Friday, September 29, 2023

BERSAMA HUJAN 05

 BERSAMA HUJAN  05

(Tien Kumalasari)

 

Mobil yang dikendarai Elisa terus masuk ke dalam, lalu memarkirnya di area parkir. Ia turun dan melangkah sambil matanya mencari-cari. Tapi tempat di sekitar itu tampak tak banyak orang berseliweran. Tampaknya semua sedang berada di dalam ruangan. Elisa berjalan ke arah belakang, ia tak tahu di mana Romi berada. Dimana kelasnya. Baru sekali itu ia datang ke kampus kekasihnya.

Karena kesal, ia kembali ke tempat parkir, mencari-cari, barangkali dia mengenali yang mana mobil Romi. Tapi sudah beberapa tahun dia pergi, barangkali juga Romi sudah berganti mobil.

Elisa kembali masuk ke dalam mobil, mencoba menelpon nomor kontak Romi, tapi nomor itu rupanya sudah tidak aktif lagi. Rupanya Romi juga sudah mengganti nomor kontaknya. Elisa agak kesal. Ia tidak mengabarinya terlebih dulu, bermaksud memberinya kejutan. Tapi dia kesal karena tidak segera bertemu yang dicarinya.

Lebih dari satu jam Elisa menunggu, ketika kemudian dia melihat seorang gadis lewat di dekat parkiran. Ia segera melongok melalui jendela mobilnya sambil berteriak.

“MBak … tunggu Mbak..”

Ia turun, dan yang dipanggilnya berhenti.

“Hallo, nama saya Elisa,” katanya setelah dekat, mencoba bersikap lebih ramah.

“Ya, saya Aisah.”

“Saya ingin bertemu tunangan saya, dia ada di mana ya?”

“Tunangan Mbak, siapa?”

“Namanya Romi, Romi Darmajaya.”

“Oh.”

“Di mana ya dia?”

Wajah Aisah langsung muram mendengar nama itu. Ingatan akan cerita Andin masih tercetak jelas dalam ingatannya, membuatnya geram dan marah. Tadipun di kelas dia sama sekali tidak menyapanya.

“MBak Aisah tahu nggak?”

“Mm, maaf, saya tidak tahu. Permisi ….”

Aisah langsung ngeloyor pergi, menuju ke arah parkiran sepeda motor.

Elisa merengut.

“Heran, tak ada yang ramah mahasiswa di negara ini,” gumamnya pelan, sambil matanya mengamati ke arah segerombolan anak muda yang keluar setelah Aisah. Mata Elisa berbinar, melihat Romi berjalan ke arah parkiran. Tapi ada yang membuatnya agak kesal, ketika melihat Romi menarik-narik tangan salah seorang gadis, sementara itu sang gadis berteriak-teriak marah.

“Romi!!” kali itu Elisa berteriak, membuat Romi melepaskan cekalannya pada gadis yang tadi diganggunya.

Matanya terbelalak melihat siapa yang memanggilnya. Ia segera berlari mendekat.

“Elisa?”

Begitu dekat, Elisa langsung merangkulnya dan menciumnya bertubi-tubi. Perlakuan itu membuat banyak mahasiswa menatap ke arah mereka. Lalu mereka tersenyum mengerti. Gadis itu cantik, wajahnya ‘indo’ matanya biru. Pantas berciuman di tempat umum dengan tanpa rasa malu.

“Hei, hentikan. Kamu membuat tontonan gratis di sini, tahu,” kata Romi sambil terkekeh, lalu menariknya ke mobilnya.

“Aku bawa mobil sendiri.”

“Bodoh, kenapa bawa mobil? Kita sendiri-sendiri dong.”

“Nggak apa-apa, atau mau kamu tinggal saja mobil kamu di sini, nanti bisa diambil lagi kan?”

“Kita mau ke mana?”

“Ke mana saja, asal senang. Aku kangen sama kamu, tahu.”

Romi tertawa, sambil menepuk pipi Elisa dengan mesra.

“Aku juga kangen.”

“Tapi aku nggak suka tadi kamu menarik-narik teman wanita kamu,” kata Elisa merengut.

“Ah, hanya bercanda, apa salahnya?”

