Wednesday, April 24, 2024

M E L A T I 27

  

M E L A T I    27

(Tien Kumalasari)

 

Nurin tertegun, menatap sahabatnya dengan kening berkerut, sementara Nilam hanya tersenyum-senyum lucu, melihat Nurin seperti orang bingung.

“Apa maksudmu, Nilam? Mas Daniel sebenarnya sudah punya anak atau belum sih?”

“Mengapa kamu menanyakan tentang anak? Kalau kamu jatuh cinta, tidak peduli dia itu punya anak atau belum, kan? Kenapa kamu seperti merasa bahwa itu adalah hal yang penting?”

“Ya ampun, Nilam. Aku ini kan masih muda. Tidak kebayang sih, bagaimana caranya mengasuh anak, apalagi anak tiri. Pasti sangat merepotkan, belum bagaimana caranya menyesuaikan diri sebagai ibu, dan  mengetahui bagaimana watak masing-masing. Kamu kan tahu, aku ini orang yang tidak sabaran. Bagaimana kalau anak tiriku itu merasa bahwa aku galak dan menindas.”

“Waduh, ternyata kamu juga belum siap punya anak. Bagaimana kamu ingin punya suami? Sementara orang menikah itu pasti punya keinginan untuk segera memiliki anak.”

“Entahlah, aku belum bisa membayangkan. Tapi banyak cara untuk mengasuh anak bukan? Menyewa baby sitter, misalnya.”

Nilam menggelengkan kepala dengan kecewa. Bagaimanapun Nurin sebenarnya belum siap berumah tangga. Ia hanya mengejar kesenangan. Jatuh cinta yang sebenarnya tidak ada dalam hatinya. Yang ada hanya suka, karena Daniel ganteng dan baik. Tapi apakah ia sanggup menjalani hidup berumah tangga dengan segala pernik-perniknya? Bukankah berumah tangga tidak sekedar meluapkan kasih sayang dan bersenang-senang?

“Jadi bagaimana Nilam, apakah mas Daniel sudah punya anak? Jawaban kamu membingungkan aku. Awalnya bilang punya, lalu baru saja kamu bilang belum punya. Gimana sih?”

“Nurin, yang lebih penting adalah mendidik diri kamu terlebih dulu agar menjadi dewasa. Bukankah keinginan berumah tangga adalah ketika seseorang merasa sudah matang dan bersiap untuk menjalaninya?”

“Maksud kamu, aku belum dewasa? Kamu lupa ya, kita ini seumuran?”

“Dewasa bukan tergantung pada umur. Ada yang masih sangat muda tapi bisa berpikir secara dewasa, ada yang sudah berumur tapi masih bersikap seperti anak muda.”

“Aku bingung.”

“Kamu hanya menyukai seseorang, berambisi ingin memilikinya, karena kamu terbiasa selalu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Bukankah kamu anak tunggal yang selalu dimanjakan? Bukankah kamu selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan? Sekarang ini kamu masih ada di fase itu. Ingin mendapatkan apa yang kamu inginkan, jangan sampai kalah dengan yang lain. Benarkah?”

“Aku?”

Nurin diam beberapa saat, mencoba merenungkan apa yang Nilam katakan.

Benarkah dirinya masih terbawa oleh kemanjaan yang diterima dari orang tuanya, yaitu harus selalu mendapatkan setiap kali dirinya menginginkan sesuatu? Dan sekarang ini dia menginginkan Daniel dan tak mau kalah oleh seorang gadis sederhana bernama Melati. Masa dirinya kalah dengan Melati? Dia sudah belajar berlaku manis, bersikap lembut dihadapan Daniel, tidak kelihatan mengejar, karena bukankah Nilam mengatakan bahwa dia harus merebut cintanya dengan cara terhormat? Tapi tiba-tiba sebuah sandungan membuatnya ragu. Anak kecil ganteng bernama Nugi, kalau benar dia anak Daniel, bisakah dia menerimanya?

“Nurin, berhentilah mengejar sesuatu yang kamu merasa sulit untuk menjalaninya. Kamu bukan kanak-kanak lagi, sedangkan yang kamu inginkan adalah kesenangan dan kepuasan.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Nurin, yang tiba-tiba lupa mendesak Nilam tentang ‘anaknya Daniel’.

“Kamu harus belajar menjadi dewasa. Melupakan kesenangan dan kepuasan, barulah kamu bisa mengejar cinta, yang pastinya cinta orang dewasa, yang pastinya juga akan bermuara pada kehidupan berumah tangga. Aku yakin kamu belum siap untuk itu.”

Nurin pulang tanpa membawa keyakinan yang tadi dikejarnya. Punya anak? Nurin merasa bahwa dia belum siap untuk itu. Baik anak sendiri, apalagi anak tiri.

***

Daniel sudah merasa sehat, luka dilengannya sudah mengering, rasa ngilu ditubuhnya sudah tidak begitu terasa, pusingnya juga sudah hilang. Besok pagi dia bersiap untuk pulang. Baru saja Ramon menelpon, menanyakan alamat rumahnya, agar bisa segera mengirimkan sepeda motornya yang tertinggal di rumah Harjo.

Ia sangat berterima kasih kepada Ramon, yang membuatnya dirawat di rumah sakit yang baik, dan ditempatkan di ruang inap yang mewah.

Hari masih sore, baru saja Daniel selesai mandi dan berganti pakaian, ketika Nilam tiba-tiba muncul.

“Bagaimana keadaan kamu Mas?”

“Baik, besok aku boleh pulang.”

“Jam berapa, nanti aku jemput.”

“Besok aku kabari. Kamu sendirian?”

“Iya, mas Wijan pulang agak malam. Ada banyak hal yang harus diselesaikannya.”

“Maklum, mas Wijan kan dipersiapkan untuk memimpin perusahaan nantinya, setelah pak Raharjo pensiun.”

“Iya, bapak sudah sering mengeluh lelah.”

“Bisa dimaklumi. Tapi pak Raharjo boleh bangga, memiliki mas Wijan yang pintar dan cekatan.”

“Benar. Apa Mas ingin bekerja di perusahaan bapak?”

“Tidak, tidak … duniaku bukan dunia pengusaha. Aku adalah hamba kesehatan, dan aku mencintai dunia itu. Semuanya sudah cukup bagiku. Bukankah aku pernah mengatakannya?”

Nilam mengangguk, sudah beberapa kali dia menawarkannya, tapi Daniel selalu menolak.

“Bagaimana tentang istri?” Nilam mulai memancing.

Daniel tersenyum.

“Belum ada yang bisa aku pastikan. Aku menyukai seseorang, tapi dia masih ragu menjawabnya. Ya sudah, aku harus bersabar kan?”

“Bagaimana dengan Nurin?”

“Mengapa kamu menyebut nama itu lagi? Aku kan pernah bilang bahwa aku tidak tertarik pada gadis itu.”

“Karena dia pengusaha, dan Mas takut tak bisa mengimbanginya?”

“Apakah perasaan cinta mengenal perasaan takut? Cinta adalah cinta. Kalau ada yang takut, itu bukan perasaan cintanya, tapi perasaan yang lain. Mungkin karena rendah diri, merasa tidak berharga, tidak seimbang dan sebagainya. Tapi kalau memang cinta, ya cinta saja.”

“Jadi menurut Mas, Melati itu sebenarnya cinta, tapi hanya takut mengutarakannya?”

“Dia selalu menganggap aku ini kerabat orang-orang kaya. Seperti dirimu, misalnya. Padahal kan aku ini orang yang sederhana.”

“Mas orang yang sederhana, tapi baik dan luar biasa hebat.”

“Apa hebatnya aku sih?”

“Berani mempertaruhkan nyawa demi seorang gadis yang dicintai, bukankah itu hebat?”

Daniel tertawa. 

"Ternyata penyelamatnya bukan aku,” kata Daniel tersenyum.

“Tapi Mas sudah berkorban kan? Melati juga harus mencatatnya.”

“Aku belum sempat meyakinkan dia tentang perasaan aku.”

“Mas cinta mati pada Melati? Tak tergantikan?”

“Nilam, apa maksudmu?”

