Friday, July 11, 2025

MAWAR HITAM 11

 MAWAR HITAM  11

(Tien Kumalasari)

 

Listyo sudah berlalu, Dewi mendekati mbok Randu yang membawa sekeranjang kecil buah mangga.

“Tadi Simbok bilang Sinah?” ulang Dewi.

“Iya, Den Ajeng. Saya juga kaget kok Sinah bisa sampai di sini. Katanya dia tidak sengaja. Dia berjualan, asal masuk ke pekarangan orang, tapi tidak mengira kalau ini rumah Den Ajeng. Dia juga kelihatan kaget ketika melihat saya."

“Bagaimana asal mulanya dia masuk kemari dan ketemu Simbok?”

Lalu mbok Randu menceritakan ketika tiba-tiba muncul seseorang di samping rumah yang ternyata adalah Sinah.

“Lhoh, kok Mbok Randu ada di sini?” tanya Sinah.

“Kamu Sinah?”

“Lha iya lah Mbok, saya Sinah, sampeyan Mbok Randu. Yang saya heran, bagaimana Simbok bisa ada di sini?”

“Apa kamu tidak tahu, ini kan rumah den ajeng Dewi?”

“Oh, ini rumah den ajeng Dewi? Kalau begitu simbokku ada di sini juga kan?”

“Simbokmu ada di Solo. Kemarin dia kemari bersama den mas Adisoma dan den ayu Saraswati. Hanya menginap dua hari lalu kemarin pulang. Tapi aku tidak ikut, aku harus melayani den ajeng Dewi.”

“Sekarang di mana den ajeng Dewi?”

“Kuliah, belum pulang. Itu kamu bawa apa?”

“Saya ini kan hidup terlunta-lunta Mbok, jadi saya jualan apa saja, sekenanya. Kadang buah-buahan, kadang makanan. Yang penting laku, dan saya bisa makan.”

“Ini harganya berapa, biar aku beli.”

“Hanya limabelas ribu saja Mbok, tapi tidak … untuk Simbok, sepuluh ribu saja. Mangganya manis.”

“Lho, jangan begitu, aku akan bayar berapa harganya, jangan dipotong segala, kasihan nanti kamu rugi. Katanya kamu jualan untuk makan?”

“Iya, tapi untuk Simbok biar saja sepuluh ribu saja.”

“Nggak ah, sebentar aku ambilkan uangnya, aku nggak mau dipotong harganya. Kamu tunggu di teras depan sana saja, supaya aku tidak muter-muter keluarnya, kamarku di sebelah sana,” kata mbok Randu sambil berbalik masuk ke dalam rumah, sedangkan Sinah juga berbalik menuju teras depan seperti permintaan mbok Randu.

Dalam hati Sinah tertawa.

“Jadi kamu harus tahu, bahwa Sinah itu saya, sedangkan pemilik rumah makan itu adalah Mawar Hitam yang cantik,” kata batinnya.

 Ketika mbok Randu keluar, Sinah sedang duduk di teras, mengelesot di lantai yang dingin.

“Ini, uangnya. Tetap limabelas ribu, jangan mengurangi jatah makan kamu.”

“Ya ampuuun, Simbok ini baik hati benar. Terima kasih ya Mbok.”

“Kalau mau ketemu simbokmu, kamu ke Solo sana.”

“Iya, gampang. Kalau ada uang saya mau ketemu simbok.”

Mendengar cerita mbok Randu itu Dewi geleng-geleng kepala.

“Jadi Mawar dengan Sinah itu memang berbeda, semua orang bisa keliru. Pantas pemilik rumah makan kelihatan agak tersinggung ketika semua orang memanggil Sinah,” kata Dewi.

“Benar Den Ajeng, sekarang saya benar-benar yakin kalau pemilik rumah makan itu bukan Sinah. Lagi pula aneh juga seandainya dia Sinah, sampai bisa memiliki sebuah rumah makan. Ya kan?”

“Iya. Dia menanyakan mbok Manis juga pastinya.”

“Menanyakan. Begitu tahu saya ada disini, dia lalu menanyakan simboknya. Sudah saya beri tahu kalau simboknya ada di Solo.”

“Hm, kebetulan yang bisa membuka semuanya.”

“Benar-benar kebetulan yang aneh. Seperti bukan kita yang mengaturnya.”

“Iya Mbok. Sekarang aku mau istirahat dulu, boleh aku mencicipi mangganya Mbok, kelihatannya menarik. Kulitnya kuning segar. Tapi sedikit saja,” katanya sambil beranjak ke belakang.

“Tentu saja Den Ajeng, saya memang mau mengupasnya untuk Den Ajeng.”

***

Sinah melenggang, mendekati mobilnya yang diparkir agak jauh, lalu menjalankannya ke suatu tempat.

Dalam perjalanan itu Sinah merasa puas bisa mengecoh orang-orang yang mengenalinya ketika dirinya ada di rumah makan, dan menjadi pemilik rumah makan itu.

“Sinah ? Huhh, sekarang Sinah tidak ada, yang ada adalah Mawar, yang punya semangat tinggi untuk menggapai mimpi-mimpinya,” katanya sambil tertawa-tawa.

Kalau ada yang melihatnya, pasti dikiranya Sinah sudah sinting karena tertawa-tawa sendiri.

Di bawah sebuah pohon rindang, ia menghentikan mobilnya. Ketika turun, dibawanya sebuah keranjang berisi buah-buahan. Ia mengunci mobilnya, lalu berjalan memasuki sebuah gang sambil mengacak-acak rambutnya agar kelihatan tak teratur. Disebuah pekarangan rumah, ia memasukinya perlahan. Tak ada orang di sekitar tempat itu. Ketika ia akan melongok ke arah belakang, ia dikejutkan oleh suara seseorang.

“Mau mencari siapa?”

Sinah menoleh, dan melihat Satria baru saja masuk ke pekarangan sambil menjinjing sebuah tas yang agak besar.

“Satria?” Sinah berteriak.

“Kamu Sinah?”

“Senang sekali kamu mengenali aku Sat, walaupun aku tampak kucel dan lelah.”

“Kamu ngapain di sini?”

“Aku ini sekarang kan jualan keliling.”

“Jualan apa?”

“Ini buah-buahan, kadang-kadang juga makanan. Ini untuk menyambung hidupku yang terlunta-lunta Sat.”

“Bagaimana kamu bisa terlunta-lunta? Bukankah pak Andra … orang yang menabrak kamu dulu itu memberi kamu uang? Pak Andra cerita banyak tentang kamu waktu kamu di rumah sakit itu.”

“O, lalu apa lagi yang dia ceritakan?”

“Cuma itu, katanya kamu minta uang untuk modal berdagang dan dia memberikannya kan?”

Sinah merasa lega. Berarti Andra tidak bercerita tentang hidupnya setelah keluar dari rumah sakit itu.

“Iya sih, aku diberi, tapi lama-lama juga habis.”

“Namanya orang berdagang, harusnya kan duitnya bisa muter dan tidak sampai habis. Kalau sampai habis, berarti kamu bangkrut dan tidak bisa mengelola modal kamu dengan baik.”

“Aku ini kan orang sial Sat. Tidak ada hal baik yang menimpaku. Ada-ada saja orang yang menipuku. Modal banyak, ditipu orang. Waktu itu aku kembali jualan batik, lalu ada orang yang membantu menjualkannya, tapi kemudian dagangan habis, uangnya tidak disetor padaku. Habislah uangku,” katanya memelas.

