SETANGKAI BUNGAKU
18
(Tien Kumalasari)
Ada beban yang nyaris tak bisa terpikul di bahunya.
Pratiwi tak ingin berhenti, ia harus melakukan apa saja demi bisa mewujudkan
cita-cita ibunya untuk menjadikan Nano orang yang memiliki pendidikan tinggi. Kalau
bisa sampai kuliah, bukan seperti dirinya. Bukankah Nano seorang laki-laki? Ia
harus menjadi orang yang bisa membuat ibunya bangga. Dan Pratiwi akan melakukan
apa saja demi keinginan itu.
Ia sudah berusaha berjualan dengan penuh semangat,
tapi penghasilannya kan terbatas, sementara kebutuhannya lumayan banyak. Ia
harus berhemat, apa lagi dia melarang ibunya untuk memijit lagi, kecuali di
keluarga Luminto.
Pratiwi menghela napas ketika pelanggannya tak lagi
datang. Masih ada beberapa ikat kangkung yang tersisa. Itu akan dimasak untuk
makanan keluarga. Ada juga tahu sebungkus. Tapi ternyata masih ada sisa ayam setengah kilo dan tiga bungkus nangka muda. Pratiwi mengeluh, sisanya
lumayan. Kalau saja dia punya kulkas, pasti bisa dipakai untuk menyimpan sisa
dagangannya. Inilah yang membuat keuntungannya berkurang. Pratiwi mengangkut
semua sisa dagangan ke dalam, membersihkan bekasnya berjualan, kemudian pulang
ke rumah dengan membawa sisa dagangannya. Harus segera dimasak sebelum Nano
pulang, yang biasanya langsung melongok ke arah meja makan. Pratiwi tersenyum
mengingat adiknya.
“Kamu harus jadi orang No,” bisiknya sambil langsung
ke arah dapur, meletakkan sisa sayur dan mencuci kaki dan tangannya.
Ketika ia melongok ke arah tandon air, ia ingat
sayuran pesanan Ratih yang belum diambil.
“Dia kan kuliah dulu, pasti agak siang. Aku juga akan
bertanya tentang pekerjaan yang ditawarkannya,” gumamnya sambil mulai memasak. Rebus
sisa ayam dan juga nangka muda. Sedang dipikirkannya akan dimasak apa.
Ketika ia memetik sisa kangkung, terdengar suara ibnya
mendekat.
“Sudah selesai Wi?”
“Sudah Bu,” katanya sambil menuntun ibunya ke sebuah
kursi di depan meja dapur.
“Banyak sisa jualan kamu?”
“Ada kangkung, Tiwi akan menumis kangkung dan membuat
tahu bacem. Ini kesukaan Nano.
“Sini ibu bantu memetik sayurnya,” kata ibunya sambil
menggerayangi ikatan kangkung yang ada di depannya.
Pratiwi membiarkannya. Ia tak ingin melarang, agar supaya
tidak terkesan bahwa dirinya menganggap ibunya tak bisa apa-apa. Hanya memetik
kangkung, pasti bisa.
“Ini Bu, yang sudah dipetik ditaruh di sini ya,” kata
Pratiwi sambil meletakkan wadah di depan ibunya.
“Baiklah,” katanya sambil menggerayangi wadah itu,
lalu mengangguk mengerti.
Pratiwi membuat bumbu untuk memasak tahu bacem.
“Kok bau rebusan nangka muda, ada daging juga? Sisa
jualan kamu?”
Sebenarnya Pratiwi tak ingin mengatakannya, tapi mana
bisa. Aroma rebusan daging ayam dan nangka muda pasti tercium.
“Iya Bu, enaknya dimasak apa ya?”
“Buat saja sayur lodeh, supaya ada pedas-pedasnya,
itu kan bisa untuk beberapa hari. Bagaimana kalau ayamnya di campur tahu supaya
kamu bumbui bacem sekalian?”
“Oh, itu pasti enak,” kata Pratiwi bersemangat.
“Bagaimana kalau sisa sayuran kamu masak, lalu di jual
besok pagi ketika kamu berdagang sayur?”
Pratiwi tertegun, tapi kemudian senyumnya melebar.
Mengapa tidak? Siapa tahu yang segan memasak lalu mau beli sayur matang yang
dijualnya.
“Oh, iya Bu. Baiklah. Besok Tiwi menambah dagangan
dengan sayur lodeh dan ayam bacem.”
“Harus banyak ide ketika sayuran seringkali tersisa.