“Nurin kemarin datang ke rumah. Dia kemari, lalu melihat Nugi? Dan Mas mengatakan bahwa Nugi itu anak Mas?”

Daniel tertawa.

“Kenapa? Dia mundur setelah mendengar jawaban aku kan?”

“Dia bahkan takut merawat anaknya sendiri, apalagi anak tiri.”

“Haa? Benarkah? Kamu jawab apa, pasti dia menanyakannya sama kamu kan?”

“Aku jawab bukan.”

“Yaaah, Nilam … kenapa tidak kamu jawab ‘iya’ saja?”

“Jawaban apapun, akan sama hasilnya. Kalau dia bilang nggak mau merawat anak tiri, dia juga bilang nggak mau merawat anaknya sendiri. Entah apa yang sekarang dipikirkannya. Aku bilang dia belum siap berumah tangga. Jadi lupakan saja dia.”

“Baiklah. Bawa apa kamu itu, sampai lupa nanya, kamu bawa bungkusan hanya dipegang saja. Untuk aku, bukan?”

Nilam tertawa, ia lupa memberikan oleh-olehnya untuk sang kakak, karena keasyikannya bicara.

“Ini gethuk lindri sama klepon, kesukaan Mas,” kata Nilam yang segera membuka bungkusan dan menyuapkannya kepada sang kakak dengan garpu yang tersedia di meja.

Ketika itulah, tiba-tiba Melati muncul bersama ibunya.

“Selamat sore,” sapa Melati, ragu. Mendengar ada yang bicara di dalam, Melati sebenarnya ragu untuk masuk, tapi sang ibu memaksanya. Sudah jauh-jauh datang, masa harus kembali, begitu kata Karti.

Nilam menoleh, dan menyambutnya dengan ramah, sementara Daniel terpaku diam, gugup menerima kedatangan gadis yang dicintainya.

“Ini Melati kan?” sambut Nilam ramah.

“Iya, tidak menyangka ada bu Nilam di sini. Ini ibu saya,” Melati memperkenalkan ibunya.

Karti mengulurkan tangannya, disambut Nilam dengan tersenyum.

“Saya ibunya Melati.”

“Dan saya Nilam, adiknya mas Daniel. Senang bertemu ibu di sini. Kalau Melati, sudah beberapa kali ketemu kan?”

“Iya. Bu Nilam ini beberapa kali pesan masakan di tempat Melati bekerja, Bu.”

“Oh, begitu?”

“Masakan di sana enak sekali, jadi senang berlangganan. Silakan duduk, Bu,” kata Nilam mempersilakan Karti duduk di sofa, karena Daniel sudah mendahului duduk dan mempersilakannya.

“Maaf, baru sekali menjenguk nak Daniel,” kata Karti.

“Tidak apa-apa Bu, malah jadi merepotkan. Terima kasih, dulu saya dikirimin opor sama sambal goreng. Enak sekali.”

“Syukurlah kalau nak Daniel suka. Ini saya bawakan, tapi bukan masakan saya, ini namanya ledre intip,” kata Karti sambil menyodorkan kotak berisi ledre.

Daniel membukanya dengan suka cita. Wajahnya yang berbinar, membuat Karti senang, karena yang diberi tampak menyukainya.

“Saya suka sekali ledre. Ini kan ketan, di dalamnya berisi pisang?”

“Benar Nak.Syukurlah kalau nak Daniel juga suka.”

“Mas Daniel sudah tampak sehat. Lengannya sudah tidak dibalut,” kata Melati.

“Iya, besok saya sudah boleh pulang.”

“Syukurlah. Senang saya mendengarnya.”

“Tadi naik apa?”

“Kami naik taksi, ibu nggak berani bonceng sepeda,” kata Melati tersipu.

“Ya, lebih baik naik taksi, apalagi ini sudah sore.”

“Nanti pulangnya bareng saya ya Mel, saya membawa mobil sendiri.”

“Jadi merepotkan,” sambung Karti.

“Tidak, kan sekalian pulang.”

Mereka berbincang, dan ketika pulang Nilam mengantarkan mereka sampai ke rumah.

***

Begitu sampai di rumah, Melati menerima telpon dari pak Samiaji.

“Ya Pak, saya baru pulang dari rumah sakit.”

“Oh iya, kabarnya Daniel sudah bisa pulang besok,” rupanya Samiaji sudah mendengar berita itu.

“Iya, bersyukur sekali ya Pak, mas Daniel sudah sembuh.”

“Melati, malam ini Ramon mau ke rumah kamu.”

“Oh, ya? Ada apa Pak? Masa tuan muda Ramon mau mendatangi rumah saya?”

“Lho, memangnya kenapa? Yang didatangi kan orangnya, bukan rumahnya.”

“Tapi ….”

“Sebenarnya Ramon mau memberikan uang dari Harjo,”

“Oh, uang itu?”

“Harjo ingin mengembalikan uang itu, karena dia merasa tidak berhak menerimanya. Dia melakukan itu, karena sudah menyadari kelakuan buruknya.

“Pak, lebih baik saya saja yang datang ke rumah Bapak. Nggak enak merepotkan tuan muda Ramon.”

“Nanti dulu. Kamu itu selalu memanggil Ramon dengan sebutan tuan muda. Nggak ah, dia juga tidak suka. Panggil saja pak Ramon, lebih enak didengar kan?”

Melati tertawa lirih.

“Iya Pak, kebawa ketika saya masih di rumah tuan Harjo. Semua orang memanggilnya tuan muda.”

“Mulai sekarang panggil saja pak Ramon.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Sekarang kamu tungguin ya, Ramon mau kemari bersama istrinya. Jangan sungkan masalah rumah. Anak dan menantuku tidak mempersoalkan rumah kamu. Raisa, anakku, ingin berkenalan sama kamu.”

“Oh ya? Baiklah kalau begitu.”

Ketika Melati meletakkan ponselnya, sang ibu baru datang dari belakang, setelah mempersiapkan makan malam untuk mereka.

“Bu, tuan muda … eh … pak Ramon mau datang kemari, bersama istrinya.”

“Lhoh, ada apa?” Karti tampak terkejut.

“Katanya mau memberikan uang yang limabelas juta itu.”

“Ya ampun, bagaimana, rumah kita kotor begini.”

“Tidak apa-apa, Bu. Memang inilah rumah kita. Melati akan membersihkan ruang tamu, menggantikan taplak meja dengan yang bersih.”

“Ibu mau menyiapkan minuman. Aduh, mau disuguhin apa ya, orang kaya. Di rumah hanya ada jagung rebus yang baru saja diangkat.”

Begitulah, kedatangan seseorang yang dianggap lebih tinggi derajatnya, selalu membuat kesibukan di rumah sederhana seperti rumah Karti, misalnya. Merasa hidangannya tidak patut, merasa rumahnya terlalu kotor, dan masih banyak lagi.

“Apa ibu membeli roti dulu di warung sebelah?”

“Tidak usah Bu, orang kaya sudah sering makan roti. Kalau ibu punya jagung rebus, hidangkan saja, siapa tahu mereka suka.”

***

Daniel sudah bersiap untuk pulang. Ia sudah mengemasi barang-barangnya, dibantu Baskoro yang datang lebih pagi.

“Kenapa pak Bas meninggalkan warung? Pagi-pagi begini pasti banyak pembeli.”

“Tidak apa-apa, anak-anak sudah biasa melayaninya.”

“Nilam katanya mau menjemput, tapi kok sampai sekarang belum datang ya.”

Tiba-tiba seseorang muncul, membuat Daniel mengerutkan keningnya.

“Nurin.”

“Ya ampun Mas, setiap kali melihat aku, mas Daniel wajahnya selalu keruh begitu. Aku datang kemari karena Nilam menelpon aku. Dia tidak bisa menjemput mas Daniel.”

“Kenapa Nilam.”

“Dia sudah ada di rumah sakit, sepertinya mau melahirkan.”

“Haa? Melahirkan? Katanya bulan depan.”

“Nggak tahu, buktinya sekarang sudah ada di rumah sakit. Ayo, apakah semua sudah siap? Pulang sekarang?”

“Aku naik taksi saja.”

“Jangan begitu, aku tidak bermaksud apa-apa. Kok tiba-tiba seperti orang ketakutan begitu?” ejek Nurin.

