Monday, August 25, 2025

MAWAR HITAM 49

 MAWAR HITAM  49

(Tien Kumalasari)

 

Mbok Manis gemetar menahan gejolak kepedihan yang merobek-robek batinnya. Cobaan apa ini? Mbok Randu menuntunnya agar duduk di sebuah bangku yang ada di sana. Mbok Manis seperti tak bertenaga. Ia menyeret kakinya ketika mbok Randu menuntunnya.

“Yu, kuat ya Yu, kuat. Ayo duduklah dulu di sini.”

“Pulang Yu, ayo kita pulang,” bisik mbok Manis gemetar.

“Baiklah, aku akan mencari becak dulu, sabar dan kuat ya Yu. Jangan sampai jatuh. Aku yakin sampeyan kuat.”

“Ayo pulang …,” bisiknya lagi karena mbok Randu tampak tak tega meninggalkannya.

“Iya, aku cari becak dulu, duduk dulu di sini ya Yu.”

Mbok Randu bergegas keluar. Tak ada yang bisa dilakukannya di kantor polisi itu.

Sementara itu mbok Manis duduk sambil meletakkan kepalanya di bangku. Matanya berkunang-kunang. Berjuta bintang menari-nari membuatnya mual.

“Sakit Bu?” tanya salah seorang polisi.

“Tidak. Anak saya di rumah sakit mana? Saya boleh menjenguknya?” katanya lemah sambil sedikit mengangkat kepalanya. Matanya menatap polisi yang berdiri di dekatnya.

“Tidak bisa untuk sekarang ini Bu, anak Ibu dijaga ketat, dikhawatirkan akan melarikan diri lagi. Siapapun tidak boleh menjenguknya.”

“Lukanya parah?”

“Kecuali dia perdarahan, luka-luka yang tidak segera terobati menjadi infeksi. Dokter sedang mempertahankan kandungannya.”

“Ya Tuhan … ya Tuhan … dosa apa lagi ini … “ keluhnya sambil kembali meletakkan kepalanya di bangku.

“Ayo Yu, becaknya sudah dapat,” mbok Randu bergegas mendekati sahabatnya, membantunya berdiri, lalu memapahnya keluar. Polisi itu hanya menatapnya iba.

***

Saraswati ikut bersedih mendengar penuturan mbok Randu tentang Sinah, yang kemudian membuat mbok Manis kembali ambruk.

“Apa dia punya suami?”

“Saya tidak tahu, Den Ayu.”

“Kalau dia menikah, tidak apa-apa dia hamil. Semoga kandungannya bisa diselamatkan. Tapi apa ada suaminya? Kabarnya dia melakukan kejahatan dengan dua orang laki-laki. Apa salah satu diantara mereka adalah suaminya?”

“Saya tidak tahu, Den Ayu,” mbok Randu menjawab dengan kalimat yang sama.

“Tapi aku tidak pernah mendengar bahwa yang ditangkap bersamanya itu adalah suaminya,” lanjut Saraswati.

“Melihat tingkahnya nyang tidak benar itu, barangkali juga dia hamil tanpa ada suaminya,” kata mbok Randu dengan nada prihatin.

Saraswati dan mbok Randu hanya mengkhawatirkan keadaan mbok Manis. Betapa lebih hancurnya dia mendengar kehamilan Sinah. Dosanya bertumpuk, setinggi gunung, hati ibu mana yang tidak hancur?

“Yu Manis bilang, Sinah tidak boleh dibezoek. Katanya takut kabur lagi.”

“Lagipula pasti dia dijaga ketat.”

“Benar Den Ayu. Entah kapan yu Manis bisa bertemu anaknya.”

“Barangkali akan diijinkan, karena mbok Manis adalah ibunya. Tapi harus dengan surat keterangan yang lengkap. Nanti aku tanya pada Listyo, barangkali bisa membantu.”

“Saya kira yu Manis sudah tidak ingin bertemu lagi dengan anaknya. Ketika tadi bercerita tentang apa yang dikatakan pak polisi, yu Manis mengatakan kalau tak ingin bertemu anaknya.”

“Kasihan mbok Manis. Kamu harus selalu mendekati dan menghiburnya ya Mbok, berikan apa yang diminta. Jangan sampai dia tidak mau makan dan minum.”

“Iya, Den Ayu, saya selalu memaksanya makan dan minum. Biarpun sedikit, dengan bujukan, akhirnya dia mau. Tapi dia seperti tak berselera apapun. Barangkali dia merasa gagal mendidik anaknya.”

“Iya Mbok, bisa dimengerti.”

“Tapi memang dasarnya Sinah itu susah diatur. Sejak masih bersama kami, Sinah juga tidak pernah mau mendengar kata-kata simboknya. Yu Manis selalu merasa sangat kesal.”

“Semoga apa yang dialaminya bisa menjadi pelajaran baginya, untuk nantinya bisa melangkah ke jalan yang lebih baik.”

“Aamiin. Saya mau ke belakang dulu Den Ayu.”

“Ya Mbok, jangan lupa rawat mbok Manis dengan baik.”

“Sendika Den Ayu.”

Sepeninggal mbok Randu, Saraswati masih tampak termenung. Ia juga sedih, karena mbok Manis adalah salah satu abdi kinasihnya.

***

Pagi hari itu Dewi pamit kepada sang ibu, setelah makan pagi dengan terburu-buru.

“Pagi sekali? Setiap hari ada kelas sepagi ini?” tanya sang ibu.

“Dewi selalu mampir ke rumah sakit dulu.”

“Oh, kamu masih selalu mengunjunginya? Kamu tidak pernah cerita.”

“Karena kemarin-kemarin ada ayahanda. Ayahanda tidak suka Dewi sering-sering mengunjungi pak Hasbi.”

“Iya, ayahandamu takut kehilangan kamu.”

“Ayahanda dan Ibunda tidak usah takut kehilangan Dewi. Dewi tetap putra ayahanda dan Ibunda. Tapi pak Hasbi adalah laki-laki tua yang kesepian. Ia tak punya siapa-siapa. Satu-satunya keturunannya adalah cucunya yang bernama Bening, tapi cucunya itu meninggal. Coba ibu bayangkan, seorang laki-laki tua yang merasa tidak punya siapa-siapa. Dewi selalu merasa trenyuh setiap kali menatapnya. Apalagi Dewi pernah disayangi karena dia menganggap Dewi adalah Bening.”

“Apa dia masih menganggapmu sebagai cucunya yang sudah meninggal itu?”

“Tidak, Kanjeng Ibu. Pak Hasbi sudah ingat kalau Bening sudah meninggal. Tapi dia tidak ingat bahwa Dewi adalah gadis yang pernah ditolongnya dan dianggapnya sebagai Bening, sampai kejadian berebut dengan ayahanda di kampus mas Listyo, lalu menyebabkan pak Hasbi dirawat di rumah sakit.”

“Kalau dia tidak ingat kamu, pasti dia tidak mau kamu selalu datang menjenguk.”

“Dia agak aneh. Merasa lupa-lupa ingat pada Dewi. Kemarin sore, ketika Dewi pamitan, dia sempat menegur, mengapa pulang, aku belum makan. Gitu. Tapi akhirnya dia hanya minta minum. Rupanya ada sedikit di memorinya tentang Dewi yang pernah dianggap sebagai cucunya, tapi itu belum membuatnya benar-benar ingat.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan di sana?”

