Saturday, October 11, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 34

 LANGIT TAK LAGI KELAM  34

(Tien Kumalasari)

 

Rizki tertegun. Ia tak menyangka Citra sekejam itu. Bukan hanya menolak permintaa tolong darinya, tapi juga membanting pintu sangat keras, membuat hatinya semakin sakit.

“Citraaa! Citraa!”

Tak cukup hanya berteriak, Rizki kemudian berdiri dan menggedor-gedor pintu rumahnya.

“Citra, tolong buka, mari kita bicara. Kamu harus ikut memikirkannya Citra, karena semua ini adalah ide kamu juga!

Ketika menggedor yang ketiga kalinya, pintu kemudian terbuka, tapi yang keluar bukan Citra. Seorang laki-laki berdiri di depan pintu dan menatap tajam ke arah Rizki. Ia adalah ayah Citra.

“Apa kamu tidak punya sopan santun? Kamu menggedor pintu seperti rumah ini adalah rumah kamu sendiri,” tegurnya marah.

“Maaf Pak, kami belum selesai bicara, tapi Citra kemudian menutup pintunya dengan keras. Ijinkan saya menemuinya dan bicara.”

“Tidak boleh. Ini sudah malam, bukan waktunya ngobrol,” katanya.

Sebelum Rizki menjawab, laki-laki itu sudah masuk ke dalam, dan seperti yang dilakukan Citra, ia juga membanting pintunya keras.

Rizki melangkah pergi dengan lemas. Sebelah tangannya menarik kopor yang akan dibawanya entah ke mana.

Ia terus melangkah menyusuri jalanan. Malam begitu gelap, karena mendung tebal membuat langit menghitam kelam.

Hati Rizki terasa bagai dirajang-rajang. Pedih dan nyeri. Barangkali juga berdarah-darah. Ia tak tahu harus ke mana. Ia punya uang hanya sisa uang saku yang tak seberapa banyaknya. Ia tak mau mencari hotel atau penginapan. Ia harus berhemat sampai kemudian menemukan jalan keluar. Disebuah rumah-rumahan kecil yang tampaknya seperti bekas warung bobrok, Rizki berhenti. Ia duduk di sana sampai beberapa saat lamanya, kemudian tertidur di sebuah bangku panjang yang kebetulan ada. Tapi jangankan bisa tidur, ia selalu gelisah memikirkan kehidupan yang akan dijalaninya.

Terngiang nasehat ayah angkatnya yang mengatakan bahwa Citra bukan gadis yang baik, dan itu benar bukan? Ketika ia masih bisa menghamburkan uang, Citra selalu lengket, tapi ketika dirinya sedang terbebani oleh permasalahan yang sebenarnya Citra juga ikut mendukungnya, Citra sama sekali tak peduli.

Barangkali benar kata pepatah, ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.

Rizki menutup matanya, untuk menghilangkan bayangan-bayangan buruk yang menghantuinya. Selaksa penyesalan memenuhi benaknya. Seandainya dia patuh pada semua ajaran orang tua angkatnya, seandainya dia mengerti betapa besar kasih sayang pak Hasbi kepadanya, ia tak akan tergiur oleh segala ucapan Citra yang membuatnya tersesat. Benar, Rizki merasa tersesat, tak tahu harus melakukan apa. Ia menatap langit, begitu gelap dan kelam. Begitu guntur menggelegar maka hatinya terasa semakin ciut. Hujan akan segera turun, dan angin malam yang dingin mulai membuatnya menggigil.

***

Srining merasa kesal, ditengah malam buta sang suami mengetuk pintu sekeras-kerasnya. Dengan malas dia melangkah ke depan, membuka pintu untuk suaminya, yang badannya basah kuyup. Hujan sangat deras, sang suami tidak membawa mantel.

“Baru pulang sih Mas?”

“Baru pulang … baru pulang … sudah tahu kalau dinas malam pasti pulangnya lewat tengah malam, masih bertanya lagi,” omel Sartono sambil terus masuk ke kamarnya.

“Siapa yang tahu kalau Mas dinas malam. Tadi pagi kan sudah berangkat kerja? Masa malamnya masih kerja lagi?”

“Memangnya salah, kalau aku lembur sampai malam?”

“Mas tidak bilang kalau lembur. Dan aku kan cuma bertanya, kenapa Mas marah?”

“Kamu itu perempuan, tidak seharusnya mengurusi tugas dan pekerjaan laki-laki. Semua ini kan supaya aku bisa punya uang yang cukup? Bukankah kamu suka kalau uangku banyak?”

“Uang Mas banyak? Tapi yang diberikan padaku masih seperti biasanya, bahkan terkadang lebih sedikit.”

“Kamu harus tahu, perusahaan sedang sepi.”

Srining diam, ia mengikuti suaminya masuk ke dalam kamar, lalu mencium wangi perempuan dari baju yang dilepasnya.

Srining memungutnya, lalu membawanya ke belakang.

“Kenapa bajumu wangi sekali?”

“Apa sih sebenarnya maksudmu dengan beberapa pertanyaan yang sangat membuat aku kesal? Apa kamu lebih suka aku berbau anyir atau apek sepulang kerja?”

Srining sebenarnya sudah tahu jawabannya. Akhir-akhir ini sang suami memang bersikap tidak seperti biasanya. Isu selingkuh yang dihembuskan tetangganya semakin tampak nyata. Tapi Srining tak ingin mempermasalahkannya. Ia sedang memikirkan anak semata wayangnya yang entah sekarang berada di mana. Panti yang didatanginya karena dulu ia meninggalkannya di sana, tak percaya bahwa dia adalah ibu Jarot, karena ia tak bisa memberikan bukti bahwa bayi tanpa identitas sekitar duapuluh tahunan lalu itu adalah anak kandungnya. Foto yang dijanjikannya akan ditunjukkan kepada petugas panti, tak bisa didapatkannya karena dia tak bisa menemukan di mana Misdi berada.

Berhari-hari memikirkannya dan tak menemukan jawab, Srining menjadi tak peduli pada suaminya lagi. Ia justru merasa kesal dan menyesal, mengapa dia menuruti kemauan Sartono untuk membuang bayi itu.

“Aku sudah gila waktu itu. Karena tergila-gila pada Sartono, aku kehilangan satu-satunya anakku. Aku juga berdosa pada Misdi karena berkhianat.”

Hujan diluar terdengar masih deras, bersamaan dengan derasnya air mata Srining yang kemudian membasahi pipinya. Srining duduk di ruang tengah, kehilangan rasa kantuk yang tadi menyerangnya.

Di kamar terdengar dengkuran Sartono. Srining menutup pintu kamar, tapi kemudian dia tiduran di kursi panjang di ruang tengah. Dengkur yang sudah biasa dia dengar itu, malam ini terasa sangat mengganggu. Srining menutup telinganya dengan bantal kursi.

***

Pagi hari ketika sudah siap dengan pakaian dinasnya, Sartono marah-marah karena tak ada kopi manis tersedia di tempatnya seperti biasa. Ia melihat Srining meringkuk di kursi, masih menutupi kepalanya dengan bantal.