“Lalu .. bagaimana kamu bisa sampai di sini?”

“Ini sedang aku pikirkan Sat, mengapa aku bisa jualan nyasar sampai di sini lalu ketemu kamu. Jangan-jangan kita memang berjodoh,” katanya enteng.

”Apa? Kamu jangan bicara sembarangan. Sekarang kamu kemari maunya apa?”

"Aku tidak tahu kalau ini rumahmu, aku kan sudah bilang bahwa aku jualan, jadi aku ingin menawarkan daganganku. Kali ini aku menjual buah-buahan, tapi tinggal buah mangga yang masih. Tadi ada kelengkeng, jambu, salak. Nih, aku kasih kamu sebungkus mangga. Ini sekilo. Ambillah.”

“Apa maksudmu? Bukankah ini barang dagangan kamu?”

“Iya sih, tapi untuk kamu gratis tis tis.”

“Jangan, aku bayar ini harganya berapa, lalu pergilah.”

“Yang punya rumah ada nggak?”

“Nggak ada. Di sini adanya anak-anak kost. Sekarang sepi karena lagi pada liburan. Berapa harganya?”

“Aku kan sudah bilang ini gratis untuk kamu.”

“Tapi aku nggak mau gratis. Kalau memang kamu tinggalkan buah ini di sini, aku akan membayarnya.”

“Sangat berat menerima pembayaran dari orang istimewa buat aku.”

“Kalau begitu pergilah, aku baru datang dari Solo, ingin segera istirahat.”

“Sat, tunggu dulu Sat. Baiklah, bayar sepuluh ribu saja.”

“Nggak mungkin harganya sepuluh  ribu.”

“Ini untuk kamu, berbeda dengan orang lain.”

Satria meletakkan uang duapuluh ribu di keranjang buah yang Sinah bawa, kamudian berlalu, memasuki area kamar-kamar kost, langsung masuk ke dalam kamarnya. Sinah tidak tahu yang mana persisnya kamar Satria, tapi itu tidak penting. Yang jelas ia hanya ingin meyakinkan Satria bahwa pemilik rumah makan baru itu adalah Mawar, bukan Sinah.

Sinah kembali melenggang, menuju ke arah mobilnya yang diparkir agak jauh, sambil tersenyum senang. Ia merapikan rambutnya, kemudian memacu mobilnya menuju pulang ke rumah makan miliknya. Sambil berjalan itu ia mereka-reka, langkah apa yang harus diambilnya, untuk bisa memiliki Satria. Agak heran Sinah kepada dirinya, mengapa tak pernah berhenti mengharapkan laki-laki yang sudah jelas tidak menyukainya, dan memilih gadis lain yang tentu saja amat dibencinya. Memang bukan Sinah kalau tidak senekat itu, dan tentu saja tidak tahu malu.

***

Ketika sampai di rumah makan itu, Sinah langsung memarkir mobilnya di halaman samping rumah. Ia tak tahu kalau Andra ada di sana, dan ketika dia memasuki kamar, dilihatnya Andra tertidur pulas.

Sinah segera melepas baju sederhana yang tadi dipakainya, menggantinya dengan pakaian rumahan yang tipis dan menawan. Itu yang dilakukannya setiap kali Andra datang, karena ia tahu apa yang diinginkan suaminya.

Ketika ia kemudian tidur di sampingnya, Andra menggeliat.

“Dari mana kamu?”

“Cuma ingin jalan-jalan saja. Sudah lama kamu datang?”

“Sejak kamu belum lama berangkat.”

“Kasihan, mengapa tidak menelpon?”

“Aku hanya lelah.”

“Mengapa tidak pulang ke rumah nyonya Andira. Dia punya pembantu lebih banyak yang bisa memijit kan?”

“Aku mau kamu yang memijit.”

“Tapi aku juga lelah.”

“Dasar malas.”

Tapi Andra tidak marah. Di rumah Sinah dia hanya ingin melepaskan lelah dengan menyenangkan hatinya. Hanya Sinah yang bisa menghiburnya, bukan Andira yang disukai bukan karena tubuhnya tapi karena harta orang tuanya. Akhirnya Andra tidak menyesal menikahi Sinah, bukan karena cinta, tapi karena kesenangan yang didapatkannya, dan kesenangan itu dibayarnya dengan menuruti semua kemauan Sinah, bahkan menjadikan Sinah pengusaha. Ia juga tidak menyesal dengan dibukanya rumah makan itu karena nyatanya Sinah bisa mengelolanya dan sudah banyak pelanggan yang datang, padahal belum lama dibuka.

***

Satria datang ke rumah Dewi pada keesokan harinya, karena hari itu Dewi libur tidak kuliah.

Dewi heran karena Satria juga bertemu Sinah yang membawa dagangan berupa buah mangga.

“Benarkah Sinah menemui kamu kemarin? Dia datang di tempat kost kamu?”

“Iya, ia memaksa memberi aku mangga, tapi aku juga memaksa membayarnya.”

“Aku heran. Kemarin Sinah juga datang kemari.”

“Oh ya?”

“Kok bisa kebetulan ya? Memangnya Sinah tahu alamat rumah kost kamu?”

“Katanya dia hanya ingin menjajakan dagangannya, tidak mengira kalau aku ada di situ.”

“Kemarin dia datang ketika aku kuliah, yang menerima mbok Randu. Dia juga bilang kalau sebenarnya hanya ingin menjajakan dagangannya, tidak tahu kalau ini rumah aku.”

“Kebetulan yang aneh … apa dia sebelumnya tidak tahu kalau rumahmu di sini?”

“Tidak sih, tapi dia mengatakan kalau asal masuk karena dia berdagang buah. Tidak mengira kalau rumahku di sini.”

“Kemarin dia juga begitu. Ia tampak terkejut ketika melihat aku. Waktu itu aku baru datang dari Solo, lalu begitu masuk halaman, aku melihat dia.”

“Padahal selama ini dia belum pernah tahu rumah kostmu?”

“Belum. Ini benar-benar aneh.”

“Sebuah kebetulan, mendatangi rumahmu dan rumah kostku, dengan mengatakan tidak sengaja. Mengapa datang kemari lalu datang ke rumah kostku?” kata Satria.

“Iya juga sih, tapi biarkan saja, dia kan tidak mengganggu?”

“Omongannya selalu membuat aku kesal. Tapi aku tidak akan memikirkannya. Lagipula mangganya rasanya asam. Tak ada manis-manisnya. Jadi aku berikan kepada anak-anak kost putri di sebelah rumah. Perempuan kan suka membuat rujak dari buah-buah asam.”

“Yah, sama. Yang dibeli mbok Randu juga asam. Mbok Randu mengupas satu buat aku, aku tidak doyan. Asaaaam banget. Aku termasuk perempuan yang tidak suka buah asam. Kalau rujak itu beda, ada asam, ada manis, ada pedas, aku doyan. Nggak tahu dikemanakan mangga yang lainnya, sebungkus ada lima atau empat buah.”

Keduanya terkekeh, dan merasa terkecoh dengan warna mangga yang kekuningan, ternyata asam.

“Kamu baru pulang kemarin?”

“Iya, aku harus mempersiapkan berkas yang diperlukan untuk melamar besok Senin. Tapi sekarang sudah siap semuanya, tinggal menunggu hari Senin.”

