ADUHAI AH 46
(Tien Kumalasari)
Sita masih tertegun, melihat laki-laki muda yang
memiliki mata tajam dan menatapnya tak berkedip.
“Bolehkah saya duduk?” tanya laki-laki itu kemudian.
“Oh … eh … tentu. Mm … silakan.” Katanya gugup, tapi kemudian
ia mempersilakan tamunya untuk duduk di teras kecil depan kamarnya.
“Terima kasih,” kata laki-laki itu sambil tersenyum,
kemudian duduk di kursi dengan nyaman.
“Aan … Anda siapa ya?”
“Saya, nama saya Lukito. Mbak Sita boleh memanggil
saya Luki.”
“Oo, iya. Maksud saya, ada apa Anda ingin menemui saya? Bukankah kita belum pernah bertemu, apalagi berkenalan?”
“Tentu. Ini pertemuan kita yang pertama. Senang, mbak
Sita menerima saya dengan baik.”
“Asalkan anda bermaksud baik,” kata Sita sedikit ketus
karena masih mencurigai kedatangan laki-laki yang belum pernah dikenalnya itu.
Luki tersenyum. Dan Sita merasa laki-laki itu terlalu
genit dengan mengumbar senyuman sejak kedatangannya. Apa dia sadar bahwa
senyumnya kelewat manis? Upps, Sita memaki dirinya sendiri saat menyadari bahwa
dia diam-diam memujinya, walau dalam hati.
Luki berdehem. Sita sedikit kesal, karena Luki tidak
segera mengatakan maksud kedatangannya.
Ia malah membuka tas kulit besar yang dibawanya,
seperti mengeluarkan sesuatu. Sita mengacuhkannya.
“Mbak Sita, apakah Mbak Sita temannya mbak Hesti?
Hesti Nurani,” akhirnya dia berkata juga, batin Sita. Tapi mengapa dengan
Hesti? Apa Hesti yang menyuruhnya kemari?”
“Ya, teman satu kost sih, bukan teman kuliah. Saya sudah
bekerja.”
“Oh begitu, tapi kenal dekat kan?”
“Sangat dekat.”
“Bagus kalau begitu. Mbak Sita kenal dengan ibunya mbak Hesti?”
Eh, nanti dulu. Kenapa laki-laki bernama Lukito ini
bertanya yang aneh-aneh?
“Oh ya, saya ini sebenarnya pengacara yang ditunjuk
oleh mbak Hesti untuk menangani kasusnya,” katanya lagi-lagi dengan senyuman.
Lalu Sita segera mengerti. Tapi dia tidak begitu jelas kasusnya itu apa.
Mengapa ada hubungannya dengan ibunya Hesti juga? Eh, ibu tirinya, bukan?”
“Oh, iya,” hanya itu yang dikatakan Sita.
“Apakah ketika ibu Sriani, ibunya mbak Hesti datang
kemari, Mbak Sita juga tahu?”
Sita tampak berpikir.
“Saya kira saya hanya melihatnya tiga kali, eh tapi yang
pertama saya tidak melihatnya, Hesti hanya bercerita kalau ibunya datang. Tapi
yang ke dua dan ke tiga saya melihatnya, karena saya sedang berbincang sama dia
saat ibunya datang.”
“Berapa lama ibunya berada di sini?”
“Tidak lama, hanya sebentar.”
“Satu jam?”
“Ah, tidak. Barangkali hanya lima menit, kurang lebih.”
“Lima menit? Sebentar sekali.”
“Mbak Sita tahu apa yang dibicarakan?” lanjut Luki.
“Tidak, tapi Hesti mengatakan kalau ibunya memaksanya
untuk menanda tangani sebuah surat.”
“Surat apa itu?”
“Saya tidak tahu, Hesti pun bilang tidak tahu isi
surat itu. Saya bahkan memarahinya, mengapa menanda tangani surat yang dia
tidak tahu isinya? Tapi ibunya saat itu tergesa-gesa, katanya. Karena ditunggu
taksi.”
