Tuesday, October 8, 2019

DALAM BENING MATAMU 17

DALAM BENING MATAMU  17

(Tien Kumalasari)

"Kamu nih ya, setelah bisa jalan ke mana-mana .. terus ngeluyur sendiri.. " tegur Ayud ketika makan siang bersama.

"Kok ngeluyur sih mbak, aku tuh beli buku, tuh.. ada bukunya, trus aku mampir ke kantor. Pengin makan bareng mas Adhit, habis mas Adhit sekarang sombong." jawab Dinda sambil mengunyah makanannya.

"Bukan sombong, kan tadi mas Adhit dudah bilang alasannya."

"Iya, aku tau."

"Tadi Mirna bilang mau ijin beberapa hari."

"Oh ya, kenapa dia?"

"Katanya ada acara keluarga."

"Oh.., kalau ada yang perlu diselesaikan suruh selesaikan saja dulu. Kapan mau mulai ijinnya?"

"Katanya besok."

"Mendadak amat.."

"Mungkin acaranya juga mendadak."

"mBak Mirna itu cantik kan?"

"Iya lah, sekretaris harus cantik," kata Adhit sambil tersenyum.

"Kalau aku cantik nggak?"

"Kamu, ya cantik lah... kamu kan adiknya mbak Ayud," kata Ayud menimpali.

"Kalau begitu besok aku mau melamar jadi sekretarisnya mas Adhit saja," kata Dinda seenaknya.

"Hm... nggak bakalan kerja malah pacaran...," gerutu Ayud.

"Kok bisa? Aku kan masih kecil mbak."

"Masak kamu akan kecil terus, besok kalau kamu sudah selesai kulian berarti kamu sudah tua.."

"Haaa... tua ya, brarti mbak Ayud sudah tua dong."

"Tua tapi cantik," jawab Ayud sambil memegangi kedua pipinya dengan genit.

"Iya.. iya.. yakin kalau mbak Ayud itu cantik, kan kakaknya juga ganteng."

"Hm, kecil-kecil ngomongnya orang ganteng melulu nih.."

"Aku tuh sukanya berterus terang, bukankah mas Adhit memang ganteng?"

"Apa kamu suka sama mas Adhit?" tanya Adhit tiba-tiba.

"Ya suka dong, kan mas Adhit baik .."

Adhit tersenyum, selama ini belum pernah ditemukan tanda-tanda bahwa Dinda suka pada dirinya, apalagi cinta. Suka karena dia ganteng, bukan berarti cinta kan? Adhit jadi melamun sendiri. Dipandanginya halaman rumah makan yang tampak teduh karena beberapa pohon rindang dan tanaman bunga-bunga tersebar disana. Barangkali hatinya akan seteduh suasana sa'at itu apabila telah ditemukannya cinta yang dicarinya.

***

Putri menunggu diteras, karena Dinda belum juga pulang. Bu Broto yang menemani duduk disiang itu juga tampak menunggu dengan gelisah.

"Mungkin kerumah neneknya."

"Dia sudah hafal jalan-jalan di Solo ya bu?"

"Iya, sudah sering belanja sendiri atau beli buku-buku yang diperlukannya. Kadang-kadang mampir kerumah neneknya juga."

"O, mungkin juga, Putri mau menelpon kok nggak enak,"

Kemarin suamimu bilang apa? Pasti dia ingin kamu segera pulang ke Jakarta."

"Iya bu, sudah setengah bulan lebih Putr disini, dan sebetulnya nggak tau apa yang bisa Putri temukan disini."

"Menurut ibu, Dinda itu masih sangat muda, mungkin Adhit hanya diasayanginya sebagai kakak."

"Iya bu, Putri tau, tapi kan sikap Adhit itu beda. Orang dia sudah berterus terang kalau suka, bahkan cinta."

Bu Broto tampak mengeluh.

"Menurut ibu, mereka harus dijauhkan. Jangan hidupserumah seperti ini."

 "Apa ibu akan mengusirnya?"

"Nanti pasti akan ada cara .. ibu akan menemukannya, kamu tenang saja, dan sebaiknya segera kembali ke Jakarta. Bukan ibu mengusir, tapi tidak baik meninggalkan suami terlalu lama."

"Baiklah, besok Putri pulang saja ke Jakarta, semoga ibu menemukan jalan terbaik untuk cucu ibu."

"Assalamu'alaikum..." 

Putri dan bu Broto menoleh, Dinda sudah berdiri ditangga teras dengan wajah berseri.

"Dinda dari mana saja, nih.. eyang sama tante sudah khawatir. Kerumah simbah ya?"

"Bukan tante, sehabis beli buku, Dinda mampir ke kantornya mas Adhit."

Putri dan bu Broto berpandangan. Bagaimanapun mereka dihalangi, kalau ingin bertemu pasti mudah untuk bertemu.

"Ngapain kekantornya Adhit?"

"Minta ditraktir makan," jawab Dinda sambil mencium tangan Putri dan bu Broto.

"Tadi makan berdua?" tanya Putri was-was.