“Syukurlah, semoga berhasil.”

Tiba-tiba ponsel Dewi berdering, dari Listyo.

“Ya Mas, ada apa?”

“Kamu suka rujak?”

“Mbak Arum bikin rujak?”

“Si Yu yang bikin, aku nggak doyan rujaknya dari mangga oleh-oleh kanjeng ibu kemarin. Asem bangeeet.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

                     

Thursday, July 10, 2025

MAWAR HITAM 10

 MAWAR HITAM  10

(Tien Kumalasari)

 

Di kantor pimpinan rumah makan Mawar Hitam, Sinah memanggil orang kepercayaannya. Ia akan meninggalkan kantor untuk suatu keperluan.

“Mungkin agak lama, aku serahkan semuanya sama kamu. Sambut tamu seperti aku melakukannya, dan jangan katakan apapun tentang aku. Kalau ada yang bertanya, pimpinan atau pemilik rumah makan sedang keluar.”

“Baik Bu.”

“Suruh satpam mengeluarkan mobilku.”

“Maaf, bukannya saya lancang, mengapa Ibu tidak memakai make up dan hanya berbedak tipis, tidak seperti biasanya?”

“Tidak apa-apa, aku sedang tidak ingin berdandan. Segera suruh sopir menyiapkan mobil, aku lewat pintu samping barat, bukan di depan rumah makan, ya.”

“Baik.”

Sinah memang tidak berdandan menor seperti biasanya. Ia hanya berbedak tipis, dan berpakaian lugas dan sederhana. Ia membawa tas agak besar, yang ditentengnya keluar begitu mendapat laporan bahwa sopir sudah siap.

Pelan ia mengendarai mobilnya, dan ia tersenyum ketika melihat mobil Andira berhenti di depan rumah makan.

“O, ada nyonya Andira gendut juga yang mengenal rumah makanku ini? Untunglah aku sudah keluar, kalau tidak, ia pasti bisa mengenali aku. Baguslah, semoga pembantuku bisa melaksanakan tugasnya dengan baik,” gumamnya sambil membawa mobilnya keluar dari halaman.

Sementara itu Ria, pembantu kepercayaan Sinah sudah keluar menyambut tamunya.

“Selamat datang Ibu, selamat memilih tempat duduk yang nyaman,” kata Ria ramah, seperti diajarkan majikannya.

Andira hanya tersenyum dan mengangguk. Ia mengajak simbok untuk duduk sebangku, agar bisa melayaninya makan.

Pelayan itu mendekat, ketika pelayan yang lain menyodorkan buku menu.

“Silakan memilih makanan yang Ibu sukai,” katanya.

“Ini rumah makan baru ya?”

“Iya Bu, baru sebulan lebih kurang kira-kira kami buka.”

“Sudah lumayan rame.”

“Iya, karena kami selalu melayani tamu-tamu kami dengan baik.”

“Siapa pemilik rumah makan ini?”

“Bu Mawar. Tapi beliau sedang ada keperluan. Baru saja beliau pergi.”

“O. Hanya bertanya saja. Rumah makan yang agak aneh. Namanya Mawar Hitam, pelayan-pelayannya semua berpakaian serba hitam.”

“Iya Bu.”

“Jadi ingat pelayanku sendiri, yang sudah pergi. Di hari-hari terakhir dia pergi, senang sekali memakai pakaian hitam. Jangan-jangan dia bekerja di sini.”

“Siapa namanya Bu?”

“Sinah. Ada pembantu bernama Sinah?”

“O, maaf tidak ada Bu. Barangkali hanya kebetulan saja dia suka pakaian hitam.”

Andira mengangguk, lalu mengambil buku menu dan melihat menu dan gambar yang ditampilkan.

Ria segera mengundurkan diri, membiarkan tamunya memilih mana makanan yang disukainya.

“Aku kira Sinah bekerja di sini.”

“Masa iya Nyonya, mereka kelihatannya orang-orang pintar, dan melayani dengan hormat para pembelinya. Sinah mana bisa bersikap santun seperti mereka?”

“Iya, kamu benar. Sinah kan pulang ke desanya untuk dinikahkan oleh orang tuanya.”

“Iya, Nyonya.”

“Kamu mau makan apa?”

“Saya terserah nyonya saja. Apapun kan saya doyan.”

“Gudeg aku sudah bosan, di mana-mana aku makan gudeg.”

“Nyonya sudah lama tidak makan ayam goreng. Kemarin Nyonya mengatakan ingin ayam goreng.”

“Iya, kamu benar.”

“Di rumah tadi saya juga mau masak ayam goreng dan trancam sebenarnya, tapi nyonya keburu mengajak bepergian.”

“Tidak apa-apa, saya mau makan ayam goreng, sayur asem pakai jagung muda, minum apa nih, aku es kopyor saja. Kamu apa?”

“Terserah Nyonya saja.”

“Ya sudah, sama saja. Minumnya apa?”

“Saya teh pahit saja.”

“Tanyakan pada sopir, dia mau makan apa.”

“Pasti dia bilang terserah, lebih baik Nyonya pesankan apa saja, nanti biar pelayan membawanya ke sana,” kata simbok sambil melihat ke arah sopir yang duduk di meja sudut, dekat pintu masuk.

“Ya sudah, dari pada susah, sama saja.”

Andira menuliskan semua yang dipesannya, lalu diberikannya kepada pelayan, lalu ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditata apik. Di ujung ruangan, terdapat gambar bunga mawar berwarna hitam, sangat besar.

“Mengapa ya, mawarnya berwarna hitam, bukannya merah, atau pink, atau kuning, atau putih. Itu kan warna-warna yang indah?”

“Itu kan kemauanmu Mbok, lha yang punya sukanya hitam. Tapi memang serem ya mbok, warna hitam begitu, seperti gelap auranya.”

“Iya, Nyonya. Kalau saya yang punya, saya namakan saja Mawar Merah,” kata simbok sambil terkekeh.

“Kamu punya uang berapa mau bikin rumah makan? Ini modalnya pasti tidak sedikit. Untuk bangunannya saja sebagus ini. Memang tidak besar sekali, tapi tetap saja mahal.”

“Kalau simbok ini kan nasibnya bukan nasib pengusaha, Nyonya. Nasib pembantu. Jadi selamanya ya jadi pembantu.”

“Meskipun kamu pembantu, tapi gaji kamu besar lhoh. Setelah Sinah pergi gaji kamu kan naik banyak, sebanyak gajinya Sinah, karena khusus melayani aku.”

“Benar Nyonya, simbok ini pembantu yang mewah. Gajinya seperti orang kantoran.”

“Kok kamu tahu gaji orang kantoran?”

“Anak saya yang sudah bekerja itu gajinya lebih kecil dari gaji saya Nyonya. Beneran.”

“Memangnya anakmu jadi apa?”

“Jadi kepala bagian gudang di pabrik gula, Nyonya.”

“Itu gajinya besar, namanya juga kepala gudang.”

“Tapi katanya gajinya lebih kecil dari gaji saya.”

“Supaya kamu nggak minta, barangkali?”

“Ya enggak Nyonya, saya tidak pernah minta kepada anak saya. Ketika dia ingin memberi, saya juga menolaknya. Saya bilang gaji saya sudah besar. Malah saya sering mengirimi untuk cucu-cucu saya.”

“Syukurlah Mbok. Tapi dengan gaji besar itu kamu juga harus bekerja memuaskan, jangan membuat aku kecewa.”