Luki tampak mengangguk-angguk, Sita mengalihkan
pandangan ke arah lain, karena lagi-lagi Luki memperlihatkan senyumnya.
Sebenarnya Luki hanya ingin bersikap ramah saja, tapi Sita merasa kesal karena
senyum itu mengganggunya. Mengganggu perasaannya, maksudnya. Ehem.
“Baiklah Mbak Sita, terima kasih atas semuanya. Dan
saya minta maaf karena telah mengganggu.”
Sita terpaksa membalasnya dengan senyum, masa sih
orang hanya bertanya harus di cemberuti?
“Terima kasih kembali, Pak Luki.”
“Aduh, jangan ‘pak’ dong. Bagaimana kalau ‘mas’ atau ‘Luki’
saja?”
“Iih, manja,” kata hati Sita. Bukankah ‘pak’ itu
panggilan menghormati seseorang? Tapi yang terjadi adalah Sita mengangguk dan
lagi-lagi tersenyum.
“Ya, baiklah.”
“Oh ya, satu lagi, kalau sewaktu-waktu Mbak Sita
dipanggil untuk menjadi saksi di pengadilan, mau kan?”
Sita tampak ragu.
“Ini demi teman Mbak.”
“Oh, baiklah, pak .. mm Mas.”
Luki berdiri, meninggalkan senyuman yang membuat Sita
kesal-kesal gemas, gitu.
***
Sarman sedang berada di kamarnya ketika ponselnya
berdering sore itu. Dari Sita? Sebenarnya Sarman enggan mengangkatnya, karena
ia tahu bahwa Sita seringkali menelpon hanya untuk menyapa saja, dan Sarman
sedikit meraba perasaan Sita terhadapnya. Bukan karena sombong, tapi hanya
berharap agar Sita tidak salah menerima sikapnya. Tapi karena ada perasaan
tidak tega, Sarman mengangkatnya juga.
“Ya, Sita?”
“Mas, saya mau ketemu Hesti, bisa minta alamatnya?”
“Oh belum tahu ya?”
“Belum, takutnya ke sasar. Aku mau bilang kalau tadi
ada pengacara dia bernama Lukito yang menemui aku.”
Sarman jadi teringat bahwa dia sudah berbicara banyak
dengan pengacara yang akan membantu Hesti sehubungan dengan laporan yang diajukannya.
Tentu saja pengacara itu menemui Sita, barangkali ada yang ingin diketahuinya
dari gadis itu.
“Aku juga mau ke sana sih, kalau mau bareng, ke rumah
aku dulu saja.”
“Begitu ya. Nggak apa-apa, saya segera kesana ya Mas.”
“Sekarang ya, jangan sampai kemalaman nanti pulangnya.”
“Sekarang Mas, aku sudah siap kok.”
“Baiklah, aku tunggu.”
Sarman segera menutup ponselnya. Kasus sudah berjalan,
dan memang segala sesuatunya harus disiapkan. Ia tidak bisa membiarkan Hesti
berjalan sendiri.
Ketika ia sedang bersiap-siap, Haryo mengetuk pintu
kamarnya.
“Man,” katanya setelah Sarman membuka pintunya.
“Ya Pak.”
“Kamu mau pergi ke mana?”
“Mau ke_”
“O, kencan ya? Tuh sudah di samperin. Kamu bilang
katanya nggak suka. Hayo, ngaku. Tapi gadis itu cantik kok,” kata Haryo panjang
lebar, membuat Sarman tersenyum sedikit kesal. Ia tahu, yang datang pasti Sita.
“Bukan kencan Pak, dia mau ketemu Hesti, belum tahu
tempatnya, jadi nyamperin ke sini dulu.”
“Oh, gitu rupanya?”
“Bapak tuh, salah sangka terus,” kesal Sarman. Tapi Haryo
hanya tersenyum.