Tidak harus dimakan sendiri semua. Ya kan?”
“Usulan ibu sangat cemerlang. Bagus sekali.”
“Masak yang enak, supaya pelanggan suka.”
“Nanti ibu cicipin dulu setelah matang, ya.”
“Masakan kamu selalu enak.”
“Ah, Ibu. Bukankah Ibu yang mengajari?”
Pratiwi melanjutkan memasak dengan semangat yang menyala.
Ada ide jualan yang semoga bisa menambah penghasilan.”
***
Ratih sedang menyetir mobilnya sepulang dari kuliah.
Ia tidak lupa pada janjinya, untuk memesan sayur yang kemarinnya di makan di
warung pecel di pinggiran desa.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
“Hiih, mas Sony mengganggu saja,” gerutunya dengan membiarkan
dering panggilan itu.
Tapi dering itu tak mau berhenti, berulang-ulang, dan
justru mengganggunya.
“Ya Mas, ada apa,” akhirnya Ratih menjawabnya.
“Ya ampun Tih, lama banget ngangkatnya sih?”
“Aku lagi menyetir.”
“Mau kemana?”
“Mau pulang lah, dari kuliah.”
“Oh, sudah mulai masuk kuliah?”
“Kan sudah lama. Ada apa ?”
“Tentang tawaran pekerjaan untuk Pratiwi. Sudah ada
jawaban, dia mau kan? Aku akan menggajinya dengan uang yang besar, supaya dia
tidak susah-susah bekerja menjual sayur.”
“Sudah aku tawarkan, belum ada jawaban.”
“Coba tanyakan lagi, soalnya ada beberapa pelamar
juga, tapi aku utamakan posisi itu untuk Pratiwi. Sungguh ini hanya untuk
membantu dia.”
“Iya, nanti aku tanyakan lagi. Sudah ya, jalanan lagi
ramai nih.”
“Besok kapan kamu ketemu Pratiwi.”
“Apa kamu bersungguh-sungguh? Benar hanya ingin membantunya?”
“Ratih, kantor itu bukan aku yang mengelolanya. Aku
tidak ada di situ, pekerjaanku banyak dan itu cabang baru yang sudah aku
serahkan kepada orang yang aku percaya. Jadi kamu tidak usah khawatir. Pratiwi
tidak akan pernah bertemu aku.”
“Secepatnya aku kabari kamu,” akhirnya Ratih mencoba
untuk percaya.
“Baiklah, aku tunggu.”
Ratih menutup ponselnya. Tawaran itu tampaknya
menggiurkan. Ia juga senang kalau Pratiwi mendapat pekerjaan yang baik,
mendapat penghasilan yang baik. Tapi benarkah Sony memberinya pekerjaan karena
kasihan? Bukan ada maksud tertentu? Berkali-kali Sony mengatakan bahwa ini
hanya untuk membantu Pratiwi, karena kasihan pada Pratiwi. Semoga itu benar.
Bukankah Sony tidak ada di perusahaan itu?
Ratih berhenti di luar pagar, memasuki halaman dengan
berjalan kaki. Itu sebabnya Pratiwi dan ibunya yang sedang bersiap untuk makan, tidak mendengar ada tamu yang datang.
“Baunya sedaaap,” tiba-tiba pekiknya.,
“Ratih?” kamu membuat aku kaget saja.
“Masak apa nih, baunya sedap.”
“Ayo makan sekalian, ini tumis kangkung dan tahu serta
ayam bacem.”
“Wauwww… aku cuci tangan dulu ya.”
“Cepat, aku ambilkan piringnya,” kata Pratiwi sambil
menyiapkan piring untuk tamunya.
“Ada siapa Mbak, hm … baunya wangi ruangan ini,” kata
Nano yang sudah ganti baju rumahan, bersiap untuk makan bersama.
“Ada Mbak Ratih, kamu duduknya pindah sini, dekat
mbak,” kata Pratiwi.
“Orang kaya baunya selalu wangi ya,” kata Nano ceplas
ceplos, sambil duduk di kursi yang ditunjuk kakaknya.
Yu Kasnah dan Pratiwi tertawa.
“Eh, ada Nano juga, sudah pulang sekolah nih?”
“Iya Mbak,” jawab Nano sambil hidungnya mengendus
endus aroma wangi yang menguar memenuhi ruangan yang tidak begitu besar itu.
“Kenapa hidungmu, No?” tanya Ratih.