“Sepenuh hati saya akan mengabdi kepada Nyonya.”

Hidangan sudah disajikan. Untuk pak sopir juga sudah diantarkan. Aroma gurih menusuk hidung.

“Mbok, potong-potongkan ayamnya seperti kalau di rumah ya.”

“Iya Nyonya, saya sudah tahu. Saya cuci tangan dulu.”

“Ya, disitu, ada tempat cuci tangan.”

Sampai mereka selesai makan, sama sekali tak terpikirkan bahwa Sinahlah pemilik rumah makan itu.

Tapi ketika Andira hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba seseorang masuk, dan itu adalah Andra, suaminya. Mereka bahkan hampir bertabrakan.

Andira dan Andra sama-sama terkejut.

“Kamu makan di sini?” tanya Andra pada akhirnya.

“Iya, kok Mas juga kemari? Mau makan juga di sini? Kantor Mas kan jauh dari sini?”

“Iya … aku … hanya … ingin mencoba, katanya ada rumah makan baru. Itu … sopir yang mengatakannya.”

“Aku dan simbok sudah merasakannya. Tapi aku hanya makan ayam goreng. Menurutku biasa saja. Sekarang aku sudah mau pulang, apa Mas perlu ditemani?”

“Tidak … tidak, pulang saja sana,” kata Andra buru-buru.

Simbok menuntun nyonya majikan ke mobil, sementara Andra menatapnya heran. Apakah Andira dan Sinah tadi bisa ketemu? Kok Andira tidak mengatakan apa-apa?

Andra melihat Andira sudah masuk ke mobilnya, dan ia meyesal tidak memperhatikan ada mobil istrinya di tempat itu. Untunglah ia segera menemukan jawabannya.

Ketika Andra masuk, semua orang menundukkan kepala sebagai tanda menghormat, karena mereka tahu kalau Andra adalah suami Mawar, majikan mereka.

“Mana Mawar?” tanya Andra kepada Ria.

“Ibu Mawar sedang keluar.”

“Ke mana?”

“Saya tidak tahu, katanya ada suatu keperluan, dan mungkin agak lama. Tapi kami tidak berani bertanya lebih jauh.”

“Baiklah, aku mau istirahat dulu, siapkan minumanku, dan berikan juga makan dan minum untuk sopir,” titah Andra.

 “Baik." 

Mereka sudah tahu. Andra tentunya sudah sering datang dan menginap, dan mereka juga tahu kalau laki-laki gagah itu suami majikannya. Karenanya mereka juga menyiapkan segala sesuatu yang biasanya disajikan setiap kali sang tuan majikan datang.

***

Siang hari itu Arum sedang duduk bersantai bersama anak-anaknya, ditemani si Yu yang setia melayani mereka.

Belum saatnya Listyo datang, karena harus mengajar sampai sore.

“Apakah Ibu akan makan sekarang?” tanya si Yu.

“Biarkan anak-anak saja dulu, aku menunggu pak Listyo datang.”

“Tapi Ibu tidak boleh terlambat makan, bukankah ibu masih menyusui mas Rangga?”

“Iya, aku tahu, tapi aku masih kenyang. Pak Listyo pasti segera datang.”

“Saya tadi mendengar kalau bapak pulangnya sore lhoh. Kasihan mas Rangga kalau ASI ibu tidak lancar.”

“Baiklah kalau begitu, biar aku makan sekarang, tolong Rangga dijagain dulu, tidurnya nyenyak sekali,” kata Arum.

“Baiklah.”

Ketika beranjak ke ruang makan itu, tiba-tiba terdengar bel tamu berdering. Si Yu segera berlari ke arah depan, dan terkejut melihat kedua orang tua Listyo yang datang.

Ia segera membuka pintu dan berteriak memanggil majikannya.

“Bu, ada tamu dari Solo.”

Arum tidak perlu diberi tahu, karena dia sudah berdiri di belakang Si Yu ketika kedua mertuanya datang.

Ia segera mencium tangan keduanya, dan mempersilakannya masuk.

“Silakan, Bapak, Ibu.”

Aryo dan Sekar yang sedang asyik bermain juga menghambur ke arah kakek dan nenek mereka.

“Anak-anak yang baik,” kata den ayu Ranu sambil membungkuk mencium Aryo dan Sekar.

“Listyo belum pulang?” tanya sang ayah mertua.

“Hari ini pulang sore. Bapak dan ibu beristirahat dulu di sini, sambil menunggu kedatangan mas Listyo. Si Yu biar menyiapkan makan siang juga.”

“Baiklah, tidak apa-apa kalau harus menunggu. Tadi kami baru pulang dari  rumah teman. Dia baru pindah kemari. Oh ya.. Ini ada mangga,” kata den ayu Ranu sambil memberikan sebuah bungkusan.

“Ini apa Bu?”

“Tadi di jalan, ketika mampir ke rumah Dewi, ada seorang penjual buah-buahan. Ia menawarkan dagangannya kepada kami. Sebenarnya kami tidak ingin membelinya, buah-buahan di rumah banyak. Tapi karena kasihan pada penjual itu, lalu kami membelinya. Untuk kamu saja nih. Buah mangga, semoga saja manis. Tapi kalau asam lebih baik dibuang saja.”

“Bagus sekali, terima kasih ya Bu.”

“Tadi penjualnya juga mau masuk ke rumah Dewi, tapi waktu itu kan Dewi tidak ada di rumah, entah ada yang mau beli atau tidak.”

“Bu, makan siang sudah saya tata di meja,” kata si Yu tiba-tiba.

“Bapak, Ibu, ayo kita makan dulu,” tawar Arum.

“Ya sudah, kebetulan kami juga belum makan, tapi kami mau melihat Rangga dulu,” kata den ayu Ranu.

“Yu, setelah ini kamu tata kamar tamu,” perintahnya kemudian kepada si Yu.

“Baik.”

Lalu sebelum ke ruang makan, mereka masuk ke dalam kamar, untuk melihat Rangga dan tentu tak berani mengusiknya karena Rangga terlihat sedang tertidur pulas.

***

Dewi baru saja keluar dari kelas, ketika Listyo memanggilnya.

“Kamu mau pulang kan Wi?”

“Iya, kenapa?”

“Bareng saja, aku juga mau pulang..”

“Nggak usah Mas, nanti muter kalau harus mengantar aku dulu.”

“Tidak apa-apa, muter sebentar, daripada kamu naik becak sendirian.”

“Ya sudah, lumayan hemat uang ongkos becak,” kata Dewi sambil tertawa.

“Satria pulang ke Solo setelah wisuda?” tanya Listyo dalam perjalanan mengantar Dewi.

“Iya, tapi mungkin besok atau Minggu sudah kembali kemari, karena ia janjian dengan seorang pimpinan perusahaan, tentang lamaran pekerjaan.”

“Oh, sudah mendapat pekerjaan?”

“Baru mau melamar hari Senin, tapi mudah-mudahan diterima, karena dia kenal dengan pimpinan itu, dan diminta menemuinya hari Senin ini.”

“Syukurlah, aku ikut senang. Semoga benar-benar dia segera bisa diterima bekerja.”

“Aamiin.”

Ketika kemudian Listyo menurunkan Dewi di halaman rumahnya, Dewi melihat mbok Randu duduk di teras depan, lalu berdiri menyambutnya ketika melihatnya datang.

