JANGAN PERGI 28
(Tien Kumalasari)
“Suuum, kamu tidak mendengar aku, malah bicara sama
siapa tuh?” Tijah masih berteriak sambil mendekat.
“Yu, ini lho, ada tamu …” jawab Sumini yang masih berdiri
di hadapan Ratri dan Radit.
Tijah mendekat, mengamati keduanya.
“Ini kan Radityo, pacarnya Listi? Oo, jadi kamu
meninggalkan Listi karena tertarik pada perempuan ini? Karena dia mirip Listi,
lalu kamu memilih dia?” kata Tijah sambil menunjuk marah ke arah Ratri. Ia lupa
bahwa dulu pernah berjumpa dengan keduanya di halaman rumah Radit. Ratri
menatap lekat ke arah Tijah. Menyadari bahwa wanita inilah ibu kandungnya. Tapi
ia menahan gejolak perasaannya. Takut kalau justru Tijah semakin kesal dan
bingung. Ia harus mengerti secara perlahan.
“Yu, bukan begitu ceritanya, ayo kita duduk dulu di
teras, tamu kita ini juga belum lama datang. Ada cerita yang pasti akan membuat
kamu heran, tapi kamu pasti senang,” kata Sumini sambil mempersilakan semuanya masuk ke teras.
Tijah menurut. Ia duduk di samping Sumini, dan menatap
Ratri dengan pandangan tak suka. Tapi Tijah heran, ia tak ingin membenci Ratri,
yang dikiranya telah merebut Radit dari tangan Listi. Ia juga lupa, dulu Radit
pernah menerangkan bahwa Listi lah yang telah meninggalkannya.
“Yu, apa yu Tijah lupa, bahwa bukan Pak Radit ini yang
meninggalkan Listi, tapi Listi yang meninggalkannya, karena menikah dengan
laki-laki lain?”
Tijah menatap sepupunya. Matanya berkedip-kedip,
seperti memikirkan sesuatu. Radit dan Ratri masih diam, menunggu apakah ingatan
Tijah masih berjalan dengan baik.
“Ooh, dia … laki-laki bernama Dian Aryo Seno itu?”
Ratri heran. Tijah ibunya masih mengingat nama Dian
dengan lengkap.
“Benar. Lalu pak Dian menceraikan Listi, karena Listi
menggugurkan kandungannya. Masih ingat?”
“Menggugurkan kandungannya? Benar begitu?”
“Ya Yu, Listi juga sudah mengakuinya.”
“Kejam sekali,” gumam Tijah, lalu dia menundukkan
wajahnya.
“Kasihan dia, sekarang dirawat di rumah sakit jiwa.
Padahal Listi tidak gila,” gumamnya pelan.
“Sekarang keadaannya sudah lebih baik. Sebenarnya hari
ini aku mau ke sana, menjenguknya dan mengirimi dia masakan kesukaannya. Tapi kabarnya dia sudah boleh pulang.
“Kasihan Listi ku. Tapi kenapa dia menggugurkan
kandungannya? Kehilangan anak itu menyedihkan. Kamu kan tahu Sum, aku
menyerahkan Listi saat baru lahir kepada orang kaya, dan itu sebenarnya membuat
aku sedih. Kamu ingat Sum?”
“Ya, aku ingat.”
“Lalu aku melahirkan lagi anak perempuan, tapi dia
mati,” lalu Tijah menangis sesenggukan, menutup wajahnya dengan kedua belah
tangannya.
Ratri tak tahan lagi. Ia bangkit dari kursinya, lalu
berlutut di depan Tijah, kemudian meletakkan kepalanya di pangkuan Tijah.
Tijah melepaskan tangannya, saat ada yang menjatuhkan
kepalanya di pangkuannya.
“Apa maksudmu? Kamu mau minta maaf karena telah
menjadi kekasih Radityo? Tidak perlu, aku tidak menyalahkan dia, ataupun kamu.”
Ratri terisak.
“Apa yang kamu lakukan, berdirilah,” kata Tijah yang
merasa kesal, ada yang mengganggu saat dia menangis.