Sartono marah. Ia menarik bantalnya lalu membantingnya ke lantai.

“Ini jam berapa?”

Srining membuka matanya. Ia memang masih mengantuk, karena hampir semalaman tak bisa tidur.

“Ada apa?”

“Ada apa … ada apa … Ini jam berapa?”

“Memangnya kenapa?”

“Kamu masih tidur sementara aku harus dinas pagi. Mana minum, mana sarapan, lalu kamu masih meringkuk di sini?”

“Aku lelah.”

“Enak saja kamu bicara. Tugasmu adalah melayani suami, mana bisa lelah?”

“Kamu kemarin masuk pagi, sore pergi lagi katanya tugas malam, sekarang tugas pagi lagi?”

“Kamu perempuan tahu apa?”

“Aku memang tidak tahu apa-apa. Tapi aku tahu kalau kamu punya selingkuhan,” tak tahan, akhirnya Srining mengeluarkan uneg-unegnya.

Sartono menatap tajam istrinya. Wajahnya mendadak merah padam.

“Jadi kamu sudah tahu?”

“Jadi benar?”

“Ya, itu benar. Dia perempuan cantik yang bisa menyenangkan aku. Akan aku nikahi dia,” kata Sartono enteng.

“Oh ya? Kamu ingin menikahi dia? Kalau begitu ceraikan aku,” Srining menantang, sama sekali tak takut.

“Bagus, kalau kamu tahu diri. Kamu boleh pergi dari sini kapan saja, akan aku urus perceraian kita,” katanya sambil melangkah pergi.

Srining bergeming. Bahkan tak memandangi kepergian suaminya, membiarkannya hilang di balik pagar.

Ia masih saja duduk di kursi itu. Entah mengapa tiba-tiba ketika teringat Jarot, hatinya terasa bagai ditusuk ribuan jarum. Perasaan bersalah menghantuinya. Dan entah mengapa, pagi itu perasaannya sungguh tak enak.

“Mas Misdi, kamu ada di mana? Aku bersalah Mas. Aku ingin foto Jarot saat masih bayi, aku akan bisa menemukannya. Tempatnya sudah jelas, tapi dia diambil anak angkat oleh seseorang. Entah siapa?” gumamnya sendirian.

Srining segera bergegas ke kamar mandi. Ia akan mencari Misdi, yang entah di mana sekarang tempat mangkalnya. Hanya foto itu yang bisa mempertemukan dirinya dengan Jarot. Beberapa hari ini dia muter-muter tapi belum juga menemukannya. Setiap tukang tambal ban diamatinya, tapi tak satupun ia melihat Misdi bekas suaminya.

***

Rizki membuka matanya ketika matahari telah naik tinggi. Badannya terasa sakit semua, dan tubuhnya menggigil. Hujan semalam telah mengganggu kesehatannya. Ketika ia bangun, ia sadar bajunya basah terkena hujan semalam. Ia melihat lalu lalang kendaraan, lalu ia ingat bahwa sedang berada di tepi jalan, dan tertidur di sebuah warung yang lama tidak dipakai, hanya ada sebuah bangku panjang yang dibuatnya tidur, dan atap seng yang bocor di sana-sini.

Rizki bersyukur, kopornya masih ada. Ia harus mengganti bajunya, tapi ia ingin ke kamar mandi. Ketika ia melongok keluar, ada kamar mandi umum di seberang.

Ia tak tahan memakai baju basahnya. Ia melepaskan semua baju atasnya, kemudian pergi ke seberang. Ia bahkan meninggalkan kopornya teronggok disitu. Sambil berjalan ia merasakan badannya panas, sehingga ia menggigil. Ia bergegas menyeberang jalan, ke arah kamar mandi umum yang kebetulan kosong.

Begitu selesai, dia cepat-cepat kembali ke warung bobrok itu, agar bisa segera memakai baju kering yang dibawanya di dalam kopor.

Tiba-tiba karena tidak perhatian, sebuah becak menabraknya, membuatnya jatuh tersungkur. Penumpangnya seorang wanita, menjerit kaget.

“Ya ampun, bagaimana itu, menyeberang tidak melihat jalan.”

Wanita itu adalah Srining, yang sedang mencari-cari seorang tukang tambal ban bernama Misdi. Entah mengapa, melihat laki-laki jatuh tertelungkup itu, hatinya merasa iba. Tukang becak turun, berusaha membangunkannya. Tiba-tiba Srining melihat tanda lahir di bahu sebelah kiri anak muda itu.

“Tunggu … apakah kamu Jarot?”

Rizki menggeliat, berusaha bangun.

“Sampeyan menyeberang tidak melihat jalan,” omel tukang becak yang membantu membangunkan.

“Tunggu dulu, kamu Jarot?”

Rizki menatap bingung. Ia bukan jarot. Namanya Rizki, bukan?

“Bu, anak muda ini sakit, badannya panas sekali.”

Srining ikut memegangi, wajah Rizki pucat pasi.

“Kamu anakku,” katanya bergetar.

Rizki melangkah sempoyongan ke arah warung bobrok itu. Tak peduli pada wanita yang mengikutinya.

Srining melihat Rizki membuka kopor, lalu mengambil baju dan mengenakannya. Bajunya yang basah masih teronggok di bangku.

Setelah memakai baju, Srining baru ingat, bahwa dia adalah anak muda yang dua kali bertengkar dengannya.

“Kamu … kamu ternyata anakku,” kata Srining dengan air mata berlinang.

“Jangan ngaco!” kata Rizki lemah.

“Kamu sakit, ayo ke dokter dulu, nanti kita bicara,” kata Srining yang memberi isyarat kepada tukang becak agar membantu Rizki naik ke becaknya.

Rizki tak berdaya, ia menggigil. Sekilas diingatnya perempuan kasar yang dua kali memaki-makinya, tapi rasa sakit menahannya untuk bicara. Ia menurut ketika dinaikkan ke atas becak, sedangkan wanita galak itu duduk di sampingnya.

"Kopornya bawa sekalian, lalu ke rumah sakit,” titahnya.

Tapi baru beberapa meter tukang becak mengayuh becaknya, sebuah sirene mobil polisi terdengar.

***

Besok lagi ya.

Friday, October 10, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 33

 LANGIT TAK LAGI KELAM  33

(Tien Kumalasari)

 

Misnah tampak gelisah sore itu. Pak Misdi menyarankannya tidur, tapi ia tak bisa tidur. Sejak tadi ia menunggu dokternya datang, tapi tak kunjung datang sampai sore harinya.

“Mengapa kamu tidak tidur dari tadi?” pak Misdi mendekatinya.

“Aku hanya ingin pulang. Tentang rantang itu, dan sisa roti ….”

“Misnah, bukankah kamu sudah tahu siapa pemilik rantang itu? Kata pak Listyo, kamu bisa mengembalikannya kepada non Dewi.”

“Tapi aku kan harus bertemu ibu-ibu tua itu. Aku membawanya, karena ibu-ibu itu memberi aku makanan.”