“Entahlah, serasa ada yang mengikat Dewi untuk selalu mendekatinya dan menyayanginya.”

“Kamu banyak mengalami hal-hal yang luar biasa.”

“Apakah Kanjeng Ibu akan marah kalau Dewi menyayangi pak Hasbi?”

“Tidak. Perbuatan kamu itu mulia. Ibu bangga sama kamu.”

“Terima kasih, Kanjeng Ibu.”

***

Seperti biasanya, sebelum berangkat kuliah Dewi memerlukan mampir ke rumah sakit untuk melihat dan melayani pak Hasbi, kalau pak Hasbi berkenan. Karena terkadang pak Hasbi masih menganggapnya sebagai orang yang sangat asing.

Pagi itu simbok baru membereskan pakaian kotor yang akan dibawa pulang. Wajahnya berseri ketika melihat Dewi datang.

Masih di depan pintu ketika simbok bergegas mendekati dan berbisik.

“Tuan agak aneh pagi ini.”

“Kenapa?” tanya Dewi, dengan suara lirih juga.

“Tiba-tiba bertanya, gadis yang kemarin itu, tidak datang lagi kemari, gitu Non.”

“Masa?”

“Saya akan pulang dulu, Non dekati tuan, pasti tuan senang.”

Dewi mengangguk senang. Rupanya pada alam bawah sadarnya, si kakek masih mengenal seorang gadis yang sangat dekat dengannya dan dianggapnya cucunya. Hanya saja ia belum sepenuhnya bisa menerima. Bahkan cerita simbok yang dikatakan dengan menggebu-gebu, tidak begitu saja menggugah ingatannya.

“Kakek … “ sapa Dewi dengan manis.

“Mengapa kamu datang kemari?”

Dewi tertegun. Tapi dia mencoba tersenyum.

“Kakek sudah makan? Kalau belum, akan Dewi suapin.”

“Sudah sama simbok. Jangan sampai membuat kamu repot.”

“Minum ya?”

“Tadi juga sudah minum.”

“Kakek tidak suka ya, Dewi datang kemari?”

“Aku bukan siapa-siapa kan?”

”Kalau Kakek tidak suka, Dewi akan pergi,” kata Dewi sambil membalikkan tubuhnya. Dewi tak lagi melihat bayangan simbok. Pasti sudah pergi sejak dirinya mendekati pak Hasbi.

“Tunggu.”

Dewi tersenyum, tapi ia menghentikan langkahnya, kemudian dia membalikkan tubuhnya. Ia melihat mata tua yang penuh harap. Dewi mendekat.

“Aku belum minum susu,” kata pak Hasbi lemah.

Dewi menoleh ke arah meja, segelas susu masih utuh belum disentuh.

“Kakek mau aku melayani minum?” katanya sambil meraih gelas susu.

“Apa kamu repot karena aku?”

“Tidak. Bukankah Kakek adalah kakekku?” katanya sambil meraih sedotan, memasukkannya di gelas susu, lalu pak Hasbi menyedotnya hampir setengah gelas.

“Kenapa tidak dihabiskan?”

“Apa benar aku adalah kakekmu?”

Dewi meletakkan gelas susu ke meja kembali.

“Aku suka menjadi cucumu. Aku bukan Bening, tapi bolehkah aku menggantikannya?”

“Bening tidak tergantikan.”

“Benar, setidaknya aku bisa menemani Kakek seperti Bening menemani sebelum ini.”

“Terkadang aku ingin Tuhan segera memanggilku,” katanya lirih, tanpa menatap ke arah Dewi.

“Kakek tidak boleh berkata begitu. Mati dan hidup itu bukan kita yang menentukannya. Perkataan itu menunjukkan bahwa Kakek putus asa. Putus asa itu tidak baik dan tidak boleh.”

“Aku merasa hidupku tidak punya arti.”

“Mengapa Kakek berkata begitu?”

“Apa kamu tahu, apa yang harus aku lakukan?”

“Yang Kakek harus lakukan adalah menyayangi Dewi seperti sebelum Kakek jatuh sakit.”

Pak Hasbi menatap Dewi lekat-lekat, dan tanpa terasa air mata sudah menggenangi pelupuknya.

Dewi meraih tissue dan mengusapnya lembut.

“Sayangi Dewi, seperti sebelum ini. Dewi sudah tidak punya kakek, jadilah kakekku. Mau kan Kek?”

Pak Hasbi memegang tangan Dewi erat.

“Apa kamu bersungguh-sungguh?”

Dewi hanya mengangguk. Air matanyapun hampir runtuh melihat mata tua cekung yang menatapnya tak berkedip.

“Ayo kita pulang.”

“Kakek, saat ini Kakek masih sakit. Jadi menunggu apa kata dokter. Tapi Dewi janji akan datang kemari setiap hari, sebelum dan sesudah pulang kuliah.”

“Kamu sudah jadi mendaftar ulang?”

Rupanya pak Hasbi ingat ketika mengantarnya ke kampus dengan alasan akan mendaftar ulang. Itu kan Bening, menurut pak Hasbi? Tapi Dewi belum ingin banyak bicara. Ia hanya mengangguk.

“Sekarang Dewi mau kuliah dulu ya Kek. Sebentar lagi simbok akan kembali. Nanti sepulang kuliah Dewi akan kemari lagi.”

Pak Hasbi menatapnya sambil tersenyum.

“Kamu cucuku ….”

***

Pak Sunu sedang berbincang dengan Satria di ruangannya, Banyak hal yang mereka bicarakan, dan pak Sunu merasa kagum atas kinerja Satria yang belum begitu lama tapi bisa menyelesaikan semua permasalahan dengan baik. Rupanya pak Sunu benar-benar ingin menempatkan Satria pada posisi pimpinan setelah dirinya kembali ke Jakarta. Walau hal itu merupakan sebuah anugrah, tapi Satria tidak bisa langsung menerimanya. Ia merasa terlalu kecil dan belum banyak pengalaman.

“Kamu bisa melakukannya. Sebulan lagi aku harus kembali ke Jakarta dan kamu pasti sudah siap melakukannya. Jangan khawatir, aku masih akan selalu membantumu.”

Satria terdiam. Baru kemarin malam Andra dan istrinya memberikan rumah tinggalnya untuk ditempati, sekarang pak Sunu ingin mempromosikan dirinya untuk menggantikan kedudukan Andra. Satria tak bisa menerima begitu saja. Butuh perenungan untuk menerima anugrah yang tiba-tiba. Ia justru harus berhati-hati.

Ketika itu terdengar dering telpon di mejanya. Pak Sunu menerimanya dengan sangat serius. Wajahnya tegang ketika kemudian ia meletakkan gagang telponnya.

***

Besok lagi ya,

 

Saturday, August 23, 2025

MAWAR HITAM 48

 MAWAR HITAM  48

{Tien Kumalasari}

 

Melihat majikannya kelihatan bingung, simbok mendekat.

“Tuan, saya tadi kan bercerita banyak pada Tuan, tentang apa yang pernah Tuan lakukan kepada seorang gadis. Apa Tuan lupa?”