“Aku sedang sedih karena mengingat anakku mati, pergilah,”
katanya sambil mengangkat kepala Ratri.
Ratri mengangkat kepalanya, menatap Tijah dengan wajah
basah air mata.
“Bu, bayi ibu tidak mati. Dia masih hidup.”
“Apa katamu? Apakah kamu bidan yang membantu
kelahirannya? Aku bahkan belum sempat melihatnya hidup, matanya terpejam terus. Dia mati. Kamu bidannya? Tidak, mengapa bidan di saat
itu, dan sekarang masih tampak muda? Apa kamu sakti? Apa kamu punya ilmu yang
membuat wajahmu tak pernah tua? Atau kamu bisa merubah wajahmu sehingga mirip
dengan Listi, supaya Radityo suka sama kamu? Aku menyesal tidak punya ilmu itu.
Kalau saja aku tetap cantik, muda dan montok, Sukur tak akan meninggalkan aku,”
katanya sambil matanya menerawang.
Radit tercengang. Ucapan Tijah adalah ucapan dengan
sebuah logika, walau logika yang ngawur. Tapi bahwa orang tetap muda adalah
karena punya ilmu, itu sebuah logika yang wajar, walau adanya hanya di dalam
cerita atau dongeng. Dan apa yang diucapkan adalah juga logika. Ingin tetap
cantik dan bisa merubah wajah mirip Listi supaya bisa menarik hatinya. Ia juga
tahu, kalau bidan di saat dia melahirkan pastilah sudah tua, bukan tampak
seperti gadis seumur Ratri. Ucapan itu begitu runtut. Bukan berceloteh
sembarangan, yang melompat ke sana kemari tanpa arti. Tiba-tiba Radit merasa,
Bu Tijah bukanlah benar-benar gila, tapi jiwanya terkoyak oleh
kejadian-kejadian yang membuatnya tertekan. Sengsara yang dipendamnya, yang
kemudian melukai jiwanya sendiri.
“Ibu, bayi itu memang tidak mati,” isak Ratri.
“Apa kamu melihatnya? Aku pergi dari rumah sakit sendirian,
pulang tanpa membawa bayi,” Tijah mengusap air matanya.
“Ah, mengapa aku menangis? Tidak, harusnya air mataku
sudah kering. Mengapa aku menangis?” katanya sambil mengusap wajahnya, kasar.
“Ibu kan tidak melihat bayi ibu mati?”
Tijah termenung sesaat. Mencoba mengingat-ingat. Tapi kemudian
dia kesal sendiri, lalu bangkit berdiri.
“Aku mau pergi, kepalaku mendadak pusing.”
“Jangan pergi Bu,” kata Ratri yang memegangi ke dua
kaki Tijah.
“Apa sebenarnya maumu? Aku sudah tidak peduli apapun,
aku mau ketemu Listi. Itupun kalau Listi mau menemui aku. Dia malu punya ibu
seperti aku. Dia bahkan bilang, aku ini gila. Tapi aku tidak ingin menangis,”
kata Tijah sambil menghentakkan kakinya, sehingga Ratri jatuh terjengkang.
“Ibuuu ….” Ratri bangkit dan mengejarnya, kembali
memegang kakinya dari belakang.
“Kamu ini kenapa? Mengganggu saja.”
“Tidakkah Ibu merasa, akulah bayi itu Bu, aku tidak
mati.”
Tijah membalikkan tubuhnya, untunglah Ratri tidak
kembali terjengkang karena dia bisa bertopang dengan kedua tangannya.
“Benar Yu, gadis itu namanya Ratri. Dia anakmu yang kamu
kira sudah mati, Dia dibawa Tarmi, lalu diberikan kepada orang, yang kemudian
merawatnya sampai dewasa,” kata Sumini.
Tijah menjatuhkan tubuhnya dilantai, duduk di depan
Ratri yang bersimpuh dengan berurai air mata. Mata Tijah berkejap-kejap, tapi
ia tak lagi menangis. Ia menatap Ratri, yang memandangnya penuh harap.
