Wednesday, July 26, 2023

SEBUAH PESAN 53

 SEBUAH PESAN  53

(Tien Kumalasari)

 

Bu Rahman mencibir, semuanya serba mengagetkan dan dianggap bu Rahman hanyalah kebahagiaan tipu-tipu. Atau, mengapa kalau salon itu namanya Raya harus menjadi milik Damian? Banyak nama, dan terserah pemiliknya mau memberi nama tempat usahanya itu apa. Kebetulan saja namanya sama dengan nama anak bungsunya. Kenapa bik Sarti jadi mengira itu punya non Raya?

“Siapa tahu, hidup non Raya sudah enak, berkecukupan.”

“Sarti, kamu itu seperti orang bodoh saja. Nama Raya di dunia ini bukan hanya nama anakku.”

“Iya juga sih.”

“Karenanya tidak usah mimpi lah. Ada-ada saja. Nanti kalau ketemu kios tukang cukur RAHMAN, kamu mengira majikan kamu menjadi tukang cukur.”

Bik Sarti tertawa. Nyonya besarnya ini lucu juga. Bagaimana ya, kalau tuan majikannya membuka usaha tukang cukur? Lalu bik Sarti menutup mulutnya untuk menyembunyikan tawa yang berkepanjangan.

“Hei, kenapa senyum-senyum? Kelihatan lhoh, senyuman kamu itu dari belakang.”

Bik Sarti menoleh, masih dengan tersenyum lucu.

“Maaf, Nyonya. Saya sedang membayangkan tuan Rahman menjadi tukang cukur. Kan lucu, Nyonya ada-ada saja.”

“Eh, kamu itu kurangajar ya, masa bener-bener membayangkan suami aku jadi tukang cukur?” kata bu Rahman sambil cemberut.

“Maaf Nyonya.”

“Aku itu hanya memberikan contoh, bahwa didunia ini banyak sekali nama yang sama. Bukan karena salonnya bernama Raya, lalu salon itu itu milik Raya.”

“Iya, Nyonya benar.”

Mereka belanja lumayan banyak, karena banyak kebutuhan yang habis. Tapi ketika pulang bu Rahman minta pada sopirnya, agar melewati jalan yang dilewati saat berangkat tadi.

“Nyonya mau ke salon?” tanya bik Sarti.

“Eh, nggaaak, ngapain ke salon itu, aku kan sudah punya salon langganan sendiri.”

“Oh, kirain.”

Tapi ketika lewat itu, tiba-tiba mereka melihat Raya sedang berdiri di pintu, rupanya sedang mengantarkan salah seorang pelanggan yang dikenalnya.

“Lhoh, itu Nyonya, ada non Raya beneran.”

“Rupanya Raya bekerja di situ?”

“Saya kira bukan bekerja di situ, Nyonya. Nama salonnya saja sama dengan nama non Raya. Pasti ada hubungannya deh.”

“Itu hanya sebuah nama. Apa sih artinya sebuah nama? Yang jelas Raya bekerja di situ,” bu Rahman masih ngeyel.

“Kenapa kita tidak berhenti saja?”

“Baiklah, hentikan mobil kamu, dan mundur dulu,” perintah bu Rahman kepada sopirnya.

Ketika mobil itu berhenti di depan salon, Raya masih berdiri di depan pintu. Ia tahu itu mobil ibunya, ditunggunya sampai sang ibu turun, kemudian Raya mendekati.

“Ibu dari mana?”

“Dari belanja. Ngapain kamu di sini?”

“Bekerja lah Bu, masa main?”

“Kamu bekerja di sini?”

“Iya.”

“Kenapa salon ini namanya Raya?”

Raya tersenyum.

“Memangnya nggak boleh? Suka-suka yang punya dong Bu, mau dikasih apa nama salonnya,” jawab Raya enteng. Ia tak ingin mengatakan bahwa salon itu suaminya yang membuat.

“Sudah aku duga. Akhirnya suami kamu butuh uang banyak, dan menyuruh kamu untuk bekerja.”