“Tapi dia itu cantik lhoh,” Haryo masih melanjutkan
ledekannya. Ia lupa bahwa Sarman itu bukan dirinya, yang gampang terpikat wajah
cantik.
“Sarman pergi dulu ya Pak,” katanya sambil mencium
tangan ayahnya.
“Hati-hati. Kamu mencari siapa? Ibumu sedang mandi,”
kata Haryo ketika melihat Sarman tampak celingukan ke sana kemari.
“Oh, ya sudah, Bapak saja yang mamitin ya,” kata
Sarman sambil berlalu.
Diluar Sita sedang menunggu.
“Mau naik mobil bapak saja Man?” Haryo ternyata
membuntuti sampai ke depan.
“Tidak usah Pak, naik sepeda motor saja.”
“Memangnya lebih enak berboncengan ya?” Haryo masih
ingin menggoda anaknya.
“Bukan Pak, saat seperti ini lalu lintas padat, kalau
naik mobil kelamaan,” terang Sarman.
“Oh iya, benar.”
“Saya permisi dulu Pak,” kata Sita.
“Hati-hati Nak,” pesan Haryo yang merasa heran, karena
Sarman dan Sita naik sepeda motor sendiri-sendiri.
“Kok nggak mau boncengan saja,” gumamnya sambil
menatap keduanya sampai menghilang di balik pagar. Sekali lagi Sarman bukan
Haryo, kalau Haryo … dulu … dulu lhoh, waktu masih muda, ya lebih baik boncengan,
kan bisa duduk empet-empetan. Eit, nggak baik ya mengingatkan masa yang sudah
lewat, kan Haryo sudah menjadi suami yang baik, yang santun dan sangat
menyayangi istri dan anak-anaknya.
***
Hari itu pak RT memanggil yu Sukini, bekas pembantu bu Mintarsih. Ia sudah tahu kalau bu Sriani dilaporkan, sebelum mengganti
sertifikat atas nama bu Mintarsih menjadi milik dirinya. Pak RT bersyukur Hesti
berani melakukannya, sementara dulu waktu datang, dia tampak ketakutan menatap
ibunya.
“Ada apa pak RT?” tanya yu Sukini.
“Ini akan menjadi kasus Yu, dan banyak kemungkinan
kita akan menjadi saksi dalam persidangan nanti.”
“Waduh, kenapa saya diikut sertakan juga Pak RT? Saya
kan orang luar, tidak tahu apa-apa lho Pak.”
“Benar, aku dan sampeyan itu orang luar, tapi kan
sampeyan banyak tahu tentang keseharian bu Mintarsih. Bahwa bu Mintarsih punya
banyak perhiasan di almarinya, kemudian ketika nak Hesti datang ternyata tidak
ada barang berharga di almari itu. Ya kan?”
“Iya sih. Saya tahu benar Pak, bu Mintarsih punya
perhiasan yang disimpan di dalam almarinya. Kalau pergi kondangan kan selalu
dipakai, terkadang saya disuruh memasangkan bros nya, mencarikan cincin yang
cocok dengan giwangnya. Kalung juga ada, tapi jarang dipakai. Katanya sudah tua
nggak pantas pakai yang terlalu menyolok.”
“Nah, itu nanti bisa dijadikan bukti kecurangan bu
Sriani. Secara kasarnya, bu Sriani bisa dituduh mencuri lho Yu.”
“Sudah jelas barang-barang itu dicuri Pak. Wong waktu
nak Hesti melihatnya sudah tidak ada sama sekali lho barang-barang itu. Satu
kotak, warna kotaknya saya masih ingat, berbalut kain beludru berwarna merah tua.. Saya
ingat, dulu bu Mintarsih pernah bilang kalau barang-barang itu akan diberikan
kepada cucunya. Lha cucunya itu kan hanya nak Hesti? Ya kan Pak?”
“Iya Yu, karena bu Sriani itu tidak punya anak
kandung.”