“Kamu tadi bercerita tentang aku, yang pada suatu pagi melihat seorang gadis terluka dipinggir jalan.”

“Ya Tuan. Apa Tuan lupa bahwa Tuan melakukan suatu perbuatan mulia, dengan menolong gadis itu, membawanya pulang, lalu Tuan memanggil pak Mantri?”

“Sebentar, aku kok lupa-lupa ingat.”

“Karena Tuan lupa-lupa ingat, maka saya ingatkan.”

“Gadis yang Tuan tolong itu, ya dia ini. Yang cantik dan baik hati, yang selalu menyenangkan hati Tuan.”

“Kamu, gadis itu?” tanyanya sambil menatap Dewi dengan tatapan tajam.

“Dan kakek memanggil aku Bening.”

“Masa aku lupa pada cucuku sendiri. Kamu sama sekali tidak mirip Bening.”

“Benar Tuan. Non Dewi ini sebenarnya tidak mirip non Bening. Tapi Tuan tetap saja memanggilnya Bening. Sejak awal dia mengatakan kalau namanya Dewi, tapi Tuan memaksakan kehendak. Tuan selalu menganggap bahwa non Dewi ini adalah non Bening.”

Pak Hasbi masih menatap Dewi tak berkedip.

“Aku melakukan itu? Padahal gadis ini tidak mirip Bening. Ya kan Mbok?”

“Benar Tuan. Sama-sama cantik tapi tidak mirip satu sama lain.”

“Dia gadis baik,” gumam pak Hasbi.

“Dan non Dewi ini sangat menyayangi Tuan. Selama Tuan sakit, Non Dewi datang kemari setiap pagi dan siang, untuk menyuapi Tuan makan, mengambilkan minum, dan bercerita banyak pada Tuan.”

“Tapi kemarin ketika datang, dia mengatakan bahwa namanya Bening. Mengapa dia berbohong?”

“Karena selama ini Kakek selalu memanggilku Bening. Aku pikir Kakek masih menganggapku Bening, jadi aku mengatakan kalau aku adalah Bening. Tapi aku senang Kakek sudah ingat bahwa Bening sudah tidak ada. Hanya saja aku sedih karena Kakek melupakan  aku.”

“Aku tidak lupa, hanya lupa-lupa ingat. Wajah yang tidak asing, tapi aku belum sepenuhnya ingat dari aku menolong kamu, sampai kemudian aku terbaring di sini. Sebenarnya kenapa aku ini? Mengapa aku terluka?”

“Ada suatu peristiwa, dimana Kakek sedang menemui aku, ketika aku bertemu dengan kedua orang tuaku di kampus. Kakek dan ayahku berseteru, karena kakek mengatakan bahwa aku adalah Bening, lalu mengajak aku pulang, sedangkan ayahku merasa tak ingin kehilangan aku.”

“Apa aku berantem?”

“Kakek menarik aku, lalu ayahku mendorong kakek.”

“Lalu aku terjatuh?”

“Kakek tidak sadar, kami membawanya ke rumah sakit. Ayahku menyesal telah membuat kakek sakit. Maafkan ya Kek. Pada suatu hari nanti ayahku akan menemui Kakek untuk meminta maaf.”

Pak Hasbi memijit-mijit kepalanya.

“Kakek kenapa? Pusing ya? Biar aku yang memijit,” kata Dewi yang langsung memijit kepala kakek.

“Siapa dia?” tanya pak Hasbi ketika melihat Satria, berdiri diam agak jauh dari Dewi yang berdiri di seberangnya.

“Dia Satria, calon suami aku.”

“Calon suami kamu?”

“Aku jadi ingat Bening. Dulu aku ingin menjodohkan Bening dengan anak sahabatku. Dia pengusaha yang sukses, tapi kemudian bangkrut. Nama anak itu  Andra.”

“Andra?”

Satria terkejut.

“Tapi karena waktu itu Bening masih SMA, dia tidak mau menikah. Aku dengar Andra kemudian menikah dengan anak seorang pengusaha besar, namanya pak Sunu, anak gadisnya bernama Andira. Dari pak Sunu itu kemudian Andra menjadi menantu dan kepercayaannya. Lalu entahlah, aku sudah kehilangan orang-orang yang aku cintai, tidak ingin melakukan apa-apa lagi,” kata pak Hasbi sendu.

Dewi saling pandang dengan Satria. Pastilah Satria mengenal semuanya.

“Kakek, sekarang ini, Satria bekerja di perusahaan milik pak Sunu,” kata Dewi yang pastinya sudah tahu semuanya. Hanya saja Dewi belum tahu kalau Andra sedang terkena masalah sehingga pak Sunu memecatnya.

“Benarkah? Ya sudah, aku agak pusing karena mengingat-ingat, aku mau tidur dulu.”

“Kakek beristirahat saja dulu, saya dan Satria mau pulang. Besok saya kemari lagi.”

“Pulang? Kamu kan belum menyuapi aku?”

Dewi tertegun.

“Eh, bukan menyuapi, aku hanya ingin minum.”

Dewi tersenyum, ia segera mengambil gelas di atas meja, lalu mengambil sedotan, sehingga pak Hasbi dengan mudah meminumnya.

“Bening,” bisiknya setelah minum, dengan wajah menengadah ke atas. Ada yang diingatnya, ada juga yang dilupakannya.

***

Satria mengantarkan Dewi dengan sepeda motornya. Mereka mampir ke sebuah warung wedang ronde, karena hari sudah sore.

Mereka duduk saling berhadapan, menekan kerinduan yang menyesak. Mereka berhadapan, hanya mata mereka yang bicara.

“Pengalaman kamu luar biasa. Aku tak bisa membayangkan, kalau akhirnya bisa bertemu dalam suasana yang sangat aneh.”

“Aneh, menurutmu?”

“Aneh, karena kita bertemu, saling tatap, tapi tak bisa saling bicara dan melepaskan rasa kangen, gara-gara pak tua itu. Tapi akhirnya aku bisa bernapas lega karena semuanya telah berlalu.”

“Ini semua gara-gara Sinah tergila-gila sama kamu,” kata Dewi sambil menyendok bulatan ronde berisi kacang dicampur gula jawa.

“Aku menyesal. Bukan hanya kamu yang terkena imbasnya, tapi juga pak Andra. Sekarang dia masih ada di rumah sakit, dan dia dipecat oleh ayah mertuanya sendiri.”

“Dipecat?”

“Sebuah cerita yang sangat sulit dibayangkan. Apa kamu tahu, mengapa Sinah kemudian menjadi pengusaha rumah makan lalu menjadi kaya?”

“Itu yang ingin aku tanyakan, entah kepada siapa. Aku tidak percaya Sinah menjadi kaya, dan bisa bertindak sejahat itu.”

Lalu secara singkat Satria menceritakan semuanya, karena sejak awal Andra memang berterus terang kepadanya.

“Gitu ya? Yang aku heran, mengapa yang namanya Andra itu begitu menuruti kemauan Sinah? Bahkan yang tidak masuk akal sekalipun.”

“Ancamannya adalah kalau pak Andra tidak mau menuruti kemauannya, maka Sinah yang sudah beralih nama menjadi Mawar, mengancam akan melaporkan kejadian malam itu kepada keluarga bu Andira.”

“Bu Andira juga tidak tahu?”

