Saturday, October 22, 2022

JANGAN PERGI 06

 

JANGAN PERGI  06

(Tien Kumalasari)

 

Pekik kesakitan terdengar, bersamaan dengan suara orang terjatuh, mengejutkan beberapa guru dan juga satpam di sekolah itu. Mereka berlarian mendekati, sementara Dewi yang sudah sampai di  pinggir jalan hanya menoleh sejenak, kemudian langsung naik ke atas taksi yang tadi dipanggilnya.

Ratri berusaha bangkit. Bukan hanya lututnya yang sakit, tapi juga lengannya, dan juga sebagian wajahnya, terutama dibagian kening, tampak mengeluarkan darah.

Beberapa teman guru membantunya bangun.

“Kenapa sampai terjatuh? Ayo bu, bisa jalan? Ke UKS dulu biar diobati,” kata salah seorang guru, sedangkan guru yang lain memapahnya.

Satpam yang berusaha menolong, kemudian hanya berdiri mematung, karena Ratri sudah di papah masuk ke dalam UKS.

“Bagaimana bisa terjatuh Bu?”

“Ibu mau kemana sebenarnya?”

“Sepertinya tadi keluar dari ruang Kepala Sekolah.”

“Iya, mengejar Bu Dewi ya, saya melihat bu Ratri mengejar bu Dewi.”

“Kok bu Dewi seperti tidak peduli? Menoleh sebentar kemudian terus saja berlalu. Mestinya beliau melihat bu Ratri terjatuh.”

Celoteh beberapa temannya terdengar bersahutan di telinga Ratri. Ia meringis kesakitan ketika salah seorang temannya membersihkan luka dan mengobatinya.

“Aduh, lukanya banyak benar.”

“Sakit ya Bu? Tapi bisa berjalan kan?”

Salah seorang guru meminta anak-anak yang berkerumun di depan pintu segera bubar.

“Anak-anak, ayo kembali ke kelas masing-masing ya.”

“Bu Ratri jatuh ya?”

“Iya Nak, tapi tidak apa-apa, sedang diobati. Ayo bubar … bubar, dan kembali ke kelas ya.”

Anak-anak pun berhamburan masuk ke kelas masing-masing sambil bersahutan mengomentari ibu gurunya yang sedang dirawat.

Ratri merasa sakit, bukan hanya pada lukanya, tapi juga pada hatinya. Sikap bu Dewi tidak dimengertinya, karena Ratri merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Ia sudah menanyakan apa kesalahannya, dan Dewi juga menjawab bahwa tidak ada. Kenapa sikapnya begitu menusuk perasaan?

“Sebenarnya bu Ratri sedang bicara apa sama bu Dewi?”

Ratri enggan menjawab permasalahan tentang sikap Dewi. Ia hanya diam sambil meringis  kesakitan.

“Terkadang bu Dewi itu susah diajak bicara.”

“Benar. Tadi dia melihat bu Ratri jatuh, kok malah langsung pergi, tidak berusaha berhenti dulu untuk melihat keadaannya.”

“Terkadang aneh.”

“Tidak apa-apa Bu, tadi bu Dewi seperti terburu-buru, tampaknya ada yang sangat penting,” kata Ratri untuk mencairkan suasana kesal teman-teman gurunya.

“Biarpun tergesa, tapi melihat anak buahnya jatuh, masa sih diam saja.”

“Iya benar, keterlaluan.”

“Tidak apa-apa kok Bu, luka saya juga tidak seberapa.”

Ratri sungguh tak ingin, permasalahan yang membingungkan hatinya itu sampai menjadi pembicaraan diantara teman-temannya.

“Sekarang ibu tahan ya, di kening ini agak dalam lukanya,” kata salah seorang guru yang sedang mengobati lukanya.

Ratri sedikit meringis saat luka itu dibersihkan. Tapi tidak lama, perih itu sudah berkurang ketika plester sudah ditempelkan untuk menutupi luka itu. Yang masih tersisa adalah luka di hatinya.

Biarpun dengan tambalan di wajahnya, dan berjalan sambil terpincang-pincang, tapi Ratri tetap mengajar dengan penuh semangat. Ia tak ingin kelihatan lemah diantara murid-muridnya.

“Ibu tidak sakit?”

“Tidak sayang, hanya perih sedikit, tapi sekarang sudah berkurang, ayo … sekarang keluarkan pekerjaan rumah yang kemarin ibu berikan. Semua mengerjakan Bukan?”

