SETANGKAI BUNGAKU
16
(Tien Kumalasari)
Pratiwi masih menatap Ratih dengan pandangan tak
percaya. Beruntung jalanan sepi, sehingga ia tak harus menabrak apapun.
“Serius?”
“Kalau Mbak mau sih,”
Tapi Pratiwi malah tertawa. Ia tak bertanya lebih
lanjut. Barangkali Ratih lupa bahwa dirinya tak punya pendidikan tinggi, yang
pasti susah bekerja kantoran. Jadi apa? Bisa sih, cleaning servis ? Sama saja
susahnya, dan pendapatan pasti lebih kecil dari kalau dia berjualan.
Pratiwi terus mengayuh sepedanya. Mereka sudah berjalan jauh, matahari mulai
terasa menyengat. Sesekali Ratih mengelap keringatnya. Ini adalah pertama
kalinya dia bersepeda dalam jarak yang agak jauh. Ketika ayahnya membelikan
sepeda, dia sudah mengendarainya keliling komplek, tidak begitu jauh. Dan dia
senang sekali. Tapi sekarang sudah kira-kira lima atau enam kilometer yang
mereka lalui, dan sudah sampai di batas kota, dimana mulai terbentang
persawahan yang tampak segar menghijau.
Pratiwi yang melihat Ratih kelelahan kemudian meminta
untuk berhenti.
“Capek ya?” kata Roy sambil mendekati Ratih. Aneh,
mengapa perhatiannya tertuju kepada Ratih?
“Nggak, biasa saja,” katanya sambil menyandarkan
sepedanya di bawah sebuah pohon, diikuti yang lainnya. Kemudian ia duduk di
sebuah batu, ditepi parit kecil yang airnya gemericik tak henti-hentinya.
Pastilah parit itu untuk mengairi sawah yang ada di sekitarnya.
Ardian mengambil botol-botol minuman yang dibawanya,
kemudian membagikan kepada semuanya.
“Kamu tampak lelah,” kata Roy yang duduk di samping
Ratih.
“Tidak. Aku hanya berkeringat. Itu wajar kan setelah
aku mengeluarkan tenaga untuk mengayuh sepeda sekian jauh?”
“Ya sudah, syukurlah kalau tidak lelah.”
“Tapi Ratih belum biasa lho, bersepeda sampai sekian
jauhnya,” sambung Pratiwi.
“Tapi aku senang. Besok kita harus mengulanginya lagi.
Ini luar biasa. Kalau bisa, aku akan bersepeda setiap kuliah.”
“Memangnya dekat, kampus kamu dari rumah?” tanya
Pratiwi.
“Nggak begitu dekat sih, paling tiga kilometer an.”
“Itu jauh.”
“Kalau tidak biasa, lebih baik jangan lakukan,” kata
Roy lagi.
“Bagaiman supaya menjadi biasa? Harus dijalani kan?”
“Iya juga sih, tapi harus dari yang dekat-dekat dulu,
jangan tiba-tiba jauh. Kita tadi bersepeda sudah terlalu jauh.”
“Aku tahu di depan ada warung makan yang jualan pecel,”
kata Ardian tiba-tiba.
“Wah, aku suka pecel. Ayuk ke sana,” teriak Ratih
dengan riang.
“Istirahat dulu sebentar, baru jalan lagi,” kata
Pratiwi yang melihat bahwa Ratih benar-benar kelelahan.
“Aku sudah menghabiskan sebotol minuman, penatnya sudah
hilang,” kata Ratih penuh semangat.
“Nanti mampir ke rumah, biar dipijit ibu ya.”
“Aduh, aku nggak betah sakit,” teriak Ratih, membuat
Ardian dan Roy tertawa.
“Memangnya dipijit itu sakit?” tanya Pratiwi.
“Nggak sakit, pijit itu enak, tapi kalau pijitnya
pelan-pelan. Yu Kasnah memijit enak, tidak keras, bikin ngantuk,” kata Roy.
“Pernah ya?” tanya Ratih.
“Beberapa kali. Yang suka pijit itu ibu Sasmi. Kalau
ibu Ratna nggak suka. Seperti kamu, ibu Ratna suka bilang sakit,” kata Roy
lagi.