"Tidak. Pak Andra takut di depak dari kedudukannya di perusahaan pak Sunu, dan takut diceraikan dengan istrinya yang sangat dicintai. Tapi karena Sinah sudah bertindak sangat keterlaluan, saat bertemu pak Sunu dia sendiri kemudian berterus terang.”

“Mengatakan tentang hubungannya dengan Sinah?”

“Ya, hari itu juga pak Sunu memecatnya, dan menyuruhnya bercerai dengan istrinya.”

“Kasihan, padahal sebenarnya pak Andra juga adalah korban. Tapi saat kejadian kan dalam keadaan mabuk?”

“Ya, sudahlah, tapi sebenarnya pak Sunu ingin menariknya kembali ke perusahaan, hanya saja pak Andra kelihatannya tidak mau.”

“Mungkin malu, terlanjut dipecat. Sekarang pak Andra masih sakit?”

“Ya, nanti malam setelah istirahat sebentar,  aku mau membezoeknya. Dia terluka, juga karena anak buah Sinah. Jadi terkadang aku merasa bahwa semua kejadian ini sumbernya adalah aku,” kata Satria penuh sesal.

“Ya sudah, tidak perlu disesali Sat, bukankah apa yang kita lewati ini adalah sebuah perjalanan? Sedangkan orang berjalan saja kadang juga tersandung, kadang terjatuh, kadang terluka. Ya kan? Bahwa kemudian kita bisa melewatinya, kita harus mensyukurinya.”

“Sejak kapan calon istriku bisa berkata bijak seperti ini?”

“Aku adalah bagian dari kehidupan ini Sat. Aku juga sedang berjalan, melintasi padang, melintasi belantara, mengarungi lautan, mendaki gunung menuruni lembah yang curam.”

“Tapi percayalah bahwa pada suatu hari kita akan sampai di sebuah muara yang semoga penuh dengan keindahan.”

“Aamiin.”

“Kalau sudah selesai, kita pulang. Hari sudah sore, nanti malam aku mau membezoek pak Andra, semoga saja keadaannya sudah lebih baik.”

“Aku mau ikut, boleh?”

“Aku tahu mengapa kamu ingin ikut. Kamu ingin melihat pak Andra, yang katanya pernah dijodohkan dengan Bening kan?”

Dewi terkekeh lucu. Banyak yang aneh di dunia ini.

***

 

Saraswati sedang berada di kamar mbok Manis, yang sudah beberapa hari terbaring sakit. Saraswati tahu, mbok Manis terlalu sedih memikirkan anaknya. Ya memikirkan kejahatan yang dilakukannya, ya memikirkan hukuman yang akan dijalaninya.

“Mbok, makanlah. Kalau kamu tidak makan, tidak bisa segera sembuh.”

“Tidak bisa menelan makanan, Den Ayu. Hati simbok ini seperti sudah hancur berkeping-keping.”

“Dulu ketika aku sedang bersedih, kamu pernah bilang, bahwa manusia itu sekedar menjalani. Baik suka maupun duka, itu merupakan jalan hidup yang harus dilewati. Mengapa kamu sendiri seperti ini?”

“Ternyata semuanya tidak semudah kata-kata.”

“Apa kamu tahu, Sinah sudah ketemu.”

“Ya, yu Randu sudah mengatakannya. Apa bedanya semua itu bagi saya? Sinah tetap akan dihukum, dan sekarang pasti akan lebih berat karena dia nekat kabur dari tahanan.”

“Kita doakan ya Mbok, semoga semuanya baik-baik saja.”

Mbok Manis tak menjawab. Matanya menerawang menatap langit-langit. Tak ada air mata menetes, yang barangkali sudah kering karena sehari-hari hanya menangis yang dilakukannya.

“Kamu ingin menemuinya Mbok?”

“Tidak Den Ayu. Kalau saya ketemu, hati saya hanya akan bertambah hancur.”

“Siapa tahu dengan pertemuan itu, hati simbok merasa lega, dan Sinah juga merasa bahwa ada orang tuanya yang memperhatikan dia.”

“Entahlah, apakah pertemuan itu bisa membuat saya lega, atau justru membuat saya bertambah hancur.”

“Simbok adalah seorang ibu. Seorang ibu memiliki kekuatan yang tak ada duanya. Ia sanggup merasa sakit, sanggup menderita, demi anak yang dilahirkannya. Kekuatan seorang anak juga ada pada ibunya. Kalau keadaan simbok sudah lebih baik, tengoklah dia.”

Mbok Manis tidak menjawab. Dia tidak menggeleng, tidak pula mengangguk. Ketika menyadari bahwa Sinah tidak mematuhi pesannya, ia merasa bahwa Sinah sudah meninggalkannya.

***

Andra masih berada di rumah sakit, tapi besok pagi ia ingin pulang. Ia merasa bahwa istirahat di rumah lebih nyaman daripada di rumah sakit. Lagi pula semakin lama di rumah sakit, biayanya akan semakin membengkak. Andra bertekad akan mempergunakan sisa uangnya untuk berusaha. Hidup harus berlanjut, dan hidup perlu biaya. Untuk makan, berpakaian, dan masih banyak kebutuhan lainnya. Apalagi kalau Andira tetap ingin selalu bersamanya. Walau begitu Andra masih ragu. Sang istri yang terbiasa hidup mewah, apakah bersedia hidup serba kekurangan bersamanya?

“Mengapa Mas selalu meragukan aku? Aku mencintaimu, dan aku akan selalu bersamamu.”

“Dalam suka maupun duka?”

“Dalam suka maupun duka, dalam sedih atau bahagia.”

“Baiklah. Aku akan mencoba mencari kotrakan untuk rumah kita setelah keluar dari rumah sakit.”

“Mengapa harus ngontrak? Mas kan punya rumah.”

“Rumah itu dibeli dengan uang perusahaan, aku tidak mau memakainya.”

“Tapi untuk apa Mas, rumah itu kosong. Tidak terpakai.”

“Aku akan memulai hidup ini dari nol.”

“Selamat malam,” sebuah sapa membuat keduanya menoleh ke arah datangnya suara. Satria datang bersama Dewi.

“Sat, apa kabar?”

“Saya baik. Bagaimana dengan pak Andra?”

“Saya sudah sehat, besok saya sudah siap keluar dari rumah sakit. Oh ya, kenalkan, ini istriku, Andira.”

Mereka saling bersalaman, demikian juga Dewi.

“Ini Dewi,” kata Satria.

“Sudah sering mendengar namanya, tapi baru sekarang bertemu.”

“Senang bertemu dengan pak Andra dan bu Andira,” kata Dewi ramah.

“Saya juga senang bertemu kalian. Oh ya Mas, aku ada usul, bagaimana kalau rumah yang tadi kita bicarakan, biar dipakai mas Satria ini? Nanti kalau mereka sudah menikah juga butuh rumah kan?” kata Andira kemudian kepada suaminya. Ia sudah tahu tentang Dewi dan Satria karena Andra pernah menceritakannya.

“Usul yang bagus. Bagaimana Sat? Rumah itu kosong, aku tidak mau lagi tinggal di sana.”

“Wah, jangan Pak, saya sudah nyaman tinggal di rumah kontrakan saya.”