“Ya sudah Nak, daripada memanggil taksi kelamaan, ada yang mau mengantar, kenapa menolak?”

***

Besok lagi ya,

Tuesday, April 23, 2024

M E L A T I 26

 M E L A T I    26

(Tien Kumalasari)

 

 

Ramon terharu melihat wajah sang ayah yang tiba-tiba berubah, dari matahari panas menyengat menjadi redup seakan bayangan mega tipis menutupinya.

“Jadi aku akan punya cucu? Punya cucu?” gumamnya berkali-kali.

“Bapak senang?” tanya Raisa lirih.

“Tentu saja aku senang, sudah lama aku merindukannya. Anakku hanya satu, Ramon. Kalau Ramon tidak punya anak, maka aku tidak punya penerus yang akan melanjutkan usahaku.”

“Bapak akan punya. Dan ia akan menjadi penerus. Tapi bapak harus menjadi kakek yang membuatnya bangga. Bukan bangga karena kakeknya kaya raya, tapi bangga karena sang kakek adalah seseorang yang baik, penyayang, dan mulia.”

“Tentu saja, aku akan menjadi kebanggaan cucuku. Akan aku tinggalkan semuanya. Akan aku tebus semua kesalahanku. Aku tahu, aku sadar, aku akan memperbaikinya. Biarlah aku mengendapkan semua dosa di sini, atau di penjara, agar ketika aku keluar dan masih hidup, aku sudah menjadi manusia yang lain,” katanya dengan mata basah yang menerawang ke arah jauh.

“Ramon akan mencari pengacara yang baik, agar hukuman Bapak bisa diperingan.”

”Ramon, urus semua usahaku, hapus semua catatan hutang, dan jangan perbolehkan anak buahku menagihnya.”

“Benarkah?”

“Benar Ramon. Aku tahu, itu uang kotor, yang akan membuatku masuk ke dasar neraka. Biarkan mereka tak usah membayarnya.”

“Baiklah Pak, akan Ramon lakukan semua perintah Bapak.”

“Satu lagi, ambil di tempat penyimpanan uangku, brankas yang ada di kamarku, nanti aku beri tahu kode untuk membukanya. Ambil sebanyak limabelas juta. Itu uang dari gadis itu. Kembalikan. Aku tak mau menerimanya.”

“Maksud Bapak, Melati?”

“Ya, Melati. Dia gadis baik, aku merasa bersalah. Tak ada hutang ayahnya, Kabul hanya mengada-ada dan membuat catatan palsu.”

“Syukurlah. Melati gadis sederhana. Ibunya hanya seorang penjahit, dan dia bekerja diperusahaan katering. Pasti berat terbebani hutang fiktif itu.”

“Aku merasa berdosa. Ramon, ada lagi. Uang yang ada di brankas itu adalah perputaran hutang piutang. Berikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Aku tak mau lagi memegangnya. Uang kotor itu. Kalau catatannya masih ada, kembalikan kepada mereka yang telah menyetor pembayaran hutang. Cari, pasti ada catatannya. Aku akan makan dari hasil usaha dealer yang sudah ada."

Ramon mengangguk haru.

“Baiklah, Ramon akan mengurusnya, hari ini juga.”

“Antar pulang dulu Raisa, dia harus banyak istirahat. Kalau dia capek, anaknya juga akan ikut capek. Oh ya, berapa umur kandungan kamu?” tanyanya kemudian kepada Raisa.

“Baru enam minggu Pak.”

“Masih muda, kamu harus berhati-hati dalam menjaganya. Kalau dia lahir nanti, semoga aku bisa menungguinya.”

“Aamiin. Mohon doanya ya Pak.”

“Akan aku doakan, keselamatan dan kebahagiaan anak cucu dan menantuku. Sekarang pergilah, waktu bezoek sudah akan habis.”

Ramon meletakkan sekotak cemilan yang kemudian dibawa masuk oleh Harjo, sambil sesekali mengusap air matanya.

Ramon merangkul pundak sang istri, sambil melangkah ke arah mobilnya. Ada perasaan haru dan lega, karena sang ayah kemudian menyadari kesalahannya. Apakah kehadiran seorang cucu bisa merubah hati seseorang? Entahlah, yang jelas kejadian itu mereka alami dengan nyata.

***

Hari itu Ramon sangat sibuk. Ia memanggil semua anak buah Harjo yang ditugasi mengurusi hutang piutang. Ada lima orang yang mengetahui seluk beluk hutang piutang itu, dan bertugas menagihnya. Semua catatan diminta dan ditelitinya. Ada beberapa yang harus mencicil, dan Ramon geleng-geleng kepala. Sang ayah benar-benar malakukan kekejaman dalam memberikan hutang kepada yang membutuhkan. Bunganya sangat tinggi, dan anak buahnya menagih dengan menggunakan kekerasan.

“Hari ini, aku minta agar semua yang masih berhutang datang kemari, paling lambat dua hari. Hutang mereka akan dianggap lunas.”

Terdengar kelima orang itu berbisik-bisik, ada yang tidak setuju, pastinya, karena mereka hidup dari penghasilan haram itu. Tapi Ramon dengan bijak mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah hal kotor, dan harus disudahi sampai detik ini.

Mereka akan dipekerjakan di dealer, sebelum Ramon membuka usaha lain yang sudah dirancangnya, sepulang dari luar negri.

“Kalian tidak akan kehilangan penghasilan, dan kalian akan hidup bersih dari noda dan dosa. Menyakiti orang lain itu dosa. Dan dosa itu akan kalian tebus dengan hidup yang tidak akan merasa tenang. Kalian boleh memilih, tetap bersama tuan Harjo, atau akan mencari kehidupan sendiri, terserah kalian. Yang jelas, usaha hutang piutang akan selesai sejak hari ini.”

Dengan panjang lebar Ramon berbicara, dan berjanji tidak akan menghilangkan penghasilan mereka.

Ramon ada di rumah ayahnya, untuk menghitung dan mengembalikan uang kotor dan panas kepada yang berhak, dan sisanya akan didonasikan kepada orang yang membutuhkan. Tidak cukup sehari, tapi Ramon siap menjalaninya, untuk mengurangi dosa-dosa ayahnya.

***

Melati sedang beristirahat siang itu, ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Melati heran, untuk apa pak Samiaji menelponnya lagi.

“Waalaikumussalam,” jawabnya ketika Samiaji mengucapkan salam.

“Melati, apakah kamu sedang sibuk?”

“Saya sedang istirahat Pak,”

“Baiklah, syukur kalau tidak mengganggu. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu untuk kamu.”

“Ya Pak, apa itu?”

“Bahwa uang yang sudah kamu bayarkan kepada Harjo akan dikembalikan.”

“Benarkah? Dari mana Bapak tahu?”

“Ramon sudah ketemu ayahnya, dan ayahnya bilang bahwa uang kamu akan dikembalikan. Baru saja Ramon menelpon, dan uang itu nanti akan dibawa sendiri oleh Ramon.”

“Oh, syukurlah. Sebenarnya saya sudah tidak memikirkannya lagi.”

“Tidak apa-apa, itu uang kamu, karena sebenarnya ayahmu memang tidak pernah berhutang kepada Harjo.”

“Terima kasih banyak Pak, senang saya mendengarnya. Itu kan uang yang Bapak berikan kepada saya dulu itu.”

“Tadinya aku tidak mengerti bahwa kamu pergunakan uang itu untuk membayar hutang. Tapi Allah mengatur segalanya dengan sangat sempurna, bahwa yang melakukan hal baik akan mendapatkan kebaikan, dan yang jahat akan mendapat hukuman. Ramon bilang, Harjo sudah menyadari kesalahannya, gara-gara dia mendengar bahwa Ramon akan segera memberikan cucu untuknya.”

“Oh ya? Jadi Bapak juga akan punya cucu dong?”

“Benar. Sudah enam tahun Ramon menikah, baru sekarang istrinya dinyatakan hamil. Aku sangat bahagia, dan tentu saja Harjo juga merasakannya. Itu sebabnya kemudian dia menyadari semua kesalahannya.”

“Luar biasa ya Pak, kehadiran seorang cucu bisa merubah seseorang.”