“Heran saya, kok ada orang seserakah itu, padahal
kehidupan bu Sriani itu bisa dibilang berkecukupan. Kan suaminya
meninggalkan rumah bagus, besar. Dan dia juga punya usaha, nggak tahu usaha
apa, tapi ada karyawannya juga. Saya pernah ikut bu Mintarsih ke sana, saat
putranya masih ada.”
“Dan pastinya dapat pensiun juga, kan putra bu Mintarsih
itu pegawai negri, dan punya jabatan lho.”
“Makanya Pak, amit-amit bu Sriani itu, kok ya serakahnya
sampai seperti itu. Tega menipu anak kecil juga.”
“Itu sebabnya Yu, sampeyan saya suruh datang kemari
itu supaya bersiap-siap, karena kemungkinan besar akan dipanggil untuk menjadi saksi. Nak Sarman sudah menelpon saya, mungkin dalam
sehari dua hari ini pengacaranya akan menemui kita.”
“Tapi saya sebenarnya takut tuh Pak,” kata yu Sukini
ragu.
“Mengapa takut Yu, kita hanya ditanya, dan wajib
mengatakan apa yang kita ketahui. Nggak usah takut. Katakan saja apa yang sampeyan
ketahui.”
“Tapi nanti kan ada pak RT juga ya?”
“Iya Yu, sampeyan tidak akan sendiri.”
***
Ternyata Sarman dan Sita harus menunggu agak lama,
karena Hesti harus melayani pasien yang datang untuk berobat, baik kepada
dokter Danarto maupun kepada dokter Desy. Tapi Sita bisa bicara sepotong demi
sepotong tentang kedatangan pengacara yang kaya senyum itu, sore harinya, di
sela-sela Hesti melayani pendaftaran pasien-pasien itu.
“Maaf ya, pasien agak banyak hari ini,” kata Hesti.
“Tidak apa-apa,"
"Aku sudah tahu kalau pengacara itu
akan membutuhkan kamu. Tapi kamu mau kan menolong aku? Sebenarnya aku juga takut
menghadapi sidang, hanya saja aku harus memperjuangkan hak aku. Itu kata mas
Sarman ini, juga yang lainnya,” kata Hesti sambil menunjuk mas Sarman yang
duduk di sampingnya.
“Kamu harus melakukannya Hesti, kalau tidak, kamu akan
kehilangan harta itu dengan sia-sia, karena jatuh ke tangan orang jahat,” kata
Sarman.
“Iya Hes, mas Sarman benar, dan kamu tidak perlu
khawatir juga, karena ada pengacara yang akan membantu kamu. Tapi
ngomong-ngomong, pengacara itu ganteng lho,” kata Sita berbisik di telinga
Hesti.”
“Yah, kamu suka?” kata Hesti sambil tertawa, tapi
suaranya tidak sepelan Sita, sehingga Sarman bisa mendengarnya.
“Ih, kamu nih, kok berteriak sih,” kesal Sita.
“Katanya kamu sukanya sama mas Sarman,” Hesti masih
menggoda, dan itu membuat Sita kemudian mencubitnya lalu tertunduk malu. Sarman
pura-pura tak mendengar.
“Mas Lukito itu masih bujangan lho,” kata Sarman
tiba-tiba.
“Waah, kebetulan nih, semoga berjodoh,” kata Hesti
lagi.
“Ngawur kamu Hes, aku ini siapa, hanya pegawai toko,
mana ada yang mau sama aku.”
“Lhoh, apa salahnya pegawai toko? Kamu juga perempuan
kan? Nah kalau kamu laki-laki, itu baru salah kalau dia mau sama kamu.”
“Apa sih, ngaco kamu.”
Tiba-tiba ada seorang wanita datang mendaftar.
“Mau periksa mbak, pasiennya masih banyak ya?” tanya wanita itu.
“Masih ada dua mbak, ke dokter Desy kan?Mau menunggu?”
“Baiklah, saya mau daftar.”
“Namanya siapa Mbak?”
“Sarwendah,”
“Alamat?”
“Gang Srigading nomor empat.”
“Keluhannya apa?”