Elisa segera menarik Romi menuju ke arah mobilnya, dan membiarkan Romi membawanya. Mereka pergi dengan tatapan para mahasiswa ke arah mereka.

“Pacar Romi?”

“Aku dengar, dia bilang tadi tunangannya.”

“Oh ya? Sudah punya tunangan, masih suka gangguin gadis-gadis. Dasar.”

Celoteh teman-temannya bersahutan.

Aisah yang belum keluar dari kampus, juga melihat mereka, tapi dengan tatapan marah yang tak juga padam.

“Sudah punya tunangan, kelakuannya sangat menjijikkan,” geramnya sambil berlalu.

***

Andin sudah sampai di rumahnya, saat sang ayah belum pulang, Hari memang masih tergolong siang saat dia selesai dengan kuliahnya. Ia memasuki rumah sambil mengusap keringat yang membasahi wajahnya dengan tissue. Beruntung dia bisa naik sepeda motor pergi dan pulang kuliah. Juga nanti saat berangkat bekerja.

Ia meneguk air putih yang tersedia di meja, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia makan dari lauk yang disediakannya sejak pagi, setelah berganti baju rumahan. Masih ada tersisa waktu yang cukup sebelum dia berangkat bekerja.

Dokter Faris berpesan bahwa hari ini dia harus datang lebih awal. Itu benar, karena harus banyak yang dia pelajari sebelum dia mulai mengerjakan segala sesuatunya.

Karena itulah dia segera membersihkan rumah, menyiapkan minum dan bahkan menata meja makan, barangkali ayahnya ingin cepat-cepat makan tanpa harus menunggunya pulang.

Jam setengah empat sore, Andin sudah menyiapkan sepeda motornya, membersihkannya dari debu, supaya nanti dokter Faris tidak kecewa melihat motornya tidak terawat. Ia sudah rapi sekarang. Setelah menutup semua pintu, ia menulis pesan singkat kepada ayahnya, bahwa dia sudah berangkat kerja. Setelah itu barulah dia memacu kendaraannya ke tempat praktek dokter Faris.

Begitu sampai di sana, dilihatnya ruang praktek dokter Faris sudah terbuka. Ia memarkir kendaraannya, lalu melangkah masuk dengan berdebar. Jangan-jangan dia terlambat.

Andin berdiri di tengah pintu, dan melihat dokter Faris duduk di kursi kerjanya. Andin mengangguk hormat, dan dokter Faris menyambutnya dengan senyuman.

“Masuklah,” katanya lembut.

Andin melangkah maju, kemudian dokter Faris memerintahkannya duduk.

“Maaf, apakah saya terlambat?” tanyanya takut-takut.

“Tidak, jam kerja kamu masih satu jam lagi.”

“Oh …” Andin menghela napas lega.

“Mari aku tunjukkan, apa yang harus kamu lakukan,” kata dokter Faris sambil berdiri, lalu berjalan ke arah ruangan samping yang berhubungan dengan ruang tunggu. Ada almari penuh dengan kartu-kartu, dan tertera tanggal, bulan dan tahun di setiap deretnya.

“Kartu-kartu ini ada nama pasien, yang sudah disusun menurut abjad

. Lihatlah.”

Andin mengangguk” mengerti.

“Setiap pasien harus selalu membawa kartu pasien, dimana disitu tertulis nama, kapan dia berobat. Kamu harus mencari kartu seperti ini, disini. Ini namanya kartu anamnesa, yang berisi catatan penyakit pasien ketika berobat sebelumnya,” lanjut sang dokter.

Andin tampak mengangguk mengerti.

“Jadi setelah kartu anamnesa ini ketemu, kamu tumpuk di meja saya, sesuai nomor pendaftaran pasien. Sampai di sini adakah yang ingin kamu tanyakan?”

“Berarti setiap pasien yang mendaftar harus diberi nomor. Kan?”

“Tentu saja, begitu mereka datang, lalu mengambil nomor. Ini nomornya, sudah tersusun rapi,” kata dokter Faris sambil menunjukkan kartu kotak-kotak kecil bertuliskan nomor urut.

Banyak yang dikatakan dokter Faris, dan dicatat hati-hati dalam benaknya.

Jam setengah lima, Andin sudah siap duduk di pojok ruang tunggu. Ia siap melaksanakan tugasnya.