“Non Dewi adalah majikan dari ibu-ibu itu. Jadi kalau nanti dia datang kemari, kamu boleh mengembalikannya lewat dia.”

“Tapi roti-roti itu? Oh iya, aku kan sudah punya uang yang diberi pak Listyo. Aku bisa membayar dagangan roti.”

“Misnah, kamu jangan banyak memikirkan hal-hal yang seharusnya kamu tidak usah memikirkannya. Pikirkan saja bagaimana kamu bisa menenangkan hati sehingga kamu bisa mengingat semuanya.”

“Aku tidak mengerti. Aku bosan tinggal di sini. Sebaiknya Bapak saja yang mencari dokternya. Minta agar aku bisa segera pulang.”

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Pak Misdi membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang datang.

“Tu … Tuan? Aapakah … belum cukup Tuan menghukum saya?” katanya terbata.

“Pak Misdi, apa kabarmu?”

“Ya begini ini, orang miskin selalu teraniaya. Lalu apakah Tuan masih belum cukup menghukum saya? Apa yang akan Tuan lakukan?”

“Apa aku kelihatan seperti orang yang akan memberi hukuman?”

“Entah apa maksud Tuan, kami orang miskin bisa apa?”

“Bapak, bukankah ini tuan … tuan … yang baik hati?” tiba-tiba Misnah nyeletuk.

“Misnah, kamu sakit apa?”

“Saya mau pulang Tuan. Mau mengembalikan rantang dan setor roti. Saya punya uang sekarang, tuan siapa tadi Pak, yang memberi tadi?” tanya Misnah kemudian kepada ayahnya.

“Misnah, kamu ingat aku?” tanya Dewi.

“Non Dewi, aku tidak lupa. Kata tuan … siapa tadi Pak, ibu-ibu itu pengasuhnya non Dewi, mana rantangnya?”

“Misnah, kamu ingat rantang itu?”

“Apa benar saya bisa menitipkan rantang pada Non?”

“Bisa, jangan khawatir.”

“Pak Misdi, kakek Hasbi ini, ingin menemui pak Misdi, untuk meminta maaf,” kata Dewi kemudian, ketika melihat pak Misdi bersikap acuh saat melihat pak Hasbi.

Pak Misdi mengangkat wajahnya, menatap wajah pak Hasbi yang tersenyum tulus kepadanya. Lalu tiba-tiba saja pak Hasbi memeluknya, membuat pak Misdi gelagapan. Tubuh pak Hasbi yang wangi, mendekapnya erat. Pak Misdi sangat sungkan. Bukankah dia belum mandi, dan bukankah bajunya kusut dan bau? Perlahan dia mendorong pak Hasbi, lalu melihat mata pak Hasbi bekaca-kaca.

“Aku salah besar karena tidak mempercayaimu pak Misdi. Maafkan aku ya.”

“Ternyata yang salah adalah Rizki. Dia yang mengambil uangku dan memfitnah pak Misdi," lanjutnya.

Pak Misdi melongo. Jadi tuan Hasbi sudah tahu kalau anaknya yang kurangajar.

“Oo, aku tahu. Benar, namanya Rizki. Aku memarahinya di jalan, kemudian dia menyerempet aku sampai aku jatuh,” tiba-tiba Misnah berteriak.

Semuanya kaget, kecuali pak Misdi yang sudah menduga sebelumnya.

“Rizki yang nyerempet kamu?”

“Dia itu jahat, Tuan. Saya ingin mengadu pada Tuan tapi bapak melarangnya. Dia mencuri uang Tuan. Eh, bukan. Entahlah, dia ada di kamar Tuan, membuka almari Tuan. Lalu setelah itu dia membenci saya. Saya marah sekali ketika bertemu di jalan. Saya mengomelinya, lalu saya sedang enak-enak berjalan mobilnya kembali dan saya jatuh diserempet. Mobil gambar tengkorak itu … aku ingat.”

“Jadi Rizki yang membuat kamu terluka?"

”Saya lupa … lalu apa … jangan tanya lagi … saya pusing.”

“Bocah itu kurangajar. Tidak usah menunggu besok, suruh dia pergi malam ini juga,” tandas pak Hasbi.

Pak Misdi menenangkan Misnah, menyuruhnya tidur.

“Kalau dia mengingat-ingat, lalu merasa pusing,” kata pak Misdi yang merasa lega karena pak Hasbi sudah tahu semuanya.

Tapi dalam hati, Dewi tidak ingin berhenti, dan menganggap cukup ketika sang kakek mengusir Rizki. Pasti masih ada lagi kejahatan lain yang dilakukan Rizki. Ada cerita Misnah dibawa seorang wanita yang mengaku kakaknya, lalu kemudian ditemukannya sudah bersama pak Misdi. Sepertinya ada yang ingin melenyapkan Misnah, dan tuduhan yang pasti, pelakunya adalah Rizki. Mungkin karena Misnah memergoki Rizki ketika Rizki ada di kamar pak Hasbi. Dan bukan hanya Misnah, simbok juga pernah memergokinya, beberapa hari yang lalu.

Dewi akan melaporkannya ke polisi, walau pak Hasbi tidak ingin melakukannya. Alasan kasihan, tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya. Walau begitu dia tak ingin mengatakannya pada pak Hasbi.

“Dewi, berikan amplop pak Misdi yang tadi aku suruh bawa.”

“Oh iya, hampir lupa. Ini Pak, gaji pak Misdi yang tertinggal,” katanya sambil  mengulurkan amplop yang dibawanya.

“Memang saya tinggalkan Non, saya tidak ingin membawa uang itu.”

“Terima saja Pak, itu hak kamu untuk menerimanya,” kata pak Hasbi sambil menepuk bahu pak Misdi, lalu mengelus kepala Misnah, lembut.

***

Rizki sudah bebenah. Dibawanya baju-baju, sepatu dan semuanya, dimasukkan ke dalam kopor besar. Ia tak ingin ayah angkatnya melaporkannya kepada polisi, karenanya dia memilih pergi. Ia masih bingung, tapi berharap Citra akan bisa membantu. Ia yakin Citra tak akan tinggal diam melihatnya sengsara. Ia juga sudah melakukan sesuatu, yang pasti akan memberikan hal baik bagi hidupnya. Citra pasti senang mendengarnya nanti.

Ketika ia selesai bebenah dan membaringkan tubuhnya, Ia mendengar mobil memasuki halaman.

“Rupanya bapak sudah pulang, lebih baik aku pura-pura tidur saja. Tidur sampai pagi saat aku meninggalkan rumah ini. Rasain pak Tua, kamu akan merasakan sesuatu yang tak terduga. Aku hanya akan mengucapkan selamat jalan,” gumamnya sambil tersenyum.

Tapi tiba-tiba ia mendengar pak Hasbi berteriak memanggil namanya. Rizki terkejut. Ia melompat dari ranjangnya, dan segera menemuinya.

“Ya, Pak.”

“Duduk! Masih ada dosa yang kamu lakukan, dan yang kamu kira aku tidak mengetahuinya.”

“Aku tidak mengerti.”

“Kalau begitu aku beri tahu kamu, bahwa aku sudah tahu kalau kamu juga menyerempet Misnah.”