“Nungguin aku Mbok?”

“Tidak, tadi ada Sinah datang kemari.”

“Sinah?”

***

Besok lagi ya.

Wednesday, July 9, 2025

MAWAR HITAM -9

 MAWAR HITAM  09

(Tien Kumalasari)

 

Satria dan Andra saling pandang. Sedikit agak lupa bagi Andra, tapi tak lama kemudian dia ingat.

“Ini kan … mas … Satria yang … dulu ketemu ketika ada kecelakaan?” katanya ketika mereka bersalaman.

“Iya benar, maaf waktu itu saya terlambat datang ke rumah sakit, jadi ….”

“Tidak apa-apa, lupakan saja, semuanya sudah selesai dengan baik,” kata Andra yang tak ingin mengatakan tentang Sinah, apalagi mengatakan tentang Sinah yang sudah menjadi istrinya. Ada rasa malu karena riwayat pernikahan itu sangatlah buruk.

“Syukurlah, maklum waktu itu saya ada kuliah pagi.”

“Oh ya, bagaimana kuliah Anda? Pastinya sekarang sudah selesai?”

“Baru kemarin saya wisuda.”

“Haa, selamat ya Mas,” kata Andra sambil menepuk-nepuk tangan Satria.

“Terima kasih. Ini kedua orang tua saya,” kata Satria memperkenalkan ayah dan ibunya. Mereka bersalaman sangat akrab.

“Hari ini saya mau mengantarkan mereka pulang ke Solo, sambil mencari-cari pekerjaan.”

“Mencari pekerjaan ya? Mas Satria lulusan apa?”

“Ekonomi, Pak.”

“Kalau mau bekerja di tempat saya, bagus sekali. Saat ini kami sedang membutuhkan seorang manager keuangan. Yang dulu sudah tua, dan sudah saatnya pensiun.”

Wajah Satria berbinar.

“Benarkah? Saya tentu saja mau, segera saya akan buat surat lamaran berikut surat-surat yang diperlukan.”

Andra mengambil sebuah kartu nama, diberikannya kepada Satria.

“Ini kartu nama saya, temui saya besok Senin di kantor saya. Langsung saja mengatakan kepada penjaga dan sekretaris saya kalau kita sudah janji ketemuan.”

“Baik, terima kasih banyak Pak.”

Satria dan tentu saja kedua orang tuanya sangat gembira. Tanpa dicari, permintaan untuk bekerja malah datang dengan sendirinya.

Mereka bersalaman sekali lagi, lalu Andra yang kelihatannya terburu-buru segera menghampiri mobilnya, dimana sang sopir sudah membukakan pintu untuknya.

***

“Ternyata kamu sudah punya kenalan seorang pengusaha,” kata pak Sawal ketika mereka naik andong seperti keinginan bu Karti, menuju kembali ke rumah kost Satria.

“Kebetulan kenal. Dia orang baik.”

Lalu Satria menceritakan ketika ketemu Sinah yang jualan batik di pinggir jalan, lalu menyeberang ketika mengejar orang yang mencuri dagangannya kemudian tertabrak mobil. Sebenarnya tidak begitu parah, tapi pak Andra membawanya ke rumah sakit dan entah memberi uang berapa kepada Sinah, Satria tidak tahu kelanjutannya. Tentu dia juga tidak tahu bahwa Sinah sudah menjadi istri Andra dan memerasnya hingga menjadikannya pengusaha rumah makan. Andra enggan mengatakannya.

“O, ternyata dia orang baik. Syukurlah, nanti kamu bisa bekerja pada orang baik seperti nak Andra,” kata bu Karti.

“Iya Bu, semoga begitu.”

“Kamu janjian hari Senen ke kantor dia?” sambung pak Sawal.

“Iya Pak, ini kartu nama berikut alamat perusahaannya sudah diberikan. Satria akan langsung menemui dia, tidak melalui stafnya.”

“Syukurlah, bapak dan ibumu senang sekali. Ini berkah dari Yang Maha Kuasa, pekerjaan tidak dicari tapi datang sendiri,” kata pak Sawal lagi.

“Iya Pak, alhamdulillah.”

“Berarti kamu tidak bisa lama di Solo nanti.”

“Masih hari Senin, jadi ada waktu tiga hari untuk di rumah nanti,” sambung bu Karti.

“Tidak apa-apa Bu, untuk sesuatu yang baik, tidak apa-apa kita menahan keinginan untuk berlama-lama bersama Satria.”

“Iya, benar,” kata sang istri.

“Besok kalau Satria sudah punya rumah, Bapak dan Ibu akan saya bawa untuk kita tinggal bersama.”

“Ya tidak harus begitu. Bapak kan punya rumah sendiri. Lagipula kalau kamu punya rumah kan harus kamu tinggali bersama istri kamu.”

“Nanti gampang Pak, bisa diatur. Yang penting bekerja dulu, nabung, punya rumah, lalu melamar calon istri,” kata Satria dengan wajah berbinar.

Kebahagiaan yang terpancar juga tampak pada wajah kedua orang tuanya. Bukankah orang tua akan bahagia kalau sang anak juga bahagia? Satria melalui perjalanan panjang yang tidak mudah untuk melanjutkan kuliah. Demi tidak menyusahkan orang tua, dia kuliah sambil bekerja. Pastinya dia hampir mengunduh buah dari pohon yang dia tanam.

***

Andira punya pembantu pribadi yang diambil dari salah satu pembantunya. Dia adalah simbok, yang biasa melayani makan dan minum untuk sang majikan, yang ketika masih ada Sinah maka Sinah tinggal menyajikannya. Tapi sekarang simbok harus membuat sekaligus meladeni semua keperluan Andira.

Bukan tanpa sebab Andira memerlukan seorang pembantu khusus. Badannya yang sebesar kerbau hamil tidak bisa bergerak leluasa tanpa ada yang mendampingi atau melayaninya.

Karena pengalaman buruk dengan berganti-ganti pembantu sangat dicela suaminya, maka Andira segera bisa menyesuaikan ketika yang melayani adalah simbok. Tidak begitu mengecewakan, bahkan simbok yang tidak suka berdandan bak gadis muda, tidak memerlukan waktu lama setiap kali selesai mandi lalu sang nyonya majikan memanggilnya.

Malam itu Andra pulang ke rumah, hanya sekedar memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang sangat memperhatikan istrinya. Walau hanya seminggu sekali pulang, Andira cukup senang karena Andra selalu memberikan uang yang banyak untuk dirinya yang suka belanja dan makan makanan enak.

“Mas, nanti jangan cepat pergi lagi ya, tinggallah dua atau tiga hari di rumah, jangan hanya memikirkan pekerjaan,” kata Andira sambil merengek manja.

“Pekerjaan kan harus di nomor satukan, kalau tidak mana bisa berkembang?”

“Masa aku hanya diberi waktu seminggu sekali, atau bahkan lebih. Sudah bertahun-tahun kita menikah, belum juga dikaruniai anak. Itu sebabnya kan? Karena Mas jarang pulang dan tidak berusaha agar segera punya anak.”

“Kamu sebenarnya menginginkan anak? Kalau ingin kita bisa mengadopsi dari panti asuhan.”

“Enggak mau aku. Tidak ketahuan dia anak orang yang bagaimana, masa aku harus merawatnya sebagai anak?”

“Asalkan dia sehat, lalu kita bisa mendidiknya dengan baik, maka tidak peduli dia anak siapa, yang penting sudah menjadi anak kita.”