“Kamu kan manager, harus punya rumah yang pantas dong. Tuh, Andira sudah mengijinkan.”

“Iya, mau ya? Besok kalian boleh melihat-lihat. Perkakasnya sudah lengkap. Kalau ada yang kurang, bilang saja,” sambung Andira.

“Masalah itu nanti saya pikirkan dulu.”

“Begini Sat, kamu pindah ke rumah itu, aku gantian pindah di rumah kostmu.”

“Apa?” Satria dan Dewi terkejut.

***

Hari itu karena dipaksa, Mbok Manis mau menjenguk Sinah di rumah tahanan, lagi-lagi diantar mbok Randu. Tapi ia kembali tak bisa menemuinya. Kecuali Sinah tak boleh dijenguk, saat itu Sinah berada di rumah sakit.

“Di rumah sakit? Kenapa?”

“Kemarin dia perdarahan, karena ternyata dia hamil.”

“Apa?”

“Lagipula luka-luka di tubuhnya infeksi karena tidak mendapat penanganan ketika dia kabur.”

Mbok Manis terduduk lemas.

***

Besok lagi ya.

 

 

Friday, August 22, 2025

MAWAR HITAM 47

 MAWAR HITAM  47

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi menuding ke arah perempuan itu.

“Kamu siapa?”

Perempuan lusuh dan bau itu merangkapkan kedua belah tangannya.

“Bapak, saya mohon. Ijinkan saya bersembunyi di sini sebentar saja, sampai orang yang mengejar saya pergi. Setelah itu saya tidak akan mengganggu Bapak lagi.”

“Aku bertanya, kamu itu siapa?”

“Saya Mawar … boleh Ya Pak, saya ke sana saja, dekat kamar mandi, dibalik kulkas itu, saya mohon. Orang-orang jahat mengejar saya.”

“Melihat penampilan kamu, pasti kamu orang jahat itu, bukan orang jahat yang mengejar kamu.”

Perempuan itu gemetar. Dia memang Sinah. Setelah melompat dari lobang angin di kamar mandi saat dia pura-pura ingin ke kamar mandi, Sinah terluka di bagian kaki yang menginjak batu runcing, dan lengannya juga terluka oleh bebatuan. Tapi ia terus berlari. Ia melihat sungai di sana, secepat kilat berlari, melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, lalu terjun ke dalam sungai yang lumayan dalam. Ia mendengar langkah-langkah kaki mendekati sungai, lalu ia menenggelamkan dirinya. Sinah adalah gadis dusun yang sejak kecil suka bermain di sungai. Berenang, menyelam, adalah permainannya. Karenanya ia betah bersembunyi di dalam air, yang diatasnya ada ranting-ranting dan akar pohon yang berjuntai. Tak ada yang mengira kalau tahanan yang kabur berada di dalam sungai. Apalagi ia seorang perempuan. Sinah juga tahu bahwa polisi menyusuri sepanjang aliran sungai. Tubuhnya timbul tenggelam selama beberapa jam. Lalu setelah situasi dianggap aman, ia keluar dari sana, mencari jalan keluar, kemudian mampir ke sebuah poliklinik yang buka sore hari. Ia mengaku terjatuh ke sungai, lalu melepaskan jam tangan yang dipakainya untuk membayar, karena ia tak punya uang sepeserpun.

Ia masih punya cincin yang kemudian dijualnya sembarangan, untuk membeli makanan. Ia selalu mencari tempat bersembunyi dan mencurigai setiap ada yang mengawasinya. Ketika kemudian lukanya terasa sakit, ia tak berani lagi pergi berobat. Ia menahan lukanya, dan berjalan sembunyi-sembunyi, bahkan tak berani membeli pakaian yang bersih walau bajunya kotor oleh lumpur. Ketika ia sedang mau membeli makanan, tiba-tiba ia mendengar sirene mobil polisi. Sinah dengan sigap berdiri dari warung yang disinggahinya, kemudian berlari diantara lalu lalang orang yang berbelanja di area pertokoan itu.

Tanpa disangka, polisi yang sedang berpatroli, mencurigai gerak gerik Sinah yang seperti orang ketakutan, padahal mereka tidak sedang bertugas untuk mencari tahanan yang kabur. Mereka turun dan mengejarnya. Sinah menahan rasa sakitnya, dan terus berlari, kemudian memasuki sebuah halaman rumah sakit. Beberapa petugas menegurnya, tapi Sinah tetap saja masuk, lalu tanpa diduga ia memasuki sebuah kamar, yang ternyata adalah kamar rawat pak Hasbi.

Tapi pak Hasbi tidak menerimanya dengan ramah. Ia justru menatapnya dengan jijik. Sinah menyadari, berhari-hari tidak mandi, lukanya tidak diobati, bajunya kotor dan tentu saja bau badan dan baju itu berbaur menimbulkan aroma yang menusuk hidung.

“Pak, saya minta maaf, tolonglah saya, saya ingin selamat, mereka akan membunuhku.”

“Tidak ada orang membunuh sembarangan. Memangnya ini di hutan?”

“Pak, tolonglah saya. Saya luka parah, saya dikejar penjahat, walau tidak dibunuh, saya pasti akan disiksa.”

“Mbok, suruh dia pergi, kamar ini menjadi berbau. Aku yakin dia orang jahat.”

“Pak, tolonglah saya.”

Sinah yang keras kepala dan tak ingin kalah oleh siapapun, sekarang bersimpuh lalu kepalanya dibiarkan menyentuh lantai, sambil berkata menghiba.

“Tolonglah saya … “ katanya memelas.

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk, lalu seseorang masuk. Sinah terkejut, ia mengangkat kepalanya, lalu matanya terbelalak ketika melihat siapa yang masuk.

Dewi, setelah memberi kesempatan simbok untuk bercerita, lalu berusaha kembali untuk melihat, apakah pak Hasbi sudah ingat dirinya, atau belum. Begitu melihat orang sedang bersimpuh mencium lantai, ia merasa heran, dan heran itu bercampur terkejut ketika melihat siapa dia. Ia segera keluar dan berusaha lapor kepada polisi, tapi Sinah berteriak.

“Kalau kamu lapor polisi, orang tua itu akan aku bunuh!”

Dan entah bagaimana dan dari mana, Sinah sudah memegang sebilah belati, lalu melompat ke arah pak Hasbi.

Dewi urung keluar.

“Jangan berteriak, apalagi lapor polisi.!!”

“Sudah aku duga, kamu orang jahat,” kata pak Hasbi.

“Sinah! Kamu dimana-mana melakukan kejahatan. Kapan kamu bertobat?”

“Aku? Bertobat? Aku harus bisa mencapai semua keinginanku. Kalau kamu berikan Satria, aku akan bertobat,” kata Sinah, lantang.

“Satria tidak akan mau berdekatan dengan orang jahat seperti kamu. Lebih baik kamu menyerah, sehingga dosamu diperingan.”

“Omong kosong apa kamu itu, kamu kira aku orang bodoh? Aku tidak mau dipenjara. Biarkan aku sembunyi di sini, sampai aku bisa keluar dengan selamat, maka pak tua ini masih akan bisa hidup lebih lama.”

“Non, biarkan saja dia bersembunyi di sini, agar tuan tidak diapa-apakan,” kata simbok yang ketakutan.