Rizki terkejut bukan alang kepalang. Di mana sang ayah ketemu Misnah? Bukankah Misnah sudah pergi entah ke mana dalam keadaan tak sadar siapa dirinya? Hal itulah yang membuatnya tenang tentang Misnah karena mengira Misnah tak akan bisa berbuat apa-apa.

“Apa?”

“Aku tidak mengira kamu sekejam itu. Kamu bukan manusia Rizki. Kamu itu iblis berwajah manusia.”

“Pak, saya ….”

“Jangan mengatakan apapun juga. Malam ini juga kamu harus pergi dari sini.”

“Bukannya besok pagi, kata Bapak?”

“Jangan panggil aku bapak. Besok aku akan mengurus semuanya, dan sekarang juga kamu harus pergi. Pergi!!” teriak pak Hasbi karena melihat Rizki masih bergeming di tempat duduknya.

Rizki tersentak, lalu ia berdiri. Ia menjatuhkan tubuhnya di depan pak Hasbi, menangis di sana. Sejenak pak Hasbi terbawa oleh rasa kasihan mendengar anak yang diasuhnya bertahun-tahun, menangis pilu di depannya.

Tapi kemudian pak Hasbi menguatkan hatinya. Dosa Rizki sangat luar biasa. Hal yang sangat membuatnya kecewa dan sedih.

“Jangan menangis di depanku. Pergilah, dandani hidupmu dengan caramu, dan bertobatlah,” kata pak Hasbi sedikit pelan.

Rizki berdiri, masuk ke kamarnya, dan ketika keluar dia sudah menarik kopor besar yang berisi barang-barang yang perlu dibawanya.

“Mas, mau ke mana?” simbok menyapanya dari arah dapur, tapi Rizki tak menjawabnya.

Ketika Rizki keluar, ia tak melihat pak Hasbi di tempatnya semula. Rizki terus melangkah, keluar dari halaman ketika malam mulai merayapi bumi.

***

“Apa dia sudah pergi?” tanya pak Hasbi ketika Dewi memasuki kamarnya. Dewi baru saja selesai menelpon, entah siapa yang ditelponnya.

“Sudah Kek.”

“Melihatnya menangis, kasihan juga.”

“Kakek, Rizki itu sudah keterlaluan. Dosanya sangat besar. Dia pasti bukan hanya menyerempet Misnah. Dia kelihatannya bersekongkol dengan seseorang untuk melenyapkan Misnah.”

“Apa maksudmu?”

“Ketika Misnah belum sadar siapa dirinya, ada perempuan datang mengaku kakaknya. Lalu membawa Misnah pergi.”

“Siapa dia?”

“Mungkin temannya Rizki.”

“Jangan-jangan perempuan itu, teman Rizki yang bernama Citra.”

“Entah apa yang dilakukan oleh perempuan itu, dan entah apa yang terjadi, akhirnya Misnah bisa lolos, dan bertemu ayahnya secara kebetulan.”

“Ya Allah.”

Polisi menemukan pak Misdi dan Misnah dalam keadaan pingsan di jalan, lalu dibawanya ke rumah sakit.”

“Kok bisa ketemu?”

“Itu kehendak Allah, tangis pak Misdi tak henti-hentinya dalam mencari anaknya, akhirnya bisa ketemu, walau dalam keadaan Misnah tidak baik-baik saja.”

“Ya Allah. Jadi tadinya pak Misdi juga sakit?”

“Pak Misdi hanya kelelahan, tapi Misnah lebih parah, karena setelah diserempet mobil itu dia dalam keadaan gegar otak.”

“Kalau begitu perempuan itu harus ditangkap.”

“Kalau begitu Rizki harus dilaporkan ke polisi,” kata Dewi, yang kali ini pak Hasbi mengangguk setuju.

***

Sudah malam ketika Riski menginjakkan kakinya di rumah Citra. Ia menarik kopornya, lalu berdiri di depan teras.

Ia memanggil Citra dengan suara keras, lalu duduk begitu saja, seperti biasanya kalau dia datang.

Sambil duduk itu dia masih memanggil-manggil nama Citra karena yang dipanggil tidak segera keluar.

Begitu membuka pintu, Citra terkejut.

“Kamu? Aku tidak mendengar suara mobil.”

“Aku tidak punya mobil.”

“Kamu membawa kopor juga? Kamu mau ke mana?”

“Bapak mengusir aku.”

“Bukankah katamu masih besok pagi, dan ketika itu dia sudah setengah mati?” kata Citra, dengan enteng.

“Entah bagaimana, bapak tahu kalau aku yang menyerempet Misnah. Jadi malam ini juga aku diusir.”

“Kamu kan bisa membantahnya?”

“Bapak sudah sangat marah, aku tak bisa membantahnya.”

“Bagaimana ayahmu bisa ketemu Misnah lalu gadis dungu itu bisa mengatakan semua itu?”

“Entahlah. Aku pikir juga Misnah sudah menjadi orang tak waras yang berkeliaran di jalan-jalan. Kok bisa ketemu bapak dan mengatakan banyak hal. Aku khawatir dia juga bisa mengatakan ketika kamu membawanya dari rumah sakit.”

“Apa? Jangan melibatkan aku. Aku nggak ikutan,” teriak Citra.

“Citra, nanti kita pikirkan bersama apa yang harus kita lakukan. Ijinkan malam ini aku menginap di sini.”

“Apa? Dulu kamu pernah minta, dan aku menolaknya. Sekarangpun aku tidak mau, apa lagi kalau sampai aku terlibat.”

“Citra, lalu aku harus ke mana?”

“Pergilah sesuka hati kamu, tapi jangan melibatkan aku,” katanya tandas, sambil masuk ke dalam lalu menutup pintunya keras-keras.

***

Besok lagi ya.

 

 

Thursday, October 9, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 32

LANGIT TAK LAGI KELAM  32

(Tien Kumalasari)

 

Wajah Rizki semakin memucat, bibirnya gemetar ketika ingin berkata-kata. Pak Hasbi menatapnya dingin. Ia sudah merasa bahwa Rizkilah yang melakukan hal -hal buruk, dengan memfitnah pak Misdi. Rizki juga memalsukan tanda terima dari beberapa panti untuk mengelabui kebohongannya tentang sumbangan itu. Kekecewaan pak Hasbi sudah bertumpuk-tumpuk. Hanya dalam sehari ia menemukan siapa sesungguhnya Rizki.

Dewi yang duduk di sampingnya menepuk-nepuk punggung pak Hasbi untuk menenangkannya.

“Apa jawabmu? Mengapa diam?” pak Hasbi masih ingin berteriak.

“Mengapa … Bap … Bapak tidak mempercayai Rizki?”

“Jawablah pertanyaanku. Kamu mencuri uangku dan memfitnah pak Misdi. Iya atau tidak? Kalau kamu bilang iya, baguslah kamu bisa berbuat jantan. Tapi kalau tidak, aku akan melaporkannya saja pada polisi. Nanti akan ketahuan kok, siapa sebenarnya yang menaruh uang dalam almari pak Misdi.”