“Tuh kan. Sakit kan?”
“Cobain dulu, awas kalau keterusan nanti,” canda Ardian.
“Baiklah, nanti ke rumah Mbak Tiwi, minta dipijit
sebentar ya.”
“Ya, cobain ya,” kata Pratiwi sambil tersenyum.
“Ayuk, sekarang kita ke warung pecel, perutku lapar,”
kata Ratih sambil berdiri.
“Siap jalan lagi?” tanya Roy.
“Jauh kah?”
“Itu, sudah kelihatan kok. Yang ada gapura warna merah
putih itu, nah, sebelahnya,” kata Ardian.
“Ayuk ke sana, sebelum ada musik di perutku,” kata
Ratih sambil menaiki lagi sepedanya. Pratiwi tersenyum melihat semangat Ratih.
***
Di warung pecel itu mereka makan dengan nikmat.
Sayuran yang belum pernah dimakannya, seperti kembang turi dan daun-daun yang
hanya di dapat dipinggir sawah, dirasakannya sangat berbeda. Tanpa malu dia
menambah lagi sepiring. Roy dan Ardian tertawa melihat Ratih dengan sigap
melahap makanannya.
“Apa di kota ada sayuran seperti ini Mbak?” tanyanya
kepada Pratiwi.
“Ada Tih. Kalau mau masuk ke pasar tradisional, pasti
ada. Aku sering jual sayuran seperti itu, ini kembang turi, ini daun cenil, ini
kemangi.”
“Wah, lain kali aku mau belanja di warung sayur Mbak
Tiwi,” kata Ratih yang lama-lama merasa kepedasan, lalu meneguk minuman jeruk hangat yang disajikan.
“Kepedasan ya?” tanya Pratiwi sambil tertawa.
“Sedikit, tapi enak. Tapi benar ya, besok setelah
kuliah, sisain sayuran seperti ini, aku ambil biar ibu membuat pecel
setelahnya.”
“Iya, siap. Besok pasti aku sediakan sayuran itu.”
“Tapi ngomong-ngomong, aku jadi teringat yang tadi,”
kata Ratih.
“Yang tadi tuh apa?”
“Soal tawaran bekerja kantoran.”
“Kamu bercanda?”
“Aku serius.”
“Kamu tahu bahwa aku tidak bersekolah tinggi?”
“Tahu sih Mbak, kan Mbak pernah cerita, mbak Aira
almarhumah juga sudah mengatakannya.”
“Lalu mengapa bicara tentang bekerja di kantoran?”
“Kalau Mbak mau, pasti bisa.”
“Jadi apa, kalau lulusan SMA seperti aku?”
“Nanti ada. Dia butuh tenaga administrasi. Mbak bisa
komputer?”
“Bisa, sedikit-sedikit.”
“Nanti pasti ada yang membantu. Yang penting Mbak bisa
dan mau menjalaninya. Gajinya lumayan besar.”
Pratiwi terdiam. Ia masih tak percaya pada apa yang
dikatakan Ratih. Gajinya besar? Sebesar apa? Apa lebih besar dari pendapatannya
berjualan sayuran?
“Perusahaan apa yang kamu maksudkan itu Tih?” tanya
Ardian yang sedari tadi hanya mendengarkan.
“Itu … perusahaan baru. Punya teman aku.”
“Perusahaan apa?” tanya Roy.
“Wah, aku belum tahu, baru saja buka. Dan di mana
kantornya aku juga belum tahu. Nanti kalau Mbak Tiwi mau, aku yang akan membawa
lamarannya sama dia.”
Pratiwi menatap Ardian dan Roy bergantian, seakan minta
pendapatnya.
“Pikirkan dulu untung dan ruginya. Tidak mudah
mendapatkan gaji besar begitu gampang. Kalau Tiwi mau, dia bisa bekerja di
kantor aku, tapi yang aku pikirkan adalah apa dia bisa menjalaninya. Apalagi
mengingat ibunya yang … maaf … selalu membutuhkan pengawalan di setiap apa yang
dilakukan,” kata Ardian panjang lebar.