“Sakit perut.”
Baiklah, nah itu pasien satu sudah keluar. Ibu Sunarti,”
Hesti memanggil pasien untuk Desy.
Pasien yang di panggil masuk, masih ada satu pasien
lagi, dan wanita bernama Sarwendah, yang kemudian duduk agak di pojok. Tiba-tiba
Hesti seperti mengenali pendaftar terakhir yang tadi belum sempat diamatinya.
Wanita itu memakai cadar, dan Hesti tiba-tiba mengingatnya.
“Dia kah?” gumamnya pelan.
“Mbak Endah ya?” sapanya.
Wanita itu terkejut. Tadi dia mengenali Hesti, tapi pura-pura tidak tahu.
Sekarang ia tak bisa mengelak, Hesti mengenalinya.
***
Besok lagi ya.
Nggih mbk
ReplyDeleteMtnuwun....๐๐
Yessssss.....!!!!!
DeleteADUHAI AH Eps_46 sdh hadir.
Pengin mengikuti persidangan perdana Sriati yang serakah.
Terima kasih bunda.... Semoga bunda selalu sehat & dalam keberkahan. Aamiin.
Selamat buat jeng dosen Iyeng Juara 1, karena mau mendampingi Hesti dalam Sidang Perdana kasus penggelapan harta nenek Mintarsih
DeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari, semoga Bunda sehat selalu Aamiin ya Allah ๐๐๐
DeleteHoreee mb Rinta udh hadiir..
DeleteSalam sehat selalu yaa..
Wokey
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Bisa masuk 10 besar ga ya ?
ReplyDeleteYess ketinggalan lagi, matur nuwun Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah. Suwun
ReplyDeleteAlhamduillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron Mbak Tien...
Kebalap sama bu Nani☺️๐น๐น๐น
Gasik bu Tien, suwun
ReplyDeleteAlhamdulillah ...trimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 46 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteEhh..Endah muncul lagi, sudah hampir selesai cerbungnya.
Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Wah hadir mas Lukito sang pengacara ganteng...sdh jadian sama Sita aja deh, biar ndak merebut Sarman...๐คญ
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien AA 46 telah tayang dengan menghadirkan tokoh² baru..oya y ada lagi..siapa itu mbak Endah?
hii sabar menanti besok lgi ya..๐
Matur nuwun bu Tien ๐
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
ReplyDeleteYesss..... Semua orang jahat sudah muncul untuk dieksekusi, ๐๐๐๐
ReplyDeleteAh, senangnya hatiku..
Makasih cerita nya Bu, moga selalu sehat.
Salam aduhai dari Bandung.
Terimakasih bunda Tien..
ReplyDeleteSalam sehat selalu..
Selamat malam dan selamat beristirahat
Bsk lg ah... sabar menunggu hsl persidangan bu sriani yg serakah..
❤️❤️❤️❤️❤️
DeleteTri.ms mas Rinto udh muncul lg,,,,,๐ฅฐ
DeleteAlhamdulillah ADUHAI AH~46 sudah hadir... maturnuwun dan salam sehat kagem bu Tien ๐
ReplyDeleteEndah mau ngapain datang ke tempat praktek dokter? Jadi makin heboh, aduhai.
ReplyDeleteTurnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien, semoga sehat selalu. Aamiin
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdullilah AA 46 sdh tayang, terima kasih mbak Tien, sehat selalu dan selamat berbahagia bersama keluarga
ReplyDeleteWah sarwendah masih berani ketemu desy padahal dulu membencinya
ReplyDelete๐๐๐ญ๐ฎ๐ซ ๐ฌ๐ฎ๐ฐ๐ฎ๐ง ๐๐ฎ ๐๐ข๐๐ง ๐๐ฉ๐ฌ 46 ๐ฌ๐๐ก ๐ญ๐๐ฒ๐๐ง๐ ...๐๐
ReplyDelete๐๐ฉ๐๐ค๐๐ก ๐๐ง๐๐๐ก ๐ฆ๐๐ฎ ๐๐๐ซ๐จ๐๐๐ญ ๐ค๐ ๐๐๐ฌ๐ฒ ๐๐ญ๐๐ฎ ๐ฆ๐๐ง๐ ๐ฎ๐๐๐ฉ๐ค๐๐ง ๐ฌ๐๐ฅ๐๐ฆ๐๐ญ ๐๐ญ๐๐ฌ ๐ฉ๐๐ซ๐ค๐๐ฐ๐ข๐ง๐๐ง ๐๐๐ฌ๐ข ๐๐ ๐ง ๐๐๐ง๐๐ซ๐ญ๐จ...๐ก๐..๐ก๐๐๐..
