JANGAN PERGI 29
(Tien Kumalasari)
Radit tercekat. Kata-kata ibunya sangat meruntuhkan harapannya.
Ia tahu, sangat susah meluluhkan hati sang ibu. Kalau dia tidak menyukai
sesuatu, maka tak ada yang bisa memaksanya untuk suka. Sebaliknya kalau dia
menyukai sesuatu, maka apapun akan menjadi baik baginya.
Dia sudah mengatakan semuanya, agar ibunya menaruh
belas atas cintanya kepada Ratri, tanpa ada sesuatupun yang menghalanginya. Ia
tahu ibunya sangat menyukai, bahkan menyayangi Ratri karena pekertinya yang
dianggap baik dan terpuji. Tapi kendala yang menghalangi adalah keadaan ibunya
yang dianggapnya kurang waras. Itu sangat berat baginya.
Radit menundukkan wajahnya, dan berpikir, bagaimana
caranya merubah sikap ibunya.
“Ya sudah, kamu itu masih muda, mapan, ganteng, baik.
Tidak susah mencari gadis manapun yang kamu sukai. Kalau perlu ibu yang akan
mencarikannya,” kata ibunya agak melunak ketika melihat anak semata wayangnya
tertunduk dengan wajah sedih.
Mendengar perkataan ibunya, Radit mengangkat wajahnya.
“Radit hanya mencintai Ratri, Bu.”
“Cinta itu kan tidak harus memiliki Dit. Baiklah,
Ratri memang cantik, baik. Ibu suka sama dia, tapi mana mungkin ibu berbesan
dengan seorang yang kurang waras, kalau tidak boleh disebutkan gila? Ibu tidak
melarang walau dia dari keluarga yang tidak punya, tapi untuk yang satu itu,
rasanya berat menerimanya.”
“Sebenarnya bu Tijah tidak gila. Ibu Tijah hanya terganggu
jiwanya.”
“Ya ampun Dit, gila dan terganggu jiwanya itu hanya
beda tipis.”
“Tidak Bu. Bu Sutijah sangat menderita sejak belum
melahirkan anak-anaknya. Dikhianati suaminya, dihabiskan hartanya, dan dia
hanya diam. Dia bahkan tak sadar bahwa anak bungsunya sebenarnya masih hidup.
Penderitaan yang kelewat berat itu disandangnya seorang diri, dipendamnya dalam
hati. Itu yang melukai jiwanya.”
“Dit, itu kan analisa kamu. Lihat saja kenyataannya.
Dia kurang waras kan?”
“Tadi ketika bertemu Ratri, cara bicara dia sudah
berbeda. Dia bisa berbicara dengan baik, dan sadar bahwa Ratri dan Listi itu
berbeda. Listi sangat kasar, sedangkan Ratri itu lembut, Dia juga bilang, Listi tidak mau mengakuinya
sebagai ibunya, dan itu diucapkannya dengan wajah sedih. Dia bahkan bersedia ketika
Ratri mengajaknya ke rumah bu Cipto, lalu bisa berbincang dengan baik di sana,
walau kemudian tak begitu banyak bicara. Radit yakin bu Tijah akan pulih Bu,”
rayu Radit panjang lebar.
Tapi tampaknya bu Listyo bergeming. Dia kemudian
berdiri dan masuk ke kamarnya, meninggalkan Radit yang masih terpaku di tempat
duduknya.
***
“Bu, bolehkah malam ini Ratri tidur bersama Ibu Tijah?”
tanya Ratri kepada bu Cipto.
“Tentu saja boleh, temani dia agar dia merasa tidak
sendirian. Ajak dia bicara tentang hari-hari kamu sejak kamu masih kecil hingga
dewasa, supaya dia senang anaknya mendapat kasih sayang yang cukup di rumah
ini, walaupun almarhum ayahmu tidak memiliki harta yang berlimpah.”
“Iya Bu, nanti Ratri akan mengatakan semuanya pada ibu
Tijah.
Di rumah keluarga Cipto ada dua kamar keluarga dan
satu kamar tamu. Tapi Ratri ingin Tijah tidur di kamarnya, agar dia bisa
menemaninya dan seperti kata bu Cipto, dia bisa menceritakan banyak hal tentang
masa kecilnya hingga dia dewasa.