Tidak begitu sulit, hanya saja membutuhkan ketelitian, jangan sampai keliru mencocokkan kartu pasien dan kartu anamnesa yng harus diserahkannya kepada sang dokter.

Jam lima kurang seperempat, sudah ada pasien datang mendaftar. Seorang ibu yang berbadan gemuk tergesa mengambil nomor.

“Ah, untunglah, aku dapat nomor satu,” katanya sambil duduk di dekat pintu msuk ruang praktek, setelah meletakkan kartu di depan Andin. Lalu ia menatap Andin, tampak heran karena baru sekali melihatnya.

“Mbak, suster baru ya?” tanyanya ramah.

“Iya Bu.”

“Cantik,” katanya pelan, disambut senyuman manis oleh Andin, yang segera mengambil kartu itu, lalu berdiri menuju ke arah rak yang tadi ditunjukkan dokternya, untuk mencari kartu anamnesa pasien tersebut.

Tak lama setelah itu, bergantian pasien datang.

Andin mulai menyukai pekerjaannya, walau belum lancar benar. 

Saat dia baru saja menumpuk kartu yang kemudian dibawanya ke ruang praktek, dokter Faris sudah duduk di kursi kerjanya.

“Panggil pasien pertama, dan setelah selesai kamu juga yang bertugas memanggil pasien berikutnya,” titah sang dokter.

“Baik. Bisa sekarang, Dok?”

“Ya, sekarang.”

Karena dokternya sudah siap, maka Andin segera memanggil pasien pertama yang harus dilayani.

Andin tersenyum senang. Ia mulai mengerti apa yang harus dilakukannya.

Hari itu ada sebelas pasien yang mendaftar.

Jam setengah delapan, pasien sudah bersih. Andin kembali menyusun kartu-kartu ditempatnya semula.

Saat dia akan membereskan mejanya, dokter Faris keluar sambil membawa setumpuk pakaian berwarna putih.

“Andin, setiap kali kamu bertugas, pakailah ini, biar kelihatan rapi.”

Andin menerima tiga buah baju putih yang diberikan sang dokter.

“Ini cukup kamu pakai diluarnya saja, tidak usah mengganti semua baju kamu.”

Andin mengangguk sambil tersenyum.

“Seperti dokter dong,” katanya lirih.

“Iya, biarlah seperti dokter. Aku hanya ingin agar kamu kelihatan seperti asisten dokter yang mengurusi pasien-pasiennya.”

“Baik, dokter.”

“Simpan di almari itu. Kalau sudah kotor, berikan ke belakang, biar bibik mencucinya.

Saat dokter berbincang, seorang wanita setengah tua keluar sambil membawa baki berisi segelas teh hangat.

“Diminum dulu Non.”

“Nah, ini bibik. Dia yang melayani aku di rumah ini,” kata dokter Faris.

“Oh, kenalkan Bibik, saya Andin, pembantunya dokter Faris yang baru,” kata Andin memperkenalkan diri.”

“Iya Non, maaf terlambat membawakan minuman untuk Non.”

“Tidak apa-apa Bik, terima kasih banyak.”

Bibik tersenyum, kemudian beranjak ke belakang.

“Minumlah dulu, sebelum kamu pulang,” kata dokter Faris.

“Baik, terima kasih dok.”

Karena memang sudah selesai tugasnya, maka Andin segera menghirup minumannya, lalu membawa gelas yang sudah kosong itu ke belakang.

***

Ketika motornya memasuki halaman rumah, dilihatnya pak Harsono sudah duduk menunggu di teras. Andin naik ke teras, dan mencium tangan ayahnya.

“Baru pulang Ndin?”

“Iya Pak, jam delapan dari tempat kerja,” katanya sambil duduk di depan sang ayah.

“Apa kamu tidak capek, pagi kuliah sampai siang, terkadang sore, lalu kamu masih harus bekerja sampai malam?”

“Tidak Pak, biasa saja. Kan pekerjaannya hanya duduk dan menulis, tidak mengangkat barang-barang yang berat.”

“Meskipun begitu, waktu yang harusnya bisa kamu pergunakan untuk istirahat, kamu pergunakan untuk bekerja.”

