SEBUAH JANJI 38
(Tien Kumalasari)
“Apa? Ibu kecelakaan? Dimana? Waduh, bapak sudah
pulang,” sesal Seno panik.
“Kamu saja, datang ke sini.”
“Ibu luka? Harus ke rumah sakit?”
“Cepat datang kemari, alamatnya ibu kirim. Tuh sudah
sharelok..”
“Baiklah.”
“Gimana ibu ini, kalau luka harusnya langsung ke rumah
sakit. Mengapa malah aku disuruh datang kesana?” gumam Seno sambil berkemas.
Ia langsung memacu mobilnya ke arah yang ditunjukkan
ibunya.
“Ibu luka? Mengapa tidak ke rumah sakit langsung Bu,
supaya segera mendapat penanganan?” Seno masih saja menghubungi ibunya karena
khawatir.
“Tidak parah, yang penting kamu segera datang.”
“Mengapa sih Ibu ini, membuat Seno khawatir saja.”
“Sudahlah, segera kemari, ibu tidak tahu harus
bagaimana.”
“Seno tilpon bapak dulu saja Bu,”
“Tidak usah, malah bapakmu nanti ikutan khawatir. Ibu
tidak apa-apa.”
Seno menutup ponselnya.
“Tidak apa-apa bagaimana ibu ini, namanya juga
kecelakaan, tentu saja aku khawatir. Tempatnya jauh pula. Mau kemana ibu
sebenarnya, dan naik apa?” gumam Seno tak henti-hentinya.
Tapi tak urung Seno juga mengabari ayahnya yang sudah
ada di rumah.
“Kecelakaan di mana? Kata Simbok, tadi pergi sama Elsa,”
kata pak Ridwan ketika Seno menelponnya.
“Apa? Sama Elsa? Kok ibu tidak bilang kalau perginya
sama Elsa? Bukankah kalau terjadi sesuatu Elsa pasti bisa mengatasinya? Ke
rumah sakit, atau bagaimana … malah membuat orang khawatir saja,” omel Seno yang
mulai merasa tak senang ketika tahu bahwa ibunya pergi bersama Elsa.
Ia mulai memperlambat laju mobilnya. Sepertinya tak
ada yang perlu dikhawatirkan. Ibunya tidak mengatakan dengan jelas,
kecelakaannya bagaimana, ada luka yang seperti apa, malah menyuruh Seno segera
datang.
“Mau kemana sebenarnya ibu sama Elsa? Ada-ada saja,”
Seno terus saja mengomel kesal.
Ketika mobil Seno berhenti di tempat yang dikatakan
ibunya, ia melihat ibunya berdiri di dekat mobil. Tapi dia tak melihat Elsa.
Seno segera turun dan menghampiri ibunya.
“Ada apa Bu?”
“Ini, mobilnya menabrak pohon itu.”
“Seno melihat mobilnya penyok di bagian kiri. Tidak
parah.
“Ini mobil Elsa?”
“Kok kamu tahu?”
“Bapak yang bilang, ibu perginya sama Elsa. Mana dia?”
“Tuh, di dalam mobil, katanya kepalanya pusing sekali.”
“Kalau begitu kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja?”
“Elsa tidak mau. Katanya hanya pusing karena kepalanya
terantuk kemudi,” katanya sambil membuka pintu mobil, dan Seno melihat Elsa
menelungkupkan kepalanya di atas kemudi.
“Saya panggil ambulans saja.”
“Jangan, dia tidak mau,” sanggah ibunya.
“Lalu bagaimana? Kalau sakit, hanya dokter yang bisa
menyembuhkannya.”
“Bawa saja ke rumah, ayo bantu ibu membawanya masuk ke
mobilmu.”
“Rumahnya Elsa?”
“Tidak, Elsa bilang di rumah tidak ada orang. Ayah
ibunya sedang ada di luar negri.”
Seno sangat kesal mendengarnya.
“Ayo dong Seno, bantu ibu menurunkan dia,” kata bu
Ridwan sambil mencoba menarik tubuh Elsa.
Elsa bergerak, lalu dengan gerakan lemah mencoba turun
dari mobil.
“Aduuuh …” rintih Eksa sambil berdiri, tapi seperti tak
kuat. Tubuhnya bersandar pada body mobil.
“Seno, bantu dia berjalan.”