“Tiba-tiba baunya wangi,” kata Nano seenaknya.
“Kamu ada-ada saja.”
“Ayo segera makan, jangan dengarkan Nano mengoceh,”
kata yu Kasnah.
Pratiwi mengambilkan nasi dan lauk untuk ibunya, lalu
melayani tamunya.
“Aku mau kangkung sama tahunya saja. Sudah lama aku
tidak makan tahu bacem,” kata Ratih.
“Ayamnya …”
“Nggak usah. Aku suka tahu bacem, sahut Ratih. Tapi
aku makannya banyak lhoh, nanti nasinya aku habiskan bagaimana?” canda Ratih.
“Jangan khawatir, tadi aku sudah belanja beras,” jawab
Pratiwi mengimbangi canda Ratih.
“Bener nih, aku habiskan beneran lhoh.”
“Habiskan saja. Aku senang nak Ratih mau masakan orang
kampung,” kata yu Kasnah.
“Lho, ibu bagaimana, ini masakan paling enak yang
pernah Ratih rasakan.”
“Hm, Ratih bisa saja.”
“Tapi aku mencium aroma sayur yang lain.”
“O, itu sayur lodeh nangka muda, dan daun singkong.”
“Lhoh, aku itu juga mau. Aduh, tapi perutku kok sudah
penuh.”
“Itu sayur untuk dijual besok.”
“Nggak … nggak, jangan dijual besok, aku beli saja,
untuk dibawa pulang,” kata Ratih sambil mengakhiri makannya.
“Mau kamu bawa pulang? Bener, doyan?”
“Pokoknya aku mau. Baru baunya saja gurih begini.
Sungguh, aku beli semuanya, berapa Mbak?”
“Kalau kamu mau, nggak usah beli. Cuma sayur nangka
muda sama daun singkong, itu kan murah.”
“Yaah, bungkus saja semuanya, bener aku mau.”
“Aku tempatkan di rantang ya?”
“Nggak usah, ada plastik nggak? Kalau rantang, nanti
tumpah di jalan. Bungkus plastik saja.”
“Baiklah.”
Pratiwi mencari plastik bungkus yang agak besar,
kemudian menuang sayur nangka muda itu ke dalamnya, sementara Ratih diam-diam
meletakkan uang di bawah piring bekasnya.
***
Setelah makan, Pratiwi mengantarkan ibunya beristirahat
di kamar, lalu ia mengambil sayuran mentah pesanan Ratih kemarin dan dibawanya
ke depan, dimana Ratih sedang kipas-kipas karena kekenyangan.
“Gerah ya, tapi aku nggak punya es, mau aku belikan es
buah di samping rumah?” kata Pratiwi sambil meletakkan sayuran di meja.
“Nggak mau, aku sudah mengambil air putih tadi. Aku
benar-benar kenyang.”
Pratiwi tertawa, lalu duduk di depan Ratih.
“Tadi kamu baru pulang kuliah?”
“Iya, aku ingat dong, kemarin pesan sayuran ini,”
katanya sambil menunjukkan sayuran di meja.
“Aku ingat kemarin kamu menawarkan aku pekerjaan.”
Ratih mengangkat wajahnya, menatap Pratiwi. Ia merasa,
Pratiwi benar-benar tertarik pada tawaran pekerjaan itu, sementara sebenarnya
dia tidak berharap begitu.
“Iya, pekerjaan. Mbak tertarik?”
“Benarkah perusahaan itu akan memberi gaji yang besar?”
“Begini saja, besok setelah berjualan, Mbak datang ke
alamat perusahaan itu. Mereka sudah siap menerima Mbak kok. Nanti Mbak tanyakan
apa saja yang ingin Mbak ketahui. Gaji, jam kerja, hak dan kewajiban pekerja.
Kalau cocok, lanjutin, kalau tidak, jangan teruskan. Aku tidak ingin Mbak
Pratiwi kecewa, lalu menganggap aku menjerumuskan. Tidak, aku ingin yang
terbaik untuk Mbak.”
“Di mana alamatnya?”
“Nanti aku tanyakan detailnya, lalu Mbak akan bisa ke
sana dan berbincang. Tapi ngomong-ngomong, apa yang membuat tiba-tiba Mbak
tertarik?”
“Kebutuhan hidup, terutama untuk sekolah Nano, tak
cukup kalau aku hanya berjualan sayur. Aku ingin dia jadi orang.”
“Aku dukung keinginan Mbak. Semoga yang terbaik yang
Mbak temukan.