“Aku hanya ingin anak dari mas Andra.”

“Andira, apa kamu lupa bahwa kita pernah memeriksakan ke dokter, dan aku dinyatakan susah punya anak. Hampir mandul karena kemungkinan untuk bisa punya anak itu kecil sekali. Bahkan bisa saja tidak mungkin.”

“Tapi kan tidak sepenuhnya mandul, kita bisa berusaha. Misalnya dengan Mas sering tinggal di rumah dan menikmati kebersamaan kita.”

“Aku kira tidak semudah itu. Aku hampir putus asa tentang memiliki anak. Lebih baik adopsi saja.”

“Aku tidak mau,” teriak Andira tegas.

“Kalau tidak mau ya sudah, tidak usah berteriak begitu,” kesal Andra.

Andira agak terkejut melihat suaminya tampak marah. Ia segera mendekat dan membujuknya dengan rayuan.

“Mas jangan marah, aku kan hanya ingin punya anak. Tapi ya sudahlah, ayo kita istirahat saja dulu. Masalah anak kita kesampingkan.”

Andra juga menyesal, Andira tidak boleh marah, karena hidup matinya perusahaan tergantung dari orang tua Andira. Karena itu ia langsung bersikap lunak, dan menuruti kemauan Andira agar tidur lebih sore.

***

Dewi senang sekali ketika Satria mengatakan bahwa akan mendapat pekerjaan karena sudah dijanjikan oleh seorang petinggi perusahaan di kota Jogya.

Berita gembira itu segera dikatakannya kepada sang ayahandanya, yang sore hari itu akan segera pulang ke Solo.

“Syukurlah, mencari pekerjaan itu tidak mudah. Kalau Satria sudah mendapatkannya, berarti dia sangat beruntung, aku ikut senang,” kata Adisoma di tengah kesibukan sang istri untuk bersiap pulang.

“Masih besok Senin ini dia ketemu pimpinan perusahaan itu, jadi dia punya waktu sebentar untuk bersama kedua orang tuanya.”

“Pasti kedua orang tuanya juga senang.”

“Itu berita tentang Satria ya,” kata Saraswati yang baru selesai membenahi pakaiannya, dibantu mbok Randu dan mbok Manis.

“Iya, Diajeng, katanya besok Senin sudah disuruh menghadap pimpinan perusahaan itu. Jadi sudah jelas diterima.”

“Syukurlah, ikut senang. Di perusahaan apa itu?”

“Belum jelas, Kanjeng Ibu. Kata Satria perusahaan yang lumayan besar. Dewi tidak menanyakannya.”

“Satria tidak jadi ke Solo, berarti?”

“Jadi, masih ada waktu untuk bersama kedua orang tuanya. Kasihan juga, bertahun jarang pulang, setelah selesai kuliah punya waktu hanya sedikit untuk bersama.”

“Ya tidak apa-apa, kamu juga bertahun-tahun pergi, setelah kembali lalu kuliah, jauh dari orang tuamu juga kan?” kata Adisoma.

“Akhirnya juga nanti Dewi akan dibawa suaminya, berpisah lagi, bukan?” sambung sang ibu sambil memeluk putrinya.

“Jauh di mata, tapi dekat di hati,” kata Dewi.

“Di sini kamu masih bisa sering bermain dengan adik-adik kamu, sedangkan ayahanda dan ibunda hanya berdua saja,” kata sang ibu lagi.

“Dewi akan sering pulang ke Solo. Solo tidak jauh kan?”

“Kalau kamu mau, biar setiap kali liburan, Tangkil menjemput kamu.”

“Tidak usah, naik bis saja gampang, mengapa harus dijemput? Repot amat.”

“Ya sudah, ini sudah sore, mana barang-barang yang akan dibawa, suruh Tangkil mengusungnya.”

“Mbok Manis sudah menyuruh Tangkil, pasti sudah siap semuanya.”

***

Hanya sehari Andra ada di rumah istrinya, pagi hari itu dia sudah bersiap pergi lagi. Walau kecewa, Andira tidak bisa mencegahnya karena alasannya adalah pekerjaan.

“Mas Andra benar-benar akan pergi?”

“Maaf sayang, ini harus Mas lakukan. Kamu bisa menghibur diri dengan bersenang-senang bukan?” kata Andra lembut, dan membuat Andira luluh hatinya.

“Mas jangan lama-lama perginya, jangan seminggu sekali, kalau bisa dua hari sekali,  jadi kangennya tidak terlalu kebangetan.”

“Bagaimana sih, kangen kebangetan?” goda Andra.

“Ya kangen yang sangat menggebu-gebu, sehingga tidak bisa tidur nyenyak.”

“Mana mungkin tidak bisa tidur nyenyak, setiap aku pulang malam kamu pasti sudah ngorok?”

“Iih, Mas keterlaluan, masa aku ngorok?”

“Kamu tidak merasa, yang didekat kamu pasti mendengar. Ya sudah, aku pergi dulu ya,” kata Andra sambil mencium kening istrinya.

Andira sangat senang mendapat perlakuan manis sang suami, padahal Andra melakukannya agar Andira tidak marah karena dia tidak bisa menemaninya selama berhari-hari seperti permintaan sang istri.

***

Begitu sang suami pergi, Andira bersiap untuk pergi. Sudah pasti untuk berbelanja atau makan enak, karena sang suami meninggalkan uang yang tidak sedikit.

“Mboook,” teriaknya.

Seperti terbang simbok berlari, agar panggilan itu tidak terulang dua kali, lalu memicu kemarahan nyonya majikan.

“Ya, Nyonya.”

“Ganti bajumu, baju yang pantas, aku mau jalan-jalan.”

“Saya sedang menyiapkan sayur untuk_”

“Tidak usah memasak, aku mau makan di restoran.”

“Baiklah kalau begitu, sebentar, Nyonya.”

Simbok kembali bergegas ke dapur, membenahi sayuran yang baru digelar, lalu buru-buru ke kamar untuk berganti pakaian. Ia hanya berpakaian pantas, tidak perlu ber make up seperti nyonya besar, lalu mengambil selendang yang disampirkan ke pundak, kemudian menghampiri sang nyonya majikan yang sudah bersiap.

“Panggil sopir, aku sudah menelpon kok belum siap.”

“Itu sudah di depan, Nyonya,” kata simbok.

“O, kok tidak kelihatan dari sini. Bantu aku berdiri.”

Simbok meraih kedua tangan sang majikan, membantunya berdiri, kemudian membawanya ke depan dengan langkah tertatih.

***

Andira sudah selesai berbelanja, ruang bagasi mobil sudah penuh barang belanjaan dan bermacam cemilan kesukaan sang juragan.

“Aku lapar, ayo cari makanan, Pir,” katanya kepada pak sopir.

“Ke mana Nyonya, rumah makan langganan?”

“Enaknya di mana ya, di situ terus agak bosan, Pir.”

“Kabarnya ada rumah makan baru agak di pinggiran kota. Terkenal enak, pelayannya cantik-cantik.”

“Benarkah?”

“Iya Nyonya.”

“Antarkan aku ke sana, seberapa enak sehingga orang mengatakan enak.”

***

Besok lagi ya.

 

 

Tuesday, July 8, 2025

MAWAR HITAM 08

 MAWAR HITAM  08

(Tien Kumalasari)

 

Pak Sawal saling tatap dengan istrinya. Ada perasaan tidak enak karena Dewi membawa mobil berikut sopirnya.