Dengan wajah muram, Seno membantunya. Mau bagaimana
lagi. Ada orang kesakitan, masa dia masih enggan menyentuhnya? Lalu Senopun
memapah Elsa, yang kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Seno. Bu Ridwan
mengikuti dari belakang, ada senyuman tersirat di bibirnya.
***
“Kita antarkan ke rumahnya saja kalau memang tak mau
ke rumah sakit,” kata Seno dalam perjalanan.
“Nggak mau,” rintih Elsa.
“Maksudmu apa? Kalau sakit ya dokter yang bisa menanganinya.”
“Biar dokternya datang ke rumah kamu.”
“Jangaaan, nggak ada orang di rumah aku …”
“Seno, ibu kan sudah bilang, bawa ke rumah saja, nanti
panggil dokternya di rumah kita saja. Kalau di rumah Elsa tidak ada orang,
kasihan dong dia sedang sakit, masa sendirian?”
Tapi setiba di rumah, pak Ridwan juga menegur istrinya.
“Mengapa dibawa kemari? Tidak ke rumah sakit?” katanya
ketika melihat Seno memapah Elsa yang tampak tak berdaya.
“Dia tidak mau,” jawab istrinya.
“Lalu kalau dibawa ke sini, siapa yang bisa
mengobatinya?”
“Nanti kita panggil dokter pribadi kita dong Pak,
kasihan dia.”
“Kenapa tidak dibawa ke rumah orang tuanya saja?”
“Katanya di rumah tidak ada orang.”
Bu Ridwan menyuruh membawa Elsa ke ruang atas. Tapi
Seno menolaknya.”
“Tidak ke atas Bu, itu kamarku. Masa dia mau
ditidurkan di kamar Seno?”
Lalu Seno membawa ke sebuah kamar yang ada di ruangan
itu.
“Betul, di ruang tamu saja,” kata pak Ridwan. Ada
wajah tak senang di sana.
Setelah mengantar Elsa ke kamar tamu lalu Seno meninggalkannya. Ia menelpon dokter langganan, agar datang ke rumahnya. Ia juga
menelpon bengkel agar mengambil mobil Elsa yang ditinggalkan.
“Tampaknya dia tidak apa-apa. Apa ada luka?” tanya pak
Ridwan kepada istrinya.
“Itu … kalau luka sih tidak kelihatan, tapi dadanya
sakit, kepalanya juga merasa pusing,” kata bu Ridwan.
“Kamu bikin repot saja. Keluarganya kan ada, mengapa
dibawa ke sini?”
“Bapak gimana sih, kan aku sudah bilang, keluarganya
pada pergi, di rumah nggak ada orang. Masa sih, menolong calon menantu saja
keberatan?”
“Menolong itu tidak memberatkan, ikhlas kok. Bahkan
siapapun yang membutuhkan. Tapi kalau ada jalan yang lebih baik, kenapa tidak?
Membawa ke rumah sakit, juga namanya menolong. Membayar biayanya, oke. Tapi
kalau ke rumah, lalu ada apa-apa, bagaimana?” omel pak Ridwan.
Bu Ridwan tidak menjawab, tapi bibirnya cemberut bak
kerucut.
“Bapak kok gitu,” omelnya.
“Aku bicara yang sebenarnya. Kamu sering melakukan
sesuatu tanpa berpikir.”
“Ya sudahlah Pak, anaknya sudah di sini, bapak
marah-marah terus, kalau dia mendengar kan jadi tidak enak.”
“Ya sudah terserah kamu saja.”
“Senoooo,” bu Ridwan berteriak memanggil Seno. Seno
hanya membuka pintu kamarnya, melongok dari atas.
“Ada apa?”
“Kamu sudah menelpon dokter?”
“Sudah, Ibu tunggu saja,” katanya lalu menutup lagi
pintu kamarnya.
Seno sudah naik ke kamarnya sesaat setelah mengantarkan
Elsa ke kamarnya. Sebenarnya dia punya urusan sore itu, tapi berhubung ada masalah
dengan ibunya, terpaksa dibatalkannya. Sekarang dia merasa kesal. Ia juga
merasa, Elsa sengaja menempel padanya saat dipapah, entahlah. Barangkali karena
rasa tidak suka itulah maka pikirannya jadi yang tidak-tidak.
Bu Ridwan masuk ke kamar dimana Elsa berbaring.
“Seno tetap saja tidak peduli, Bu.”
“Peduli kok, tadi kan kamu dirangkulnya?”