“Tentu saja, aku bisa merasakannya, apalagi bagi yang sudah tahunan menunggu. Ya sudah Melati, aku tak berani mengganggu terlalu lama. Nanti saja kita berbincang lagi.”

***

Hari itu Daniel baru boleh duduk, dan bisa makan sendiri tanpa harus dilayani. Keadaannya sudah semakin baik, dan berharap segera diijinkan pulang, tapi dokter belum mengijinkannya, karena Daniel masih merasakan pusing.

Ketika dia sedang duduk itu, tiba-tiba Nugi datang bersama ibu Suri.

“Hei, Nugi. Bagaimana kamu bisa masuk kemari?”

Nugi segera merangkul Daniel.

“Aku kangen sama om Daniel,” rengeknya.

“Dia memaksa untuk datang kemari, katanya kangen. Aku sudah takut tadi, jangan-jangan tidak boleh masuk. Tapi penjaga membiarkannya. Mungkin dia mengira Nugi sudah berumur belasan tahun. Lihat saja, badannya segede ini,” kata Suri sambil mengacak rambut Nugi.

“Aku kan memang sudah besar.”

“Kamu itu tadi, kalau ketahuan penjaga bahwa kamu masih kecil, pasti nggak akan diperbolehkan masuk. Umurmu berapa, coba?”

“Nggak boleh tanya umur dong, yang penting Nugi sudah besar. Om Daniel masih sakit ya? Ini, lengannya masih diperban.”

“Sudah hampir sembuh kok.”

“Kok sudah boleh duduk. Sudah tidak pusing ya?”

“Masih sedikit. Tapi saya merasa sudah baik kok. Barangkali rawat jalan lebih baik.”

“Tapi nak Daniel harus sabar, menunggu apa kata dokter. Kalau memang sudah bisa rawat jalan pasti diijinkan pulang.”

“Iya Bu, doakan ya.”

“Om, ibu membawa ayam panggang untuk Om.”

“Oh ya? Senengnya. Tapi nanti kalau Nugi pulang, kue-kue yang di meja itu dibawa pulang saja ya.”

“Bukankah itu untuk nak Daniel? Bagaimana mungkin akan kami bawa pulang,” kata Suri.

“Terlalu banyak Bu, setiap yang datang, selalu membawa buah atau kue.”

“Oh iya, beberapa hari yang lalu, pak Tua juga memberi Nugi tiga butir jeruk, katanya dari om Daniel.”

“Iya, selalu banyak buah dan makanan, jadi nanti dibawa Nugi pulang saja ya.”

“Selamat siang,” tiba-tiba seseorang muncul.

Daniel mengerutkan keningnya.

“Nurin? Kamu datang lagi?”

“Kebetulan mau menjemput temanku yang tadinya opname di sini, lalu mampir. Ini siapa?”

“Saya Nugi.”

“Oh, Nugi, anak ganteng. Jadi kamu sudah punya anak Mas?” tanya Nurin sambil menatap Daniel.

“Iya. Ganteng kan, anakku?”

“Ya ampuun, sayang, kenalkan, aku ini tante Nurin. Panggil saja begitu.”

Nugi menutup mulutnya. Tapi ia senang dianggap anak oleh Daniel.

“Tante Nurin ya? Apakah tante pacarnya?”

Suri segera menarik Nugi agar menjauh.

“Nugi, nggak boleh begitu.”

“Tidak apa-apa Bu, namanya anak-anak. Oh ya Mas, aku hanya membawa sekaleng roti untuk Mas, lalu akan segera pamit, temanku menunggu.”

Daniel hanya mengangguk. Nurin bahkan lupa menyalami Suri walaupun dia sudah berbicang singkat dengan Nugi. Ia berlalu begitu saja.

“Om, kenapa om bohong?”

“Apa?”

“Tadi Om bilang bahwa Nugi anak Om, kan?”

“Bukan, om Daniel hanya bercanda.”

“Yang tadi pacarnya Om? Cantik ya, Nugi suka punya tante cantik.”

“Nugi ada-ada saja deh.”

Daniel hanya tertawa. Apa dia harus mengatakan bahwa pacarnya bukan itu, kepada seorang anak kecil?

“Tapi dia cantik sekali lhoh. Nugi suka.”

“Nanti masih ada yang lebih cantik lagi lhoh.”

“Siapa?”

“Mbaknya perawat, dia juga cantik," canda Daniel.

“Pacar Om, mbaknya perawat?”

Dan saat itu memang ada perawat masuk untuk membawa piring bekas makan yang sudah kosong. Ia tentu saja mendengar celoteh Nugi yang sedang duduk ditepi pembaringan, di samping Daniel.

Perawat itu menowel pipi Nugi, sebelum memindahkan nampan kotor dan membawanya keluar.

“Itu ya om? Masih cantik tante yang tadi.”

“Nugi, sudah. Kamu bicara yang enggak-enggak saja.”

“Nugi mau jeruk? Biar om kupasin.”

“Biar Nugi sendiri. Tangan Om masih sakit, mana bisa mengupas.”

“Nugi, tapi janjinya tidak lama lhoh, kan ibu mau belanja,” tegur Suri.

“Oh iya, ibu mau belanja, ya sudah, rotinya dibawa ya om, sama jeruknya.”

“Ya, baiklah, bawa saja semuanya.”

***

Nilam sedang mengelus perutnya yang terasa kencang-kencang, ketika tiba-tiba Nurin masuk begitu saja ke dalam rumah.

“Hei, kenapa kamu? Sudah mau melahirkan ya?”

“Bukan ah, biasa begini, kenceng-kenceng.”

“Oh, kirain mau melahirkan.”

“Ada apa nih, sore-sore datang kemari.”

“Eeh, nggak suka ya kalau aku datang kemari?”

“Bukan begitu, maksudku, apa ada sesuatu yang penting?”

“Nilam, jadi sebenarnya, mas Daniel itu sudah punya anak ya?”

“Apa?”

“Tadi aku mampir ke rumah sakit, dan mas Daniel sedang ditungguin oleh seorang anak. Ketika aku tanyakan, apa itu anaknya, dia bilang ‘iya’ tuh.”

Nilam tertawa.

“Kalau mas Daniel sudah punya anak, kamu nggak jadi suka ya?”

“Berat ya, punya suami tapi harus momong anak tiri?”

“Tergantung ….”

“Tergantung apanya?”

“Tergantung si ibu tiri sanggup apa enggak. Kalau sanggup ya jalani, kalau nggak sanggup ya tinggalin. Gitu aja kok repot.”

“Ih, Nilam, ngomongnya kok nggak serius gitu sih.”

“Lhoh, serius kok. Kamu keberatan, momong anak tiri?”

“Nggak asyik ah.”

“Ya sudah, jangan dipikirkan lagi, cari yang masih perjaka ting-ting kan ya banyak, jangan cari yang duda.”

“Tapi kok mas Daniel nggak pernah bilang sebelumnya kalau dia punya anak. Kamu juga nggak pernah cerita kan?”

“Kamu nggak nanya sih.”

“Sayang ya, dia punya anak.”

Nilam terkekeh. Dia tak ingin bersekutu dengan Daniel yang telah membohongi Nurin.

“Kamu kok malah tertawa?”

“Kamu serius, masih mengharapkan mas Daniel? Kamu cinta mati sama dia? Berani bersaing dengan gadis lain yang disukai mas Daniel?”

“Maksudmu Melati?”

Nilam mengangguk sambil tersenyum.

“Aku sudah pernah bertemu dia. Dia cantik kok, dan baik. Tidak salah kalau mas Daniel suka. Sebenarnya aku mau bersaing dengan dia. Toh mereka belum benar-benar menikah. Tapi masalah sudah punya anak itu ….”

Nurin menghela napas.

“Sebenarnya, mas Daniel belum punya anak kok.”

***

Besok lagi ya,

Monday, April 22, 2024

M E L A T I 25

 M E L A T I    25

(Tien Kumalasari)

 

Melati heran, melihat Nurin tidak segera menentukan pilihannya, padahal dia sudah menyodorkan daftar menu yang lain. Melati mana tahu, Nurin sedang memikirkan, cara terhormat yang bagaimana yang bisa merebut Daniel dari Melati? Tadi dia berbohong tentang Daniel, dan itu bukan cara terhormat. Nurin berjanji akan memperbaiki sikapnya.