Tijah yang sudah berubah, tak menolak ketika Ratri
mengajaknya tidur di kamar Ratri, ditemani oleh Ratri pula.
Malam belum terlalu larut, Tijah dan Ratri masih
berbincang, walau pembicaraan lebih didominasi oleh Ratri yang banyak bercerita
tentang hari-harinya sebelum ini.
“Aku senang, kamu mau mengakui aku sebagai ibumu,”
katanya sambil mempermainkan anak rambut Ratri yang berjuntai di kening.
“Mengapa Ibu berkata begitu? Bukankah Ibu memang Ibuku?
Bagaimana mungkin aku tidak mau mengakuinya?”
“Kamu berbeda dengan Listi. Listi selalu hidup mewah
dan berkecukupan, sehingga dia sombong dan kasar.”
“Itu bukan sifat aslinya Bu, karena di keluarga orang
tua angkatnya, mbak Listi selalu dimanja. Maklum, mereka keluarga berkecukupan,
sehingga tidak memperhatikan pendidikan untuk bersikap santun dan rendah hati.
Adanya hanya memberikan apa yang diinginkannya, dan membuat mbak Listi senang.
“Benar. Sebenarnya dulu aku senang. Aku ini miskin,
dan walau punya suami nyatanya tidak mendapat perhatian dari suami. Sehingga
aku berikan dia kepada keluarga kaya yang bisa memberikan kesenangan bagi
Listi. Ternyata akhirnya aku merasa salah.”
Ratri sangat senang. Ibunya bisa berbicara sangat urut
dan mengungkapkan perasaan dengan lugas. Bukan dengan mata nanar dan wajah
garang seperti ketika pertama kali menemui Radit di halaman rumahnya.
Memang tak banyak yang dikatakannya, tapi itu
menandakan bahwa ibunya tidak bisa disebut sakit jiwa. Ia tahu ibunya hanya
mengalami banyak luka, yang membuatnya kesakitan di dalam jiwanya. Hanya sekejap,
pertemuan dengan dirinya bisa banyak mengubahnya, dan itu membahagiakannya.
“Sekarang Ibu tidur ya, maukah besok pagi jalan-jalan
sama Ratri?”
“Kemana?”
“Jalan-jalan saja, beli nasi liwet, atau ketan juruh,
atau_”
“Aku suka ketan juruh,” tukasnya antusias.
“Bagus, ayo tidur, soalnya kita harus bangun pagi, dan
jam tujuh pagi Ratri sudah harus berangkat bekerja.”
“Kamu bekerja di mana?”
“Ratri hanya seorang guru, seperti almarhum bapak Cipto.”
“Oo.”
“Ayo tidurlah Bu, peluk Ratri dong,” rengek Ratri,
manja, membuat Tijah tersenyum.
“Itu suara hujan kan?”
“Iya Bu, akhir-akhir ini kalau malam sering hujan.
Dingin ya Bu?”
“Tidak, selimutnya kan tebal.”
“Tapi besok aku mau pulang.” Ratri terkejut.
“Pulang ke mana?”
“Ke rumahku, mengambil baju, tidak enak pinjam terus.”
“Tidak usah Bu, di sini masih banyak baju-baju Ratri
yang belum pernah terpakai, nanti ibu pakai saja. Bukankah tubuh kita sama
besar dan tingginya?”
Tijah mengangguk.
Mereka tertidur dengan mimpi masing-masing, tapi
semuanya adalah mimpi indah, karena suasana hati tak lagi gundah.
***
Berbeda dengan Ratri yang merasa bahagia karena
bertemu dengan ibunya, Listi di rumahnya belum bisa tidur. Ia merasa gelisah
dan entah kenapa tiba-tiba dirasakannya bahwa hidupnya sangatlah sepi.
Malam-malam dia menelpon bu Sumini, menyuruhnya datang
dan menemaninya malam itu.
“Sekarang Non?” tanya bu Sumini yang sebenarnya sudah
hampir tertidur.
“Tahun depan!” kesalnya.
“Baiklah, saya datang, sekarang,” kata bu Sumini
pada akhirnya.