“Karena terpaksa. Begitu masuk kamar, aku seperti
dilemparkan begitu saja ke atas kasur,” gerutunya.
“Masa sih?”
“Iya, kesal Elsa Bu. Lebih baik Elsa pulang saja.”
“Bagaimana sih kamu. Mengejar sesuatu itu harus dengan
perjuangan. Seno sudah memanggil dokter, sebentar lagi pasti datang.”
Elsa menggeliat, ia tak sedikitpun terluka. Mobilnya hanya
menyerempet pohon, dan itu memang disengaja. Lalu ia pura-pura kesakitan.
Akal-akalan bu Ridwan-lah semua itu. Elsa tinggal menurut. Tapi walau melihat
dirinya ‘kesakitan’, Seno seperti tak peduli.
Dari luar pintu ia mendengar pak Ridwan berbicara
dengan seseorang. Rupanya dokter yang dipesan itu sudah datang.
“Iya, silakan, ada di kamar itu, istriku ada di dalam
kok. Maaf mengganggu,” kata pak Ridwan yang terdengar dari dalam kamar.
Bu Ridwan segera keluar, membiarkan dokter masuk ke
dalam.
“Siapa yang sakit?” tanya dokter ramah.
“Ini dok, menantu saya, eh … calon menantu … “
“Sakit apa? Yang dirasakan apa?”
“Dada agak sesak, kepala pusing dok,” kata Elsa.
“Lho, memangnya kenapa?”
“Tadi mobilnya nabrak pohon, dia kesakitan,” bu Ridwan
menjawab.
Pak Ridwan duduk di ruang tamu. Bagaimanapun dia
merasa khawatir. Kalau sampai sakit Elsa parah, dia akan memaksanya membawa ke
rumah sakit. Sangat riskan merawat orang sakit di rumah, apalagi bukan anggauta
keluarganya.
Kemudian ketika dokter itu keluar, lalu pak Ridwan
mempersilakannya duduk.
“Kenapa dia?” tanya pak Ridwan begitu sang dokter
duduk.
“Tidak apa-apa kok. Tidak ada memar, dan dia baik-baik
saja. Barangkali tadi memang terantuk kemudi, tapi pelan, tidak terlalu keras.”
“Jadi tidak berbahaya?”
“Tidak, sama sekali tidak. Saya sudah memberikan
resepnya, hanya penghilang rasa sakit, tidak ada yang serius.”
“Oh, baiklah kalau begitu.
***
“Bagaimana pekerjaan kamu?” tanya pak Winarno ketika sedang berdua bersama Sekar.
“Baik Pak.”
“Kamu suka?”
“Lumayan Pak, yang penting bisa beradaptasi dengan
lingkungan, dan bisa mengerjakan semua tugas dengan baik.”
“Kata bibik ada yang suka memberi kamu nasi kotak untuk
makan siang?”
“Iya Pak, sudah dua hari ini. Sekar tidak tahu, itu
dari siapa, Kata OB di kantor Sekar, dari salah satu petinggi perusahaan.”
“Sekar juga bingung, kok hanya Sekar yang dikasih.
Kata OB, mungkin karena kerja saya bagus. Entahlah, mau menolak ya nggak enak," lanjut Sekar.
“Sebuah pemberian itu bisa saja karena kamu
berperilaku atau bekerja dengan baik, tapi bisa juga karena ada pamrih
tersembunyi. Nah yang terakhir ini kamu harus hati-hati. Tidak enak lho
mendapat pemberian.”
“Benar Pak, Sekar juga bertanya-tanya, tapi mau
menolak juga nggak enak. Jadi ya sudahlah, Sekar terima saja. Sekar sudah minta
pada bibik untuk tidak lagi membawakan bekal makan untuk Sekar, sayang kalau
tidak termakan.”
“Nanti bibik kecewa.”
“Iya sih.”
“Begini saja, bawa bekal dari bibik untuk sarapan,
kalau saat makan siang dapat jatah ya tinggal dimakan lagi. Tapi tetap pesan
bapak, kamu harus selalu berhati-hati.”
“Baik Pak, Sekar akan selalu berhati-hati.”
“Kuliah kamu bagaimana?”
“Baik kok Pak, Sekar bisa menjalani dengan baik. Bapak
tidak usah khawatir.”
“Maafkan bapak ya nduk, kamu ingin kuliah tapi harus
mencari biaya sendiri.”
“Kenapa Bapak harus minta maaf? Sekar senang
melakukannya. Dan menikmati hasil keringat sendiri itu bukan main senangnya.”