“Mbak Nurina, apakah tidak ada yang berkenan?”

Nurin terkejut, ia menatap Melati sambil tersenyum manis.

“Oh … sebentar ….”

“Kalau mbak Nurin ingin, bisa kok memilih menu apa saja, kalau memang diperlukan, kami siap melayani. Jadi tidak hanya yang  terpancang pada daftar menu itu saja.”

“Nggak … nggak, aku sudah memilihnya kok. Yang ini, paket A, untuk duaratus orang ya, karyawan di kantorku cuma sedikit.”

Hm, duaratus orang, hanya sedikit? Melati segera tahu bahwa Nurin adalah seorang pengusaha besar.

“Yang paket A? Untuk kapan ya mbak?”

“Mm, sebentar … tanggal pastinya belum jelas, tapi bulan depan. Aku akan memastikannya dulu setelah berbincang dengan orang kepercayaan aku di kantor.”

“Baiklah, kami menunggu pesanannya, tapi saya harap jangan terlalu dekat waktunya ya Mbak, takutnya berbenturan dengan pemesan yang lain.”

”Oh, gitu ya, bolehkah saya tahu, tanggal berapa saja yang sudah ada pemesannya?”

“Sebentar.”

Melati membuka catatan, kemudian menyodorkannya kepada Nurin.

“Oh, ini ya, baiklah, akan saya catat, nanti aku akan pesan di tanggal yang lain. Ini hanya acara syukuran saja, tidak harus dilakukan disuatu tanggal. Jadi nanti akan segera saya kabari.”

“Baiklah, tapi meskipun begitu jangan terlalu dekat waktunya ya Mbak, takutnya nanti ada pemesan yang lain. Kami hanya bisa melayani di dua acara dalam sehari.”

“Akan segera aku kabari. Baiklah, terima kasih Melati, senang bisa berbincang denganmu. Kamu baik dan ramah.”

“Terima kasih kembali, Mbak.”

Nurin mengembalikan daftar menu yang tadi disodorkan, lalu membalikkan tubuhnya dan berlalu. Tapi Melati merasa, Nurin tidak bersungguh-sungguh dengan keinginannya memesan makanan. Kelihatan sekali dia tidak segera bisa menentukan, kapan ia membutuhkan pelayanan dari kateringnya.

“Apa dia hanya ingin bertemu denganku? Apa dia mengira aku akan bersaing dengannya dalam memperebutkan hati Daniel?” gumamnya sambil tersenyum masam. Bagaimanapun Melati sangat tahu diri. Mana bisa, pungguk mencapai rembulan? Nurina adalah bintang yang cemerlang, sedangkan dirinya hanyalah sebutir batu kali yang tidak berharga. Diam-diam Melati berjanji tak akan bermimpi terlampau tinggi, agar jatuhnya tak begitu terasa sakit.

***

Berita bahwa Harjo tak bisa menunjukkan bukti hutang suaminya, membuat Karti merasa lega, seperti apa yang dirasakan Melati, karena dengan begitu mereka tak harus memikirkan bagaimana caranya membayar hutang. Mereka juga tak mempermasalahkan uang yang pernah diserahkannya sebanyak lima belas juta.

“Tidak usah dipikirkan uang itu, anggap saja sudah hilang, toh itu juga uang pemberian dari orang lain,” kata Karti.

“Iya Bu. Melati juga tak akan menyesalinya. Anggap saja itu bukan rejeki kita.”

“Ibu benar-benar merasa lega, karena sebuah beban yang menghimpit hati dan rasa telah lenyap. Mari kita menjalani hidup kita seperti sebelumnya. Hidup sederhana itu nikmat, kalau kita menjalaninya dengan penuh rasa syukur."

Hari itu sudah menjelang malam. Melati dan Karti sama-sama melepaskan lelah setelah bekerja seharian.

“Hari ini ada empat orang yang memberikan ibu pekerjaan. Dua kebaya dan dua lagi gamis. Tapi untunglah, mereka tidak tergesa-gesa. Soalnya masih ada beberapa lagi yang belum ibu selesaikan.”

“Nanti setiap pulang kerja Melati bisa membantu kan? Memang sih, Melati tidak berbakat menjadi penjahit, tapi kalau hanya memasang kancing saja pasti bisa kan Bu?”

“Iya, gampang. Kamu sendiri juga sudah lelah bekerja. Tapi kalau ibu butuh pertolongan kamu, pasti nanti ibu katakan.”

Melati sedang menyelonjorkan kakinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Melati berdebar, ada wajah yang dikenalnya pada layar ponselnya.

“Assalamu’alaikum, Melati.”

“Wa’alaikumussalam.”

“Akhirnya aku menemukanmu.”

“Apa maksudnya Mas? Apakah aku pernah hilang?”

“Ya, kamu tiba-tiba menghilang dari dekatku, sebelum aku banyak bercerita dan mengatakan sesuatu.”

“Mas Daniel, bukankah aku sudah beberapa saat menunggui? Dan aku sudah bilang kalau aku harus melakukan sesuatu.”

“Tidak, kamu pergi setelah Nurin datang. Dan untunglah aku sudah punya ponsel baru yang bisa aku pergunakan untuk menghubungi kamu.”

“Oh ya, selamat atas ponsel barunya ya. Senang, karena kita bisa berhubungan dengan orang yang jauh dengan ponsel itu.”

“Yang jelas aku senang bisa menghubungi kamu. Mas Wijan yang memberi aku ponsel baru ini.”

“Baiklah, bagaimana keadaan Mas sekarang?”

“Aku jauh lebih baik. Lenganku bengkaknya sudah berkurang. Hanya kadang-kadang masih merasa pusing.”

“Mas harus benar-benar beristirahat, jangan memikirkan apapun, supaya segera bisa pulih.”

“Kamu sudah mulai bekerja?”

“Sudah. Mana mungkin aku bisa meninggalkan pekerjaan begitu lama? Banyak tugas menumpuk.”

“Pasti kamu sangat lelah, sehingga tidak ada waktu untuk menemui aku.”

“Nanti kalau aku libur, akan datang bersama ibu.”

“Oh ya, senang mendengarnya.”

“Sudah malam, Mas harus istirahat.”

“Kamu tidak suka, aku menelpon kamu?”

“Bukan tidak suka, bukankah ini sudah malam, dan itu berarti Mas harus istirahat?”

“Sejak siang teman-teman aku dari rumah sakit tempatku bekerja datang bergantian, aku sebenarnya sangat lelah.”

“Nah, kalau begitu istirahatlah.”

“Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu.”

“Apa itu?”

“Apakah ibumu pernah mengatakan sesuatu sama kamu?”

Melati berdebar, pasti Daniel ingin menanyakan tentang pernyataan cinta yang pernah diungkapkannya kepada ibunya.

“Pernahkah?” Daniel mengulang pertanyaannya.

“Kami sering berbincang tentang banyak hal. Apa maksud Mas Daniel?”

“Masa aku ingin menanyakan tentang banyak hal sih. Yang aku maksud adalah apa yang pernah aku utarakan kepada ibu. Apakah ibu mengatakannya?”

“Tentang apa ya? Lupa... ibu pernah mengatakan apa."

“Oh, tidak ya? Berarti ibu belum mengatakannya sama kamu.”

“Ya sudah, Mas istirahat saja dulu,” Melati berusaha menghindar.

“Melati, aku pernah bilang pada ibu, bahwa aku mencintai kamu,” kata Daniel berterus terang pada akhirnya.

Melati terdiam. Agak lama dia terdiam. Akhirnya kata itu terucap juga. Tapi mengapa Daniel menaruh perhatian pada dirinya? Bukankah Nurina lebih cantik, lebih pintar, punya derajat dan kedudukan tinggi, punya harta berlimpah ruah?

“Melati, kamu masih di situ?”

“Y..ya … mm.. Mas.”

“Kamu tidak suka mendengarnya? Bahwa aku jatuh cinta sama kamu?”

“Ini bukan masalah yang bisa dibicarakan sambil lalu. Mas harus memikirkannya lebih dalam.”

“Aku sudah lama memikirkannya.”