“Jawab!! lantang suara pak Hasbi. Sampai-sampai simbok yang akan keluar untuk membawakan minuman, surut kembali ke belakang.

Rizki mengangkat wajahnya. Tak ada belas di hati pak Hasbi melihat wajah kuyup oleh ketakutan itu. Kemarahannya masih memuncak. Barangkali Rizki sedang berpikir untuk mencari sebuah alasan. Tapi sejuta alasan tak akan mampu menindas ketidak percayaan pak Hasbi setelah mengetahui kebusukannya.

“Kamu tidak bisa menjawab? Apa lidahmu kelu? Apa tak punya jawaban yang bisa kamu katakan kepada aku yang bertahun-tahun kamu panggil bapak ini?”

“Maafkan Rizki,” katanya lirih, tapi gemetar.

“Itu bukan jawaban dari pertanyaanku. Jangan bodoh! Pertanyaanku adalah, apakah kamu yang mencuri uangku, lalu kamu fitnah pak Misdi dengan menaruh uang di almarinya. Ituuuu !! Bisa jawab, atau aku telpon polisi sekarang?”

“Sesungguhnya, benar.”

“Benar apa?”

“Saya … melakukannya.”

“Melakukan apa? Bicara jelas. Bukankah kamu pikir karena aku sudah tua maka tak bisa mengerti apa-apa?"

“Memang saya yang mencuri.”

“Hm, bagus.”

Pak Hasbi mengangguk-angguk.

“Lalu apa?”

“Saya fitnah pak Misdi dan Misnah.”

“Lalu hukuman apa yang sebaiknya kamu terima? Kamu sudah mencuri uangku, lalu kamu memfitnah pak Misdi, lalu kamu menggelapkan uang sumbangan yang seharusnya kamu berikan ke beberapa panti. Atau masih ada dosa lain yang aku tidak tahu?”

“Maafkan Rizki.”

“Apakah itu cukup?”

“Akan Rizki kembalikan semua uang itu, sekarang akan saya ambil,” katanya sambil membalikkan badannya, menuju ke arah mobil dan berlalu.

Pak Hasbi menarik napas panjang. Dewi mengambilkan minum yang masih tersisa  di meja.

“Minumlah Kek.”

“Apa yang sebaiknya aku lakukan?” tanya pak Hasbi, tampak lelah.

“Endapkan dulu amarah Kakek.”

“Aku tidak mau dia lagi. Apakah aku harus melaporkannya pada polisi atas kejahatan yang dia lakukan?”

“Kalau memang itu yang terbaik, agar dia jera, lakukan saja.”

Pak Hasbi meneguk minumannya.

“Tampaknya aku tak tega melakukannya,” katanya pelan.

Dewi tahu. Pak Hasbi adalah orang tua yang sesungguhnya berhati sangat lembut. Ia tak akan sampai hati membuat orang menderita. Apalagi adanya Rizki di rumah itu yang sudah bertahun-tahun, setidaknya membuat adanya ikatan di hati pak Hasbi untuk sedikit menyayangi Rizki.

“Lalu apa yang akan Kakek lakukan?”

“Aku suruh saja dia pergi dari rumah ini, aku tak mau melihatnya lagi.”

"Terserah apa yang akan Kakek lakukan, tapi jangan sampai kejadian ini membuat Kakek tertekan. Masih ada Dewi yang sangat menyayangi Kakek, dan selalu ada untuk Kakek.”

“Di mana pak Misdi sekarang?”

“Di rumah sakit.”

“Apa dia sakit?”

“Misnah yang sakit.”

“Misnah sakit apa?”

“Ketika pulang sekolah dan menjajakan roti, sebuah mobil menyerempetnya.”

“Apa? Lalu bagaimana keadaannya?”

“Banyak hal yang dialami Misnah, ketika masih dalam perawatan, dia diculik seseorang.”

“Diculik? Memangnya kenapa dia sampai diculik? Siapa pelakunya? Misnah anak kecil, punya dosa apa dia?”

”Masih dalam penyelidikan, karena Misnah seperti lupa ingatan, jadi belum bisa mengatakan apapun.”

“Antarkan aku ke sana.”

”Jangan sekarang Kek. Besok saja, kalau Kakek sudah tenang, Dewi antarkan Kakek ke sana.”

Ketika mengetahui suasana sudah tenang, simbok keluar mengantarkan minuman hangat.

“Terima kasih Mbok,” kata Dewi.

Simbok hanya mengangguk, tapi kemudian melihat wajah tuan majikannya dengan perasaan khawatir.

“Mengapa melihatku seperti itu? Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.”

Simbok tersenyum dan mengangguk, kemudian berlalu. Ia merasa tak pantas ikut campur dalam persoalan keluarga majikannya.

***

Citra terkejut, ketika tiba-tiba Rizki datang dengan wajah muram.

“Mengapa kembali? Tidak ada yang ketinggalan kan? Sudah kamu bawa semua tanda terima itu kan? Sepertinya tidak ada yang ketinggalan.”

Rizki langsung duduk.

“Bawa kemari uang yang kamu simpan itu.”

“Uang yang aku simpan? Maksudnya uang yang kita kumpulkan itu?”

“Iya, bawa kemari.”

“Untuk apa sih Riz? Dihitung lagi? Kemarin kan sudah kita hitung.”

“Sudahlah, jangan banyak bicara. Bawa kemari semuanya.”

“Kita akan membelikannya mobil sekarang? Apa sudah cukup? Atau kamu sudah membawa tambahannya?” kata Citra enteng.

“Kamu itu banyak bicara sih, aku minta bawa kemari semua uangnya,” sentak Rizki yang membuat Citra heran. Selama ini walau sedang kesal, Rizki tak pernah bicara sekasar itu padanya. Meski begitu, Ia segera masuk ke dalam, untuk mengambil uang seperti yang diminta Rizki. Beribu pertanyaan memenuhi benaknya. Tapi ia berharap Rizki segera membelikannya mobil.

“Ini, atau mau kamu hitung lagi?” kata Citra sambil meletakkan kotak kardus tempat menyimpan uangnya.

“Tidak, mau aku kembalikan kepada bapak.”

“Apa?” Citra berteriak, sementara Rizki segera membungkus uang itu rapat-rapat.

“Apa kamu sudah gila? Mengapa dikembalikan? Kita mengumpulkannya susah payah, lalu kamu akan mengembalikannya?”

“Harus aku kembalikan, kalau tidak aku akan dilaporkan polisi.”

“Apa maksudmu? Apa kamu mau mencuri lagi, lalu ketahuan? Kamu baru saja pulang kan?”

Rizki tak menjawab. Ia segera berdiri sambil membawa semua uangnya, lalu bergegas masuk ke dalam mobil.

“Rizki, katakan ada apa?” Citra mengejarnya sehingga Rizki menstarter mobilnya.

“Bapak sudah tahu semuanya. Aku ketahuan berbohong. Awalnya tentang sumbangan ke panti itu.”

“Bukankah kamu sudah menunjukkan semua tanda terimanya? Ada stempelnya pula?”
”Tapi ternyata berbeda. Tanda terimanya berbeda.”