Listi tak mengijinkan bu Sumini tidur di kamar
belakang seperti biasanya kalau kadang-kadang menginap. Ia meminta bu Sumini
agar tidur di atas karpet di kamarnya.
“Bawa bantal dan guling Bik, tidur di sini saja. Atau
kasurmu sekalian.”
“Tidak usah pakai kasur Non, karpetnya sudah tebal,”
kata bu Sumini sambil membawa bantal dan guling, tak lupa selimut, karena AC dikamar
Listi sangat dingin. Apalagi di luar sedang turun hujan. Walau tidak deras,
tapi cukup membuat tubuh bu Sumini menggigil.
“Mengapa tiba-tiba aku merasa sepi? Padahal sudah lama
aku sendirian di rumah ini, sejak kembali dari Jakarta,” kata Listi pelan.
“Seandainya ibu masih ada …” gumamnya pelan.
“Itukan sebabnya maka Non minta agar saya tidur
disini?”
“Iya.”
“Non,..” panggil bu Sumini yang kantuknya hilang
gara-gara dipanggil datang ke rumah Listi.
“Hm …”
“Apakah Non tidak percaya kata yu Tijah bahwa_”
“Bahwa aku anaknya? Bukankah dia orang gila?”
“Tidak Non, jangan bilang begitu.”
“Nyatanya kan dia gila?”
“Tidak. Dia hanya rindu sama Non Listi.”
“Bik, kamu aku suruh datang ke sini bukan karena aku
ingin Bibik mendongeng yang tidak-tidak.”
“Baiklah, kalau begitu mari sekarang tidur Non, ini
sudah malam,” kata bu Sumini sambil menarik selimutnya sampai ke dada.
***
Pagi hari itu Radit hanya minum segelas susu coklat yang
dihidangkan pembantunya, menolak sarapan bersama ibunya.
“Mengapa tidak mau sarapan? Apa kamu marah sama Ibu?”
“Tidak, Radit harus ke kantor pagi-pagi, ada meeting
sebelum Radit berangkat ke rumah sakit,” katanya sambil memakai sepatunya.
“Kamu harus tahu, apa yang ibu katakan semalam itu
bukan karena kesombongan ibu, atau merendahkan seseorang.”
Radit tak menjawab. Ia segera berdiri ketika sepatu sudah
terpasang, kamudian mengambil tas kerjanya, dan kemudian mendekati ibunya.
“Radit berangkat, Bu,” katanya sambil meraih tangan
ibunya dan menciumnya, lalu ia melangkah ke halaman, dimana mobilnya sudah
disiapkan sejak tadi.
“Dit,” panggil bu Listyo lagi, sambil mengikuti
anaknya sampai ke teras.
Radit berhenti, dan menoleh ke arah ibunya.
“Benar, kamu tidak marah sama ibu?” lanjutnya.
“Tidak Bu,” jawabnya singkat, kemudian memasuki
mobilnya.
Sampai mobil itu berlalu meninggalkan halaman, bu Listyo
masih terpaku di teras,
“Radit marah sama aku, apa aku salah?” gumamnya sambil
membalikkan tubuhnya, masuk ke dalam rumah.
“Mengapa pak Radit tidak makan dulu?”
“Tidak mau Bik, katanya harus ke kantor secepatnya.
Aku sarapan sendiri saja,” kata bu Listyo sambil masuk ke ruang makan.
Bibik melayani sang nyonya majikan, yang tampak lesu.
Ia tahu sedang ada masalah diantara sang majikan dengan putranya. Tapi mana
berani dia mengatakannya?
“Apakah Ibu jadi belanja setelah ini?”
“Oh iya, harus belanja ya Bik, temani aku ya.”
“Biasanya sama non Ratri.”
Wajah bu Listyo langsung muram.
“Oh iya, ini tidak libur, pasti non Ratri bekerja,”
kata bibik menjawab ucapannya sendiri.
“Catat semua yang habis, jadi kita nanti tinggal
memilih, dan bisa segera pulang.”
“Baik Bu.”
“Tapi ini masih pagi, mal belum buka kan Bik. Kita ke
pasar tradisional saja ya.”
“Benar, Ibu mau ke pasar tradisional?”
“Memangnya kenapa?”
“Semalam hujan, pasti di pasar becek.”