“Ya bu,” jawab serempak murid-muridnya sambil mengeluarkan buku matematika, dimana kemarin ada PR yang harus mereka kerjakan.

Sekarang, salah satu murid maju ke depan untuk menuliskan jawabannya. Kalian lihat ya, apa jawaban kalian sesuai dengan yang nanti ditulis oleh teman kalian. Riana, maju ke depan, tuliskan jawaban kamu di papan tulis, agar kita bisa saling mencocokkan.

Yang dipanggil Riana maju ke depan sambil membawa bukunya, dan melakukan apa yang menjadi perintah gurunya.

***

Tertatih langkah Ratri ketika pulang dari sekolah. Ia menolak diantar temannya, karena rumahnya tidak jauh, dan dia masih sanggup berjalan.

Ia mengusap peluh di dahinya, karena sengatan matahari meluruhkan peluh- yang membasahi tubuhnya.

Saat dia hendak menyeberang, sebuah mobil berhenti.

“Ratri.”

Ratri terkejut, Ia urung menyeberang dan melihat seseorang turun dari mobil itu.

“Kamu Ratri kan?”

Ratri mengamati laki-laki ganteng bercambang itu lekat-lekat. Serasa pernah mengenalnya, tapi siapa dia dan kenal dimana.

“Lupa ya sama aku?”

Ratri mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat.

Laki-laki itu tertawa.

“Aku Dian, teman waktu SD, ingat?” laki-laki itu coba mengingatkan.

“Yaaah, Dian? Dian Aryo Seno, Anak nakal yang suka menyembunyikan buku aku?”

Dian terbahak lucu.

“Aduh, panas sekali, ayo pergi ke rumah makan atau apa, sekedar menghilangkan haus, sambil bicara.”

Tanpa sengaja, Ratri mengangguk, kemudian ikut saja ketika Dian memintanya masuk ke dalam mobil.

***

“Kenapa wajahmu itu? Luka? Jerawatan?” tanya Dian ketika mereka sudah duduk berdua di sebuah rumah makan.

“Ini, aku terjatuh, masa sih jerawatan sampai sekian besarnya?”

“Terjatuh di mana?”

“Tadi, di sekolah tempat aku bekerja.”

“Kok bisa jatuh sih,” tanya Dian sambil terus mengamati wajah Ratri.

“Namanya juga kecelakaan. Pas turun tangga, kurang hati-hati. Nggak apa-apa, hanya luka kecil kok.”

“Ya ampuun.”

“Ngomong yang lainnya saja ya. Kok kamu tahu bahwa itu aku, padahal sudah puluhan tahun kita tak pernah bertemu?” tanya Ratri mengalihkan pembicaraan.

“Aku melihat kamu dari seberang. Susah melupakan wajah kamu, jadi begitu melihat, aku sudah ingat bahwa itu kamu.”

“Hebat bener, padahal aku tidak bisa mengingat kamu sampai kamu mengingatkan aku.”

“Sebenarnya aku ragu sih, jangan-jangan bukan, lalu aku memutar lagi mobilku, dan memanggil nama kamu. Ternyata benar kamu. Seneng aku. Kamu masih tinggal di gang itu, yang dulu ada warung bakmi di pojokan?”

“Masih. Tapi warung bakmi itu sudah pindah, menjadi restoran yang lumayan besar di dekat pasar.”

“Wah, berkembang rupanya.”

“Iya. Kemana saja kamu selama ini?”

“Aku bekerja di Jakarta, setelah lulus kuliah.”

“Senengnya. Aku hanya sampai lulus sekolah guru, kemudian mengajar di sebuah Sekolah Dasar dekat rumah.”

“Guru itu pekerjaan yang mulia.”

“InshaaAllah.”

“Kamu sudah menikah?”

Ratri menggelengkan wajahnya.

“Waduh, gadis secantik kamu, belum menikah? Bohong kalau tidak ada yang mau menjadi pacar kamu.”

“Kata siapa setiap gadis cantik harus segera laku? Aku juga bukan yang cantik-cantik amat. Biasa saja. Kalau kamu bilang cantik, ya iya lah cantik, mana ada perempuan ganteng?”

Dian terbahak.

“Iya sih, tapi itu benar.”

“Kamu sudah menikah?”

“Sudah, tiga tahun yang lalu.”