“Sudahlah Bu, kenapa Ibu selalu memandang mas Damian dengan pandangan yang buruk? Kalau aku bekerja, itu karena aku suka melakukannya, jadi bukan salah mas Damian. Ibu mau potong rambut, atau apa, ayo masuk.”

“Tidak, tidak … aku mau pergi saja,” kata bu Rahman dengan wajah masam.

“Bik Sarti, sini kalau mau dandan, biar cantik,” teriak Raya kepada bik Sarti, karena bik Sari berdiri tak jauh dari mobil.

Bik Sarti tertawa.

“Enggak Non, bik Sarti sudah cantik sejak lahir, siapa bilang ganteng,” canda bik Sarti yang kemudian masuk ke dalam mobil, karena sang  nyonya sudah memintanya untuk segera pergi.

***

Dalam perjalanan pulang, bu Rahman tampak diam. Ia tak ingin membicarakan masalah Raya, karena ujung-ujungnya pasti juga Sarti akan membela Raya. Tapi di sore harinya, saat suaminya pulang, dia  membicarakannya dengan sangat serius.

“Jadi kamu melihat dia bekerja?”

“Iya, di sebuah salon. Aku sudah menduga bahwa Damian menyuruh istrinya bekerja untuk menutupi ambisinya, agar kelihatan berkelas.”

“Apa maksud Ibu ?”

“Bapak gimana sih, diajak bicara bukannya langsung mengerti, masih bertanya lagi.”

“Kamu tuh bicara nggak jelas ujung pangkalnya. Sebenarnya yang ingin dibahas itu apa?”

“Ibu tadi melihat Raya bekerja.”

“Itu bagus dong Bu, sekarang bukan jamannya seorang istri hanya duduk manis di rumah. Banyak diantara mereka memilih bekerja, kalau memang pekerjaan itu ada,”

“Bapak kok gitu, aku nggak rela Raya disuruh bekerja hanya untuk memenuhi ambisi suaminya yang sok pamer itu.”

“Lho, apa nih … siapa yang sok pamer?”

“Damian itu. Pamer bisa naik pesawat pulang pergi, pamer bisa kuliah di kampus yang mahal. Tapi apa, ia menyuruh istrinya bekerja untuk itu semua. Gaji seorang pegawai bengkel berapa? Kalau Raya kan bisa banyak. Dia sarjana S1, mana bisa setara dengan gaji karyawan bengkel?”

“Ibu bicara ngelantur. Isinya hanya rasa benci. Bukan bicara dengan logika.”

“Bapak kok nggak bisa mengerti maksudku. Ibu tuh nggak rela Raya bekerja. Titik. Alasannya nggak usah ibu bicarakan sama Bapak. Bapak nggak akan bisa mengerti.”

“Bu, kita kan nggak berhak mengurusi apa yang mereka lakukan. Raya itu sudah menjadi tanggung jawab Damian.  Yang penting mereka bahagia. Aku malah senang kalau Raya bekerja. Dia pasti kesepian kalau sendirian saat suaminya tak ada di rumah.”

Bu Rahman diam, lalu pergi menjauh, meninggalkan suaminya yang selalu tidak sejalan dengan apa yang dipikirkannya. Ia masuk ke kamar, mengambil ponselnya. Barangkali Kamila bisa diajaknya bicara.

“Ya Ibu,"  jawab Kamila dari seberang, ketika sang ibu menelponnya.

“Aku sebel sama bapakmu, diajak bicara selalu saja jawabannya membuat kesal.”

“Memangnya ibu bicara tentang apa?”

“Itu lho Mil, adikmu, Raya, sekarang bekerja di sebuah salon kecantikan.”

“Bagus dong Bu, Raya pasti senang.”

“Bukan bagusnya dan bukan Rayanya yang senang, Kamu tahu tidak, Raya itu disuruh bekerja oleh suaminya, untuk memenuhi kesombongan suaminya.”

“Kok gitu sih Bu?”