“Tidak bisa, biarkan dia membunuh aku, asalkan penjahat bau ini tertangkap,” kata kakek dengan suara pelan tapi tandas.

“Oh ya, benarkah kamu sudah bosan hidup?”

“Sinah, sadarlah. Simbokmu sakit gara-gara memikirkan kamu.”

“Oh ya, aku lupa kalau aku punya simbok. Dia sudah kenyang hidup enak dan tidak kekurangan walau dia hanya gedibal keluargamu.”

“Dewi meraba ponselnya, ia ingin menghubungi Satria, yang walau tidak bisa bicara, tapi kalau tersambung, pasti dia akan mendengar apa yang terjadi. Tapi gerakan tangannya terlihat oleh Sinah yang berdiri di samping kepala pak Hasbi.

“Jangan menghubungi siapapun!” teriak Sinah.

Dewi melangkah mendekat, tapi Sinah sudah meletakkan ujung pisaunya di leher pak Hasbi. Simbok menangis keras, tapi Sinah membentaknya.

“Diam!! Aku bunuh bendoro kamu ini kalau kamu nekat menangis.”

Simbok menutup mulutnya.

Dewi berdiri hanya beberapa tindak di depan Sinah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba simbok berdiri, berusaha keluar dan minta pertolongan.

“Heii! Lihat. Bendoromu hampir mati.”

“Sinah, mengapa kamu tidak sadar bahwa perbuatanmu akan menambah hukumanmu bertambah banyak?”

Simbok sudah berhenti melangkah.

“Laporkan polisi saja, biar saja kalau dia ingin membunuhku.”

Ponsel Dewi berdering, Dewi ingin mengambilnya dari dalam tas, tapi Sinah lagi-lagi melarangnya.

Sekarang Dewi hanya berharap, ada perawat masuk, tapi tampaknya belum saatnya ada perawat memasuki kamar pak Hasbi.

Dering ponsel berkali kali terdengar, Dewi tak berani menyentuhnya.

Sinah sudah gelap mata, tampaknya tak ada jalan untuk meloloskan diri. Tiba-tiba ia melambaikan tangan ke arah Dewi.

“Sini kamu, Den Ajeng!”

Tak ada yang bisa dilakukan Dewi kecuali menurut.

“Lebih dekat.”

Dan tanpa diduga, Sinah meraih tangan Dewi dan mencengkeramnya keras.

“Apa maksudmu?”

“Antarkan aku keluar,” katanya sambil memindahkan arah belati yang dibawanya ke dada Dewi.

“Sinah!”

“Antarkan aku keluar dari sini, tapi ambilkan aku baju. Gedibal! Cepat!”

“Ba … baju apa?”

“Bajumu atau baju siapa, terserah, asalkan aku bisa ganti baju. Den Ajeng, bawa aku mengikuti dia.”

Dewi memberi isyarat agar simbok menuruti kemauannya. Simbok beranjak ke dekat kamar mandi, mengambil bajunya yang memang dibawanya untuk berganti pakaian karena dia selalu tidur di rumah sakit. Ia memberikan baju itu kepada Sinah.

“Lepaskan bajuku, kenakan baju itu!” titahnya.

Sinah tak mau melepaskan pegangannya pada belati yang mengarah ke tubuh Dewi. Simbok terpaksa menurut, melepaskan baju kotor dan bau itu, lalu mengenakan bajunya kepada Sinah.

Tanpa diduga, pak Hasbi memencet tombol untuk memanggil perawat, yang begitu Sinah sudah berganti baju, seorang perawat masuk.

Dewi berharap bisa terlepas dari suasana mencekam itu, tapi Sinah juga mengancam perawat agar tidak melakukan apapun. Perawat itu bingung, tidak menduga ada kejadian tak terduga, tapi ia kemudian hanya tegak berdiri.

“Ayo antarkan aku keluar,” perintahnya kepada Dewi. Pisau belati yang dibawanya sekarang berada di dalam baju Dewi yang kebetulan memakai blous sehingga tangan Sinah bisa masuk ke dalamnya.

Sebelum keluar, ia mengancam kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan.

“Kalau kalian melapor atau melakukan apa saja yang bisa membuat aku tertangkap, perempuan ini tak akan selamat!”

Seperti kelihatan sedang merangkul Dewi, Sinah mendorong Dewi keluar dari ruangan.

“Antarkan aku sampai aku mendapatkan tempat yang aman,” bisiknya penuh ancaman.

“Sinah, kamu mau lari kemana? Lebih baik menyerah saja.”

“Antarkan aku kemana saja. Cari kendaraan, becak juga tidak apa-apa, atau taksi? Terserah, tapi kamu tetap harus ikut sampai aku benar-benar berada di tempat yang aman. Untunglah polisi tidak mengejarku sampai kemari.”

Tapi Sinah keliru, gaung sirene mobil polisi terdengar, lalu serombongan polisi keluar dari sana.

“Ternyata dia tahu kalau aku pergi kemari,” gumam Sinah.

Dewi berdebar. Apakah dia bisa tertolong?

Pada saat itu seluruh petugas rumah sakit sudah keluar. Perawat tak harus berhenti hanya karena ancaman Sinah. Ia tetap melapor atas kejadian mencekam itu.

Tapi dasar Sinah, dia tetap berjalan santai, seperti bukan orang yang sedang melarikan diri. Polisi mengamati wajah Dewi, dan wanita disampingnya yang merangkulnya. Mereka curiga karena rangkulan itu menerobos ke dalam baju atasan Dewi.

Tiba-tiba seseorang berteriak.

“Dewi!”

“Satria.” Dewi hampir menangis karena gembira.

“Jangan mendekat! Keselamatan dia ada di tanganku!”

Satria tertegun. Ia mendekat ke arah para polisi, dan mengatakan bahwa pesakitan yang mereka buru sedang mengancam keselamatan Dewi.

Polisi sudah tahu, mereka sedang mencari celah untuk bisa menangkap tapi jangan sampai mencelakai orang yang diancamnya.

Tiba-tiba seorang satpam memukul kepala Sinah dari belakang, membuat Sinah menjerit dan terjungkal. Belati itu terlempar. Dewi segera menghambur ke arah Satria, dan menangis terisak di sana.

Drama aneh yang mencekam itu berakhir dengan ditangkapnya Sinah.

***

Dewi dan Satria kembali ke ruang rawat pak Hasbi. Seorang perawat dan dokter sedang memeriksa dan menangani pak Hasbi, yang sedikit shock akibat kejadian tadi.

“Bagaimana keadaan kakek?”

“Pak Hasbi tidak apa-apa, sudah tertangani. Dia sudah lebih tenang,” kata dokter.

“Terima kasih, dokter.”

Ketika dokter dan perawat itu pergi, Dewi mendekati pak Hasbi.

“Kakek baik-baik saja?”

“Syukur kamu selamat. Kamu gadis yang baik. Tapi siapa sebenarnya kamu?”

Dewi tertegun. Simbok belum berhasil dengan ceritanya?”

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, August 21, 2025

MAWAR HITAM 46

 MAWAR HITAM  46

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi melotot memandangi wajah Dewi dengan kesal, seperti melihat orang asing yang tiba-tiba ingin mendekatinya, entah dengan maksud apa. Dewi membalas tatapan itu dengan linglung.