“Bapak jangan khawatir, Andin bisa menjalaninya. Andin senang malakukannya.”

“Bapak hanya khawatir, kuliah kamu akan terbengkalai.”

“Andin janji, bahwa kuliah adalah yang nomor satu. Andin akan membuktikan bahwa Andin bisa segera menyelesaikan kuliah Andin, tanpa terganggu oleh apa yang Andin lakukan dalam bekerja.”

“Baiklah.”

“Bapak sudah makan?”

“Belum, aku menunggu kamu. Aku beli lauk tadi sepulang kantor.”

“Baiklah, Andin akan mandi sebentar, lalu melayani Bapak makan,” kata Andin sambil beranjak ke belakang.

Pak Harsono tersenyum, lalu mengikuti Andin masuk ke dalam rumah.

Ada rasa haru, melihat anaknya bersusah payah ingin mencari uang, demi meringankan beban ayahnya yang sudah tua.

Begitu selesai mandi, saat sedang berganti baju, ponsel Andin berdering, dari Aisah. Andin tak sampai hati untuk tidak mengangkatnya. Pasti Aisah ingin menanyakan tentang pekerjaannya.

“Andin!”

“Eh, iya, aku baru mau menjawab telpon kamu nih.”

“Kok lama banget jawabnya.”

“Aku baru habis mandi, sedang mengganti baju.”

“Baru pulang? Capek nggak?”

“Nggak, aku senang melakukannya. Nggak capek kok, cuma duduk, menulis, melayani pasien.”

“Dan melayani dokternya, ya kan.”

“Iya, kan dia yang menggaji aku, jadi kewajiban aku melayani semua kebutuhannya saat berpraktek.”

“Kakakku ganteng kan?”

“Eh, apa sih maksud kamu?”

“Aku hanya ingin, agar kamu jatuh cinta sama dia.”

Andin terkekeh. Iya sih, dokternya ganteng, tapi jatuh cinta? Tiba-tiba Andin merasa sedih. Dengan dirinya yang sudah cacat, masih adakah tempat untuk menjatuhkan cintanya?”

“Hei, kenapa diam?”

“Ais, maaf ya, aku ditunggu bapak di ruang makan, nanti setelahnya aku telpon kamu deh.”

“Oh iya, maaf. Baiklah, nanti telpon ya, bener lho.”

Pembicaraan itu terputus, Andin keluar dari kamar setelah merapikan rambutnya. Dilihatnya sang ayah sudah menunggu.

“Kamu telponan sama siapa?”

“Aisah Pak, dia menanyakan bagaimana Andin melakukan pekerjaan itu.”

“Aisah anak baik.”

“Karena dia, Andin bisa mendapatkan pekerjaan.”

“Jangan sampai kamu kecapekan,” kata pak Harsono yang sudah berulang kali mengatakan hal yang sama.

***

Sudah seminggu Andin bekerja di tempat praktek dokter Faris. Ia senang karena semuanya mulai terbiasa dilakukan, bukan seperti saat pertama bekerja, dimana dia harus mengingat-ingat, apa yang harus dilakukan, sebelumnya, sesudahnya, dan seterusnya.

Hari itu pasien hampir habis. Tinggal satu orang yang masih berada di dalam ruang praktek dokter Faris. Andin sedang mulai merapikan mejanya, ketika tiba-tiba seseorang muncul. Seorang wanita cantik, bermata kebiruan. Andin merasa, seperti pernah melihatnya, tapi dimana, Andin lupa.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

43 comments:

  1. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah...
    Maturnuwun bu Tien...
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah...terimakasih Bunda

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku, Bersama Hujan tayang

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah BERSAMA HUJAN~05 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah. Terima kasih Bunda

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun bu Tien... sugeng istirahat

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, semoga terus sehat dan tetap semangat, kami semua menunggu karya² mu, terima kasih

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah, matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang sudah tayang episode ke 5 yg sll ditunggu, salam sehat semoga hasil CtScan nya bagus ya , Aamiiin Barakallahu

    ReplyDelete
  10. Semoga Andin menemukan kebahagianya.Maturnuwun Bunda jaga sehat tetap semangat .salam SEROJA

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah be ha 05 sdh tayang ..maturnuwun bu Tien semoga bu Tien tambah sehat dan sll berbahagia ...salam gangat dan aduhai urk ibuqu sayang

    Waduuuh siapa yg datang ke prakteknya dr Faris ...jabgab jangan elisa ... selamat ya andin memulai job baru ...

