Thursday, June 9, 2022

ADUHAI AH 43

 

ADUHAI AH  43

(Tien Kumalasari)

 

Perhelatan itu telah usai. Danarto telah memboyong isterinya di rumah barunya. Menikmati kehangatan bersuami isteri, yang bertahun mengendap dan mereka akan mengaduknya sebagai pelepas kerinduan yang tertunda.

Malam begitu indah. Danarto menyibakkan tirai jendela besar di kamarnya, memandangi bintang-bintang yang bertebaran di langit. Mengitari sepotong bulan yang mengambang. Begitu besar maknanya keindahan yang diciptakanNya, ketika sebuah cinta bermuara pada sebuah pantai yang mampu menggulungkan ombak dalam desah resah yang membelah sunyi yang mencekam.

Danarto membuka jendela kaca yang menghalangi angin mengelus tubuhnya. Dan kemudian angin itu berebut menembus batas yang memisahkan alam dan kamar yang penuh dengan aroma cinta.

“Mas …” sebuah panggilan lembut membuat Danarto mengalihkan pandangan dari bulan ke arah ranjang, dimana Desy terbaring lelah.

“Kemarilah … “ kata Danarto tak kalah lembut, sambil melambaikan tangannya ke arah sang istri yang baru beberapa jam lalu dinikahinya.

Desy bangkit perlahan, membenahi baju tidurnya, lalu melangkah mendekati sang suami, kemudian berdiri di sampingnya.

“Segar sekali bukan?” bisik Danarto lagi, sambil merengkuh bahu isterinya.

“Indahnya langit … “ kata Desy pelan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu bidang suaminya.

“Lebih indah wajah istriku …” gumamnya sambil mempererat pelukannya.

“Ah …”

Danarto mencubit hidung Desy dengan gemas.

“Apakah kau bahagia menjadi nyonya Danarto?”

“Ah …”

“Jangan ‘ah’ dong jawabnya. Ingin aku pencet hidung kamu lebih keras?”

“Kalau aku nggak bisa bernapas, bagaimana?”

“Aku berikan kamu napas buatan,” kata Danarto seenaknya.

Desy terkekeh lucu, lalu dicubitnya pinggang Danarto.

“Auww,” pekik Danarto. Pekik manja dong, masa sih dicubit sedikit saja kesakitan?

“Mau lebih keras?” ancam Desy.

“Kamu belum menjawab pertanyaan aku.”

“Apa sih?”

“Apa kamu bahagia menjadi nyonya Danarto?”

Danarto mengangkat jarinya ke depan Desy, bersiap mencubit hidung mancung itu kalau ia benar mendesah ‘ah’ lagi.

Desy sudah membuka mulutnya, siap mengeluarkan desah menggemaskan itu.

“Jawab, nyonya …”

“Kamu menanyakan sesuatu yang sudah kamu ketahui jawabannya.” Katanya

“Nggak, aku belum tahu kok.”

“Bohong.”

“Jawab saja, kenapa sih? Malu?”

“Ah …” dan Desy kemudian berlari menjauh, menghindari Danarto yang akan memencet hidungnya.

Keduanya terkekeh, sambil berlarian mengitari jajaran sofa yang ada di dalam kamar itu. Berkejaran seperti anak kecil berebut mainan. Aduhai …

Langkah kaki Desy yang kecil tentu saja terkejar oleh Danarto yang memiliki langkah lebih lebar. Akhirnya juga sang istri tertangkap. Desy meronta, tapi tangan kuat itu merengkuhnya. Mana bisa Desy mampu melepaskan diri?

“Ampuuun …. “ teriak Desy.

“Jawab dulu, aku ingin mendengarnya,” bisiknya di telinga Desy.

“Iyaaaa … “ Desy berteriak.

“Apa itu … iya …?

“Ah ….”

Lalu Danarto melemparkan istrinya ke ranjang. Desy bergulung hingga sampai di sisi seberang, lalu turun, dan terkekeh mengejek suaminya yang penasaran dengan ulahnya.

Apakah setiap pasangan pengantin selalu berulah seperti anak kecil? Entahlah. Tak ada yang bisa diceritakan karena kemudian kidung-kidung cinta kembali bergema, menebarkan harumnya rasa dan pesona.

***

Danis terbangun ketika mendengar rengekan anak kecil. Sedikit bingung karena belum terbiasa mendengar rengekan itu. Belum seminggu ia merawat Nara dengan dibantu oleh seorang baby sitter.

Ia keluar dari kamar, pagi masih remang, karena malam belum sepenuhnya meninggalkan singgasana yang membuat senyap dan hening menyelimuti alam sekitar.