“Wah, berarti sudah punya anak donk? Berapa? Dua kan paling sedikit.”

Dian menggelengkan kepalanya.

“Belum? Ya nggak apa-apa, kok kamu tampak sedih begitu? Anak itu kan rejeki, kalau sekarang belum diberi, ya namanya belum rejeki kamu, jadi bersabarlah.”

Dian mengaduk jus nya.

“Tapi maaf Dian, aku tidak bisa lama menemani kamu. Soalnya ibuku sendirian di rumah. Dia pasti gelisah kalau aku tidak sampai di rumah tepat waktu.”

“Oh, bapak sudah meninggal?”

“Sudah, empat tahunan yang lalu.”

“Ikut prihatin ya Tri.”

Ratri mengangguk sedih.

“Baiklah, jangan sedih begitu dong, ayo aku antar pulang, kasihan ibu. Tapi aku masih akan lama disini, lain kali aku samperin kamu untuk bercerita lebih banyak ya.”

“Baiklah, aku setuju.”

“Berikan nomor kontak kamu, supaya gampang menghubungi kamu.”

Mereka bertukar nomor kontak, kemudian Dian mengantarkan Ratri pulang.

***

“Ibuuu, maaf Ratri terlambat lagi,” teriak Ratri saat melihat ibunya duduk di teras. Tapi ternyata ibunya tidak sendiri. Ada Radit duduk menghadap ke pintu, sehingga Ratri tidak melihatnya.

“Lihat, ada tamu nih,” kata ibunya sambil menunjuk ke arah Radit.

“Hei, kenapa wajahmu?” tanya Radit sambil meraba balutan plester di keningnya.

“Hanya jatuh.”

“Jatuh di mana? Kamu itu seperti anak kecil saja sih Tri,” tegur ibunya.

“Turun tangga, kurang hati-hati, lalu terjatuh. Tidak apa-apa, hanya lecet.”

“Apa itu sebabnya maka kamu pulang terlambat?” tanya bu Cipto.

“Tidak, terjatuhnya sudah tadi. Saya terlambat karena bertemu teman, yang lama tidak bertemu.”

“Teman guru?”

“Bukan, teman SD, setelah lulus lalu menghilang entah kemana. Ibu pasti ingat deh, anaknya nakal, suka gangguin Ratri, kalau main ke sini paling cerewet.”

“O, itu … sebentar, ibu lupa-lupa ingat nih,” kata bu Cipto mengingat-ingat.

“Dian Bu, namanya. Ingat?”

“O, iya, anak bengal itu, tapi lucu,” kata bu Cipto sambil tertawa.

“Iya, tadi tiba-tiba ketemu, heran, dia nggak pangling sama Ratri, padahal Ratri lupa. Sekarang dia tuh berewokan, gitu.”

“Kenapa nggak mampir?”

“Ratri bilang kalau ibu menunggu, dia takut mengganggu, tapi dia janji suatu hari nanti akan datang kemari."

"Syukurlah."

“Eh, mas Radit sudah lama?”

“Aku lewat di depan sekolah, kok sudah sepi, aku pikir kamu sudah pulang, ternyata belum.”

“Oh, lha ya itu, nemenin teman minum, sebentar, sambil omong-omong, sekarang dia sudah di Jakarta. Dan sudah menikah tiga tahun lalu.”

Entah mengapa, Radit tiba-tiba merasa lega mendengar teman Ratri sudah menikah. Kenapa sih ada perasaan nggak enak ketika Ratri menceritakan temannya dengan heboh?

“Dia sudah menikah? Ya ampun, tiga tahun, pasti sudah punya anak.”

“Belum, katanya.”

“O walaah, belum. Ya belum saatnya diberi momongan. Ya sudah, temani nak Radit dulu, itu tadi sudah ibu buatkan minum, tapi ibu tawarin makan nggak mau, katanya sudah makan di kantin rumah sakit,” kata bu Cipto sambil berdiri dan beranjak ke belakang.

“Rupanya asyik ya, tadi ketemu yang brewok itu,” kata Radit ketika ibunya sudah masuk ke dalam rumah.

Ratri tertawa.

“Dia itu lucu, kalau mas ketemu pasti seneng. Dia baik, dan ramah.”

“Aku kan nggak kenal.”

“Iya sih, besok Ratri kenalin. Tapi mungkin dia nggak lama di sini, karena harus kembali ke Jakarta. Dia kan  bekerja di sana.”

