LANGIT TAK LAGI KELAM 34
(Tien Kumalasari)
Rizki tertegun. Ia tak menyangka Citra sekejam itu. Bukan hanya menolak permintaa tolong darinya, tapi juga membanting pintu sangat keras, membuat hatinya semakin sakit.
“Citraaa! Citraa!”
Tak cukup hanya berteriak, Rizki kemudian berdiri dan menggedor-gedor pintu rumahnya.
“Citra, tolong buka, mari kita bicara. Kamu harus ikut memikirkannya Citra, karena semua ini adalah ide kamu juga!”
Ketika menggedor yang ketiga kalinya, pintu kemudian terbuka, tapi yang keluar bukan Citra. Seorang laki-laki berdiri di depan pintu dan menatap tajam ke arah Rizki. Ia adalah ayah Citra.
“Apa kamu tidak punya sopan santun? Kamu menggedor pintu seperti rumah ini adalah rumah kamu sendiri,” tegurnya marah.
“Maaf Pak, kami belum selesai bicara, tapi Citra kemudian menutup pintunya dengan keras. Ijinkan saya menemuinya dan bicara.”
“Tidak boleh. Ini sudah malam, bukan waktunya ngobrol,” katanya.
Sebelum Rizki menjawab, laki-laki itu sudah masuk ke dalam, dan seperti yang dilakukan Citra, ia juga membanting pintunya keras.
Rizki melangkah pergi dengan lemas. Sebelah tangannya menarik kopor yang akan dibawanya entah ke mana.
Ia terus melangkah menyusuri jalanan. Malam begitu gelap, karena mendung tebal membuat langit menghitam kelam.
Hati Rizki terasa bagai dirajang-rajang. Pedih dan nyeri. Barangkali juga berdarah-darah. Ia tak tahu harus ke mana. Ia punya uang hanya sisa uang saku yang tak seberapa banyaknya. Ia tak mau mencari hotel atau penginapan. Ia harus berhemat sampai kemudian menemukan jalan keluar. Disebuah rumah-rumahan kecil yang tampaknya seperti bekas warung bobrok, Rizki berhenti. Ia duduk di sana sampai beberapa saat lamanya, kemudian tertidur di sebuah bangku panjang yang kebetulan ada. Tapi jangankan bisa tidur, ia selalu gelisah memikirkan kehidupan yang akan dijalaninya.
Terngiang nasehat ayah angkatnya yang mengatakan bahwa Citra bukan gadis yang baik, dan itu benar bukan? Ketika ia masih bisa menghamburkan uang, Citra selalu lengket, tapi ketika dirinya sedang terbebani oleh permasalahan yang sebenarnya Citra juga ikut mendukungnya, Citra sama sekali tak peduli.
Barangkali benar kata pepatah, ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.
Rizki menutup matanya, untuk menghilangkan bayangan-bayangan buruk yang menghantuinya. Selaksa penyesalan memenuhi benaknya. Seandainya dia patuh pada semua ajaran orang tua angkatnya, seandainya dia mengerti betapa besar kasih sayang pak Hasbi kepadanya, ia tak akan tergiur oleh segala ucapan Citra yang membuatnya tersesat. Benar, Rizki merasa tersesat, tak tahu harus melakukan apa. Ia menatap langit, begitu gelap dan kelam. Begitu guntur menggelegar maka hatinya terasa semakin ciut. Hujan akan segera turun, dan angin malam yang dingin mulai membuatnya menggigil.
***
Srining merasa kesal, ditengah malam buta sang suami mengetuk pintu sekeras-kerasnya. Dengan malas dia melangkah ke depan, membuka pintu untuk suaminya, yang badannya basah kuyup. Hujan sangat deras, sang suami tidak membawa mantel.
“Baru pulang sih Mas?”
“Baru pulang … baru pulang … sudah tahu kalau dinas malam pasti pulangnya lewat tengah malam, masih bertanya lagi,” omel Sartono sambil terus masuk ke kamarnya.
“Siapa yang tahu kalau Mas dinas malam. Tadi pagi kan sudah berangkat kerja? Masa malamnya masih kerja lagi?”
“Memangnya salah, kalau aku lembur sampai malam?”
“Mas tidak bilang kalau lembur. Dan aku kan cuma bertanya, kenapa Mas marah?”
“Kamu itu perempuan, tidak seharusnya mengurusi tugas dan pekerjaan laki-laki. Semua ini kan supaya aku bisa punya uang yang cukup? Bukankah kamu suka kalau uangku banyak?”