“Iya lah, pastinya begitu. Damian itu kan sombong. Sok punya, sok kaya. Tapi penghasilan seorang tukang bengkel itu berapa? Karena tidak bisa mencukupi untuk kesombongan dia, istrinya di suruh bekerja. Paham kan maksud ibu? Ibu tidak rela Raya diperalat untuk mencari uang lebih banyak.”

“Ibu berbicara atas dasar pemikiran Ibu sendiri kan? Belum tentu kenyataannya begitu?”

“Orang melihat saja kan sudah bisa menilai sih Mil.”

“Ibu tidak usah memikirkan kehidupan Raya. Kamila yakin Raya bahagia kok. Nanti kalau ibu selalu memikirkan hal yang membuat Ibu kesal, Ibu bisa sakit. Sudahlah Bu, biarkan mereka hidup tenang.”

“Huh, sama saja.”

Bu Rahman menutup ponselnya dengan kasar. Tak ada yang sependapat dengannya. Tak ada yang mendukung apa yang dipikirkannya, padahal dia hanya sangat prihatin tentang keadaan anak bungsunya.

Akhirnya bu Rahman membaringkan tubuhnya di ranjang. Kepalanya terasa sangat pusing.

***

Damian sedang berjalan menuju ke arah parkiran sepeda motornya, ketika suara yang sangat dikenal itu memanggilnya. Damian kesal, pura-pura tak mendengarnya. Ia terus melangkah, dan sudah menemukan sepeda motornya, yang akan segera dipacunya pulang, Hari itu ada kelas agak sore, dan hari mulai gelap ketika itu.

“Damian ….” aneh, suara itu terdengar makin melemah. Damian merasa, Hanna sedang menangis karena dia tak memperhatikannya. Ia sudah mengangkat kakinya untuk segera menstarter sepeda motornya, ketika didengarnya suara orang terjatuh.

“Aaauh,” suara itu sangat lemah. Damian terpaksa menoleh, dan melihat Hanna terkapar di tanah. Damian menoleh ke kanan dan ke kiri, kampus mulai sepi.

Damian turun dari atas sepeda motornya, dan mendekat. Ia melihat Hanna tak bergerak. Mau tak mau Damian menyentuhnya, mencoba mengangkat dan menarik tangannya, agar Hanna terbangun. Tapi hanya terangkat sedikit, kemudian terjatuh lagi.

“Hanna …”

“Tolong … aku ….”

“Kamu kenapa?”

“Aku sakit, sangat lemah, antarkan aku pulang,” katanya sambil berusaha duduk.

“Bukankah kamu membawa mobil?”

“Hari ini, karena aku merasa agak sakit, aku tidak membawa mobil. Tolong antarkan aku.”

“Aku panggilkan taksi saja.”

“Kamu tega Dam? Aku sakit, bagaimana kalau aku … mati … di perjalanan?”

“Kamu nih ngomong apa?” kata Damian sambil menelpon taksi.

“Dam, aku nggak mau pulang sendiri,” rengeknya.

Damian diam. Ia menunggu taksi yang dipanggilnya datang.”

“Aku bonceng kamu saja.”

“Katanya sakit, mbonceng, bagaimana kalau jatuh?”

“Aku akan memelukmu erat, tidak akan jatuh.”

Hm, dipeluk Hanna itulah yang Damian tidak suka. Tapi dia mendiamkannya. Matanya nyalang ke arah depan, menunggu taksi yang dipanggilnya, mengapa lama sekali tidak datang, sementara Hanna terus merintih, rintih. Entah benar-benar sakit, atau hanya berpura-pura, entahlah.

Tapi ketika taksi datang, lalu Hanna tak bergerak juga dari sikapnya yang duduk di tanah, Damian terpaksa menarik tangannya, dan memapahnya. Damian terkejut. Badan Hanna memang terasa panas. Jadi Damian yakin, Hanna memang sakit.

“Aku nggak mau sendirian, nggak mau.”

Damian menghela napas. Mau bagaimana lagi. Betapapun tidak suka nya dia pada Hanna, tapi membiarkannya sakit adalah tidak manusiawi.