“Ketika ada dua pilihan, maka seseorang pasti akan memilih yang terbaik, bukan?”

“Apa maksudmu? Bagiku, kamu adalah yang terbaik.”

“Karena namaku sama dengan almarhumah istri Mas?”

“Bukan. Hanya kebetulan saja nama kamu sama. Tapi terlepas dari ingatan tentang istri aku, aku memiliki perasaan seperti aku katakan tadi.”

“Baiklah, barangkali memerlukan waktu untuk bertimbang rasa. Sekarang Mas istirahat saja dulu. Besok kita bicara lagi.”

Daniel tak sempat mengatakan apapun, karena Melati sudah menutup panggilannya.

Dengan lesu Melati meletakkan ponselnya di meja. Bukankah bahagia, dicintai oleh seseorang yang dikagumi? Seseorang yang tampan, baik, penuh perhatian. Tapi Melati merasa bahwa dia tak layak hidup berdampingan dengan Daniel. Dia memiliki keluarga orang-orang terpandang. Pengusaha kaya raya, yang membuat dirinya teramat kecil di hadapannya. Lagipula, bukankah Daniel bisa memilih Nurina yang sederajat dengan dirinya? Yang akan membuat keluarganya bangga dan tak akan malu berbesan dengan keluarga Nurina?

“Ada apa?” sapaan sang ibu mengejutkan Melati.

“Tidak apa-apa.”

“Tadi kamu menyebut ibu juga.”

“Saya bilang, kalau libur akan membezoeknya bersama ibu.”

“Tapi kamu masih menyebutkan lagi setelahnya. Apakah nak Daniel menanyakan apa yang pernah dikatakannya pada ibu?”

“Apa?”

“Tentang perasaannya sama kamu?”

Melati menghela napas berat.

“Bukankah dia laki-laki yang baik? Memang sih, dia duda. Tapi apakah itu masalah buat kamu?”

“Bukan Bu. Melati hanya tidak mau terlalu mengharapkan dia. Mas Daniel itu memang kelihatannya sederhana, tapi keluarganya adalah orang-orang terpandang.  Mana berani Melati menerima cintanya? Bagaimana kalau Melati hanya dipandang rendah dan diremehkan oleh mereka? Sementara ada gadis lain yang juga mengharapkan mas Daniel. Dia cantik, pengusaha muda yang pastinya kaya raya. Tidak Bu, mana berani Melati bersaing dengan dia?”

“Tapi cinta itu terkadang tidak mengenal harta dan derajat seseorang.”

“Itu kan hanya sederet kalimat yang gampang diucapkan. Kalau ada dua pilihan, pasti seseorang akan memilih yang terbaik.”

“Baik itu bisa dipandang dari sudut apapun. Bukan hanya dari wajah dan kekayaan yang dimiliki, tapi hati juga berperan di dalamnya.”

“Melati takut menjalani. Bagaimana kalau suatu saat dia menyesalinya?”

“Baiklah, ibu mengerti. Sekarang istirahatlah. Bagaimanapun, jodoh itu ada ditangan Allah. Ya kan?”

“Benar, Ibu. Melati hanya bisa pasrah, akan kemana kehidupan ini membawa Melati melangkah.”

***

Ramon dan Raisa masuk ke rumah Samiaji dengan wajah sumringah. Samiaji yang duduk di teras menyambutnya dengan heran.

“Kalian dari mana?”

“Dari rumah sakit Pak, sejak kemarin Raisa mengeluh perutnya terasa nggak enak.”

“Sakit apa? Sakit kok senyum-senyum?”

“Raisa hamil, Pak,” kata Raisa sambil memeluk ayahnya.

Samiaji menepuk punggung anaknya dengan senyum bahagia.

“Bagus sekali, kalian akan segera memberi aku cucu. Laki-laki atau perempuan cucuku?” tanya Samiaji bersemangat.

“Belum tahu Pak, kan masih enam minggu.”

“Ah, iya … belum kelihatan ya? Tapi laki-laki atau perempuan, bagi bapak sama saja. Mereka adalah cucu bapak yang sudah lama bapak harapkan. Ayo istirahatlah dulu, biar bibik membuatkan menuman segar buat kalian.”

“Raisa ingin menjenguk bapak di tahanan,” kata Raisa sendu.

“Sekarang?”

“Sekalian capeknya. Lagipula, siapa tahu, mendengar bapak mau punya cucu, kemudian menjadi bersemangat, dan bisa terhibur.”

“Baiklah kalau begitu, tapi Raisa tidak boleh terlalu capek. Biasanya kehamilan muda itu sangat rawan.”

“Setelah pulang nanti Raisa akan beristirahat.”

Baiklah, berangkatlah sekarang. Jaga istrimu dengan baik, Ramon.”

“Baik, Pak.”

Samiaji menatap kepergian anak dan menantunya dengan linangan air mata. Lima tahu menikah, baru Raisa dinyatakan hamil. Bukankah itu membahagiakan?”

***

Begitu keluar dari ruang tahanan, dan melihat Ramon bersama istrinya, kemarahan Harjo memuncak. Dia tetap menganggap Ramon adalah pengkhianat, dan sangat jahat kepada dirinya.

“Mau apa kamu kemari? Mau melihat bagaimana sengsaranya bapak kamu ini di tempat tahanan? Ini perbuatan kamu kan? Puas kamu sekarang?” kata Harjo dengan nada tinggi, bahkan setengah berteriak.

“Pak, sebaiknya Bapak jangan menyalahkan Ramon. Bahwa siapa menanam maka dia akan mengunduh buahnya, itu memang harus terjadi.”

“Jadi kamu memang sengaja membuat bapakmu ini hidup sengsara?”

“Tidak. Ramon hanya ingin Bapak melihat hari-hari yang pernah Bapak lalui. Apakah itu hal yang baik, ataukah yang buruk? Ramon ingin dengan kejadian ini Bapak bisa mengerti, bahwa apa yang telah Bapak lakukan itu tidak benar.”

“Kalau bukan kamu menjerumuskan bapak ke dalam sangkar bau dan kehidupan menyedihkan ini, bapakmu ini masih akan hidup senang.”

“Bapak harus tahu, bahwa semua itu ada batasnya. Ramon melakukan semua ini, hanya berharap agar Bapak menyadari bahwa apa yang pernah Bapak lakukan itu salah. Jangan sampai kesalahan itu berlanjut. Bapak adalah ayah Ramon, dan Ramon ingin memiliki ayah yang baik dan berhati mulia. Apakah Bapak tidak berpikir, bahwa cucu Bapak nanti akan bangga memiliki kakek yang membanggakan?”

Harjo ingin memuntahkan cacian lagi, tapi mendengar kata’cucu’, ia mengatupkan mulutnya. Sudah lima tahun anaknya menikah, tak pernah ada berita bahwa ia akan punya cucu.

“Apa kamu bilang? Cucu? Kapan aku punya cucu? Bukankah kamu memiliki istri yang mandul?” Raisa terkesiap mendengarnya.

“Raisa tidak mandul. Raisa sedang mengandung cucu Bapak,” kata Ramon.

“Apa? Aku mau punya cucu?”

Mata Harjo meredup. Padangan garang yang selalu ditampakkannya lenyap seketika. Dipandanginya menantunya.

“Kamu sedang mengandung cucuku?” katanya lembut.

“Ya, Pak. Cucu Bapak ingin memiliki kakek yang hebat,” kata Raisa dengan suara bergetar.

Harjo menepuk tangan Raisa dengan air mata berlinang. Hanya satu kata, ‘cucu’ maka wajah yang tadinya garang berubah melunak dan penuh haru.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Sunday, April 21, 2024

INDAHNYA HARI

 Heiiiii pagi...

seperti janji yang tertepati..

kau datang dalam indahnya hari

sedangkan bunga-bunga berdesah diantara daun-daun basah

diantara tetesan embun yang gemerlap oleh senyuman mentari 

diantara kidung-kidung penuh cinta yang bergaung dari surga

berkejap mataku memandangi langit biru

Ya Allah,

dahagaku oleh karuniaMu

dalam jerit yang membelah langit

Kau adalah sesembahanku..

pintaku hanya padaMu


-------


Saturday, April 20, 2024

M E L A T I 24

 M E L A T I    24

(Tien Kumalasari)

 

Nurin melangkah mendekat, seakan tak peduli ada Melati yang duduk di samping ranjang. Melati yang melihat ada Nurin datang, kemudian berdiri dan menjauh. Daniel menatap Nurin tak suka.