“Uang Mas banyak? Tapi yang diberikan padaku masih seperti biasanya, bahkan terkadang lebih sedikit.”
“Kamu harus tahu, perusahaan sedang sepi.”
Srining diam, ia mengikuti suaminya masuk ke dalam kamar, lalu mencium wangi perempuan dari baju yang dilepasnya.
Srining memungutnya, lalu membawanya ke belakang.
“Kenapa bajumu wangi sekali?”
“Apa sih sebenarnya maksudmu dengan beberapa pertanyaan yang sangat membuat aku kesal? Apa kamu lebih suka aku berbau anyir atau apek sepulang kerja?”
Srining sebenarnya sudah tahu jawabannya. Akhir-akhir ini sang suami memang bersikap tidak seperti biasanya. Isu selingkuh yang dihembuskan tetangganya semakin tampak nyata. Tapi Srining tak ingin mempermasalahkannya. Ia sedang memikirkan anak semata wayangnya yang entah sekarang berada di mana. Panti yang didatanginya karena dulu ia meninggalkannya di sana, tak percaya bahwa dia adalah ibu Jarot, karena ia tak bisa memberikan bukti bahwa bayi tanpa identitas sekitar duapuluh tahunan lalu itu adalah anak kandungnya. Foto yang dijanjikannya akan ditunjukkan kepada petugas panti, tak bisa didapatkannya karena dia tak bisa menemukan di mana Misdi berada.
Berhari-hari memikirkannya dan tak menemukan jawab, Srining menjadi tak peduli pada suaminya lagi. Ia justru merasa kesal dan menyesal, mengapa dia menuruti kemauan Sartono untuk membuang bayi itu.
“Aku sudah gila waktu itu. Karena tergila-gila pada Sartono, aku kehilangan satu-satunya anakku. Aku juga berdosa pada Misdi karena berkhianat.”
Hujan diluar terdengar masih deras, bersamaan dengan derasnya air mata Srining yang kemudian membasahi pipinya. Srining duduk di ruang tengah, kehilangan rasa kantuk yang tadi menyerangnya.
Di kamar terdengar dengkuran Sartono. Srining menutup pintu kamar, tapi kemudian dia tiduran di kursi panjang di ruang tengah. Dengkur yang sudah biasa dia dengar itu, malam ini terasa sangat mengganggu. Srining menutup telinganya dengan bantal kursi.
***
Pagi hari ketika sudah siap dengan pakaian dinasnya, Sartono marah-marah karena tak ada kopi manis tersedia di tempatnya seperti biasa. Ia melihat Srining meringkuk di kursi, masih menutupi kepalanya dengan bantal.
Sartono marah. Ia menarik bantalnya lalu membantingnya ke lantai.
“Ini jam berapa?”
Srining membuka matanya. Ia memang masih mengantuk, karena hampir semalaman tak bisa tidur.
“Ada apa?”
“Ada apa … ada apa … Ini jam berapa?”
“Memangnya kenapa?”
“Kamu masih tidur sementara aku harus dinas pagi. Mana minum, mana sarapan, lalu kamu masih meringkuk di sini?”
“Aku lelah.”
“Enak saja kamu bicara. Tugasmu adalah melayani suami, mana bisa lelah?”
“Kamu kemarin masuk pagi, sore pergi lagi katanya tugas malam, sekarang tugas pagi lagi?”
“Kamu perempuan tahu apa?”
“Aku memang tidak tahu apa-apa. Tapi aku tahu kalau kamu punya selingkuhan,” tak tahan, akhirnya Srining mengeluarkan uneg-unegnya.
Sartono menatap tajam istrinya. Wajahnya mendadak merah padam.
“Jadi kamu sudah tahu?”
“Jadi benar?”
“Ya, itu benar. Dia perempuan cantik yang bisa menyenangkan aku. Akan aku nikahi dia,” kata Sartono enteng.
“Oh ya? Kamu ingin menikahi dia? Kalau begitu ceraikan aku,” Srining menantang, sama sekali tak takut.
“Bagus, kalau kamu tahu diri. Kamu boleh pergi dari sini kapan saja, akan aku urus perceraian kita,” katanya sambil melangkah pergi.
Srining bergeming. Bahkan tak memandangi kepergian suaminya, membiarkannya hilang di balik pagar.