Damian mengunci motornya, kemudian menuju ke arah taksi, dan naik ke dalamnya. Ketika ia duduk  di samping pengemudi, pengemudi iu mengingatkannya.

“Mas, sebaiknya Mas di belakang saja. Dia kan lagi sakit, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?”

Damian terpaksa kembali turun, lalu duduk di belakang. Hanna terkulai di sandaran, tapi begitu dirinya duduk di sampingnya, ia segera merebahkan tubuhnya dipangkuan.

Damian menghela napas. Ada rasa kesal, tapi ada rasa kasihan. Ia hanya berharap segera bisa sampai ke rumah Hanna, dan meninggalkannya untuk menuju pulang.

***

Tetapi sesampainya di rumah Hanna, ia melihat pintunya tertutup rapat.

Damian membayar ongkos taksi dan mmbantunya turun. Ia memapahnya sampai ke depan rumah, lalu meraih bel tamu yang ada di teras.

Tapi tak ada seorangpun keluar, padahal lampu di teras dan di dalam kelihatan menyala.

“Mana pembantu kamu?”

“Bibik pulang setiap sore, baru datang pagi harinya,” katanya sambil merogoh kunci rumah dari dalam tasnya, diserahkannya pada Damian.

Damian membuka pintunya.

“Sudah sampai rumah, aku tinggal dulu ya.”

“Dam, bantu aku ke kamar,” rintihnya.

Damian menahan rasa kesalnya, lalu memapahnya masuk ke dalam kamar.  Hanna terbaring sambil memejamkan mata.

“Apa kamu butuh obat? Barangkali ada obat panas di rumah ini? Aku bantu kamu minum, lalu aku akan  meninggalkan kamu.

“Jangan pergi …”

Damian terkejut.

“Aku tidak bisa, maaf. Aku ambilkan kamu obat dan aku harus pulang, ya. Aku ditunggu Raya di rumah. Ini sudah sangat terlambat.”

“Raya pasti mengerti, bukankah kamu membantu orang sakit?”

Damian membalikkan tubuhnya, bermaksud mencari tempat obat di rumah itu. Rumah itu kosong, Hanna benar-benar sendirian. Ia mencari-cari, lalu menemukan sebuah kotak obat. Ia membukanya, dan mencari-cari, lalu ditemukannya obat penurun panas. Ia mengambilnya, lalu ia juga mengambil gelas yang kemudian diisinya dengan air putih dari galon yang tersedia.

Damian membawanya ke kamar, lalu memaksa Hanna untuk meminumnya. Dengan terpaksa Damian mengangkat kepalanya dan membantunya minum obat.

Damian merasa, Hanna sengaja merapatkan tubuhnya ke dadanya, walau dia memang sedang sakit. Tapi itu sebuah kesempatan yang kebetulan di dapatkannya. Damian menahan rasa kesalnya dengan alasan peri kemanusiaan.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Damian mendorong tubuh Hanna, dan mengangkat ponselnya.

“Ya, Ray, aku akan segera pulang.”

“Ray … Damian di rumah aku,” tiba-tiba Hanna mengatakan sesuatu.

Damian keluar dari kamar.

“Suara siapa itu Dam?”

“Aku sedang di rumah Hanna, dia sakit.”

“Di rumah Hanna, jadi itu suara Hanna?”

“Iya, tadi hampir pingsan di kampus. Tapi ini aku sudah mau pulang.”

Damian menutup ponselnya, masuk ke kamar hanya untuk pamitan.

“Maaf Hanna, aku harus segera pulang. Setelah minum obat, panasnya akan turun. Kalau sampai besok belum reda juga, kamu harus ke dokter, ajak pembantu kamu,” kata Damian tanpa mendekat, kemudian keluar dan menutupkan pintunya.

Hanna menahan sesak di dadanya.

“Dalam keadaan sakit pun, tak ada perhatian kamu kepadaku, Damian,” keluhnya sambil berlinang air mata.

***

Hari sudah lepas senja ketika bu Rahman keluar menuju teras. Udara yang gerah membuatnya lebih senang duduk di luar, walau di dalam rumah AC terus menyala.