“Kamu seperti Listi, cantik, ayu ….”
“Karena aku adiknya Listi. Karena aku juga anak Ibu,”
kata Ratri sambil meraih tangan Tijah.
Tijah menoleh ke arah Sumini, seperti orang bingung.
“Yu, bayimu tidak mati. Yang didepanmu itulah dia,
anakmu yang ke dua, adiknya Listi.”
“Tidak mati? Mengapa aku merasa dia sudah mati? Ketika
aku menengoknya, matanya terpejam, dan diam. Lalu aku pulang, bingung. Rumahku
kosong, tak ada siapa-siapa. Suamiku sudah pergi ….”
Ratri mencium kedua tangan ibunya yang disatukan.
Tijah menatapnya tak berkedip, kemudian Ratri memeluknya, dan menangis di
pundaknya.
Tijah terbengong. Selama yang diingatnya, belum pernah
ia merasa dipeluk sehangat pelukan Ratri. Pundaknya yang basah, adalah bukti adanya perhatian seseorang terhadap
dirinya. Benarkah gadis cantik yang memeluknya adalah anaknya yang dikiranya
sudah mati?
“Ibu, peluk aku Bu, peluklah aku 7matanya yang tak bisa ditahannya melihat adegan mengharukan itu.
“Ibu, peluklah Ratri, Ratri ingin ibu memeluk aku.
Peluk aku, Ibu …” kata Ratri yang semakin mempererat pelukannya.
Basah pundaknya, getaran hangat yang dirasakan di
tubuhnya, membuat Tijah kemudian mengangkat tangannya, memeluk Ratri yang masih
sesenggukan. Entah mengapa, Tijah merasa darahnya mengalir begitu cepat.
Kehangatan yang merambat, adalah kehangatan yang tidak asing baginya. Ada rasa
yang menyatu, ada rasa yang bergolak di dadanya, yang belum pernah
dirasakannya.
“Ibu … Ibuku …” rintih Ratri memelas. Dan tak terasa
tangan Tijah mengelus kepalanya.
Lama mereka berpelukan, lalu ketika saling melepaskan,
Tijah merasa seperti baru keluar dari sebuah ruangan gelap yang selama ini
melingkupinya.
“Apakah aku bermimpi?” itulah kata yang pertama kali
diucapkan setelah adegan mengharukan tersebut.
“Ibu tidak bermimpi, Ratri anak Ibu, tolong panggil ‘anakku’
dan sekali lagi peluk Ratri Bu.
Tijah membuka mulutnya, mengucapkannya dengan lirih.
“Anakku ….”
Lalu ia kembali memeluk Ratri. Ratri tersenyum.
“Sekarang duduklah di atas Yu, kamu sudah mengerti
semuanya kan?”
Ratri bangkit lebih dulu, kemudian membantu ibunya
berdiri, lalu menuntunnya duduk di sebuah kursi.
“Mengapa kamu mau mengakui aku sebagai ibumu?” tanya
Tijah. Matanya tampak sayu, luruh dalam rasa, yang pasti lah bahagia.
“Karena Ibu memang Ibuku, yang melahirkan aku.”
“Tapi Listi tidak mau mengakuinya, ia menyebutku gila ….”
“Nanti kita temui Listi, saya akan mengatakan bahwa
Ibu adalah Ibu yang melahirkannya.”
Wajah Tijah berseri. Tatapan liar penuh amarah itu
sudah lenyap, seperti anak kecil mendapatkan mainannya kembali.
“Yu, kita akan menemui Listi. Sepertinya dia boleh
pulang hari ini. Tapi yu Tijah belum mandi kan? Mandi di sini saja, ada shampo,
keramas ya Yu, ada bajuku yang aku simpan di sini, bisa yu Tijah pakai.”
Beda dengan hari-hari sebelumnya, dimana Tijah sangat
susah di suruh mandi, kali itu ia menurut. Sumini mengantarkannya ke belakang,
dan menyiapkan baju yang lebih pantas untuk sepupunya.