"Nggak tante, sama mbak Ayud juga, terus Dinda pulang sendiri deh."

"Oh, ya sudah... " Putri menghela nafas lega, sementara Dinda langsung ngeloyor kedalam rumah.

"Anak itu sangat polos, Putri justru menghawatirkan Adhit."

"Nanti pasti ada jalan terbaik nduk, ibu akan memikirkannya."

***

"Ibu, besok Mirna tidak pulang kira-kira 3 hari."

"Kemana?"

"Ada tugas bu, keluar kota."

"Haa... sama bosmu itu?"

"Mirna sendiri bu."

"Mengapa sendiri dan tidak bersama bis kamu?"

"Tugasnya begitu, dan Mirna bisa menyelesaikan sendiri, jadi tidak harus bersama pak Adhit."

Widi tampak menghela nafas kecewa. Entah bagaimana caranya ia akan menunggu sa'at baik untuk membalaskan dendamnya, baiklah kalau belum sekarang. 

"Kemana tugasnya?"

"Ke Jogya, lalu Semarang."

"Kamu sendirian?"

"Ya, naik pesawat bu, ibu nggak usah khawatir ya."

"Ibu benci keadaan ini. Kamu tau, kalau dendamku terbalas, aku matipun tak akan penasaran. Tapi selama belum terbalas, aku akan terus mengejarnya. Kalau kamu tak mau membantu, aku akan melakukannya sendiri."

"Ibu bersabarlah dulu ya bu, nanti kalau Mirna sudah pulang kita akan bicara lagi."

***

Dendam itu membingungkan Mirna, seperti kebingungannya ketika sore itu sudah berada di Medan, dan men cari-cari alamat yang dikatakan Dinda. Sebuah jalan, nomornya keliru nggak ya.. lalu Mirna memanggil taksi. Pasti ia bisa mencarikan alamat itu.

Ketika ia turun dari taksi yang ditumpanginya, ia memasuki sebuah pekarangan yang asri, rimbun dengan pohon-pohon dan tanaman bunga. Ia mengamati sekeliling pekarangan yang sepi, lalu berdiri didepan teras. Pintu rumah itu tertutup, ada empat buah kursi antik diteas itu, yang dimejanya terdapat sebuah vas bunga berisi mawar yang masih segar. 

Benarkah ini rumah tantenya yang bernama Retno? Pasti ia seorang yang menyukai keindahan melihat cantiknya teras depan yang  terpampang didepannya. Oh, ad kolam ikan kecil yang berhiaskan ikan-ikan cantik, dan terdengar gemercik air dari pancuran yang tak henti-hentinya mengalir.

Mirna menaiki tangga teras itu, lalu melihat bel rumah tertempel disebuah saka. Ia memencetnya perlahan dengan hati berdebar. Ada rasa kebat kebit, kalau salah bagaimana, lalu akan mencari kemana.

Mirna mendengar langkah mendekat, dan pintu rumah itu terbuka. Seorang wanita yang tidak lagi muda, tapi cantik, menyembul dari pintu itu. Mirna mengingat ingat, benarkah dia sepupu ibunya yang bernama Retno? Di album yang dilihatnya, Retno masih gadis belia, yang rambutnya dikepang dua. Wanita ini seperti bukan yang pernah dilihatnya. Tapi ia memandangi Mirna dengan wajah penuh tanda tanya.

"Selamat siang," sapa Mirna sambil mengangguk.

"Selamat siang, anda mencari siapa ya?" sapa wanita cantik itu.

"Apakah.. apakah benar.. disini rumah.. ibu.. Retno?" tanya Mirn sedikit ragu.

"Anda darimana ?"

"Dari Solo."

"Oh, Solo ? Silahkan duduk, saya Retno, apakah kita pernah bertemu ?" tanya wanita yang memang adalah Retno, sambil mempersilahkan Mirna duduk.

"Terimakasih, nama saya Mirna," Mirna mengulurkan tangannya.

"Kita pernah bertemu?"

Mirna menggeleng pelan. 

"Bagaimana anda mengenal saya, dan alamat rumah saya?"

"Ada sesuatu yang membuat saya harus menemui tante. Ini penting buat saya."

"Oh ya? Apakah itu?"

"Tante mengenal Widi?"

Retno terkejut, dia mengamati wajah tamu yang duduk didepannya dengan seksama."

"Widi... Semarang ya?"

Mirna mengangguk.

"Oh, dia sepupu saya, tapi sudah puluhan tahun kami tak pernah bertemu, entah bagaimana kabarnya dia." kata Retno, sambil matanya menerawang jauh.

"Saya anaknya .."

Retno kembali menatap gadis dihadapannya lekat-lekat. Benarkah dia anak sepupunya? Retno tak menemukan kesamaan atau kemiripan sedikitpun pada wajah Mirna dengan Widi sepupunya.

"Kamu anaknya mbak Widi? Tapi... aku mendengar beberapa puluh tahun silam, bahwa mbak Widi tidak akan punya anak karena rahimnya telah diangkat."

Mirna tertegun. Sejenak ia tak mampu ber kata-kata.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...