Dilihatnya suster Murni sedang membuat susu, sambil menggendong Nara.

“Nara rewel ya sus?”

“Tidak dok. Biasanya kalau terbangun memang begitu. Ini sedang saya buatkan susu.”

“Sini, biar aku yang menggendongnya,” kata Danis sambil mengulurkan tangannya.

Nara menurut, karena memang sudah biasa setiap hari ada Danis yang selalu di sebut ‘bapak’ oleh ibunya.

Danis membawanya ke luar rumah, untuk menghirup udara pagi yang segar. Danis menarik napas dalam-dalam mengisi paru-parunya dengan udara bersih hingga penuh, lalu menghembuskannya perlahan. Nara menatapnya.

“Udara pagi itu menyegarkan, sayang.”

Nara tertawa, menampakkan dua gigi kecil yang berbaris manis.

“Kamu adalah anakku, kamu mengerti?”

Nara, pastinya tidak mengerti, tapi ia tampak berjingkrak dalam gendongan Danis.

“Bapak akan membesarkan kamu, menjadikan kamu anak pintar, yang baik hati, yang luhur budi, yang akan membuat bangga orang tua kamu.”

Nara mengangguk-angguk sambil lagi-lagi menampakkan dua giginya yang seperti kelinci.

Tak lama kemudian suster Murni keluar, dengan membawa botol susu untuk Nara, sambil menarik kereta dorong.

“Tuh, kamu minum susu dulu ya, Bapak mau mandi.”

Danis meletakkan Nara di atas kereta dorong, lalu suster Murni memberikan botol susunya. Nara menyedotnya dengan lahap.

Danis tersenyum sambil melangkah ke dalam rumah. Tiba-tiba ia merasa, ada kehangatan di rumah itu dengan adanya Nara. Lambat laun ia mulai menyayangi bocah itu, walau bukan darah dagingnya. Dia tak berdosa. Dia juga layak mendapatkan kasih sayang, dan Danis bersedia memberikannya.

***

Hesti mulai bekerja di tempat praktek Danarto dan Desy, karena mereka memang sudah mulai membuka prakteknya. Hesti mulai menyukai pekerjaannya. Di pagi hari dia kuliah, dan sore harinya dia bekerja. Desy bahkan meminta agar Hesti pindah saja ke rumahnya, supaya dia tidak perlu ketika malam setelah tutup praktek lalu dia harus pulang sendirian ke rumah keluarga Haryo.

“Mas, besok mas Sarman wisuda,” kata Desy ketika mereka makan pagi di rumah, ditemani Hesti.”

“Apa kamu mau ikut menghadiri?” tanya Danarto.

“Ingin sih, tapi aku tidak bisa meninggalkan tugas, seperti juga Mas kan?”

“Bolehkah saya ikut?”

“Kamu, bukankah Sarman memang meminta bapak, ibu, Tutut dan kamu menghadiri acara itu?”

“Horee ... ”

“Kamu harus ada di sana, bukankah kamu pacarnya?” canda Desy.

“Iih, mbak Desy tuh … “

“Bukankah? Apa mas Sarman kurang ganteng?”

“Apa mas Sarman terlalu tua untuk kamu?” sambung Danarto.

“Aku masih kecil … “ jawab Hesti sambil menyuap sarapannya.

“Kecil apanya, rambutnya ya?”

“Mbak Desy, aku ingin kuliah dulu sampai selesai.”

“Tapi kamu suka kan, sama mas Sarman?”

“Nggak tahu aku, entahlah. Belum terpikirkan.”

“Tapi ngomong-ngomong, kok ibu kamu belum melakukan apa-apa ya?” tanya Desy mengalihkan pembicaraan.

“Iya sih, biarkan saja,” kata Hesti dengan perasaan enggan.

“Kamu tidak boleh begitu Hesti. Itu hak kamu, kamu harus memperjuangkannya.”

“Aku tidak berani Mas. Sudahlah, biarkan saja.”

“Tidak boleh. Ketidak adilan harus ditentang. Kalau kamu ingin mengikhlaskan harta itu, jangan kepada orang jahat seperti ibu tiri kamu. Sumbangkan ke yayasan-yayasan sosial. Ke masjid, anak yatim piatu,” kata Danarto panjang lebar.

Hesti tampak gelisah.

“Kamu seperti ketakutan berhadapan dengan ibu kamu?”

“Lebih baik aku tidak memikirkannya.”

“Jangan-jangan dia sudah membalik namakan harta itu atas namanya, dengan surat yang ditanda tangani Hesti.” Kata Desy.