Ratri menatap Radit dengan pandangan penuh rasa terima
kasih.
***
Listi keluar dari ruangannya dengan pakaian rapi,
ketika bu Sumini datang bersama Radit dan Ratri, juga Sutijah, ibu kandungnya.
“Banyak sekali yang menjemput aku? Dan kamu Bik,
mengapa mengajak dia? Aku tidak suka,” katanya setelah mereka duduk, sambil
menunjuk ke arah Tijah.
“Aku juga tidak suka sama dia, yang sudah merebut
Radit dari aku,” katanya lagi sambil menunjuk ke arah Ratri.
“Mbak Listi …_”
“Aku bukan ‘mbak’ mu.
“Baiklah, non Listi, yang pertama, aku tidak merebut
mas Radit dari kamu. Kamu lebih dulu meninggalkannya kan? Yang kedua, wanita
setengah tua yang kamu bilang bahwa kamu tidak suka ini, adalah ibumu,” kata
Ratri lembut.
Listi membelalakkan matanya tanda bahwa dia marah.
“Dia pernah mengatakannya, tapi dia kan gila?”
“Jangan begitu. Dia tidak gila. Dia ibu yang
melahirkan kamu.”
“Tuh, kenapa kamu ketularan dia? Sebaiknya kalian
masuk saja ke sana, biar dirawat, karena kalian memerlukan obat. Bukan aku.”
“Non Listi, itu benar.”
“Apa yang benar Bik? Ayo kita pulang, jangan pedulikan
mereka.”
“Bahwa yu Tijah ini, ibunya Non Listi. Dan gadis yang mirip Non ini, adalah adik Non
Listi.”
“Bik, aku tidak mau dengar, ayo kita pulang, kepalaku
pusing mendengar ocehan yang tak jelas ini,” kata Listi sambil berdiri.
“Tadi, kami diantar oleh pak Radit.”
“Aku tidak mau. Panggil saja taksi,” katanya sambil
melenggang pergi, membiarkan bu Sumini membawa sebuah kopor yang tadinya
dibawakan bu Sumini untuk tempat baju-baju Listi.
Bu Sumini menghela napas.
“Barangkali memerlukan waktu untuk menyadarkan dia,”
gumam Radit.
“Ibu harus sabar ya, sekarang Ratri akan membawa Ibu
menemui ibu Cipto, wanita yang merawat Ratri sejak Ratri masih bayi.
Sutijah mengangguk.
“Ya sudah, saya pulang dulu sama Non Listi ya,
barangkali secara perlahan dia akan mengerti. Saya akan mengajaknya bicara,”
kata bu Sumini sambil menepuk bahu sepupunya. Ada binar bahagia di mata bu Sumini,
ketika melihat sepupunya sudah jauh berbeda.
***
Bu Cipto menerima kedatangan wanita yang diakui Ratri
sebagai ibu kandungnya, dengan suka cita.
Tijah tidak banyak bicara, tapi dia mulai sedikit mengerti pembicaraan orang-orang disekitarnya.
“Bu Tijah kan sendirian, kalau Ratri bekerja, saya juga
sendirian. Maukah tinggal di sini bersama kami?” kata bu Cipto ramah.
Tijah menatap Ratri, yang kemudian mengangguk setuju.
“Saya masih bingung.”
“Nanti kalau tinggal di sini, lalu sering bercerita
sama Ibu Cipto ini, pasti Ibu tidak akan bingung. Lama-lama akan terbiasa.”
Tijah hanya mengangguk. Ia seperti anak kecil yang
baru belajar bicara, dan belajar mengerti apa saja yang ada di sekelilingnya.
Radit yang menyaksikan adegan itu tersenyum lega.
Akhirnya pertemuan itu terjadilah, walaupun Listi tampaknya masih sulit untuk
mengerti. Maklumlah, sesungguhnya Listi memang agak keras kepala, dan selalu
bersikap semaunya.