Ia masih saja duduk di kursi itu. Entah mengapa tiba-tiba ketika teringat Jarot, hatinya terasa bagai ditusuk ribuan jarum. Perasaan bersalah menghantuinya. Dan entah mengapa, pagi itu perasaannya sungguh tak enak.
“Mas Misdi, kamu ada di mana? Aku bersalah Mas. Aku ingin foto Jarot saat masih bayi, aku akan bisa menemukannya. Tempatnya sudah jelas, tapi dia diambil anak angkat oleh seseorang. Entah siapa?” gumamnya sendirian.
Srining segera bergegas ke kamar mandi. Ia akan mencari Misdi, yang entah di mana sekarang tempat mangkalnya. Hanya foto itu yang bisa mempertemukan dirinya dengan Jarot. Beberapa hari ini dia muter-muter tapi belum juga menemukannya. Setiap tukang tambal ban diamatinya, tapi tak satupun ia melihat Misdi bekas suaminya.
***
Rizki membuka matanya ketika matahari telah naik tinggi. Badannya terasa sakit semua, dan tubuhnya menggigil. Hujan semalam telah mengganggu kesehatannya. Ketika ia bangun, ia sadar bajunya basah terkena hujan semalam. Ia melihat lalu lalang kendaraan, lalu ia ingat bahwa sedang berada di tepi jalan, dan tertidur di sebuah warung yang lama tidak dipakai, hanya ada sebuah bangku panjang yang dibuatnya tidur, dan atap seng yang bocor di sana-sini.
Rizki bersyukur, kopornya masih ada. Ia harus mengganti bajunya, tapi ia ingin ke kamar mandi. Ketika ia melongok keluar, ada kamar mandi umum di seberang.
Ia tak tahan memakai baju basahnya. Ia melepaskan semua baju atasnya, kemudian pergi ke seberang. Ia bahkan meninggalkan kopornya teronggok disitu. Sambil berjalan ia merasakan badannya panas, sehingga ia menggigil. Ia bergegas menyeberang jalan, ke arah kamar mandi umum yang kebetulan kosong.
Begitu selesai, dia cepat-cepat kembali ke warung bobrok itu, agar bisa segera memakai baju kering yang dibawanya di dalam kopor.
Tiba-tiba karena tidak perhatian, sebuah becak menabraknya, membuatnya jatuh tersungkur. Penumpangnya seorang wanita, menjerit kaget.
“Ya ampun, bagaimana itu, menyeberang tidak melihat jalan.”
Wanita itu adalah Srining, yang sedang mencari-cari seorang tukang tambal ban bernama Misdi. Entah mengapa, melihat laki-laki jatuh tertelungkup itu, hatinya merasa iba. Tukang becak turun, berusaha membangunkannya. Tiba-tiba Srining melihat tanda lahir di bahu sebelah kiri anak muda itu.
“Tunggu … apakah kamu Jarot?”
Rizki menggeliat, berusaha bangun.
“Sampeyan menyeberang tidak melihat jalan,” omel tukang becak yang membantu membangunkan.
“Tunggu dulu, kamu Jarot?”
Rizki menatap bingung. Ia bukan jarot. Namanya Rizki, bukan?
“Bu, anak muda ini sakit, badannya panas sekali.”
Srining ikut memegangi, wajah Rizki pucat pasi.
“Kamu anakku,” katanya bergetar.
Rizki melangkah sempoyongan ke arah warung bobrok itu. Tak peduli pada wanita yang mengikutinya.
Srining melihat Rizki membuka kopor, lalu mengambil baju dan mengenakannya. Bajunya yang basah masih teronggok di bangku.
Setelah memakai baju, Srining baru ingat, bahwa dia adalah anak muda yang dua kali bertengkar dengannya.
“Kamu … kamu ternyata anakku,” kata Srining dengan air mata berlinang.
“Jangan ngaco!” kata Rizki lemah.
“Kamu sakit, ayo ke dokter dulu, nanti kita bicara,” kata Srining yang memberi isyarat kepada tukang becak agar membantu Rizki naik ke becaknya.
Rizki tak berdaya, ia menggigil. Sekilas diingatnya perempuan kasar yang dua kali memaki-makinya, tapi rasa sakit menahannya untuk bicara. Ia menurut ketika dinaikkan ke atas becak, sedangkan wanita galak itu duduk di sampingnya.
"Kopornya bawa sekalian, lalu ke rumah sakit,” titahnya.
Tapi baru beberapa meter tukang becak mengayuh becaknya, sebuah sirene mobil polisi terdengar.
***
Besok lagi ya.