Pratiwi mengangguk mengiyakan.
“Iya Tih, aku pikirkan dulu ya. Apalagi aku juga
memikirkan ibu. Kalau ibu ditinggal lama, apa dia sanggup? Apa aku juga tega? Sementara
Nano pulang sekolah sering di atas jam satu siang.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Itu teman aku yang butuh kok.
Sekarang ayo kita pulang, aku sudah kenyang,” kata Ratih sambil tertawa lebar.
“Baiklah, jalannya pelan-pelan saja. Supaya perutnya
nggak sakit,” kata Pratiwi.
Tapi sebelum Ratih menaiki sepedanya, ponselnya
berdering.
“Pasti dari ibu,” gumamnya sambil mengangkat ponselnya.
“Ya ibu,” jawab Ratih menjawab panggilan dari ibunya.
“Kamu di mana?”
“Di jalan, habis makan nasi pecel.”
“Makan di mana?”
“Di warung pinggir desa, Enak sekali deh Bu.”
“Apa maksudmu? Jangan makan di sembarang tempat, nanti
kalau perut kamu sakit bagaimana?”
“Tidak sembarang tempat. Tempatnya bersih kok. Ibu
jangan khawatir, sekarang sudah menuju ke rumah Mbak Tiwi lagi.”
“Biar di jemput lagi saja.”
“Tidak usah. Nanti gampang, Daaag, ibu,” kata Ratih
sambil menutup ponselnya. Itu karena ada panggilan lain di ponselnya. Dari
Sony. Ratih ingin mengabaikannya, tapi nggak tega.
“Ya, ada apa?”
“Bagaimana? Kamu sudah membujuknya?”
“Sudah aku lakukan.”
“Bagus, berhasil? Suruh dia membuat lamaran seadanya.
Pokoknya segera masuk di awal bulan depan.”
“Apa maksudmu? Baru saja aku ngomong, belum ada jawaban.”
“Tidak langsung menjawab?”
“Baru dipikirkan. Sudah ya, aku mau pulang, ini lagi
di jalan,” kata Ratih lalu menutup ponselnya. Berkali-kali kemudian ponsel itu
berdering, tapi Ratih tidak mengangkatnya. Ia sedang asyik mengayuh kembali
sepedanya, menyusul yang lain, karena mereka sudah jalan beberapa meter di
depannya.
“Tungguin,” teriaknyan sambil mengayuh lebih cepat.
***
Tapi Ratih sangat kesal, ketika sampai di rumah
Pratiwi, dilihatnya sopir suruhan ibunya sudah menunggu di pinggir jalan. Wajah
Ratih cemberut ketika sang sopir menyapanya.
“Siapa yang menyuruh kamu menjemput aku?”
“Ibu lah Non, masa keinginan saya sendiri.”
“Aku masih lama, masih mau pijit dulu,” katanya sambil
memasuki halaman, sementara Ardian dan Roy sudah langsung duduk di teras rumah
yu Kasnah.
“Apa Non? Pijit?”
“Aku masih lama, kamu pulang saja dulu.”
Sang sopir menggaruk-garuk kepalanya, kemudian masuk
ke dalam mobil box yang dibawanya, lalu menelpon sang majikan.
“Bagaimana? Belum pulang juga?”
“Sudah Bu, tapi katanya mau pijit dulu.”
“Pijit? Disitu tukang pijit?”
“Saya tidak tahu Bu, malah saya di suruh segera
pulang.”
“Jangan. Tungguin di situ sampai dia pulang.”
“Baiklah Bu.”
Dan sang sopir kembali menggaruk kepalanya, yang kemudian
ditelungkupkan di atas kemudi mobilnya.
***
“Ternyata enak dipijit bu Kasnah, benar, aku bisa
kecanduan pijitannya,” teriak Ratih begitu keluar dari dalam rumah, sementara
Ardian dan Roy masih duduk di teras.
“Tuh, kan. Bisa juga yu Kasnah membuat dia kecanduan,”
kata Ardian sambil tertawa.
“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy.
“Iya, kalau kelamaan ibuku bisa mengomel lebih
panjang,” katanya sambil mengambil sepedanya.