Radit kemudian pulang dan meninggalkan Sutijah di
rumah bu Cipto. Tapi sesungguhnya ada rasa was-was di hati Radit, tentang
ibunya sendiri.
***
Kekhawatiran Radit akhirnya terbukti. Tak tahan
berlama-lama, akhirnya Radit menceritakan semuanya, yang diterima bu Listyo
dengan membelalakkan matanya.
“Apa katamu? Ratri itu sesungguhnya saudara kandung
Listi? Berarti Ratri juga anak wanita kurang waras itu kan?” katanya dengan
nada tinggi.
***
Besok lagi ya.
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Horé mb Nani jaga gawang
DeleteAku lg di antree ngambilin makmal di kcl
Alhamdulillah.... trm.ksh bunda
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteSaya nomer 3 mengko lak enek sing nrombol
ReplyDeleteTrima kasih bu Tien , salam aduhai dr Tegal
ReplyDeleteMtrnwn mb Tien
ReplyDeleteLoo kan betul taa
ReplyDeleteSudah ditrombol jeng Iin
Klo liat jamnya emang uti Yanik lebih dl dr bu iin 😍
DeleteAlhamdulillah Sugeng ndalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~28 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang.
ReplyDeleteWaduh bu Listyo sabar.....
ReplyDeleteTerima ksih mbu tien... sht sllu
🦋🌹🌿 Alhamdulillah JP 28 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌹
ReplyDeletealhamdulillah🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ...
Matur suwun bunda Tien, cerita semakin menarik...
ReplyDeleteKita tunggu lanjutannya bunda
Salam Tahes Ulales bunda dari bumi Arema Malang dan selalu tetap Aduhaiii
Alhamdulillah, sehat selalu bund, maturnuwun🙏🧕
ReplyDeleteAlhamdulilah...Ratri sdh dtg..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga sehat dan bahagia selalu..
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien...🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillah... Tks Bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah....matur nuwun 😘
ReplyDeleteSehat selalu bunda Tien cantik 😘❤😘
Terima kasih mbak Tien. Salam sehat selalu.
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur nuwun.. sehat selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAhaaa..... Esmosi Bu Listyo mendengar cerita dari Radit.
ReplyDeleteBerharap akhirnya bisa legowo dan nalarnya jalan, sehingga merestui Ratri jadi mantunya.. 😆😆😆😆
Terimakasih untuk cerita seru dan menarik ini Bu Tien, sehat selalu ya Bu.. 😘😘😘
Terima kasih bu tien jp sdh tayang... selamat istirahat salam sehat
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi,
Mulai sekit terkuak sebuah teka-teki si kembar...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
Hadir
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah, matir nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Bagaimana nih bu Tien ,,,ibunya Radityo agar mau menerima 🤣🤭
Sabar menanti ya,,aduhaaaaai
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteTinggal satu tugas , menundukkan Bu Listyo. Agaknya cukup sulit ini.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu . Aduhai
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Aduhai
Lha rak tênan, ora sidå nanggap jathilan kowé Dit.
ReplyDeleteTerus siapa ini yang gila; kalau begini.
Padahal kegilaan itu macêm²; takut kehilangan itu awal dari kegilaan, sok nuturi yå, lho betulan tuh.
Ya mesthi kaya njaga gengsi, takut kehilangan: pamor.
Kan biasanya gitu, takut kehilangan, jadi membuat kesimpulan, la kesimpulan ini yang berusaha dipertahankan dengan bersusah payah, as embuh punya hati nggak dipakai.
Nggak ada koneksi, komunikasi mbrêbêt, nggak mau kalah, pokoknya.
Mèlu mèlu gila juga lho.
Ratri kerèn..
Radityo mumêt
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke dua puluh delapan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terima kasih bunda Tien. 🙏🙂
ReplyDeleteTrims Bu tien
ReplyDeleteTerima ksih bunda..slm sehat sll dan tetap aduhai..🙏😍🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun... salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteMulai mendung
ReplyDeleteAlhamdulillah ..makasih bu Tien
ReplyDelete