“Menurut aku, laporkan saja dia.”

“Tidak.”

“Hesti, kamu tidak sendiri, aku carikan pengacara, dan mas Sarman juga sudah menjanjikan itu kan?”

“Bagaimana caranya? Aku sungguh tidak berani.”

“Hesti, kamu harus berani. Menentang kejahatan itu wajib.  Jangan biarkan dia berbuat semena-mena sama kamu.”

Hesti terdiam. Ada rasa takut, tapi ada juga rasa menentang. Kata-kata ‘kamu tidak sendiri’ itu kemudian agak bisa menenangkan hatinya.

“Terserah kalian saja. Aku tidak bisa apa-apa.”

***

Di sebuah rumah agak ke pinggiran kota Surabaya, Sriani sedang duduk di sebuah kursi. Rumah itu diakuinya sudah menjadi miliknya. Ia sedang menunggu pak RT yang dipanggilnya beberapa jam yang lalu, tapi belum tampak juga orangnya muncul.

Sriani berjalan-jalan ke belakang, lalu ke depan, lalu mengitari rumah, dan bernapas lega karena harta peninggalan Mintarsih akan segera menjadi miliknya sepenuhnya.

Ia kembali duduk, ketika melihat pak RT sudah datang memasuki rumahnya.

“Silakan duduk, pak RT,” kata Sriani mempersilakan.

Pak RT duduk, agak kurang senang melihat sikap Sriani, mengingat sikapnya beberapa minggu yang lalu saat bertemu Hesti yang benar-benar ahli waris bu Mintarsih.

“Pak RT, saya hanya ingin mengatakan, mengingat anak tiri saya Hesti sudah bisa memahami tentang wasiat dari neneknya, yang mana almarhumah tersebut sudah menghibahkan rumah peninggalan berikut isinya kepada saya, maka saya kira saya tidak perlu lagi memperkarakan hal ini kepada yang berwajib.”

“Maksud Ibu bagaimana?”

“Langsung saja sertifikat rumah dan tanah ini akan saya balik nama menjadi atas nama saya, daripada ribet, harus sidang segala.”

“Apa bisa langsung balik nama Bu, sedangkan ada ahli waris langsung dari almarhumah?”

“Kan Hesti sudah menanda tangani surat persetujuan pengalihan hak milik itu ?”

“Rasanya kok kasihan juga ya Bu, mengapa cucunya sendiri tidak mendapatkan apa-apa,” kata pak RT dengan wajah muram.

“Pak RT ini bagaimana? Saya merawat Hesti itu sejak bayi, mengasihinya seperti anak kandung sendiri, mendidiknya, menyekolahkannya sampai dia kuliah. Itu yang membuat almarhumah mertua saya kemudian mengikhlaskan warisannya kepada saya.”

“Disini saya hanya orang luar, tidak berhak melakukan apa-apa. Apa yang saya katakan tadi hanya uneg-uneg saya secara pribadi.”

“Betul pak RT, dan mengapa saya berbicara dengan pak RT, barangkali nanti dalam proses pengalihan hak, pak RT juga akan memberi saya surat pengantar untuk pengurusan itu. Entah diperlukan entah tidak, pengantar dari RT, tapi setidaknya saya sudah bicara dengan pak RT.”

“Baiklah, saya sudah bisa menerimanya, semoga hanya niat baik saja yang akan mendapat ridho dari Allah subhana hu wa ta’ala.”

“Apa maksud pak RT bicara begitu?”

“Bukankah semua niat baik akan mendapat ridho? Kalau bu Sriani punya niat baik, pasti Allah akan memberikan jalan. Saya yakin itu.”

“Saya hanya menjalankan apa yang menjadi pesan almarhumah.”

Pak RT berdiri.

“Sepertinya saya sudah cukup mengerti, sekarang saya permisi,” kata pak RT sambil beranjak keluar dari dalam rumah, meninggalkan bu Sriani yang bermuka masam, karena merasa bahwa pak RT tidak mendukungnya, biarpun dirinya sudah mengatakan alasannya.

“Tunggu pak RT,” tiba-tiba bu Sriani menghentikan langkah pak RT.

Pak RT berhenti melangkah, membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Sriani duduk.

“Ya?”

“Saya lupa bilang, nanti kalau semuanya sudah selesai, akan ada uang tip untuk pak RT,” kata Sriani yang merasa bahwa dengan iming-iming uang, pasti laki-laki setengah tua itu akan mendukungnya.