“Sebentar, tuh, plesternya mau lepas. Gimana tadi masangnya,” kata Radit sambil meraih wajah Ratri.

“Maaf, aku hanya akan membetulkan letak plesternya ini. Waduh, ada yang baru nggak. Ya ampuun, ini lukanya agak dalam. Lihat, darahnya mengalir lagi.”

“Agak dalam bagaimana?”

“Ayo ikut, harus dijahit. Nggak bisa begini ini, nanti wajahmu jelek jadinya, lagipula lukanya akan lama keringnya.”

“Haa, dijahit? Sakit dong.”

“Tidak apa-apa. Temani ibu makan dulu, lalu ikut aku ke rumah sakit. Ini tadi kena apa kok bisa luka agak dalam?”

“Nggak tahu, tertusuk benda runcing. Pantesan nyeri sekali rasanya.”

“Tadi kamu bilang nggak apa-apa?”

“Aku melayani ibu makan dulu saja ya,” kata Ratri yang segera masuk ke dalam rumah.

Bu Cipto agak khawatir, mendengar luka Ratri akan dijahit, tapi Radit bisa menenangkannya. Setelah mengganti perban dan plesternya, Radit segera membawa Ratri ke rumah sakit.

***

“Radit, duduklah di sini, ibu mau bicara,” kata Bu Listyo ketika melihat Radit keluar dari kamar.

Radit menghampiri ibunya, lalu duduk didekatnya. Meraih secangkir kopi yang disediakan bibik.

“Kenapa ibu tidak melihat lagi foto Listi di kamar kamu?”

“Oh, masih ada kok.”

“Ibu tidak melihatnya di meja seperti biasanya.”

“Ada, di dalam laci.”

“Rupanya kamu sudah bisa melupakannya.”

“Berusaha melupakannya.”

“Senang ibu mendengarnya. Saatnya kamu memikirkan gadis lain.”

“Ah, Ibu.”

“Kamu kan tidak bisa selamanya begini Dit? Ibu sudah tua.”

Radit tertawa.

“Ibu sudah sering mengatakan itu.”

“Bagaimana kalau Miranda?”

“Apa? Tidak … tidak … Radit tidak suka.”

“Dia kan cantik, pintar, sebentar lagi sudah lulus sarjana. Sepantasnyalah bersanding sama kamu.”

“Tidak Bu, Radit tidak suka.”

“Lalu gadis yang seperti apa yang kamu suka?”

“Seperti Listi.”

“Ya ampun, Listi lagi. Berarti kamu belum bisa melupakannya.”

“Radit kan bilang, sedang berusaha.”

“Ibu masih berharap Mira menjadi istri kamu.”

“Tidak, ibu. Jangan dia. Carikan yang lebih cantik.”

“Apa kurangnya Mira sih Dit?”

“Mengapa ibu yang jatuh cinta sama Mira?” Radit berdiri, beranjak pergi.

“Apa kamu sudah punya yang lain?”

“Ada Bu.”

“Bawa kemari, ibu ingin melihatnya.”

***

Berhari-hari kemudian Dewi tetap tak peduli melihat dahi Ratri tertutup perban. Hanya sekali, sehari sesudah kecelakaan itu, dia menyapa, itupun karena rekan-rekan guru mengomentarinya.

“Bu Ratri kok bisa jatuh sih?" tanyanya waktu itu.”

Ratri ingin mengatakan, bahwa dirinya terjatuh waktu memburunya, tapi diurungkannya. Padahal Ratri yakin bahwa ketika dia mengejar, sekilas bu Dewi menoleh ke arahnya.

“Karena kurang hati-hati saja bu.”

Setelah itu Dewi tak bertanya lagi. Hubungan diantara keduanya tetap saja dingin, dan tak pernah bertutur kata kalau tidak ada hal yang perlu dibicarakan.

***

Hari itu Ratri tidak langsung pulang. Seperti keinginannya, dia ingin membelikan ibunya sebuah ponsel, agar kalau dia harus pulang terlambat, sang ibu tidak menghawatirkannya. Ia sedang memillih-milih di sebuah toko, ketika seorang ibu tiba-tiba mendekatinya.

“Kamu Listi?”

Ratri terkejut. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Bukan Bu, saya Ratri.”

***

Besok lagi ya.