“Kakek,” ucapnya lirih, tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.

“Kamu memanggil aku apa? Kakek? Kapan aku menikah dengan nenekmu?”

“Kakek bercanda kan?”

“Apa maksudmu? Memangnya kamu siapa sehingga aku mengajakmu bercanda? Mengajak bercanda orang asing, membuang-buang waktuku saja. Pergilah,” katanya sengit.

Dewi tertegun, Pak Hasbi benar-benar tidak sedang bercanda. Tapi ia mencoba mengajaknya bicara lagi.

“Kakek, aku ini Bening,” katanya hati-hati.

“Apa? Kamu pikir aku ini, karena tua, lalu kamu menganggapku pikun, sehingga kamu bisa menipuku begitu saja?”

Dewi terpana. Sekarang ia yakin, pak Hasbi sudah sadar bahwa dirinya bukan Bening. Memang, pada awal pemeriksaan, ketika dokter bisa membuatnya sadar, secara terpisah Dewi dan Satria mengatakan kepada dokter, bahwa pak Hasbi memerlukan diperiksa oleh seorang psikiater, dan Dewi lalu menceritakan semuanya tentang sikap pak Hasbi yang menganggapnya sebagai cucunya yang sudah meninggal. Pemeriksaan syaraf juga segera dilakukan.

“Apakah Kakek sudah sadar?” gumamya lirih.

“Mengapa kamu tidak pergi juga? Jangan lagi memanggilku kakek. Aku bukan kakekmu. Aku ini sebatang kara, aku ini sendirian … sepi … senyap … dan aku seperti melayang diudara, tanpa pegangan, tanpa tahu harus berbuat apa. Bolehkah aku mati saja menyusul anak dan cucuku? Mengapa mereka yang masih muda sudah lebih dulu pergi, sedangkan tulang tua ini masih harus hidup merasakan sepi dan kesepian?” suara pak Hasbi semakin lirih, air matanya bercucuran. Dewi ikut merasa sedih. Berhari-hari bersama pak Hasbi, ia merasa disayang dan dicintai, walaupun sayang dan cinta yang semu karena yang dimaksud bukan dirinya. Sekarang melihat pak tua itu tampak begitu sedih, Dewi tak bisa lagi menahan air matanya.

Perlahan dia mendekat, meraih tissue dan mengusap lembut pipi tua yang basah oleh air mata.

“Kakek,” ucapnya lembut.

Pak Hasbi membuka matanya yang tak segarang tadi. Kesedihan membuatnya luluh dalam rasa yang tak bisa dilukiskannya. Seorang gadis memanggilnya kakek dengan lembut.

“Kamu bukan Bening,” bisiknya dengan bibir gemetar.

“Kakek, aku memang bukan Bening. Aku Dewi.”

“Mengapa kamu tega berbohong pada laki-laki tua kesepian ini? Apa yang kamu harapkan dari aku dengan kebohongan itu?”

Ini namanya celaka tigabelas. Pikir Dewi. Dia yang nekat tapi sekarang menuduhnya berbohong. Dewi tak tahu harus dari mana dia mengatakan semuanya. Barangkali tak mudah juga.

“Jangan diam. Katakan apa maksudmu.”

“Kakek, aku tidak ingin membohongi Kakek.”

“Mengapa kamu menangis? Apa maksudmu dengan tangis itu? Mengasihani aku? Apakah rasa kasihan itu bisa menghilangkan kesedihanku? Kesepianku? Aku tidak butuh belas kasihanmu. Pergilah, apa pedulimu dengan nasib laki-laki tua seperti aku?”

“Kalau Kakek merasa kesepian, tidak apa-apa menganggapku sebagai Bening,” Dewi mencoba menghibur pak Hasbi dengan perkataan itu. Tapi pak Hasbi justru menatapnya dengan kesal.

“Bening itu cucuku, tak tergantikan. Apa maksudmu dengan menganggap dirimu sebagai Bening?”

“Kakek yang selalu menganggapku sebagai Bening, apa Kakek lupa?”

“Apa? Kamu pintar mengada-ada ya. Mana simbok, Simboook!” panggilnya keras.

“Simbok baru membawa pakaian kotor ke rumah, nanti dia akan kemari kalau pekerjaannya sudah selesai. Dia juga akan membawa pakaian bersih untuk kakek.”

“Kamu jangan sok tahu tentang pembantuku. Dia itu pembantu setiaku, yang menemani aku sejak anakku belum menikah.”

“Saya mengenal simbok dengan baik.”

“Apa kamu tetangga desanya yang sering mendengar cerita keluargaku dari pembantuku itu?”

" Waduh, kok jadi ngelantur begini." keluh Dewi dalam hati.”

“Baiklah Kakek, aku mau kuliah dulu, nanti aku kemari lagi,” katanya sambil meraih tangan pak Hasbi dan diciumnya.

“Kamu pastinya gadis baik, jangan sekali-sekali melakukan perbuatan buruk dengan berbohong,” kata pak Hasbi, tak ada manis-manisnya.

Tak ada yang bisa diperbuat Dewi kecuali pergi meninggalkannya, masih dengan rasa kasihan yang memenuhi kepalanya. Pak Hasbi sudah ingat bahwa Bening sudah meninggal, tapi tidak ingat bahwa dia telah menemukan dirinya saat terluka lalu menganggapnya sebagai Bening, cucunya.

Kakek menatap punggung Dewi yang kemudian menghilang di balik pintu. Tiba-tiba perasaan kosong menyergapnya.

“Mengapa aku merasa mengenal gadis itu? Benarkah dia punya niat jahat?”

Pak Hasbi memijit kepalanya yang berdenyut.

***

Adisoma dan Saraswati masih berada di rumah yang ada di Jogya. Mereka sedang memperbincangkan Sinah yang melarikan diri dari tahanan.

“Kok bisa ya Kangmas. Sinah itu kan perempuan. Dia bisa memanjat tempat air di kamar mandi, lalu melompat ke arah lobang angin, trus terjun ke bawah, dan masih bisa lari.”

“Sinah itu kan sudah menjadi penjahat yang benar-benar penjahat. Pasti punya banyak cara untuk melakukan sesuatu. Tapi ia tidak akan selamat. Mau lari ke mana dia?”

“Buktinya sudah dua hari belum juga tertangkap. Sungguh aneh. Bagaimana caranya dia menyembunyikan diri?”

“Entahlah, aku juga belum bisa membayangkan, bagaimana dia bisa melarikan diri. Padahal katanya dibelakang kantor polisi itu ada sungai.”

“Kabarnya ditepian sungai sudah diobrak-abrik, dan polisi juga sudah menyusuri sepanjang aliran sungai. Tapi tidak ketemu.”

“Jangan-jangan dia sudah meninggal karena tenggelam.”

“Ah, Kangmas jangan mendoakan itu, kasihan mbok Manis.”

“Aku tidak mendoakan. Kemungkinan itu kan ada.”

“Kalau meninggal pasti hanyut. Tapi tidak. Semoga dia selamat. Biar dipenjara tapi jangan meninggal. Mbok Manis pasti sedih sekali. Sekarang saja dia sudah jatuh sakit, pasti karena memikirkan anaknya.”

“Bagaimanapun aku sudah senang, Dewi sudah kembali ke rumah.”