“Oh, maaf Bu, saya sebagai RT, hanya menjalankan kewajiban saya, dan saya tidak membutuhkan imbalan apapun, karena melayani masyarakat sudah menjadi kewajiban saya,” katanya tandas.

“Iya saya tahu, tapi saya hanya akan memberikan tip sebagai rasa terima kasih saya.”

“Tidak Bu, maaf saya tetap tidak bisa menerimanya. Saya permisi,” kata pak RT sambil membalikkan badannya dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi.

“Huh, sombong! Baru jadi RT saja sombong. Entah seperti apa kalau besok-besok jadi presiden,” katanya sambil tersenyum sinis.

***

Acara wisuda itu sudah usai. Haryo dan Tindy bergantian memeluk Sarman, atas rasa terima kasih dan bangganya karena Sarman sukses menjadi sarjana dengan predikat Cum Laude.

“Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu, karena Bapak dan Ibu lah saya menjadi seperti ini, sekali lagi terima kasih,” kata Sarman sambil mencium tangan Haryo dan Tindy, dengan linangan air mata.

Tutut tak mau kalah. Ia memeluk kakaknya dengan penuh haru.

“Selamat ya Mas, aku bangga punya Mas. Mas sungguh hebat.”

“Terima kasih Tutut, segera menyusul mas ya,” kata Sarman sambil menepuk bahu adiknya.

“Iya, baiklah, aku sudah hampir selesai kok. Bantuin ya.”

“Iya, pasti.”

“Selamat ya Mas,”  giliran Hesti menyalami Sarman.

“Terima kasih Hesti. Belajar yang rajin ya. Kamu pasti bisa.”

“Iya, doakan ya Mas.”

“Iya, kalian harus sukses.”

“Nanti malam kita makan diluar, sebagai rasa syukur atas berhasilnya Sarman ya. Kabari Desy dan Danarto,” kata Haryo.

“Iya, ajak simbok juga kan Bu?” kata Tutut.

“Iya, pasti, simbok juga harus merasakan kebahagiaan keluarga kita,” jawab Tindy.

Tiba-tiba ponsel Sarman berdering. Ia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menelpon.

***

Besok lagi ya.



 

 

 

29 comments:

  1. Replies
    1. Mb Iyeng... josss
      Matur nuwun bunda Tien 🙏💕

      Delete
    2. Alhamdulillah...... bu dosen Iyeng buanter mblayune nganti kesandung ora dirasakna........
      Matur nuwun bu Tien, salam SEROJA & tetap ADUHAI AH...

      Delete
  2. Maturnuwun mbakyuku sayang...pinisirinnn

    ReplyDelete
  3. Terima ksih bunda Tien AA nya..slmt mlm dan slmt istrht..salam sehat dan sayang dri Sukabumi🙏🌹💖

    ReplyDelete
  4. Terimakasih bunda Tien...
    Tambah seru nih..

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ADUHAI AH~43 sudah hadir.. maturnuwun dan salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  6. Terimakasih Mbak Tien, aduhai aah

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Tinggal Sriani yang belum terselesaikan. Balik nama warisan tidak semudah yang dibayangkan. Benar kata pak RT.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  8. Terima kasih... asyik trs prt nya... terima kasih mbu Tien.....

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ADUHAI-AH 43 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  10. Sarman mencium tangan Haryo dan Tutut..,. :)

    ReplyDelete
  11. Waah senengnya Desy dan danarto udah menikah koq g ngundang kita ya , he he
    makasih, Bu Tien, semoga slalu sehat dan tetap semangat mengibur kita , salam aduhai dari Pasuruan

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh muncul.
    Terima kasih bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..

    ReplyDelete
  15. AA .... dah tayang jangan lama lama bacanya ya ... salam kasadayana yang baca AA

    ReplyDelete
  16. Penasaran telp dari siapa ya..,trims Bu tien

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah.
    Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete
  18. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 43 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  20. Hårå Sarman dapat telepon dari pak RT, kasih kabar kelihatan nya Sriani mau lewat jalur hibah yang enggak begitu banyak biaya dan waktu.

    Berdasarkan surat yang ditandatangani Hesti sebagai pewaris tunggal, Sarman diharapkan merapat ke pak èrté, menyiapkan pengacara, sesuai janjinya karena Hesti selalu lemah berhadapan dengan Sriani.

    Danis merasakan ada damai; menikmati kebersamaan dengan Nara sebagai penyemangat hidup, apalagi sepulang kerja.
    Kapok ora bingung; ra ånå sing biså di gamblèhi, lha nrenyuhake jew.

    Ada juga kebahagiaan sepasang pengantin baru.



    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke empat puluh tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien AA 43nya
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...