“Apa kamu tidak bisa menjawab, bahwa mereka mungkin mengganti logonya, atau apa, gitu? Itu alasan yang tepat. Masa kamu tidak bisa memikirkan jawaban yang tepat sih Riz?”

“Bapak sudah tahu kalau uang itu tidak aku sumbangkan. Mungkin bapak ke sana, atau menelpon, pokoknya bapak tahu kalau uangnya tidak aku setorkan ke panti-panti itu.”

“Lalu kamu mau mengembalikan uang sumbangan itu? Ya jangan semua Riz, kembalikan sejumlah sumbangan ke panti-panti itu saja. Sini, biar aku pisahkan.”

“Ini semua yang aku curi dari bapak. Bapak sudah tahu semuanya, aku tidak bisa berkilah apapun. Bapak mau lapor polisi. Karenanya aku akan mengembalikan semua uang ini,” kata Rizki sambil menstarter mobilnya.

“Ya ampun Riz, sisakan walau seberapa, gitu!” teriak Citra.

Tapi Rizki tak mau mendengarnya. Mobil itu terus dijalankan, dan Citra baru berhenti berteriak ketika mobil yang dibawa Rizki menghilang dibalik pagar.

***

 Pak Hasbi masih dudu di teras ketika Rizki sudah kembali. Wajahnya masih sepucat tadi, walau kelihatan sudah agak tenang.

Ia meletakkan kotak yang agak besar itu didepan pak Hasbi.

“Ini apa?”

“Ini uang yang Rizki ambil dari almari Bapak, dan uang sumbangan yang tidak Rizki sumbangkan,” katanya sambil menunduk.

“Kamu simpan di mana uang ini?”

“Di rumah teman.”

“Perempuan itu?”

“Citra.”

“O, jadi kalian kelihatan dekat karena bersekongkol melakukan kejahatan. Perempuan itu yang mempengaruhi kamu kan? Dulu kamu baik, tapi lama-lama menjengkelkan. Aku merasa percuma memungut kamu dari panti itu, dan sekarang aku sangat menyesal.”

“Aku minta maaf Pak, janji tidak akan mengulanginya lagi.”

“Sayangnya aku sudah tidak percaya sama kamu. Janji apa … pokoknya aku tidak percaya.”

“Aku bersumpah.”

“Jangan main sumpah. Hatimu itu kotor. Coba katakan, sebenarnya untuk apa kamu mengambil uang sebanyak ini?”

“Sebenarnya … ingin beli mobil baru.”

“Oo, jadi karena dulu keinginan kamu untuk beli mobil itu tidak aku penuhi, lalu kamu mencari akal bagaimana caranya supaya bisa beli biarpun aku tidak membelikannya?”

Rizki diam, menunduk.

“Perempuan itu yang mendorongmu?”

Rizki masih saja diam.

“Aku sudah bilang, perempuan itu bukan orang baik. Kamu tergila-gila karena dia cantik, kamu lupa semua ajaran kebaikan karena perempuan itu. Kalau kamu dipenjara, perempuan itu harus ikut dipenjara.”

“Maafkan aku Pak, jangan sampai melaporkan aku ke polisi ya Pak,” katanya memelas.

“Baiklah, aku tidak akan melaporkan kamu ke polisi, tapi kamu harus pergi dari sini.”

“Pak ….”

“Pergi dari sini kataku, aku tak mau melihatmu lagi. Surat pemutusan hubungan akan segera aku urus. Kamu bukan lagi anak angkatku.”

“Maafkan aku Pak.”

“Aku beri waktu sampai malam ini untuk membenahi semua barang-barang kamu, lalu besok pagi kamu sudah harus pergi.”

“Jangan begitu Pak.”

“Harus begitu!” kata pak Hasbi lalu masuk ke dalam rumah. Dewi mengikutinya sampai masuk ke kamar, membiarkan pak Hasbi berbaring untuk menenangkan pikiran.

“Kakek istirahat ya?”

“Dew, antarkan aku pergi menemui pak  Misdi.”

“Sekarang?”

“Sekarang. Aku merasa sangat berdosa kalau belum ketemu dia dan meminta maaf.”

“Apa tidak besok pagi saja?”

“Sekarang Dewi, nanti aku tidak akan bisa tidur karena memikirkan dosaku itu.”

“Baiklah.”

“Minta kunci mobil pada Rizki, lalu antarkan aku.”

“Baiklah.”

“Ambil amplop coklat di dalam almari, jumlahnya dua, itu gaji pak Misdi yang tidak dibawa. Nanti berikan pada pak Misdi. Itu hak dia.”

“Baik.”

Sebelum Dewi keluar, Rizki masuk sambil membawa kotak uang yang masih ditinggalkan di meja.

“Pak, uangnya belum Bapak bawa.”

“Taruh saja di situ, lalu berikan kunci mobilnya pada Dewi.”

“Baik.”

“Setelah itu kamu bebenahlah, bawa semua barang-barangmu besok pagi aku tidak ingin melihatmu lagi.”

Rizki tak menjawab, sambil menundukkan kepala dia keluar dari kamar, mengambil kunci mobil, diberikannya kepada Dewi.

***

Simbok  melayani Rizki makan, biarpun Rizki tak minta dilayani. Tak seperti biasanya, Rizki tak bicara apapun. Dewi baru saja berangkat mengantarkan pak Hasbi, yang bersikeras ingin segera menemui pak Misdi untuk meminta maaf.

Belum selesai makan, ponsel Rizki berdering. Dari Citra. Rizki menjawabnya dengan dingin. Tapi kemudian dia masih mendengarkan Citra bicara, agak lama, sampai simbok mengingatkan.

“Makan dulu saja Mas, telponan nanti.”

Tapi Rizki masih mendengarkan kata-kata Citra di ponselnya. Sampai  kemudian Rizki menutup pembicaraan itu, Rizki tak mengucapkan apapun.

“Aku sudah makannya Mbok,” katanya sambil meninggalkan ruang makan.

Simbok tak menjawab, tapi segera membersihkan meja makan. Ia tak tahu apa-apa, atau pura-pura tak tahu, jadi ia tak bertanya sesuatupun pada Rizki.

Ketika sudah selesai bersih-bersih ruang makan, tiba-tiba di ruangan lain simbok melihat Rizki membuka almari obat. Agak lama, sehingga simbok menegurnya. Ada rasa khawatir karena dia juga menyimpan obat tuan majikannya di sana.

“Mas Rizki cari apa?” simbok terpaksa menegur.

“Cari obat pusing,” jawabnya, tapi kemudian dia pergi dari sana.

Simbok menuju ke almari obat, melihat obat-obat pak Hasbi, dan dia merasa lega karena kotak kecil berisi obat dari dokter itu masih tersimpan seperti sebelumnya.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, October 8, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 31

 LANGIT TAK LAGI KELAM  31

(Tien Kumalasari)

 

Misnah mengerutkan kening. Ia merasa tak suka mengingat mobil itu. Entah mengapa. Atau karena mobil itu menyerempet dirinya sehingga jatuh?