“Berikan alamatnya saja, nanti saya sama ibunya Satria menyusul pakai andong atau becak,” kata pak Sawal.

“Ya tidak bisa begitu, Pak. Masa satu rombongan berangkatnya sendiri-sendiri. Tidak apa-apa kita bareng sekalian, ya kan Sat?”

“Sebenarnya mau ke rumah makan mana sih? Jauhkah?”

“Tidak, nanti man Tangkil yang akan membawa kita ke sana. Kemarin sudah pada nyobain, katanya enak.”

Dewi tentu saja tidak tahu tentang pemilik rumah makan yang wajahnya mirip Sinah, karena saat di rumah dia tidak mendengar ketika ayah dan ibundanya berbicara tentang pemilik rumah makan yang mirip Sinah, dan setelah itu tidak membicarakannya lagi karena dianggap tidak penting.

Karena dipaksa, maka akhirnya pak Sawal dan istrinya bersedia ikut bersama Dewi, diantar oleh sopir keluarga Adisoma.

Agak jauh sih, karena rumah makan Mawar Hitam letaknya tidak di tengah kota, tapi lokasinya strategis karena dekat perkantoran, sehingga rumah makan itu cepat mendapatkan pelanggan.

Tangkil memarkir mobilnya di tempat parkir, setelah menurunkan ‘penumpangnya’ di depan  lobi.

“Nanti menyusul masuk ya Man?” kata Dewi.

“Baik, Den Ajeng.”

Agak terasa nggak enak ketika mendengar pak sopir memanggilnya den ajeng. Dan dia akan menjadi menantunya? Diam-diam bu Karti membandingkan Dewi dengan Sinah. Memang sih, jauh cantik Dewi, tapi apakah tidak ketinggian kalau Satria memilih dia? Sedangkan Sinah gadis dari keluarga biasa, justru sepadan dengan keluarganya.

Dewi menggandeng bu Karti masuk, lalu seperti biasa, pemilik rumah makan dengan pakaian serba hitam itu menyambut dengan ramah. Tapi bu Karti dan semuanya terbelalak memandangnya.

“Nak Sinah?”

”Sinah?”

Sinah tertegun. Tadi dia tidak mengira kalau yang datang adalah orang-orang yang dikenal dan tentu saja mengenalnya. Tapi bukan Sinah kalau tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.

“Selamat datang di rumah makan ini, silakan masuk,” katanya sambil tersenyum sumringah.

“Sinah?” ucapan itu terlontar dari semua yang datang.

Sedikit berdebar, Sinah mengeluarkan senyuman manis.

“Anda semua salah mengenali orang. Saya pemilik rumah makan ini, nama saya Mawar. Sinah itu kan nama gadis kampung yang tidak ada manis-manisnya sama sekali.”

“Mawar?” ucapan itu juga dilontarkan oleh semuanya, dan Satria kemudian ingat tentang seorang nona kaya yang ditemuinya saat dirinya membeli hadiah untuk keluarga Listyo yang baru mendapatkan putra beberapa hari sebelumnya.

Tanpa ditanya waktu itu dia mengatakan bahwa dirinya bernama Mawar, sementara sebelumnya Satria juga merasa bahwa dia adalah Sinah. Sekarang wanita itu ada di sini, menjadi pemilik rumah makan baru yang kabarnya masakannya sangat enak.

Satria menatap Sinah yang matanya berbinar aneh ketika menatapnya. Satria membuang muka, lalu dia menarik sang ayah yang langsung diajaknya masuk.

Dewi juga teringat pernah melihat Sinah yang walau hanya sekilas, Satria mengatakan bahwa itu bukan Sinah tapi Mawar.

Kemudian ia menarik tangan bu Karti yang masih bengong seperti sapi ompong, matanya menatap Sinah tak berkedip.

“Bukan nak Sinah? Persis sekali,” gumamnya, yang kemudian mengikuti Dewi yang membawanya ke arah sebuah meja, di mana Satria sudah lebih dulu memilihnya.

“Silakan duduk dengan nyaman, dan memilih menu mana yang Anda sukai,” Sinah menyusul mereka dan mengucapkan kata ramah itu persis di samping Satria duduk, hampir menyentuhnya.

“Terima kasih.”

Yang menjawab adalah Dewi, yang agak  risih juga melihat sikap ‘Mawar’ yang seperti berlebihan.

***

Sinah mundur ke arah ruang kantornya. Ada sekat kaca tebal yang membentang diantara kantor itu dan area tempat para tamu menikmati hidangannya. Ia menatap Satria dengan pandangan kagum. Satria sudah tampak semakin dewasa, semakin gagah dan tampan. Sangat sulit bagi Sinah untuk menghilangkan perasaan suka pada Satria. Tapi ia sangat benci melihat Dewi yang duduk di depan Satria, lalu melihatnya saling pandang dengan mesra, lalu terkadang Dewi mengambilkan sepotong makanan, diletakkannya di piring Satria.

“Dasar genit. Mentang-mentang keluarga ningrat dan terpandang, merasa bisa menguasai Satria. Coba tidak ada dia pasti aku sudah bisa memiliki Satria. Bukankah bu Karti sangat menyukai aku dan selalu menganggap bahwa aku adalah calon menantunya? Tapi lihat, sekarang bu Karti bersikap sangat baik kepada Dewi. Dasar perempuan mata duitan. Pasti Dewi sering memberinya sesuatu yang berharga. Mungkin juga uang, atau perhiasan, atau apalah, pokoknya agar bu Karti suka pada dirinya. Huhh, apa yang harus aku lakukan agar bisa menyingkirkan gadis itu?” gumamnya sambil terus menatap ke arah Satria yang semakin lama semakin membuatnya kesal karena sikap manisnya kepada Dewi.

Sementara itu Dewi selalu menenangkan bu Karti dan pak Sawal yang meragukan hubungannya dengan Satria, dan menganggapnya kelak akan menyia-nyiakannya.

“Saya mengenal Satria sejak lama, dan selalu menganggap bahwa kami tidak berbeda.”

“Bagaimana dengan den mas Adisoma dan keluarganya. Mereka keluarga ningrat yang terhormat, mana mungkin mau berbesan dengan keluarga Sawal yang hanya orang rendahan?”

“Orang tua saya sudah mengenal Satria. Bahkan ibu saya mengenalnya sejak sebelum tahu bahwa saya mengenal Satria. Mereka tidak pernah mengatakan tidak suka. Mereka hanya berharap agar saya bisa menyelesaikan pendidikan saya.”

“Pak, Bu, Satria juga belum memikirkan masalah pernikahan. Satria akan mencari pekerjaan terlebih dulu, menabung, dan setelah merasa siap baru akan melamar Dewi. Kalau saya masih seperti ini, mereka akan meragukan saya, apakah benar saya bisa menjadi suami untuk putrinya, atau tidak. Tapi sejauh ini saya tidak merasa bahwa mereka tidak menyukai saya,” sambung Satria.

“Syukurlah, kamu adalah satu-satunya anak bapak dan ibumu ini, dan harapan kami adalah kamu bisa menemukan hidup tenang dan bahagia,” kata sang ayah lagi.

“Doa dan restu Bapak serta Ibu selalu Satria harapkan.”