“Menurut aku, lebih baik kamu ikut sopir kamu itu,
supaya tidak capek.”
“Aku tidak capek. Itu kan kemauan ibuku, selalu
menganggap aku seperti anak kecil. Hari ini aku benar-benar terhibur, dan ingin
mengulanginya nanti,” katanya sambil mengayuhnya keluar halaman.
“Tampaknya dia masih menunggu. Apa boleh buat, aku
harus ikut mobil kalau begitu,” gumamnya.
Tapi begitu sampai diluar pagar, dilihatnya sang sopir
tertidur nyenyak.
Ratih tersenyum lebar, kemudian meneruskan mengayuh
sepedanya, keluar dari gang, meninggalkan sang sopir yang terlelap.
Ardian dan Roy mengejarnya.
“Apa maksudmu? Kamu tidak ikut mobil?”
Ratih hanya tertawa, dan terus mengayuh sepedanya.
“Anak bandel. Biar aku mengikutinya,” kata Roy yang meninggalkan
Ardian, kemudian mengayuh sepedanya di belakang Ratih.
Ardian geleng-geleng kepala. Ada yang aneh pada adiknya.
“Rupanya Roy suka pada Ratih,” gumamnya sambil menuju
pulang.
***
Bu Kasnah sedang menikmati nasi pecel bersama Nano, oleh-oleh
dari Ratih.
“Enak. Pantas kalau nak Ratih suka, memang enak.”
“Ratih pesan sayuran seperti itu, besok. Mau diambil
selepas kuliah.”
“O alah, sampai sebegitunya?”
“Iya Bu, dia suka sekali.”
“Orang kaya makanannya beda, tapi setelah makan
makanan orang kampung, dia ketagihan,” celetuk Nano sambil mengakhiri makannya.
“Pratiwi tertawa. Nggak juga lho, orang kaya juga suka
makan sayuran orang kampung. Keluarganya pak Luminto sering masak sayuran daun
singkong.”
“Mbak kok bisa tahu, memangnya pernah di kasih?” tanya
Nano.
“Kan beli sayurannya dari aku.”
“Oh iya, lupa Nano.”
“Wi, ini tadi nak Ratih masukin uang ke saku ibu.”
“Masa sih Bu?”
“Ini, lihat.”
“Ya ampun, banyak banget. Tiwi nggak tahu Bu, kalau
tahu pasti Tiwi kembalikan. Sungkan, masa dia harus membayar ya Bu.”
“Tadi ibu sudah menolak, tapi dia memasukkan uangnya
begitu saja, lalu pergi.”
“Permisiii ….” Tiba-tiba terdengar suara dari luar.
“Siapa Wi? Ada tamu kelihatannya.”
“Iya Bu, biar Tiwi lihat,” kata Pratiwi sambil
melangkah ke arah depan.
Tapi Tiwi terkejut ketika melihat sopir yang tadi pagi
mengantarkan Ratih, berdiri di depan rumah.
“Ya Pak, ada apa ya? Mana Ratih?” tanya Pratiwi yang
mengira Ratih sudah pulang bersama sopirnya.
“Lho, saya itu sedang menunggu di luar sana, mana non
Ratih?”
“Lho, Bapak bagaimana? Ratih sudah pulang sejam yang
lalu.”
“Apa?”
Sang sopir lupa mengatakan permisi, langsung kabur ke
arah mobil, hatinya was-was, pasti nanti mendapat omelan dari majikan.
“Celaka, kenapa juga aku tadi tertidur? Rupanya non
Ratih kabur begitu melihat aku tidur. Benar-benar celaka aku ini."
Belum sampai sang sopir menstarter mobilnya, ponselnya
berdering. Hatinya kecut begitu melihat bahwa yang menelpon majikannya. Mana
berani dia mengangkatnya?
***
Ratih yang sudah hampir sampai di rumah terkejut. Ketika melihat ke belakang, sebelum berbelok ke halaman rumah, dia melihat Roy
sedang mengayuh sepeda di belakangnya.
Ratih turun dari sepeda.
“Mas Roy? Kok Mas Roy ngikutin aku?”