Karena hatinya masih agak kesal, dia tidak mengajak suaminya serta.

Tiba-tiba sebelum duduk, bu Rahman melihat sebuah amplop soklat tergeletak di lantai. Dia memungutnya dan membukanya, karena tak ada tulisan apapun di amplop itu.

Betapa terkejutnya bu Rahman, ketika melihat isi amplop itu. Sebuah foto Damian dan kawan wanitanya.

***

Besok lagi ya,

43 comments:

  1. Replies
    1. “Huh, sama saja.”

      Bu Rahman menutup ponselnya dengan kasar. Tak ada yang sependapat dengannya. Tak ada yang mendukung apa yang dipikirkannya, padahal dia hanya sangat prihatin tentang keadaan anak bungsunya.

      Akhirnya bu Rahman membaringkan tubuhnya di ranjang. Kepalanya terasa sangat pusing.

      Matur nuwun Bu Tien Episode_53 malam ini sdh tayang.

      Delete
  2. 🌻🌿🌻🌿🌻🌿🌻🌿
    Alhamdulillah eSPe 53
    sudah tayang...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Semoga sehat selalu &
    smangats berkarya...
    🦋 Salam Aduhai 🦋
    🌻🌿🌻🌿🌻🌿🌻🌿

    ReplyDelete
  3. Matur suwun ibu Tien salam tahes ulales

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang

    ReplyDelete
  5. Terima kasih atas segala dukungan, penyemangat dan perhatian yang penuh cinta, buat bapak2, kakek2, opa:
    Kakek Habi, Nanang, Bambang Subekti, Djoko Riyanto, Hadi Sudjarwo, Wedeye, Prisc21, Latief, Arif, Djodhi, Suprawoto, HerryPur, Zimi Zainal, Andrew Young, Anton Sarjo, Yowa, Bams Diharja, Tugiman, Apip Mardin Novarianto, Bambang Waspada, Uchu Rideen, B Indiarto, Djuniarto, Cak Agus SW, Tutus, Wignyopress, Subagyo, Wirasaba, Munthoni, Rinta, Petir Milenium, Bisikan Kertapati, m

    Dan mbakyu, ibu, eyang, nenek, oma, diajeng:
    Nani Nuraini Siba, Iyeng Santosa, Mimiet, Nana Yang,g Sari Usman, KP Lover, Uti Yaniek, Lina Tikni, Padmasari, Neni Tegal, Susi Herawati, Komariyah, I'in Maimun, Isti Priyono, Yati Sribudiarti, Kun Yulia , Irawati, Hermina, Sul Sulastri, Sri Maryani, Wiwikwisnu, Sis Hakim, Dewiyana, Nanik Purwantini, Sri Sudarwati, Handayaningsih, Ting Hartinah, Umi Hafid, Farida Inkiriwang, Lestari Mardi, Indrastuti, Indi, Atiek, Nien, Endang Amirul, Naniek Hsd., Mbah Put Ika, Engkas Kurniasih, Indiyah Murwani, Werdi Kaboel, Endah, Sofi, Yustina Maria Nunuk Sulastri, Ermi S., Ninik Arsini,
    Tati Sri Rahayu, Sari Usman, Mundjiati Habib, Dewi Hr Basuki, Hestri, Reni, Butut, Nuning, Atiek, Ny. Mulyono SK, Sariyenti, Salamah, Adelina, bu Sukardi, mBah Put Ika, Yustinhar, Rery, kun Yulia, Paramita, Ika Larangan. Hestri, Ira, Jainah, Wiwik Nur Jannah, Laksmi Sutawan, Melly Mawardi,

    Salam hangat dan ADUHAI, dari Solo.

    ReplyDelete
  6. Hamdallah SP ke 53 sdh tayang matur nuwun nggih Bu Tien semoga Ibu beserta Keluarga tetap Sehat wal Afiat dan bahagia selalu
    Aamiin

    Salam hangat dan Aduhai dari Jakarta

    ReplyDelete
  7. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang salam sehat dan tetep bahagia inggih

    ReplyDelete
  9. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah..
    Tks bsnyak bunda Tien..