“Kamu memang anak bapak yang baik. Bapak bangga punya
kamu. Semoga hidup kamu selalu berlimpah kebahagiaan.”
“Aamiin. Atas doa Bapak, semoga Sekar bisa mencapai
cita-cita Sekar.”
“Dan segera setelah itu, menikahlah dengan laki-laki
yang bisa menjadi imam dalam hidup kamu.”
“Aamiin. Iih Bapak, kok sampai ke ‘menikah’ segala,”
kata Sekar tersipu.
“Kamu sudah dewasa, kamu pikir kamu masih anak-anak?”
“Tapi kan masih nanti, Sekar harus bisa menyelesaikan
kuliah Sekar dulu.”
“Iya, baiklah.”
Sekar menyandarkan tubuhnya. Tiba-tiba wajah Barno
terbayang.
“Mengapa dengan dia? Aku selalu mengingatnya, bahkan
merindukannya, apakah aku benar-benar jatuh cinta sama dia? Padahal diantara aku
dan dia, tak pernah terucap sepatahpun kata cinta. Apakah mata kami pernah bicara?”
kata batin Sekar.
“Kamu mikir apa?” tiba-tiba ayahnya mengejutkannya.
“Oh … eh … tidak Pak, Sekar hanya ….”
“Kamu melamunkan sesuatu?”
“Tidak, hanya mengantuk.”
“Barno seorang laki-laki yang baik,” dan kata-kata
ayahnya ini benar-benar membuatnya terlonjak.
“Aap … apa?”
“Bapak pernah bermimpi, tentang seorang laki-laki baik
yang akan bisa menjadi pelindung dalam hidup kamu. Dan laki-laki itu adalah
Barno.”
Dada Sekar berdegup kencang.
“Apakah kamu merasa hina menjadi menantu seorang yang
tidak berkasta?”
Sekar tidak mengira, ayahnya akan berkata begitu
terbuka dan berterus terang.
“Bapak pernah meminta agar dia berjanji saat bapak
sakit keras. Bapak ingin agar dia mau menjaga kamu,” lanjut pak Winarno.
Sekar tak menjawab. Ia memandangi ayahnya dengan air
mata berlinang. Ia melihat mata tua itu tampak masih bersinar terang, penuh
harap ketika menatapnya. Jadi ayahnya sejak lama berharap agar Barno bisa
mendampinginya? Sekar masih merasa belum begitu jelas mengurai perkataan
ayahnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaan bapak.”
“Aap ..apa yang harus Sekar jawab?”
“Apakah kamu keberatan menikah dengan orang yang tidak
berkasta?”
Sekar menggeleng pelan. Bayangan Barno kembali melintas.
Laki-laki itukah yang diharapkan ayahnya agar bisa mendampinginya?
“Jadi kamu mau, seandainya menjadi istrinya?”
“Is … tri ,,, ss..siapa?”
“Barno lah. Kamu kelihatan bodoh sekali sore ini,”
kesal pak Winarno.
“Jja di.. Bapak ingin … agar Sekar menikah dengan …
dia?”
“Hanya sebuah harapan. Bapak berharap kamu tidak
menolaknya.”
Sekar menubruk ayahnya, terisak di bahunya.
“Kamu keberatan?”
Sekar menggeleng-gelengkan kepalanya, dan dengan
senyuman bahagia pak Winarno mengelus putri semata wayangnya.
***
Pagi itu Sekar sudah sampai di kantornya. Dia hanya
naik ojol, karena kebetulan sepeda motornya bocor dan kemarin tidak sempat
pergi ke bengkel.
Tiba-tiba Sekar tertegun. Agak ke kanan dari pintu masuk, ia melihat Warjo berbicara dengan seseorang disamping sebuah mobil. Mata
Sekar terbelalak, karena dia mengenal laki-laki tersebut. Ia kemudian
bersembunyi di balik sebuah pohon besar, dengan kaki gemetar.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah Sebuah Janji eps 38 dah tayang.
ReplyDeleteTrimakasih bunda Tien...
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
MaKasih mbak Tien
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien Tien Komalasari
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~38 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ38 sudah hadir terimakasih Bu Tien ,semoga sehat selalu ,salam Aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu...🙏🌹🦋
ReplyDeleteIyeeess...🥰
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih Bu Tien, salam sehat selalu. Hmm kenapa Sekar gemetar kakinya melihat laki2 di mobil yg berbicara dengan Warjo, apakah itu Samad.....