“Baiklah, aku menunggu kamu kabari,” kata Pratiwi
mengakhiri pembicaraan itu.
Pratiwi masih termenung ketika Ratih sudah berpamit
pulang. Ia merasa bahwa keputusannya sudah benar.
“Mbak … Mbak … mbak Ratih mana?” tiba-tiba Nano keluar
sambil mengacungkan sejumlah uang.
“Sudah pulang, ada apa? Itu uang siapa?”
“Ketika aku membersihkan meja makan, ada uang di bawah
piring bekas mbak Ratih. Ini uangnya.”
“Kok bisa uang Ratih ketinggalan di bawah piring bekas
makannya? Pasti itu disengaja. Biar aku telpon dia. Mana uang ini banyak bener,”
gumam Pratiwi sambil mengambil ponselnya, untuk menelpon Ratih.
“Ya Mbak,” jawaban Ratih dari seberang.
“Mengapa kamu meninggalkan uang begini banyak dibawah
piring?”
“Oh iya, aku lupa bilang, Aku kan nitip sayuran.”
“Tapi itu kelewat banyak.”
“Aku juga membawa sebungkus besar sayuran.”
“Ratih, kamu sudah terlalu baik pada kami. Mengapa
masih membayar begitu banyak?”
“Mbak, tolong terima saja, anggap itu rejeki kita,
karena aku baru saja mendapat uang saku dari bapak pagi tadi.”
“Tapi ini ….”
“Tolong jangan katakan apapun. Berikan itu untuk Nano
juga, barangkali dia membutuhkan untuk perlengkapan sekolahnya.”
Pratiwi menggenggam uang itu, dengan linangan air mata.
Ia bahkan lupa mengucapkan terima kasih, sampai Ratih menutup ponselnya.
“Ya Allah, terima kasih,” bisiknya haru.
Pratiwi menyimpan uang itu, dikumpulkannya untuk
membeli laptop bekas karena Nano membutuhkannya. Tapi ia tidak tahu, berapa
harga laptop bekas itu.
“Nanti sore aku akan berjalan-jalan sama Nano, untuk
melihat-lihat. Semoga uangnya segera cukup,” gumamnya sambil mencari Nano, yang
sedang ada di dapur untuk mencuci piring-piring kotor.
“Benar kan, uang mbak Ratih ketinggalan?” tanya Nano
ketika Pratiwi mendekat.
“Wah, kamu sudah menyelesaikan semuanya, anak baik,” puji
Pratiwi ketika melihat meja makan sudah bersih, dan dapur juga sudah bersih
dari perabot kotor.
“Mbak Tiwi kan sedang menemani mbak Ratih. Senang ya,
kalau mbak Ratih kemari, rumah kita jadi wangi.”
“Kamu itu, besok kalau kamu sudah banyak uang, boleh
beli wewangian, biar seluruh rumah juga menjadi wangi.”
“Iya dong Mbak, kata ibu aku harus pintar dan bisa
sekolah tinggi, biar bisa mencari uang yang banyak.”
“Aamiin. Oh ya, nanti sore jalan sama mbak ya?”
“Kemana ?”
“Pokoknya ikut, hanya melihat-lihat saja.”
***
Nano senang ketika Pratiwi mengajaknya ke toko laptop sore itu. Tapi rupanya
Pratiwi hanya bertanya-tanya, lalu mengajaknya keluar lagi.
“Nano kira Mbak mau beli,” kata Nano yang terdengar
kecewa.
“Baru ingin tahu harganya, nanti kita hitung uangnya.
Tapi ayuk ke toko yang lain, beli yang bekas saja ya.”
Tapi ketika mereka mau memasuki toko, tiba-tiba
seseorang memanggil Pratiwi.
“Tiwi ?”
Pratiwi terkejut, melihat Ardian setengah berlari
mendekatinya.
“Mau beli laptop?”
“Ah, tidak, hanya ingin melihat-lihat saja.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteSelamat jeng Iyeng.....
DeleteSdh sembuh? Alhamdulillah semoga sehat terus dan terus sehat. Aamiin ya Robbal'alamiin
Mtrnwn
ReplyDeleteπΉπ₯πΎππ₯¦π·π₯¬πͺ·π₯
ReplyDeleteAlhamdulillah.... eSBeKa_18 sudah ditayangkan.
Terima kasih, Bu Tien. Salam sehat......
