Tuesday, September 28, 2021

ROTI CINTA 38

 

ROTI CINTA  38

(TIEN Kumalasari)

 

“Pergi ?” tanya Witri agak berteriak.

“Sssttt..” bu Narti mengingatkan agar tidak berteriak, tapi Witri justru pergi ke sebelah untuk menemui keluarga Kusno.

“Bu, apa yang terjadi?” tanya Witri setelah masuk. Dilihatnya bu Kusno sedang duduk di kursi sedang menangis, sedangkan pak Kusno bersedakap sambil menyandarkan tubuhnya.

“Nak Witri, Ningsih pergi tanpa pamit,” kata bu Kusno.

“Mengapa tiba-tiba dia pergi ?”

“Dia selalu mengeluh, kenapa hidupnya seperti tak punya arti, dan membuat susah orang tua, begitu nak. Ibu sudah menghiburnya, bahwa itu bukan salah dia, tapi dia terus menerus merutuki dirinya sendiri. Ibu sedang didapur ketika bapaknya berteriak-teriak memangil Ningsih yang dikiranya ada dikamar, tapi ternyata dia sudah pergi.”

“Kira-kira kemana ya bu, barangkali ada saudara dekat yang dikunjungi? Atau teman dekat?”

“Bapak sudah menelpon kemana-mana, tidak ada yang tahu. Bapak juga berpesan, kalau dia datang bapak suruh ngabari kemari.”

“Baiklah pak, lebih baik ditunggu saja dulu, barangkali nanti salah seorang yang bapak telpon akan mengabari kemari, atau mungkin mbak Ningsih perginya hanya sebentar,” hibur Witri.

“Dia tak pernah pergi tanpa pamit. Ibu khawatir dia akan melakukan hal-hal yang menakutkan bagi ibu.”

“Tidak bu, tenanglah, mbak Ningsih bukan anak kecil.. dia pasti melakukan hal-hal baik.”

“Tapi dia selalu merasa bersalah. Dia tidak mengira hidupnya akan seperti ini nak. Bagaimana kalau dia nekat? Ibu sangat takut.”

“Ibu tenang ya, dan selalu berdoa agar mbak Ningsih tidak melakukan hal-hal yang nekat atau membahayakan dirinya. Menurut Witri dia hanya akan menenangkan dirinya.”

“Semoga saja begitu nak. Sebetulnya bapak sudah bilang, sudah, jangan dipikirkan soal sertifikat itu, dan jangan menyesali apapun.”

“Tapi dia tetap menyalahkan dirinya terus menerus.”

“Iya pak, sabar ya. Sebenarnya saya ini juga ingin menemui mbak Ningsih, akan menawarkan pekerjaan barangkali dia mau.”

“Pekerjaan apa itu nak?”

“Seperti saya, bekerja sebagai kasir di toko roti dan resto.”

“Bagus sekali itu nak. Kalau bisa bekerja, ibu akan senang sekali. Tapi dianya sekarang dimana,  bingung ibu.”

“Ibu, lebih baik tenang dan berdoa. Witri percaya bahwa mbak Ningsih hanya ingin menenangkan diri, nanti juga dia pasti kembali.”

“Apa dia punya uang sih bu?” tanya pak Kusno kepada isterinya.

“Dia bilang ketika dipulangkan, Nurdin memberinya uang tiga juta.”

“Uang itu dibawanya?”

“Sepertinya iya pak, ibu membuka almarinya, ibu tidak menemukan dompetnya. Mungkin dia juga membawa beberapa baju.”

“Kalau begitu dia berniat akan menginap, entah dimana bu. Jadi ibu tidak perlu khawatir, karena kalau dia akan berbuat nekat, maka dia tidak akan membawa apapun,” kata Witri.

“Itu benar bu, apa yang dikatakan nak Witri itu tidak salah.”

“Iya pak, semoga saja demikian.”

***

Namun sampai pagi harinya, Ningsih memang belum kembali. Dan berita dari sanak saudara juga tak kunjung tiba. Berkali-kali pak Kusno menelpon, tak pernah berhasil, dia mematikan ponselnya sejak pergi dari rumah.

Ketika sampai di tempat kerjanya, Dian langsung menanyakan perihal Ningsih, dan terkejut ketika mendengar Ningsih kabur dari rumah.

“Kabur? Apakah kedua orang tuanya menyalahkannya ketika suaminya menceraikan dia?”

“Tidak, dia sendiri yang tampaknya merasa bersalah.”

“Mengapa gampang sekali dia putus asa ?”

“Sebetulnya ada hal yang menyakitkan bagi keluarga pak Kusno.”

“Hal apa?”

“Nurdin mencuri sertifikat rumah pak Kusno.”

“Haa? Untuk apa?”

Lalu Witri akhirnya menceritakan semua yang menimpa keluarga pak Kusno karena ulah Nurdin. Sesuatu yang tadinya ia tak ingin menceritakannya.