“Aku nggak tega melihat kamu mengayuh sepeda sendirian.”
“Ya ampun Mas, ayo masuk ke rumah dulu kalau begitu,
aku suguhin jus jambu yang aku buat tadi pagi,” katanya ramah.
Roy mengangguk, ikut mengayuh lagi sepedanya memasuki
halaman rumah Ratih.
Tapi tiba-tiba ponsel Ratih berdering lagi. Dengan
kesal Ratih terpaksa mengangkatnya.
“Mas Sony, ada apa sih. Aku lagi di jalan.”
“Cuma nggak jelas tadi, jawaban kamu.”
“Dia bilang baru akan memikirkannya. Dia harus
meninggalkan ibunya sendirian di rumah kalau dia bekerja, bukankah ibunya tuna
netra?”
Roy mendengar percakapan itu, dan terhenyak kaget.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteJuara 1 mbk...Siip
DeleteSelamat buat jeng Wiwik, malam ini Juara 1
DeleteMatur nuwunn Bu Tien eSBeKa_16 sdh tayang. Sugeng dalu sugeng aso salira. Demi para penyemangat nya, gak peduli lagi capek tetep ngetik cerbung.
Nglilir mbak langsung ketemu SB
DeleteSelamat ya jeng Wiwik juara 1...
DeleteWiwik jg yg mengikuti dibelakang π
ReplyDeletemtnuwun mb Tien ππ
Alhamdulillah, yg dinanti akhirnya tayang juga, matur nuwun bunda Tien
ReplyDeletematur nuwun bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti, Yustina Maria Nunuk Sulastri,
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~16 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat .....
Yang belum bayar AYNA, mohon segera dilunasi, ya.
ReplyDeleteMulai hari bu Tien sdh mulai distribusi AYNA kepada para pemesanan yang sdh LUNAS pengganti ongkos cetak + ongkos kirim ke kita masing-masing.
Yang belum Order, buruan pesan lho, stok terbatas. Siapa cepat dapat.
Alhamdulillah
ReplyDeleteHoree...ibu Tien kereennn....biarpun agak telat, tetap tayang malam ini. Makasih, bu...sehat selalu.ππ
ReplyDeleteBtw, jus buah kalau bikin fresh...bukannya tidak bagus disimpan lama2 ya? Agak aneh kalau disimpan dari pagi sampai malam.π
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeletematurnuwun
ReplyDeleteKalau ada Roy atau Ardian yang tahu, pasti Tiwi diawasi. Niat Sony mendekati Pratiwi memang tidak baik.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSemakin seruu nih.
ReplyDeleteKetahuan akal bulusnya Sony.
Makasih mba Tien.
Salam sehat selalu. Aduhai
Slmt pgii bunda..terima ksih SB nya..slmsehat dan tetap aduhai unk bundaquππ₯°πΉ
ReplyDeleteTerima kasih bu tien... syukurlah roy mendengar percakapan sony ... tiwi bisa terselamatkan. Salam sehat bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-16 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semakin seru ceritanya.
Semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 16 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Akhirnya tahu juga siapa yang menawarkan pekerjaan dan jadilah keraguan Roy tentang maksud dibalik penawaran itu.
ReplyDeleteApakah perlu cerita Ardian diceritakan kembali ke Ratih, yang begitu sadis perlakuan Sony pada Pratiwi.
Kalau itu terjadi, apalagi rencana Sony yang akan diperlakukan pada Pratiwi,
kan Ardian juga ada peluang kerja buat Pratiwi; tapi pertimbangan nya kan ibunya yang perlu didampingi untuk berkegiatan hariannya.
Apalagi ini Roy tahu itu tawaran kerja dari Sony.
Bisa gara gara ini Roy tambah nempel ke Ratih, begitu polosnya sampai dikerjain Sony, nggak ngerti dibalik kebaikan yang ditawarkan; betapa geramnya Roy sampai kepikiran.
Heboh pembicaraan kedua anak anak itu, sampai ibu ibu mereka ngerti kalau ada sedikit masalah tentang Pratiwi
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke-enam belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Terima kasih Bu Tien
ReplyDelete