46 comments:

  1. Replies
    1. Selamat Uti Nani Juara 1 di episode JP_06

      Delete
    2. Alhamdulillah .....
      Matur nuwun bu Tien cerbung SP_06-nya sdh di tayagkan.
      Sugeng dalu sugeng aso salira.
      💪🏼💪🏼❤️❤️🌹🌹🤝🤝

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah...matur nuwun bunda tayang gasik

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien. Sehat dan bahagia selalu..

    ReplyDelete
  5. Matur suwun bunda Tien yg ditunggu SDH tayang
    Salam Tahes Ulales dari bumi Arema Malang dan tak lupa selalu Aduhaiiii

    ReplyDelete
  6. Alhamdullilah...sdh tayang cepat JP 06 nya..terima ksih bunda Tien..slmt mlm dan selamat istrht..salam Seroja dri sukabumi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terimakasih bu Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Alkhamdulillah, mtrnwn mb Tien

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu nggih...🙏🌹🦋

    ReplyDelete
  10. Slhamdulillaah tayang juga makasih bu da sepertinya bu Dewi bogoheun sama dr radit prekitiw !!!

    ReplyDelete
  11. Dewi ya terlalu sempit pemikirannya, belum apa -apa sudah cemburu buta.
    Ratri apa ketemu ibunya Radit ya...kebetulan banget kalo begitu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien ... 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Ternyata saingan berat Ratri , bu Dewi kayanya.

    lha ketemu ibu nya radit ni...

    Matur nuwun Bunda Tien..🙏

    ReplyDelete

  14. Alhamdulillah JANGAN PERGI~06 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  15. Puji Tuhan, ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip shg JP 06 hadir bagi kami penggandrungnya.

    Semoga pertemuan ibunya Radit dgn Ratri membuka jalan lancar bagi hubungan Radit dan Ratri...

    Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem...

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillilah, matur nwn bu Tien.
    Salam sehat dan Aduhai dari mBantul

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah..... trimakasih Bu Tien. Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah
    Terima kasih dengan japer nya bu tien
    Semoga bu tien sehat2

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  20. Terimakasih...Bu Tien .Kayaknya pernah ada tokoh Dian di cerbung mbak Tien di Sang Putri benarkah ?

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah JP 06 sudah tayang
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  22. Ketemu Bu Listyo rupanya; ditoko, mau beli hapé cethuk biar bisa ngasih tahu Bu Cipto kalau Ratri pulang terlambat
    Jadi berkembang nich, mencari pasangan yang kaya Listi, ih Radityo maunya cari foto copy an, mbok yang asli kan lebih.
    Kan Ratri ada lebih, lebih keibuan, lebih tulus; kalau senyum kata Radityo yang lagi menebar rasa, semoga masuk kategori di penilaian Bu Listyo, setelah Mira kandidatnya nggak masuk nominasi.
    Ya Ratri ektabilitasnya tinggi dimata Radityo, lha dideketin Mira aja menyingkir, ini malah hampir tiap ada kesempatan larinya ke rumah Bu Cipto sambil menunggu pulangnya Ratri.
    Masih banyak melalui jalan yang tidak mulus mengingat ditemuinya berbagai gangguan ketidak nyamanan kalau Ratri diajak kerumah ortunya untuk sertifikasi peningkatan status jadi calon mantu gitu. Repotnya kalau anak mama ada maunya

    Terimakasih Bu Tien,
    Jangan pergi yang ke enam sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah yg ditunggu sdh hadir mksh Bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete
  24. Woh Ratri ketemu calon mertua....semoga ya
    Trims Bu tien

    ReplyDelete
  25. Alhamdulilah.. Ratri sdh tayang..
    Tks bunda Tien..
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah,,, matur nuwun bu Tien
    Smg bunya Adit suka dg Ratri ya ,,,🤭

    Salam sehat wal'afiat bu Tien 🤗🤣

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah ..Ratri ma B Dewi saingan u Radit eee ala Radit lo suka nya ma.Ratri wayo...ketemu ibunya Radit...trima.kasih bu Tien

    ReplyDelete
  28. Ratri ketemu bu Listyo...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  29. Makasih mba Tien
    Salam sehat selalu.
    Aduhai

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah Matur nuwun bunda Tien

    ReplyDelete
  31. Ratri dan listi jangan² kembaran. He5x.
    Terima kasih mbak Tien cerbungnya.
    Semoga mbak Tien sehat selalu. Salam sejahtera.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...