“Masa? Kan pasarnya tidak diluaran?”
“Terkadang kaki-kaki kotor bekas menginjak tanah
becek, langsung masuk begitu saja, nah lantainya jadi kotor deh.”
“Iya benar. Tapi aku ingin jalan-jalan pagi. Entah
mengapa, suntuk di rumah.”
“Baik Bu.”
Bu Listyo melanjutkan makan paginya, dengan perasaan
yang tidak nyaman, membayangkan wajah Radit yang muram sejak pagi, dan sikapnya
yang dingin, tidak seperti biasanya.
“Mengapa Radit tidak mengerti, masa aku berbesan
dengan orang yang kurang waras?” gumamnya setelah menyelesaikan makan paginya, yang
kali itu sang pembantu tidak mendengarnya, karena sedang membawa piring kotor ke
belakang.
***
Bu Cipto baru selesai membenahi kamar tidurnya, lalu
akan membereskan dapur, ketika dilihatnya Tijah sudah lebih dulu membersihkan
dapur.
“Bu, biar saya saja, nanti Ibu kecapekan.”
“Tidak, saya bisa kok. Kalau ada yang salah, tolong dibetulkan.”
“Tidak ada yang salah, tuh semuanya sudah rapi. Itu biasanya
pekerjaan Ratri, tapi tampaknya tadi dia tergesa berangkat kerja.”
“Soalnya tadi mengajak jalan-jalan saya,” jawab Tijah
sambil tersenyum.
“Senangkah tadi Bu, jalan-jalan di sekitar tempat ini?”
“Senang dan segar udaranya, soalnya semalam hujan.”
“Iya benar Bu. Sekarang Ibu mandi saja ya, sebentar
lagi saya mau ke pasar. Atau ibu mau ikut?”
“Ya, saya mau.”
“Tidak capek? Tadi kan sudah jalan-jalan?”
“Cuma dekat. Saya orang kampung, sudah biasa
kemana-mana jalan kaki.”
“Baiklah, kalau begitu sekarang Ibu mandi saja,
tampaknya Ratri sudah menyiapkan baju ganti untuk Ibu.”
“Iya, benar. Saya mandi dulu saja. Tapi saya sungkan
sebenarnya.”
“Kenapa sungkan?”
“Merepotkan.”
“Tidak Bu, saya senang Ibu ada di sini, saya jadi
punya teman. Biasanya kalau Ratri bekerja, saya sendirian. Anggap saja rumah
ini seperti rumah sendiri.”
Tijah mengangguk, lalu beranjak ke kamar untuk
mengambil handuk dan semua perlengkapan mandi yang tadi sudah disiapkan Ratri.
Ketika selesai mandi, bu Cipto melihat Tijah sedang
termenung di teras.
“Bu, apakah kita ke pasar sekarang?”
“Terserah saja.”
“Ibu sedang memikirkan apa, kok seperti termenung
begitu?”
“Teringat Listi.”
“Listi?”
“Mengapa dia tidak mau mengakui saya sebagai ibunya?”
“Ibu sabar ya, pada suatu hari nanti pasti dia akan ingat. Ikatan darah itu tetap akan bisa menyatukan walau berpisah cukup lama,” hibur bu Cipto yang sudah tahu semua ceritanya.
***
Bu Sumini sedang membuat sarapan di dapur, karena
Listi minta dibuatkan nasi goreng udang dan telur ceplok kesukaannya. Untunglah
ketika sebelum Listi pulang, bu Sumini sudah menyiapkan bahan-bahannya di
kulkas sehingga dia tidak kerepotan membuatnya.
Baru saja bu Sumini mengentas nasi gorengnya dan
meletakkannya di piring, terdengar Listi berteriak dari arah kamar.
“Biik, ke sini sebentaar!”
Bu Sumini bergegas ke kamar Listi.
“Ya Non.”
“Ini Bik, tolong dibuang, ada baju-baju bayi di kotak
ini. Hiih, mengapa ibu menyimpan beginian di almari. Tolong dibuang saja Bik!”
katanya sambil menaruh kotak kayu itu didepan bu Sumini.
Bu Sumini tertegun.
***
Besok lagi ya.