“Aku jatuh karena mobil itu,” gumamnya.

“Kamu ingat itu mobil siapa?”

“Entahlah. Misnah tak suka mobil itu. Misnah ingat ketika memarahi orang. Dia itu orang jahat.”

“Siapa?”

“Siapa dia? Nanti Misnah ingat-ingat dulu. Orangnya jahat.”

“Dia laki-laki?”

“Iya, wajahnya seperti hantu.”

“Seperti hantu? Hitam … begitu?”

“Pokoknya jelek.”

Tapi pak Misdi sudah mulai meraba-raba. Walau tidak diutarakannya kepada anaknya, tapi ada sesuatu yang melintas. Pemilik mobil, atau orang yang biasanya mengendarai mobil itu. Bukankah benar kalau Misnah harus memarahinya? Mungkin Misnah ketemu di jalan, memarahi atau mengomelinya, lalu dia berusaha menabrak Misnah atau menyakitinya dengan menyerempetnya.

“Kamu ingat seseorang bernama Rizki?”

“Bukankah Rizki itu anak tuan Hasbi?”

“Bagus, kamu ingat dia.”

“Rizki itu sangat membenci aku kan?”

Pak Misdi menggeleng-gelengkan kepalanya. Misnah ingat kalau Rizki membencinya, tapi tidak ingat siapa yang diomelinya, atau tepatnya siapa yang menyerempet dengan mobilnya.

“Yang kamu marah-marahi itu bukan Rizki?”

“Kan Bapak melarang aku mengatakan sesuatu tentang Rizki. Katanya kita harus membiarkannya saja.”

“Iya, benar,” jawab pak Misdi singkat.

“Pak, ayo kita pulang.”

“Sebentar, bapak sedang menunggu dokternya.”

“Misnah ingin mengembalikan rantang itu. Tapi di mana ya, rumahnya?”

“Apa kabar Misnah?”

Misnah terkejut. Pak Misdi juga menoleh ke arah datangnya suara.

“Pak Listyo …” sapa pak Misdi sambil menyalaminya.

“Sedang tak ada tugas, jadi keluar sebentar untuk menemui Misnah.”

“Saya mengucapkan terima kasih atas semuanya.”

“Terima kasih untuk apa?”

“Bapak membayar semua biaya. Saya tidak tahu harus bilang apa.”

“Jangan bilang apa-apa. Bukan saya saja yang membayar, tapi Dewi juga.”

“Tuan, saya mau pulang saja.”

“Aku sudah bilang, jangan panggil aku tuan, cukup pak Listyo saja.”

“Baiklah, saya mau pulang ya Pak.”

“Nanti bilang sama dokternya dulu. Kalau dokter bilang belum boleh, Misnah harus menurut. Ya kan?”

“Tapi saya harus mengembalikan rantang.”

“Rantang? Oh, rantang itu. Kamu mau mengembalikan ke mana?”

“Nanti saya cari. Saya juga lupa. Saya sudah janji mau mengembalikannya. Kalau tidak saya kembalikan, nanti saya dosa.”

“Tapi kamu kan belum tahu atau masih bingung di mana rumah orang yang punya rantang itu?”

“Siapa ya? Ibu-ibu sudah tua, rumahnya luas. Kalau dari sekolah Misnah, Misnah ingat. Iya, ada roti sisa juga, aduh .. ayo pulang Pak, Misnah harus mengembalikan roti sama rantang. Mana sisa roti itu?”

“Misnah, kamu tidak usah ke sana. Yang punya rantang pasti nanti akan mampir kemari.”

“Benarkah? Untuk memarahi Misnah karena Misnah tidak segera mengembalikan rantangnya?”

“Bukan untuk memarahi. Kamu kenal dia kok.”

“Ya kenal, dia memborong roti dagangan saya.”

“Yang akan datang kemari bukan ibu-ibu itu. Tenang saja, dia itu tidak pernah marah-marah. Dia sangat baik.”

“Siapa dia?”

“Kamu nggak kenal bu Dewi?”

“Bu Dewi nggak kenal. Misnah kenalnya sama non Dewi.”

“Nah, dia itulah pemilik rantangnya.”

“Bukan kok. Pemiliknya dua orang ibu, sudah tua-tua.”

Listyo tersenyum. Misnah sudah banyak kemajuan. Banyak yang diingatnya, walau terkadang masih kelihatan bingung.

“Kamu tahu, rumah itu sebenarnya milik non Dewi, sedangkan ibu-ibu tua itu, pengasuh non Dewi.

“Masa iya? Kenapa waktu itu dia tidak bilang begitu?”

Listyo tertawa. Mana bisa bilang? Mereka kan tidak tahu kalau Misnah kenal non Dewi? Tapi Listyo hanya tertawa. Ia memaklumi keadaan Misnah yang belum sepenuhnya normal.

“Jadi … Misnah tidak boleh bingung. Rantang itu nanti berikan saja pada non Dewi, beres kan?”

“Bagaimana dengan roti itu?”

“Roti itu juga tidak usah kamu pikirkan. Yang punya perusahaan sudah tahu kalau Misnah sakit, jadi dia bisa mengerti.”

“Tapi uangku … “

Tiba-tiba Misnah menangis lagi. Uang itu sangat besar artinya bagi kehidupannya. Misnah sadar sepenuhnya. Karenanya setiap mengingat uang itu Misnah selalu menangis.

Listyo mengerti. Ia merogoh kantongnya, kemudian memberikan beberapa lembar uang kepada Misnah.

“Ini, sebagai penukar uangmu yang dicopet.”

Misnah menggoyang-goyangkan tangannya.

“Tidak. Apakah pak Listyo yang mencopet uang itu?”

“Husssh!” pak Misdi menutup mulut Misnah dengan telapak tangannya.

“Jangan bicara sembarangan,” lanjutnya.

“Mengapa dia memberikan uang sebagai pengganti yang dicopet?”

“Misnah, karena uangmu dicopet orang, pak Listyo yang baik hati ini memberi uang kepada kamu, agar kamu tidak sedih lagi, bukan karena dia mencopet lalu mengembalikan uangnya. Ayo minta maaf pada pak Listyo.”

”Aku harus minta maaf?”

“Tentu saja. Cepatlah.”

“Tuan, eh … pak, saya minta maaf ya?”

Listyo tersenyum.

“Tidak apa-apa, karena kamu tidak mengerti. Sekarang terimalah uang ini. Aku ganti kalimatnya ya. Uang ini untuk Misnah. Titik.”

“Mengapa pak Listyo memberi uang?”

“Karena kamu anak baik, jadi aku beri kamu uang.”

“Terimalah Nah, dan bilang terima kasih.”

“Terima kasih, tu … Pak.”

“Sama-sama. Misnah. Sekarang aku mau kembali mengajar, semoga kamu segera pulih, lalu kamu bisa masuk sekolah lagi,” kata Listyo sambil mengacak rambut Misnah.

“Pak, aku sekolah ya? Aku mau membantu menambal ban saja, aku bisa kok.”