“Dewi masih memikirkan pak Hasbi. Dia itu hatinya penuh kasih sayang. Dia tidak tega meninggalkan pak Hasbi sendirian.”

“Berarti kalau pak Hasbi sembuh dan pulang, dia akan ikut bersama dia lagi?” kata Adisoma tak senang.

“Kangmas jangan khawatir. Dewi pasti punya cara untuk melakukan yang terbaik. Terbaik untuk dirinya, untuk kita, dan pastinya juga untuk pak Hasbi.”

“Sampai kapan akan begitu terus?”

“Kangmas harus sabar ya, pasti ada saatnya kita akan bersama lagi. Kita kan juga ada di Solo, anggap saja Dewi sedang kost di rumah pak Hasbi.”

“Hm, kamu dengan anakmu itu sama saja. Selalu memikirkan orang lain, bukan dirinya sendiri. Setiap hari, sebelum masuk kuliah, dibela-belain ke rumah sakit dulu, lalu sepulang kuliah juga begitu. Sore hari dia baru pulang kemari,” omel Adisoma.

Saraswati tersenyum.

“Kita hidup bersama orang lain, tentu saja kita juga harus memikirkan orang lain. Kalau kita berbuat baik, balasannya pasti juga baik.”

Adisoma tak menjawab. Ia menyeruput wedang sereh buatan mbok Randu. Saat mendung di pagi hari, minum wedang sereh terasa hangat dan nikmat.

“Tapi besok aku harus pulang. Aku sudah lama meninggalkan tugasku di keraton.”

“Kangmas, bolehkan aku berada di sini untuk beberapa hari? Aku masih ingin bersama Dewi setelah dia mengalami malapetaka. Lagipula Mas kan mau membelikan sepeda motor lagi untuk Dewi? Sepeda motornya rusak dan masih ada di kantor polisi.”

Hari ini juga aku akan membelikannya. Diajeng mau ikut memilih?”

“Boleh, berangkat sekarang? Tapi mendung lho Kangmas, nanti hujan.”

“Kita kan naik mobil, mana bisa kehujanan.”

***

Sepulang kuliah Dewi bukan langsung ke rumah sakit. Ia ke rumah pak Hasbi untuk bertemu simbok. Untunglah simbok belum berangkat ke rumah sakit.

“Untunglah saya belum berangkat, Non. Ada apa? Tuan memesan sesuatu?”

“Tidak Mbok, aku cuma mau berpesan sama Simbok, nanti kalau sampai di rumah sakit, simbok mau kan bercerita pada kakek, tentang pertemuannya dengan aku beberapa minggu yang lalu?”

“Maksud Non, bercerita tentang apa?”

“Alhamdulillah kakek sudah ingat bahwa Bening sudah meninggal.”

“Syukurlah, berarti Tuan sudah sehat dan sadar?”

“Tapi dia tidak ingat pada Dewi. Ketika aku datang dan mengaku sebagai Bening, kakek marah-marah.”

“Marah Non?”

“Marah, karena sudah ingat kalau Bening sudah meninggal, jadi dia marah karena aku mengaku sebagai Bening. Tapi sedihnya, kakek tidak ingat aku sama sekali. Aku dituduh mengada-ada, dan punya maksud buruk.”

“Owalah, apa Non tidak menceritakan bagaimana tuan menolong Non waktu itu?”

“Bagaimana aku bisa cerita Mbok, aku ngomong sedikit saja, sudah dimarahi. Kakek nggak akan mau mendengarnya. Aku sedih Mbok.”

“Jadi, Non minta agar saya berterus terang pada tuan mengenai bertemunya tuan dengan non Dewi?”

“Iya Mbok, barangkali setelah Simbok cerita, kakek bisa mengerti, lalu tidak membenciku.”

“Tapi nanti setelah tuan mengerti, dan ingat semuanya, apa Non akan pergi dari rumah ini?”

“Bagaimanapun aku terlanjur sayang pada kakek. Kalau kakek tidak keberatan, aku mau kok tetap dianggap sebagai cucunya.”

“Bukan main Non ini, hatinya sungguh baik dan mulia,” puji simbok.

“Ya bukan begitu Mbok, semua orang pasti juga akan melakukan hal yang sama kalau mengalami kejadian seperti aku.”

“Masa sih Non.”

“Ya sudah, simbok segera ke rumah sakit, nanti kakek menunggu lama, marah-marah lagi. Kan hatinya sedang kesal sejak aku menemuinya dan mengaku sebagai Bening.”

“Ya sudah, simbok berangkat sekarang, cari becak dulu.”

“Kita berangkat sama-sama saja. Sepeda motorku masih di kantor polisi, kalau tidak, simbok pasti aku boncengin. Itu becakku masih menunggu.”

“Kok di kantor polisi sih Non? Sepeda motornya salah apa?”

“Bukan sepeda motornya yang salah, tapi nanti akan dijadikan barang bukti, karena waktu kejadian, aku sedang memakai sepeda motor itu. Lagi pula motor itu rusak, jadi aku ke mana-mana naik becak lagi.”

“Ya sudah, saya ambil makanan dan baju-baju tuan dulu.”

***

Simbok sudah ada di rumah sakit. Bisa diduga, begitu simbok datang, pak Hasbi langsung bercerita tentang kedatangan seorang gadis bernama Bening, sementara dirinya sudah ingat kalau Bening sudah meninggal lama.

“Tuan tidak ingat gadis itu siapa?”

“Lupa-lupa ingat, seperti pernah melihat wajah seperti itu, tapi aku tidak mau kalau dia mengaku bernama Bening.”

“Tuan, dia itu non Dewi.”

“Tuh kan, dia tetangga kampungmu sana? Makanya dia bilang kalau mengenal kamu.”

“Bukan Tuan, dia itu seorang gadis yang tuan tolong saat pagi-pagi buta, ketika tuan sedang berjalan-jalan.”

“Aku menolongnya?”

“Tuan sama sekali tidak ingat?”

Pak Hasbi menggeleng. Lalu simbok menceritakan dari awal pak Hasbi membawa Dewi ke rumah dalam keadaan luka, dipanggilkan pak Mantri untuk mengobati, tapi menganggap bahwa Dewi itu Bening.

Pak Hasbi tampak mengingat-ingat, sambil simbok menyuapkan makanan yang dibawanya dari rumah, karena pak Hasbi tidak mau makan makanan dari rumah sakit.

Tiba-tiba seseorang nyelonong masuk. Bajunya kumal, lengan dan kakinya diperban karena luka.

“Eh … eh, siapa kamu?”

“Tolonglah saya, biarkan saya bersembunyi di sini,” katanya dengan suara gemetar.

“Nanti dulu, kamu siapa?”

“Nanti saja cerita, saya sedang dikejar orang jahat, biarkan saya bersembunyi, jangan katakan pada siapapun, apalagi yang sedang mengejar saja. Tolong,” katanya menghiba.

Pak Hasbi menatap tak senang. Lagi pula tubuh wanita itu kelihatan kotor dan bau.

***

Besok lagi ya.

MAWAR HITAM 49

  MAWAR HITAM  49 (Tien Kumalasari)   Mbok Manis gemetar menahan gejolak kepedihan yang merobek-robek batinnya. Cobaan apa ini? Mbok Randu m...