Kejora Pagi
ReplyDelete๐พ๐พ๐น๐น☘️☘️♣️♣️❤️❤️
Sabtu, 19 November 2022
JANGAN PERGI
#Episode 29
Penulis : Tien Kumalasari.
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
Alhamdulilah..... sudah tayang.....
Terima kasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.... Aamiin ya Mujibassailiin..
Salam ADUHAI, Kakek Habi mBandung.
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Asyik
ReplyDeleteTks Bu Tien.
ReplyDelete๐ฆ๐น๐ฟ Alhamdulillah JP 29 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai๐๐ฆ๐น
ReplyDeleteNanti kan ada yg nrombol lagi
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien...gasik nggih.๐๐
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ...
Alhamdulillah JP sampun tayang, matur nuwun Bunda Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah... maturnuwun bu Tien...
ReplyDeleteSalam sehat selalu ...
Terimakasih...sehat selalu Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.....terimakasih bu tien
ReplyDeletealhamdulillah,.... ๐
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...๐
ReplyDeleteAlhamdulillah matur nuwun ibu
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang.
ReplyDeleteIni dia pakaian bayi yang mungkin pernah dia pakai. Atau pernah dipakai Ratri?
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat
Jangan dibuang dulu coba ada apanya tuh ,,,๐คญ biar Listi tau siapa kamu
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~29 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah... terima kasih
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteHadir
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ๐น๐น๐น๐น๐น
Alhamdulillah JP 29 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulilah..Ratri sdh dtg..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga bunda sehat selalu..
Trima kasih bunda Tien, smoga sehat selalu
ReplyDeleteWow kesegaran pagi membuat ada semangat hidup apalagi disekitarnya ada orang orang yang menyayangi, dan perhatian pada Bu Sutijah, tuh kan termenung di teras kenapa sikap Listi pada ibu kandungnya begitu.
ReplyDeleteMoga moga Bu Sutijah kalau diajak Bu Cipto kepasar ketemu Tarmi; nggak emosi lagi pada Tarmi.
Atau kalau ketemu Bu Listyo gimana ya, tuh kan Sutijah berbincang akrab sama ibu ibu, kan wajar to normal tuh, bercandaan sebagaimana biasa kelihatan asyik, adakah Bu Listyo maklum.
La kalau Sutijah lihat Tarmi terus memburu kaya tempo hari..
Masih gila.. masuk lagi ke RSJ.
Eh malah Listi yang anti pati sama bekas baju bayinya. Kan belum baca surat wasiat dari Bu Suroto, coba kalau sudah, pusing lagi, teriak-teriak lagi..
Masuk lagi ke RSJ.
Kudangane anak ndรฅrรฅ, anak piyayi, dรจn ayu Listi.
Halah egonya tinggi.
nggak mau sekolah tinggi, masih harus menemui kesulitan² yang bisa menyadarkan nya.
Kan belum lulus; cuma agak tenang dan stabil saja jadi boleh pulang dari RS.
Perawatnya yang susah, jibakutei sampai kamikaze dingin dinginan dikarpet, kasihan padhakรฉ ingon ingon ranggenah. Perlu sinthingan bรจn ora miring-miring nyirak-nyiruk nggasruk temangsang; padhakรฉ layangan.
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke dua puluh sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Pasti baju Listy ketika bayi.
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi,
Alhamdulillah JePe sudah datang , matursuwun bu Tien, salam hangat semoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Semoga bu Tien sehat selalu.
Baju bayi yg tersimpan rapi di kotak, dan mungkin juga ada surat wasiat asal usul Listi yg ditulis bpk/ibu Suroto menjadi saksi.
ReplyDeleteSemoga Listi menyadari keberadaannya , mengakui dan menerima ibu kandungnya.
Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem...
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih atas sapaannya..
ReplyDeleteSalam sehat selalu buat Mbak Tien dan keluarga...
Sudah tayang trims Bu tien
ReplyDeleteHehehe baru baca sekarang padahal kemarin d solo stadion manahan gak sempat baca, makasih bunda
ReplyDeleteTerimakasih ibu Tien cerbung nya setia menunggu kelanjutannya.
ReplyDeleteBaju Listy itu๐ข๐ข๐ข
ReplyDelete