๐๐ข๐ญ๐ ๐ญ๐ฎ๐ง๐ ๐ ๐ฎ ๐ฌ๐๐ฃ๐ ๐ค๐๐ฅ๐๐ง๐ฃ๐ฎ๐ญ๐๐ง๐ง๐ฒ๐ ๐๐๐ฌ๐ฎ๐ค ๐ฅ๐๐ ๐ข ๐ฒ๐..
๐๐๐ฅ๐๐ฆ ๐ฌ๐๐ก๐๐ญ ๐ฎ๐ง๐ญ๐ฎ๐ค ๐๐ฎ ๐๐ข๐๐ง ๐๐๐
Terima kasih Mbak Tien ... AA 46 sdh tayang ... smg Mbak Tien & kelg sll sehat n bahagia ... Salam Aduhai .
ReplyDeleteMugo2 geger geden....
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu
Trims Bu Tien...,dan sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteWaw dua gadis sampul yang saling tuding, bisa tertukar nantinya, bagaimana tidak; didepan Sarman, Hesti ngelรจdรจkin Sita agar dekat dengan Sarman, sekalian ngetรจst ada hati nggak sami sareng seniornya.
ReplyDeleteTapi saat dirumah Haryo gantian Sarman seolah disegerakan memilih diantara dua gadis sampul itu.
Namanya orang tuwa takut nggak kebagian momong cucu.
Ada pasien terakhir seorang yang pernah memberi kursus kilat, juga pernah berperan sebagai Sriani artis donk;
iya, jadi penelpon berperan sebagai Sriani dia bilang kalau Hesty sudah dijodohkan sama Danarto, waktu itu ke Desy.
Wo iya terus Desy mutung kesarung ya, ya ngambeg gitu. Kebetulan ada Bunga yang ngegemesin, berpipi bakpao gitu.
Gantian Danarto sewot, gimana enggak bapaknya Bunga cakep dupan lagi, apalagi anak-anak nya lรจngkรจt sama Desy hmm tambah asyik.
Terus Danarto
Yรฅ njรชthatut รจlik buanget kaรฉ, nah bar kuwi mulai Hesty klumbrak klumbruk kรฅyรฅ suwal, kok ibu mecat aku, saiki aku dudu anakรฉ. Pikiranรฉ mumpluk kรฅyรฅ sabun ngebaki ubun-ubun nganti raisรฅ mikir kepinginรฉ mung nglalu waรฉ.
Desy ngleremakรฉ Danarto gampang anggรชr di sotho wis adhem.
Mudah mudahan enggak bikin ulah, bakul gorengan laporan sakit kok mules.
Kaya enggak bersih gitu
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke emat puluh enam sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteAduhaii Ah,,,bikin penasran mau apa tuh tuh Endah,,,
Salam sehat wal'afiat bu Tien sekeluarga,,Aamiin
Wah wah Sita ma Lukita SH deh jgn ma Sarman.ma Hesti..waduh nih pasti rame ..lo Endah si Anak pelakor kasian pasti di bantu ma Desy nih ..widih untung gak ke Danarto hahahahah wajahnya jd jelek
ReplyDeleteTunggu lanjutan aduhai ah
ReplyDeleteKok belum ada ya
Makasih mba Tien
ReplyDelete