“Mas, aku bawakan buah-buah segar. Eh ternyata sudah ada buah-buahan di sini.”

“Kamu repot-repot membawa sekian banyak buah, bawa pulang saja, daripada mubazir, tidak dimakan, kemudian busuk,” kata Daniel.

Nurin yang sudah duduk di kursi, dimana tadi Melati mendudukinya, tersenyum manis.

“Masa aku harus membawanya pulang sih Mas, berikan siapa saja yang mau.”

“Mengapa kamu kemari lagi?”

“Tadi aku belum melihat ada buah-buahan di sini, makanya aku kembali untuk membawakannya untuk Mas, tak tahunya sudah ada. Oh, dia yang membawa?” Nurin menoleh ke arah Melati yang duduk di sofa.

“Bukan, bukan saya,” katanya sambil berdiri.

Daniel menatap Melati yang mendekat ke arahnya.

“Mas, aku mau pamit dulu.”

“Mengapa buru-buru? Apa hari ini kamu sudah masuk kerja?”

“Hari ini aku ijin tidak masuk kerja, tapi ada yang harus saya kerjakan di rumah. Ibu sedang menunggu.”

Daniel ingin menahannya, tapi Melati sudah membalikkan badannya.

“Eeeh, tunggu dulu, kita kan belum kenalan?” tiba-tiba Nurin menarik tangan Melati sambil tersenyum manis, sehingga Melati harus menghentikan langkahnya. Tadi ia juga ingin menyapa, tapi lagi-lagi merasa sungkan.

“Namaku Nurina,” Nurin menggenggam tangan Melati erat.

“Saya Melati. Tapi maaf, saya terburu-buru.”

Melati meninggalkan senyum ramah, sebelum akhirnya benar-benar berlalu.

Nurin masih tersenyum manis ketika kembali mendekati ranjang Daniel, yang wajahnya menjadi muram.

“Jadi itu yang namanya Melati? Cantik sekali,” kata Nurin sambil kembali duduk.

“Maaf Nurin, saya ingin tidur, kata dokter saya harus banyak istirahat.”

“Oh, tentu saja. Baiklah, tidurlah, saya ingin menunggui di sini sebentar, sampai Mas tertidur, lalu aku pulang.”

“Mana aku bisa tidur kalau kamu masih duduk di situ?”

“Jadi aku harus pergi? Baiklah, maaf mengganggu kamu, tapi maksudku sebenarnya baik kok. Cepat sembuh ya,” kata Nurin yang kemudian berdiri, dan berlalu.

Daniel sedikit kesal. Gara-gara ada Nurin, Melati pergi begitu saja. Padahal sebenarnya ada yang akan dia katakan. Tentang perasaan hatinya. Ia tak ingin Melati salah sangka atas hubungannya dengan Nurin.

“Aku bahkan lupa menanyakan nomor kontaknya,” sesal Daniel yang kemudian berusaha memejamkan matanya.

***

Melati sedang mengayuh sepedanya dibawah terik matahari, ketika sebuah mobil melaju sangat dekat di sampingnya, hampir menyerempetnya. Tapi kemudian mobil itu berhenti ditepi jalan. Melati tak memperhatikannya, tapi ia kemudian melihat kaca mobil bagian kemudi terbuka, seseorang melongok keluar. Nurin?

“Maaf Melati, aku hampir menyerempetmu,” katanya sambil tersenyum.

Melati menoleh sekilas, tapi tak menghentikan sepedanya. Ia terus mengayuhnya, dan membiarkan ketika mobil Nurin kembali melewatinya, sambil memperdengarkan klakson mobil. Tapi kali ini lebih pelan. Melati tak bereaksi. Ia masih saja mengayuh sepedanya. Bermacam perasaan berkecamuk dalam hatinya.

“Gadis itu, mana mungkin bersaing dengan aku? Dia cantik, kaya, bergengsi. Sedangkan aku? Ah, sudahlah, aku tak ingin memikirkannya,” gumam Melati pelan.

Tak ada sesal di wajahnya. Bahwa dia ditakdirkan untuk hidup sederhana, itu diterimanya dengan penuh rasa ikhlas dan syukur. Jangankan hanya bersaing dalam cinta, bertaruh kehormatan yang nyaris membuatnya hancur sudah dijalaninya.

“Ini adalah takdirku,” gumamnya lagi sambil mengayuh lebih cepat, sambil mengusap peluh dengan sebelah tangannya.

***

Raisa sedang menghidangkan dua gelas jus jambu kepada ayah dan suaminya, ketika mereka sedang berbincang di ruang tengah. Kemudian Raisa ikut duduk diantara mereka.

“Bagaimana perkembangan kasusnya?” tanya Raisa.

“Kalau Harjono tak bisa menunjukkan bukti surat hutang ayah Melati, berarti Melati tidak usah membayar hutang yang tidak jelas itu,” kata Samiaji.

“Kasihan Melati. Ia hampir saja menjadi korban.”

Ramon terdiam. Ada sesal yang menggayutinya, karena bagaimanapun, Harjono adalah ayahnya. Tapi yang disesalinya adalah perbuatan ayahnya selama ini.

“Ramon, aku mengerti. Kamu pasti menyesal semua ini harus terjadi.”

Ramon menatap ayah mertuanya. Mengapa ayahnya tidak seperti ayah mertuanya yang begitu baik dan bijaksana?

“Semoga ini bisa membuat ayah kamu mendapat pelajaran berharga dalam hidupnya,” sambungnya.

“Itulah harapan saya juga, Pak.”

“Maafkan aku, kalau aku ikut andil dalam masuknya ayah kamu ke penjara nantinya.”

“Tidak. Bapak melakukan hal yang benar. Selama ini, bapak saya selalu mengandalkan uang yang dimilikinya, dan begitu yakin kalau uang sangat berkuasa. Kali ini, dia mengerti bahwa uang tidak lagi bisa melindunginya.”

“Mas Ramon, apa sepeda motor anak muda bernama Daniel itu sudah Mas kirim ke rumahnya?”

“Aku belum tahu alamat Daniel, aku menelponnya untuk bertanya, tapi ponselnya mati.”

“Apa Daniel tidak berusaha mengecas ponselnya ya?” sambung Samiaji.

“Jangan-jangan ponselnya rusak,” kata Raisa.

“Wah, kalau begitu bagaimana bisa menghubunginya? Nanti sore aku mampir ke rumah sakit lagi saja.”

“Sekarang kamu istirahat dulu saja, semalam tidak tidur, pasti kamu capek.”

“Bapak juga, harusnya segera beristirahat,” sambung Raisa.

“Baiklah, aku juga mengantuk,” kata Samiaji sambil berdiri.

“Mas tidurlah, aku mau belanja sama bibik.”

***

Daniel sudah rapi, perawat sudah menggantikan bajunya dengan yang bersih. Ia menghirup segelas susu yang disediakan, sambil mengangkat kepalanya, lalu kembali berbaring.

Ia sedang memikirkan kepergian Melati yang meninggalkan rasa sesal dihatinya, ketika tiba-tiba Baskoro muncul.

“Pak Baskoro?”

“Bagaimana sih Nak, aku sama sekali tidak mengira akan ada kejadian seperti ini yang menimpa nak Daniel.”

“Tidak apa-apa, Pak. Bukankah dalam hidup akan banyak hal yang harus kita lewati? Pak Baskoro sendiri yang mengajari saya, bukan?”

“Benar. Semalaman saya menelpon tanpa hasil, dan terkejut ketika tadi Nilam tiba-tiba mengabari tentang keadaan nak Daniel. Saya menyesal tidak bisa segera datang kemari, karena warung kebetulan sangat ramai.”

“Tidak apa-apa, Pak. Semuanya sudah berlalu. Terima kasih Bapak sudah datang, sementara pastinya Bapak sangat capek.”

“Tidak, siapa yang capek? Melakukan hal yang menyenangkan itu tidak capek. Berjualan dan berhasil, bukankah itu menyenangkan?”