“Sssst, tidak begitu. Kamu tetap sekolah, supaya pintar. Tapi kamu harus sembuh dulu.”

“Yang sabar ya Pak,” kata Listyo sambil menepuk bahu pak Misdi.

“Terima kasih banyak,” kata pak Misdi haru, sambil mengantarkan Listyo sampai ke depan.

“Ada yang ingin saya katakan pada Bapak,” kata pak Misdi dalam mengiringi Listyo.

“Ada apa? Pak Misdi tidak usah memikirkan masalah biaya rumah sakit, semua sudah beres.”

“Bukan itu, saya hanya ingin mengatakan tentang siapa yang menabrak atau menyerempet Misnah waktu itu.”

“Misnah sudah ingat?”

“Belum sepenuhnya ingat, tapi Misnah ingat tentang mobil yang ada gambar tengkorak dibagian kaca belakang. Itu mobil tuan Hasbi yang setiap hari dipakai mas Rizki.”

“Jadi …

“Kemungkinan besar yang menyerempet Misnah itu adalah mas Rizki.”

“Baiklah, nanti kita kumpulkan semua bukti-bukti kejahatan Rizki. Dewi sudah menceritakan semuanya. Percayalah bahwa kebaikan dan keburukan akhirnya akan terkuak.”

Pak Misdi mengangguk. Ia bersyukur masih ada orang-orang yang mempercayainya.

***

Siang hari itu Dewi makan siang menemani pak Hasbi, yang selalu menanyakan mengapa Rizki belum juga pulang.

“Biasanya pulang sore kan? Jadi mungkin sebentar lagi,” kata Dewi.

“Apakah ini belum sore?”

“Hampir sore. Kakek harus sabar.”

“Sungguh aku tidak mengira. Aku tidak mau punya anak seperti itu. Akan aku kembalikan ke panti, atau aku laporkan saja ke polisi,” geram pak Hasbi.

“Kakek jangan marah-marah sekarang. Nanti tensinya naik bagaimana?”

“Siapa yang tidak marah? Rizki itu menganggap aku bodoh. Tidak mengerti apa-apa. Aku ini juga orang sekolahan. Apa kalau orang tua lalu tidak mengerti apa-apa?”

“Kakek sangat pintar, dan karena itulah Kakek menjadi pengusaha yang sukses.”

“Sayang sekali aku kemudian merasa tidak punya penerus, dan tidak mampu mengurus perusahaan lagi.”

“Tidak apa-apa, Kakek bisa hidup bahagia dengan keadaan Kakek selama ini.”

“Tapi dengan adanya Rizki, apa yang aku dapatkan? Aku telah salah memilih orang.”

“Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Dewi yang salah bukan? Dewi yang menyarankan Kakek mengambil Rizki sebagai anak angkat.”

“Tidak, bukan kamu atau bukan siapapun yang salah. Ini sebuah perjalanan hidup. Dan aku menemukan banyak pelajaran dari ini semua. Bahwa aku harus hati-hati, dan tidak mudah mempercayai orang. Lalu apa? Sekarang aku ingin sering-sering keluar, bahkan pergi ke panti-panti, lalu ngobrol di sana, tidak menunggu anak angkat yang pulang hampir malam ke rumah, dan apa yang aku dapat? Tetap saja aku kesepian.”

“Bagus sekali kalau Kakek mau keluar dan jalan-jalan. Itu akan membuat Kakek sehat penuh semangat.”

“Oh ya, kamu belum mengatakan bagaimana keadaan Misdi dan anaknya sekarang ini. Dia hidup enak dan berkecukupan?”

“Tidak Kek, sebelum saya antar Kakek menemuinya, saya ingin bilang bahwa pak Misdi tetap menjadi tukang tambal ban.”

“Tapi aku pernah lewat, dia tak ada lagi di sana.”

“Pindah tempat mangkalnya. Tapi tetap sebagai tambal ban.”

“Bagaimana dengan Misnah?”

“Misnah tetap sekolah, tapi sepulang sekolah menjadi penjual roti keliling.”

“Gadis kecil itu?”

“Kalau uangnya banyak, mengapa menjadi penjaja roti dan ayahnya tetap menjadi penambal ban?”

“Jangan-jangan benar, bukan dia pencuri uangku.”

Ketika itu sebuah mobil masuk ke halaman. Dewi meminta simbok agar membersihkan meja makan, kemudian mengajak pak Hasbi duduk di ruang tengah saja.

Rizki memasuki rumah sambil tersenyum lebar. Begitu melihat sang ayah duduk di ruang tengah, Rizki segera mendekat dan duduk di depannya. Walau agak heran melihat sikap ayahnya yang dingin dan muram, ia tetap mengeluarkan enam lembar tanda terima lalu diberikannya kepada sang ayah.

“Ini Pak, ternyata tadi Rizki bisa pulang siang, dan mengambil tanda terima ini ke panti-panti yang sudah Bapak beri sumbangan.”

“Ini apa?”

“Coba Bapak baca, Itu tanda terima yang Bapak minta kan?”

“Jadi kamu mencetak blanko tanda terima ini, dan karena itu aku harus menunggu dua hari untukkamu buatkan tanda terima palsu ini,” kata pak Hasbi yang kemudian menyebar tanda terima palsu itu ke lantai.

“Bapak bagaimana sih? Kok malah disebar?”

“Aku tidak butuh tanda terima palsu ini.”

“Tanda terima palsu bagaimana sih Pak?” kata Rizki yang kegembiraannya mulai surut.

“Ini bukan tanda terima dari panti-panti itu. Ini buatan kamu. Kamu kira aku tidak hafal bagaimana bentuk tanda terima mereka?”

“Lhoh, kalaupun berbeda, memangnya kenapa? Mungkin mereka membuat tampilan baru pada blanko mereka.”

“Bohong!” teriak pak Hasbi, yang membuat Rizki hampir terjengkang.

“Pak, mengapa_”

“Bohong! Kamu membohongi aku. Kamu tidak menyetor ke panti-panti itu.”

“Pak, mengapa Bapak tidak mempercayai anaknya sendiri?”

“Aku lebih percaya kepada pembantu daripada kepada orang yang aku anggap anak.”

“Tapi ….”

“Diam dan jangan bicara lagi. Sekarang jawab, apakah kamu, ataukah pak MIsdi yang mencuri uangku?”

Rizki sangat terkejut. Ia tak mengira kebohongannya mendapat tanggapan yang sama sekali tak pernah dibayangkannya. Ia mulai gemetar.

“Pak, buk … bukankah Bapak melihat sendiri … ketika Rizki menemukan uang itu di kamar pak Misdi?”

“Baiklah, bagaimana kalau aku lapor polisi saja, supaya diperiksa sidik jari yang ada pada uang itu, apakah ada sidik jari pak Misdi atau tidak.”

Wajah Rizki pucat seperti kertas.

***

Besok lagi ya

 

LANGIT TAK LAGI KELAM 34

  LANGIT TAK LAGI KELAM  34 (Tien Kumalasari)   Rizki tertegun. Ia tak menyangka Citra sekejam itu. Bukan hanya menolak permintaa tolong dar...