Dewi sangat mengagumi hubungan keluarga ini, antara anak dan orang tuanya. Ternyata rasa hormat dan menghargai orang tua juga dimiliki oleh orang kebanyakan, bukan hanya keluarganya yang selalu menanamkan rasa hormat itu. Dewi yakin bahwa Satria akan menjadi suami yang baik pada dirinya.

“Apakah Bapak dan Ibu masih akan menginap?”

“Kami akan pulang besok, Satria akan mengajak kami melihat-lihat Jogya, baru kami akan pulang,” kata pak Sawal.

“Biarlah diantar man Tangkil, dia masih beberapa hari lagi di sini,” kata Dewi sambil menunjuk ke arah Tangkil yang duduk sendirian di meja yang agak jauh dari mereka.

“O, jangan Nak, biarkan kami sendiri saja. Pertama, kami tidak ingin merepotkan, keduanya, kami tidak bisa leluasa pergi kemana-mana kalau diantar, bukankah begitu, Bu?” kata pak Sawal kepada istrinya. Ia memanggil Dewi dengan hanya ‘nak’ saja atas permintaan Dewi sendiri.

“Benar, kami ingin naik andongnya Jogya, ingin jalan-jalan ke Malioboro, melihat keraton, dan entah apa lagi. Pasti tidak leluasa kalau diantar,” kata bu Karti.

“Iya, Dewi. Justru tidak leluasa kalau diantar pakai mobil. Kami ingin jalan-jalan, bukan bermobil-mobilan," kata Satria setengah bercanda.

“Kalau begitu nanti menginap di rumah saya?” tawar Dewi lagi.

“Apalagi itu, tidak … kami sangat menikmati tidur berdesakan di kamar Satria, sambil melepas kangen. Tapi terima kasih atas kebaikan nak Dewi.”

“Iya, Dewi, biarkanlah orang tuaku menikmati kota ini dengan leluasa dan sesukanya. Besok sore pastinya akan pulang, aku juga akan mengantarkan ke Solo. Mungkin akan beberapa hari,” kata Satria.

“Baiklah, tidak apa-apa. Nikmati kebebasan kamu setelah selesai kuliah yang pasti sangat melegakan.”

“Semoga kamu juga bisa cepat selesai. Aku di Solo juga sambil mencari pekerjaan.”

“Kamu ingin bekerja di Solo?” tanya Dewi.

“Tidak tentu juga, terserah nanti dapatnya di mana.”

“Dimanapun, asalkan itu pekerjaan baik, ya tidak apa-apa,” sambung pak Sawal.

Ketika mereka selesai makan dan pergi, Sinah menyuruh pembantunya untuk menyiapkan mobil. Ia mengikuti mobil yang dikemudikan Tangkil, yang terlebih dulu mengantarkan Satria dan kedua orang tuanya ketempat kost nya, kemudian baru pulang ke rumah Dewi.

“O, jadi di sini rumah den ajeng itu?” gumam Sinah yang  kemudian memutar mobilnya untuk kembali ke rumah makan miliknya. Sambil pulang itu ia memutar otaknya untuk sebuah rencana, yang entah apa tapi belum ditemukannya.

***

Di ruang keluarga pada sore hari itu, Adisoma dan istrinya menanyakan perihal orang tua Satria.

“Apakah kamu juga bertemu mereka?”

“Iya, mereka orang-orang baik. Walau bukan dari kalangan priyayi, tapi mereka sangat santun seperti orang terpelajar.”

“Apa kata mereka tentang kamu?”

“Mereka takut Satria dekat dengan Dewi, karena merasa mereka hanya orang biasa. Tapi Dewi mengatakan bahwa kita tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. Lagi pula Dewi dan Satria belum memikirkan masalah pernikahan. Dewi sedang fokus pada kuliah, dan Satria sedang fokus untuk mencari pekerjaan.”

“Itu betul. Dengan begitu ayahanda tahu bahwa Satria adalah orang yang punya tanggung jawab untuk kehidupannya di masa yang akan datang.”

Dewi tertunduk tersipu. Bagaimanapun setelah kepergiannya beberapa tahun yang lalu, ternyata telah mengubah cara pandang kedua orang tuanya tentang perbedaan status pada setiap orang. Bahwa yang terpenting adalah perilakunya, bukan dari kasta mana dia dilahirkan. Itu sangat membahagiakannya.

“Mereka besok akan pulang ke Solo, setelah paginya mau berjalan-jalan dulu di sekitar kota ini.”

“Bukankah ada Tangkil yang bisa mengantarkan mereka?” kata Saraswati.

“Sudah Dewi tawarkan, mana mereka mau? Mereka pasti akan merasa tidak leluasa kalau harus diantarkan.”

“Itu benar. Baru saja ketemu, harus merepotkan, siapapun pasti sungkan,” kata Adisoma.

“Padahal sebenarnya besok kami juga harus pulang, ya kan Diajeng?”

“Besok?” tanya Dewi.

“Ada tugas di keraton, tidak bisa aku tinggalkan.”

“Tapi mbok Randu ingin tinggal di sini, katanya,” kata Saraswati.

“Iya, tadi Dewi juga ingin mengatakan itu. Selama bertahun-tahun mbok Randu menjadi simboknya Dewi. Sebaiknya sekarang juga harus tinggal bersama Dewi. Sudah lama dia kembali ke Solo, bukan?”

“Tidak apa-apa. Di sini atau di Solo sama saja, kalau dia kangen rumah Solo, bisa pulang ke sana, begitu kan?”

“Ya sudah, aku mau mencari Aryo dulu, seharian nggak ketemu, padahal besok pasti sudah dijemput orang tuanya,” kata Dewi yang segera beranjak meninggalkan ayah ibundanya.

***

Pak Sawal dan istrinya puas berjalan-jalan dengan diantar Satria. Melihat keraton, membeli sesuatu di Malioboro, makan di pinggiran jalan. Sangat menyenangkan dengan kebebasan Satria setelah bertahun-tahun menekuni kuliahnya.

Pak Sawal membelikan baju-baju untuk Satria, yang walau ditolak tapi sang ayah memaksa.

“Ini baju untuk kamu melamar pekerjaan nanti, biar lebih rapi, sehingga menarik para pimpinan di perusahaan manapun.”

“Bapak kenapa selalu repot untuk Satria. Satria masih punya uang beberapa untuk bekal mencari pekerjaan nanti."

“Sat, kamu jangan begitu, orang tua akan bangga bisa menyenangkan anaknya. Selama ini kamu hampir sepenuhnya selalu mencari uang sendiri, biar sedikit jangan menolak pemberian orang tua,” kata sang ibu.

“Iya, sebenarnya hanya kasihan pada bapak kok Bu, tapi Satria senang diberi celana dan baju-baju bagus dari bapak.”

“Syukurlah, bapak senang mendengarnya."

Mereka sudah puas berjalan-jalan dan berbelanja, saatnya kembali ke tempat kost, untuk bersiap pulang.

“Naik andong saja ya,” kata bu Karti.

“Ayo ke sana, kalau begitu,” ajak Satria.

Tapi tiba-tiba ia hampir menabrak seseorang. Keduanya sama-sama terkejut.

“Pak Andra?” pekik Satria.

***

Besok lagi ya.

MAWAR HITAM 11

  MAWAR HITAM  11 (Tien Kumalasari)   Listyo sudah berlalu, Dewi mendekati mbok Randu yang membawa sekeranjang kecil buah mangga. “Tadi Simb...