“Alhamdulillah, saya ikut senang.”

“Oh ya, tadi nak Wijan menitipkan ini untuk nak Daniel,” kata Baskoro sambil memberikan sebuah kotak kecil.

“Oh, mas Wijan benar-benar membelikan ponsel untuk saya,” mata Daniel berbinar.

“Katanya ponsel nak Daniel rusak.”

“Iya, benar. Terima kasih ya Pak.”

“Aku tidak membawakan apa-apa, harus bertanya dulu, nak Daniel ingin apa.”

“Banyak makanan dan buah-buahan. Malah nanti Bapak bawa saja buah-buahan itu, daripada tidak termakan.”

“Bagaimana ini, tidak membawakan apa-apa, malah disuruh membawa makanan dari sini.”

“Tadi orang yang menolong saya membawa buah-buahan, lalu ada teman yang datang dan membawa lagi parsel buah itu. Mana muat perut saya kalau harus memakan semuanya?”

“Saya bawa saja besok ke warung, biar anak-anak warung ikut memakannya. Atau sebagian saya kirimkan ke Nugi. Bukankah Nugi sangat suka buah jeruk?”

“Iya Pak, terserah Bapak saja. Membagikan rejeki adalah hal yang bagus, bukan?”

“Benar. Sekarang bagaimana keadaan nak Daniel? Sepertinya masih kesakitan? Lengan kirinya agak bengkak ya?”

“Sedikit, tapi sudah berkurang.”

“Tadi saya sangat khawatir.”

“Saya berharap bisa segera pulang.”

“Mengapa nak Daniel dirawat di sini? Bukan di rumah sakit tempat nak Daniel bekerja?”

“Penolong saya membawanya ke sini, bahkan sudah membayar biayanya sampai sepuluh hari ke depan. Saya tidak bisa apa-apa. Mau bagaimana lagi?”

“Nilam sudah menceritakan semuanya ketika menelpon. Saya bersyukur, nak Daniel bertemu orang-orang baik. Bagaimana dengan gadis itu, yang kata Nilam adalah gadis yang nak Daniel sukai?”

Daniel tertawa pelan.

“Doakan ya Pak.”

“Tentu saya doakan. Sudah saatnya ada yang mendampingi nak Daniel dalam mengayuh kehidupan. Nanti kalau nak Daniel menikah, saya akan tidur di warung saja.”

“Mengapa begitu Pak? Tetaplah di rumah saya, sebagai pengganti orang tua saya.”

“Kalau nak Daniel sudah punya istri, mana mungkin saya akan tetap tinggal di sana?”

“Masih lama, entah kapan. Saya juga baru suka sama dia, belum pernah mengutarakan isi hati saya. Semoga saja dia mau menerimanya.”

“Nak Daniel laki-laki yang baik. Mana mungkin dia menolak? Oh ya, kapan-kapan ajaklah ke rumah, aku juga ingin melihat calon istri nak Daniel.”

“Semoga bisa segera terlaksana.”

***

Pagi hari itu Melati sudah kembali bekerja. Sehari ditinggalkannya, pekerjaan sudah menumpuk lagi. Ketika ia sedang memeriksa kebutuhan belanja hari itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari pak Samiaji.

“Melati, apa kamu sibuk? Maaf kalau mengganggu.”

“Tidak Pak, ada apa? Semoga bukan hal buruk.”

“Bukan, ini justru hal baik.”

“Oh ya?”

“Dalam pemeriksaan, Harjono tidak bisa menunjukkan surat hutang ayah kamu, jadi hutang itu hanya akal-akalan dia saja.”

“Lalu?”

“Berarti kamu tidak perlu membayar apapun.”

“Alhamdulillah. Terima kasih banyak Pak, ini semua atas kebaikan Bapak dan tuan muda Ramon.”

“Kamu bisa bekerja dengan tenang. Tapi nanti saat persidangan, kamu harus bersedia menjadi saksi.”

“Baiklah.”

“Ya sudah, aku hanya ingin memberi tahu soal itu. Yang jelas ini berita baik, yang semoga akan berkelanjutan menjadi lebih baik.”

“Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih.”

“Kalau uang limabelas juta yang sudah kamu bayarkan itu tidak bisa dikembalikan oleh dia, kamu tidak usah memikirkannya. Nanti aku akan menggantinya.”

“Tidak Pak, tidak usah. Biarkan saja, saya sudah ikhlas, yang penting saya tidak berkewajiban untuk membayar hutang yang sebenarnya tidak ada. Itu sudah menyenangkan hati saya, dan tentu saya juga ibu saya.”

“Ya sudah, itu masalah gampang, nanti kita bicarakan lagi. Selamat bekerja, Melati.”

“Terima kasih Pak, terima kasih.”

Melati menutup ponselnya dengan perasaan yang sulit digambarkan. Gembira, bahagia, penuh rasa syukur. Entahlah, ia bahkan lupa sudah berapa kali mengucapkan terima kasih kepada Samiaji yang sudah menolongnya dan mengabarkan berita baik untuknya.

Ia kembali menatap catatan yang disodorkan di mejanya, tapi tiba-tiba seseorang menyapanya dengan manis.

“Melati.”

Melati mengangkat wajahnya. Gadis cantik yang kaya raya itu? Nurina?

“Ibu Nurina, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.

“Aku mau melihat daftar menu yang ada di sini, untuk acara di perusahaanku, bulan depan.”

“Oh, baiklah. Silakan duduk, Ibu.”

“Hei, jangan memanggilku ibu, aku belum menjadi ibu. Panggil namaku saja, Nurin.”

“Baiklah, mbak Nurin. Silakan duduk,” kata Melati sambil tersenyum.

Melati mengambil buku menu di lacinya, dan segera memberikannya kepada Nurin.

Ketika menatap buku itu, Nurin sebenarnya masih membayangkan wajah Melati yang tampaknya disukai oleh Daniel. Melati cantik, lembut, dan sangat ramah dalam menghadapi pelanggan. Jadi ini yang membuat Daniel tertarik, dan suka, atau bahkan jatuh cinta? Sungguh Nurin tidak membaca menu yang terlampir. Ia hanya membayangkan wajah Melati dan Daniel berganti-ganti.

Kalau saja dia bersikap lebih lembut, seperti Melati, pasti Daniel akan tertarik padanya. Bukankah dia lebih cantik, lebih seksi, dan dia juga banyak disukai laki-laki?

“mBak Nurin, kalau yang itu tidak menarik, ada pilihan yang lain lagi,” tiba-tiba Melati menyodorkan lagi buku yang lain. Agak kusam, mungkin itu buku lama, yang pilihan menunya berbeda. Tapi kalau pelanggan suka, maka pasti akan dilayaninya.

“Oh, eh … iya, terima kasih.”

Nurin menerima buku satunya, membolak baliknya. Tapi ia teringat perkataan Nilam beberapa waktu yang lalu.

Nurin, kamu seorang pengusaha, terhormat, intelektual, bersainglah dengan cara terhormat.

“Melati, apakah mas Daniel sering pergi ke sini?”

Melati terkejut. Mau pesen, kok sambungannya bertanya tentang Daniel sih.

“Mas Daniel? Nggak. Pernah sih, hanya karena mau pesan makanan.”

“Oh, iya, dia pernah mengatakan itu. Kami baru saja bertemu, tapi merasa sudah sangat dekat.”

Melati tak menanggapi, rupanya Nurin ingin mengatakan bahwa dia dekat dengan Daniel, dan ada ancaman tersirat disana, bahwa dia tak boleh mendekati Daniel. Melati tersenyum tipis, tapi dia pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.

Tapi kemudian Nurin teringat ucapan Nilam itu lagi.

Bersainglah dengan cara terhormat. Sementara dia baru saja berbohong tentang kedekatannya dengan Daniel. Ia berusaha memanasi hati Melati. Itu bukan cara terhormat. Ia menyesali ucapannya.

***

Besok lagi ya.

 

 

M E L A T I 27

    M E L A T I    27 (Tien Kumalasari)   Nurin tertegun, menatap sahabatnya dengan kening berkerut, sementara Nilam hanya tersenyum-senyum ...