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah SEBUAH PESAN~53 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.. Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  12. Tampaknya akan berguncang juga bahtera yang dinakhodai Damian. Ada pukulan beruntun dari kiri kanan.
    Tapi saya percaya Kebenaran akan terkuak.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah SP-53 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  15. Terima kasih bunda Tien sp 53 sudah tayang ...
    Sehat selalu Bun...
    Bahagia bersama keluarga tercinta ❤️
    Salam aduhai...
    Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah...
    Maturnuwun bu Tien...
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Matur nuwun bu tien

    ReplyDelete
  18. Bu Rahman perlu dokter jiwa. Hatinya di makan sendiri. Kasihan Damian dan Raya, dapat serangan dari orang2 yg dekat dgnya.
    Trima kasih Ibu Tien untuk tayangkan yg tdk terlalu malam.

    ReplyDelete
  19. Warta berita nich ibunya Raya sampai nelpon lagi ke Kamila, setelah lapor ke ketua; ini ada bukti kan, anaku disuruh kerja buat mencukupi kebutuhan mantan tukang kebun, ini buktinya simiskin sendiri malah enak enak sama wanita laen, ini pak ini bukti cukup kalau anak kita dipekerjakan, enak aja ngambil anak orang dijadikan tkw lagi.
    Damian pulang malah dimarahi gimana seeh Hanna sakit, sendirian dirumah malah nggak dibawa ke dokter.
    Foto itu di share ke Kamila segala, (kaya kartu pilihan pendengar) dengan ucapan; anakku disuruh kerja sementara si miskin ber mesraan sama wanita laen !!
    Tambah lagi pas habis terima telpon Damian katanya di rumah Hanna, aduh beneran nggak ya.
    Raya tertegun sore hari itu, yåitu; repoté duwé bojo bagus Ray; atimu rasané kåyå di gerus, lha kok pas banget, pulangnya lebih lama lagi, ya iyalah kan mesthi balik ke kampus dulu ambil motor.
    Raya cuma diam nggak bisa terima, kenapa jadi begini, mau tanya Damian; enggak lah nanti dikira cemburu, terus ini dapat bukti foto lagi ibunya, dari siapa, nggak ada catatan di amplopnya katanya.
    Kan nggak peduli kata orang, komitmen berdua kan gitu, tapi kenapa sampai di tangan ibu itu foto.
    Banyak gangguan ya, banyak kok gangguan; tuh yang ada dinas gangguan tapi sekarang kan sudah di ganti istilahnya; aduan.
    Pantes jadi banyak tawuran ya, tuh terima aduan.
    Lha ini Damian musthi ngejelasin biar nggak gagal paham
    Terimakasih Bu Tien
    Sebuah pesan yang ke lima puluh tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  20. Iih di episode ini makin kesel aja SM ibunya raya dan Hanna jg..SMG aja mrk CPT sadar raya dan Damian itu siapa sbnrnya dan CPT terbuka hasil kekayaan Damian..😡Salam Seroja dan tetap aduhai unk bunda Tien🙏😘🌹❣️

    ReplyDelete
  21. Terimakasih Bu Tien.. sehat2 selalu nggih

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun cerbungnya, salam sehat selalu.🙏

    ReplyDelete
  23. Berharap mendengar kebahagiaan Raya dan Damian. Wah malah ..... Kasian Damian. Terimakasih Mbak Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  24. Hadeh ..... Hana hana ....,

    Terima kasih bu Tien.

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  26. alhamdulillah.... maturnuwun bunda

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah, sehat selalu mbakyu..

    ReplyDelete
  28. Hasil potret Hana ketika Damian menahan tubuh seseorang agar tak terjatuh

    ReplyDelete
  29. Hanna sdh hilang urat malunya .. Terimakasih Bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete

TITIP PESAN

 TITIP PESAN (Tien Kumalasari) Kutitipkan pesan Saat desir angin lalu melintas Saat pagi menghalau malam Saat mega putih menari di atas sana...