutang? Karti tak tahu. Sejauh ini belum ada yang datang mengusiknya, dan berbicara tentang menyebab suaminya dikeroyok sampai meninggal.
Tapi siang itu …
Karti buru-buru mengusap air matanya ketika mendengar pintu kamar dibuka. Jangan sampai Melati tahu apa yang menimpanya.
“Bu, sotonya sudah siap, Melati juga sudah mengambilkan nasi di dalam piring.”
“Ya, taruh saja di situ.”
“Ibu ini bagaimana. Susah-susah Melati memanaskan soto, supaya ibu bisa menikmatinya lebih enak. Kalau nanti-nanti, kembali dingin, ya hilang enaknya. Melati suapin ya.”
“Biar ibu duduk, dan makan sendiri.”
“Baiklah kalau begitu. Melati tuangkan dulu sotonya ya. Hati-hati, jangan sampai tumpah,” kata Melati sambil duduk di dekat pembaringan ibunya.
Tapi Melati agak heran, tadi pagi ibunya sudah kelihatan lebih segar, kenapa siang ini kembali pucat. Makanpun seperti terpaksa, sementara pagi tadi makan nasi gudeg yang dibeli didekat rumah, dengan lahap.
“Apa ibu merasa sakit?” tanyanya sambil memegang tangan ibunya. Tidak panas, cenderung dingin.
“Ibu tidak apa-apa.” kata Karti.
“Kenapa makannya kelihatan tidak berselera? Katanya ibu pengin soto. Apa harus Melati sendiri yang memasaknya? Maaf Bu, akhir-akhir ini katering sedang ramai, sehingga Melati tidak sempat masak untuk ibu.”
“Bukan … bukan karena ibu ingin kamu memasak. Ini cukup untuk ibu, ibu senang. Sotonya enak. Dagingnya empuk, jadi enak mengunyahnya.”
“Sepertinya kok tidak lahap, ibu makannya?”
Sang ibu tersenyum.
“Iya lah Nak, gigi ibu sudah banyak yang goyah, sedangkan mengunyah daging itu kan harus pelan.”
Melati tersenyum, tapi ia tahu, itu bukan karena daging. Bukankah baru saja ibunya bilang bahwa dagingnya empuk?
“Bu, kalau ibu merasakan sakit, ibu bilang saja. Besok Melati mau ijin lagi untuk mengantarkan ibu kembali ke puskesmas.”
“Jangan, kamu sudah ijin masuk setengah hari selama tiga hari. Nanti atasanmu menjadi kurang senang sama kamu.”
“Alasan Melati kan kuat, ibu sakit.”
“Ibu tidak apa-apa, percayalah, ibu akan menghabiskan soto ini.”
Melati menghela napas, ia melihat ibunya makan seperti tergesa-gesa, tapi tampak terpaksa. Sesekali sang ibu tersedak.
“Bu, pelan-pelan saja makannya.”
Dan akhirnya memang sepiring yang disiapkan Melati habis, lalu Melati membawa sisa makanan dan piring kotor keluar, setelah meminumkan obat untuk ibunya.
Karti kembali mengusap air matanya ketika melihat anaknya sudah keluar. Apakah dia kuat menanggung beban ini seorang diri? Benarkah ia harus merahasiakan semuanya pada Melati? Seminggu lagi lintah darat itu akan kembali. Apa yang harus dilakukannya?
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah cerbung perdana berjudul MELATI, sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, jaga kesehatan agar sehat selalu & selalu sehat.
Salam ADUHAI......
Sami2 mas Kakek
DeleteMatur nuwun
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah..cerbung baru ..MELATI ..sdh tayang
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien .semangat sehat
Sami2 ibu Nuning
DeleteMatur suwun ibu Tien Melati 01 sudah tayang
ReplyDeleteSalam tahes Ulales tetap semangat ibu 🙏❤️❤️
Sami2 jeng Lina
DeleteSalam tahes ulalesjuga
Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang perdana.
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah tayang perdana *MELATI*
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa Rabbal'alamiin
Alhamdulillah cerbung enggal sampun tayang,matur nuwun ,mugi bunda Tien tansah pinaringan kasarasan.
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Isti
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteADUHAI ADUHAI ADUHAI
jeng In
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien 🙏
Sami2 ibu Indrastuti
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 01* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah serie baru matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Djuniarto
DeleteAlhamdulillah ,
ReplyDeleteTerima kasih bunda cerbung baru MELATI sudah tayang ,
Semoga bunda sehat walafiat
Aduhai hai hai hai
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Hamdallah
ReplyDeleteAsyiikk...cerbung baru sudah muncul, jadi trilogi benar nih...terima kasih, bu Tien. Salam sehat selalu.🙏🙏🙏😀
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteSalamsehat juga
Mtrnwn mbak Tien, tetap produktif
ReplyDeleteSami2 jeng dokter
DeleteDaripada ngelamun jeng
🌼🤍🌼🤍🌼🤍🌼🤍
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🩷
Cerbung baru MELATI
sudah hadir.
Luar biasa Bu Tien,
trs berkarya menghibur
kita semua penggemarnya.
Matur nuwun nggih🙏😍
Semoga Bu Tien & kelg
sehat & bahagia selalu.
Salam aduhai...😍🤩
🌼🤍🌼🤍🌼🤍🌼🤍
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sari
Wadooh nyegat Melati telat
ReplyDeleteMbak Yaniiiiikkk
ReplyDeleteAlhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal a'fiat.Bunga Melati yang Indah harum mewangi 👍 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah, cerbung MELATI telah hadir,, dg penderitaan hidup nya
ReplyDeleteKasihan ya,,..😔
Matur nuwun Bu Tien
Salam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Sami2 ibu Ika
DeleteAlhamdulillaah .... cerbung baru...terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah, MELATI 01 telah tayang perdana, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
𝙎𝙚𝙡𝙖𝙢𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙈𝙀𝙇𝘼𝙏𝙄
ReplyDelete𝘼𝙡𝙝𝙖𝙢𝙙𝙪𝙡𝙞𝙡𝙡𝙖𝙝..
𝙎𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙨𝙚𝙝𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙩𝙖𝙥 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩.. 🌿
Salam srhat juga cak
DeleteMatur nuwun Bu Tien atas cerbung barunya, barakallah. Tetap sehat njih Bu...aamin.
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Fresh
ReplyDeleteAlhamdulillah MELATI sdh hadir. Matursuwun Bu Tien semoga sehat selalu dan semangat ,💪🙏
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah ternyata MELATI~01 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat semangat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah.. cerbung perdana Mejatu sudah tayang, terimakasih bunda Tien...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMelati itu putih bersih harum mewangi. Semoga demikian juga tokoh kita yang baru ini.
ReplyDeleteApa tukang renten itu mau menukar uang lima puluh juta dengan Melati ya...
Kita tunggu saja
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Cerita baru MELATI lbh seru kayaknya
ReplyDeleteTerimakasih Bunda Tien sehat selalu
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Telah tayang cerbung baru "MELATI"
Semoga lancar & ibu tien sehat2 , selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yaa rabbal'alamiin
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSdh tayang cerbung barunya.
Salam sehat selalu ,aduhai