π₯πͺ·π₯¬π·π₯¦πΉπΎπΈπ
ReplyDeletemtnuwun mbk Tien ππ
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SB20 sudah hadir , terimakasih bunda Tien ,terus berkarya dan sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatunuwun Bu Tien...
Sugeng nDalu, salam sehat selalu...
WARA-WARA.
ReplyDeleteAssalamuallaikum wr wb,
Sahabat²ku Penggemar Cerbung Tien Kumalasari, kami bekerja sama dengan Panitia JF-4 Jakarta, rencana Rabu, 15 Feb 2023 akan mengadakan zoom meeting Silaturahim virtual dg pembicara Oma Ning (Ning Hermanto, M. Kes) , dengan presentasi berjudul:
KESEHATAN LAMBUNG MEMPENGARUHI FUNGSI ORGAN TUBUH
Biaya Pendaftaran / Donasi untuk kas JF 4
Rp. 50.001,- saja
Transfer ke BCA 7510373906 a.n Bayu Sari Hastuti
at February 12, 2023
Share
2 comments:
Kakek Habi BandungFebruary 12, 2023 at 5:27 PM
This comment has been removed by the author.
Reply
Kakek Habi BandungFebruary 12, 2023 at 5:29 PM
Matur nuwun Bun, info Webinar dengan tema :
KESEHATAN LAMBUNG MEMPENGARUHI FUNGSI ORGAN TUBUH
Sudah ditayangkan di blog spot. Mari sahabat2 kuyang berkenan mengikuti Webinar, silakan mengisi donasi untuk suksesnya JF-4 tgl. 9 sd 11 Juni 2023.
Bagi yang berminat bergabung silakan menghubungi Ibu IKA WIDIATI 0882-1173-2110.
ReplyDelete
‹
›
Home
View web version
About Me
My photo
Kejora Pagi
View my complete profile
Powered by Blogger.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Semoga sehat selalu..
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~18 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
πππππ¦ππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 18 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Semoga sehat selalu
dan tetap smangaaats...
Salam Aduhai...
πππππ¦ππππ
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillaah dah tayang
ReplyDeleteMakasih bunda
Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 18 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Ceritanya enak...
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
Matur nuwun bu Tien,
ReplyDeleteSalam sehat
Alhamdulillah SB 18 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Aamiin
Alhamdulillah ..ternyata up juga..makasih bu Tien
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti, Yustina Maria Nunuk Sulastri,
Alhamdulillah, sehat selalu πΉπ§
ReplyDeleteSama seperti tetangga saya, kalau dagangan tidak habis lalu dimasak dan dijual pada hari berikutnya.
ReplyDeleteNano diberi laptop bekas mau? Nih mas Ardian punya, masih bagus.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Mudah-mudahan
ReplyDeleteRoy sudah cerita sama Ardian; hebohnya Sony berkali-kali menelpon Ratih, menanyakan tawaran kerja nya buat Pratiwi.
Diam diam Roy juga cari tau dimana kantor barunya.
Wiw mau selidik nich, sekalian nguntit Ratih lah .
Sejauh mana kedekatan sama Ratih, lagian nggak percaya juga tawaran kerja Sony itu tulus.
Mungkin ada cara laen untuk menjebak, yakinlah begitu tahu itu kantornya Sony pasti Pratiwi cau.
Siapa tahu Ardian menawari laptop yang tak terpakai buat alat bantu belajar Mano
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke delapan belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeletePratiwi kerja di kantor Ardian saja.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat tetap semangat.
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Terima ksih bunda SBnya slm seroja selalu unk bundaπππΉ
ReplyDeleteSehat selalu bu Tien ❤️
ReplyDeleteAssalamuallaikum wr wb, Salam Sejahtera bagi kita semua.
ReplyDeleteSahabat²ku Penggemar Cerbung Tien Kumalasari, kami bekerja sama dengan Panitia JF-4 Jakarta, rencana Rabu, 15 Feb 2023 , jam 19.45 - 22.00 ( setelah sholat Isya) akan mengadakan zoom meeting Silaturahim virtual dg pembicara Oma Ning, ( Ning Harmanto, M.Kes ) dengan presentasi berjudul:
KESEHATAN LAMBUNG MEMPENGARUHI FUNGSI ORGAN TUBUH.
Biaya Pendaftaran / Donasi untuk kas JF 4
Rp. 50.001
Transfer ke BCA 7510373906 a.n Bayu Sari Hastuti.
Matur nuwun bunda Tien....π
ReplyDelete