ReplyDeleteSemoga bukan Samad ya mb Ika..
DeleteTp seseorang yg bs menggetarkan hatinya.. bukan kaki sekar aja yg gemetaran.. hehe...
Alhamdulillah...terima kasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah sj sdh tayang, terima kasih bu tien ...salam sehat selalu
ReplyDeleteDuh siapa ya ?.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Sehat selalu mba. Aduhai
Beruntung Sekar melihat lebih dulu dan sempat bersembunyi. Nanti siang mungkin ada 'apa-apa' dan Sekar sudah siap.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah .
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien.🌷🌷🌷🌷🌷
Jelas hapal mobilnya lah, kan beberapa kali dibawa ke rumah sambil bawa parcel buah😁
ReplyDeletebu Tien memang aduhaii ❤❤
Mb Sari jeli juga ya hihii..
DeleteSdh hapal dg yg punya mobil itu..
Bgmn ya perasaan Sekar yg sebenarnya? Takutkah? Sebel.. atau senang?
Apa khabar mb Sari.. kita ketemu lg disini yaa.. serasa msh di Malang..
Salam sehat selalu..
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYg bersama Warjo pasti Seno....o o Seno kamu ketahuan.....trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien eSJe 38 nya
ReplyDeleteSemoga bu Tien sklg sehat selalu
Hadeeh Samad kalee yg bisik2 ma Warjo
ReplyDeletePenisirin bingitz nih
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Sekar oh Sekar..... Ujian mu msh berlanjut
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat
Wouuww ambyaarrr ternyata Seno to ngirim makanan utk Sekar...kita tunggu saja apa benar Seno orangnya ???
ReplyDeleteSalam sehat selalu utk Bu Tien...????
Seno apa Samadi...
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Terima kasih Ibu Tien. Semoga sehat selalu..
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, SJ38 sdh hadir, matur nuwun mbak Tien, salam sehat dan bahahia selalu
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletePa samadi kah yg dilihat sekar?
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, salam sejahtera selalu.
Alhamdulillah SEBUAH JANJI 38 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun, bu Tien. Salam sehat.🙏😀
ReplyDeleteKalau itu pak Samadi, kamu harus ekstra hati2 ya Sekar, mungkin pak Samad sudah rencana mau kabur bersamamu, krn sdh bilang isterinya mau urusan kerjaan ke Jakarta 2-3 hari.
ReplyDelete.
Waadduuuh.. Tambah penasaran aja nih komen bu Yustin...
DeleteSerreem juga yaa bu.. klo pa Samad brengksek yg dtg..
Kasian Sekar gadis yg baik..
Semoga aman deh..
Seno kah.... terima ksih Mbu Tien... sehat dan bhagia sllu brsm keluarga
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman
Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....🙏
ReplyDeleteSalam sehat selalu....😊🙏
Laki-laki itu Seno kah?
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Wah itu pasti mas Seno...mksh mb Tien SJ 38 sdh tayang.slm seroja selalu utk mb Tirn dan para pctk. Aamiin YRA🙏
ReplyDeleteWuah ternyata Warjo berkolaborasi sama Samadi, rupanya sudah diincarnya sejak mendaftar di perusahaan abal² yang didirikan dari modal penjualan rumah Yanti.
ReplyDeleteWong edan, sudah nggak usah masuk, mumpung tukang ojol belum jauh, pergi aja, suruh antar lagi, repot memang; kepraktisan dan kemudahan cara rekruitmen karyawan, juga memudahkan tipu² pikiran orang-orang ngeres. Ngumpul duwit gede dikit mulai bikin ulah.
Anggêr wis dadi sifat kebiasaan, jian; ilangé yèn nèk uwis sipêt, ngono jaréné simbah.
Pagi-pagi sudah sport jantung gitu.
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ketiga puluh delapan sudah tayang, sehat sehat selalu doaku, Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Ibu nya seno mulai berulah deh...terima kasih bu Tien
ReplyDeleteSiapa ya laki2 itu ......
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
Salam sehat dan aduhai selalu
wuuih siapakah laki2 yg bcr dgn ob..smg aja bkn org yg jht ke sekar..mksih bundaqu slm sht sll dri skbmi🙏🥰🌹
ReplyDeleteSemoga aja itu Seno yg lagi ngomong sm Ob
ReplyDelete