    ReplyDelete
  12. Jangan2 Elisa ...
    Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien .. semoga selalu dalam kondisi sehat Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Andin anak baik smoga juga mendapatkan yg terbaik dalam hidupnya... Lupakan Romi si bejad itu. Andin, kamu pasti mendapatkan yg terbaik.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah... makin seruu ..makin complet ceritanya

    ReplyDelete

  15. Alhamdullilah
    Bersama Hujan 05 telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  16. Apa Elisa ya yang datang, mau periksa apa...
    Andin beruntung punya teman Aisa, mencarikan kerja dan mungkin jadi 'mak comblang ' untuk Andin dan dokter Faris. Semoga berjodoh.
    Salam sukses mbak Tien, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien 🤗🥰
    Semakin membaik ya bu Tien ,Aamiin

    Elisa knp dgmu. ...
    Sepertinya Andin & dr Faris sdh dijodohkan oleh bu Tien ,hny proses nya yg panjang serta penuh perjuangan jd buat penasaran 🤭
    Aduhaiiii 🥰🌸

    ReplyDelete
  18. Mtr nwn Bu Tien, tetap semangat & sehat selalu.
    Asyiiik...Ais malah nyuruh Andin jatuh cinta sama dr.Faris. Smg Andin & dr.Faris betul2 saling jatuh cinta.💘

    ReplyDelete
  19. Sugeng daluuu mbak Tien sayang...
    Mugi tansah pinaringan keberkahan sehat wal afiat... banyak ide.... lancar jaya
    Salam Aduhai dr Surabaya 🙏😘😍🥰😍❤️

    ReplyDelete
  20. Alhmdllh, terima kasih Mbu tien... baru part 5 sdh sangat menegangkan... sehat sllu Mbu Tien....

    ReplyDelete
  21. Hamdallah.. Bersama Hujan 05.. telah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala, Aamiin

    Andin sdh mulai msk kerja. Kuliah sambil nyambi kerja. Jadi teringat di awal tahun 1984. Wkt itu begitu Inyonge di terima di Fak Sastra dan Budaya UNS Sala, trus nglamar kerja di Do Drop In Pub & Rest..di terima sbg karyawan Rest, he...he...idem

    Elisa datang ke praktek nya dr Faris, mau ngapain ya. Jangan-jangan Elisa dengan Romi, keringat nya sdh sama-sama bau Kerbau. Tambah pinisilin kan...😁😁

    Salam Hangat nan Mesra dari Cip Muara - Jatinegara Jkt

    ReplyDelete
  22. Makasih bu Tien bersama hujan sudah tayang.tiap malam yg selalu ditunggu2 kelanjutan cerita serunya.sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete
  23. Alhsmdulillah Bersama Hujan-05 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah matursuwun Bu Tien semoga sehat dan semangat selalu

    ReplyDelete
  25. Terima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah.. Sehat selalu mbakyu

    ReplyDelete
  27. Modus nich mancing mancing rupanya kelicikan akan terjadi dasarnya nggak terima dikata katai Andin didepan tetangganya, dendam itu akan diselesaikan lewat suruhan Elisa, dengan memutar balikan kenyataan, tuh kan beraninya sama kaum lemah nggak jantan lagi.
    Mudah mudahan Andin segera ingat karena ini pasien gadungan ada hubungannya dengan Romi.
    Wow serem..
    Belum pernah ketemu bodyguard cewek² kampus nich si Romi. Kalau itu terjadi bisa dihabisi; bisa tinggal nama.

    Terimakasih Bu Tien
    Bersama hujan yang kelima sudah tayang
    Sehat sehat selalu ya Bu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  28. Elisa datang...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah baru baca, semalam ngantuk gak nunggu, ma kasih bunda sehat selalu

    ReplyDelete

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 01

  KUPETIK SETANGKAI BINTANG  01. (Tien Kumalasari)   Minar melanjutkan memetik sayur di kebun. Hari ini panen kacang panjang, sangat menyena...