“Ada orang seperti itu ?”

“Aku juga heran, laki-laki itu sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Untunglah dulu aku menolaknya. Alangkah sengsaranya memiliki suami seperti itu.”

“Yah, kamu orang baik, Allah pasti akan menghindarkan kamu dari perilaku buruk,”

“Bukan begitu mas, setiap manusia pasti melalui liku-liku hidup yang berbeda. Tidak semuanya didalam menjalani hidup ini selalu mulus tanpa hambatan. Suka ada tapi duka juga pasti ada,” kata Witri sambil melayani pembeli yang membayar belanjaannya.

“Wah, hebat calon isteriku ini. Aku suka, aku suka, dan aku juga bahagia. Terimakasih Ya Allah, telah memberikan hambamu ini seorang calon isteri yang baik dan bijak,” kata Dian sambil menadahkan tangannya.

“Sst.. mas.. ngapain sih, dilihat orang tuh,” tegur Witri.

“Memangnya kenapa, orang berterimakasih kepada Yang Maha Kuasa, masa nggak boleh?”

“Nanti ada tempatnya, bukan ditempat ramai seperti ini.”

“Baiklah calon isteri. Tapi ngomong-ngomong bagaimana dengan Ningsih tadi? Aku juga kasihan mendengar ceritanya,” kata Dian.

“Itulah mas, semoga saja dia segera pulang. Kasihan ibunya menangis terus.”

“Nanti kalau dia pulang, suruh segera datang kemari, siapa tahu kami bisa membantu. Mungkin kita harus melaporkannya ke polisi.”

“Tapi Nurdin telah membuat surat hutang palsu yang sudah ditandatangani pak Kusno.”

“Polisi kan tidak begitu saja percaya pada sebuah bukti. Akan dicari bukti itu dari mana dan bagaimana bisa ada. Kita akan mencari pengacara yang bisa membuktikan kebenaran bukti itu.”

“Semoga segera ada jalan keluar, dan Ningsih segera kembali.”

“Sebenarnya aku sudah bilang sama bapak dan ibu tentang Ningsih, dan mereka setuju.”

“Syukurlah mas. Tinggal menunggu kapan Ningsih kembali.”

“Sekarang aku tinggal dulu ya, cari teman kamu, aku akan menyelesaikan tugasku dulu,” kata Dian.

“Ya baiklah mas, mas tinggal saja, kan ada petugasnya sendiri.”

***

“Mas Rustanto, besok kapan mas akan berhenti jualan?” tanya Dina ketika mereka sama-sama melihat kios yang sedang dibangun.

“Saya sudah bilang kepada majikan saya, bahwa MInggu depan akan berhenti.”

“Syukurlah, setelah itu kita akan bersama-sama mencari perabot yang kita perlukan. Barangkali akan banyak, ya kan? Dan tukang masak yang akan membantu mas Rustanto. Itu juga penting kan?”

“Iya saya tahu, ada teman saya yang akan membantu. Dulunya tukang masak di majikan saya, tapi berhenti karena sakit agak lama. Ketika mau kembali, majikan saya sudah dapat gantinya.”

“Bagus kalau begitu. Mungkin nanti kita juga butuh beberapa orang. Aku sudah memasang iklan untuk merekrut pelayan.”

“Berapa banyak dibutuhkan pelayan?”

“Mungkin dua atau tiga dulu ya mas.”

“Ya, kita belum tahu seberapa banyak nanti pelanggan kita, soal nanti harus menambah kan gampang. Sementara aku juga bisa jadi pelayan.”

“Jangan mas, pekerjaan mas hanya mengawasi masakan, dan mencatat semua penghasilan bersama saya. Itu sebabnya saya buat ruangan kantor untuk kita berdua.”

“Wah, tapi kalau belum banyak pelanggan kan kita jadi belum banyak pekerjaan.”

“Banyak yang harus kita benahi untuk usaha itu. Saya inginnya usaha ini tidak akan berhenti disini. Siapa tahu bisa jadi warung bakso yang lebih besar.”

“Semoga berhasil ya Din.”

“Aamiin.”

“Sekarang saya kembali dulu ke tempat saya jualan, tadi saya tinggal sebentar dan hanya saya titipkan ke penjual buah disebelah saya.”

“Oh, baiklah, kalau begitu saya mau menyusul kesana. Lapar nih.”

***

Ketika Rustanto sampai ditempatnya berjualan, dilihatnya seseorang duduk disebuah bangku, sambil meletakkan tangannya di meja yang dibuatnya menyangga kepalanya.

“Lho, mas Ferry ?”

“Saya menunggu dari tadi, mas Rus kemana ?”

“Saya melihat-lihat kios yang sedang dibangun, cepet sekali. Senang melihatnya.”

“Oh, mbak Dina jadi membuat warung bakso?”

“Iya, jadi. Mas Ferry kok sudah keluar dari rumah sakit?”

“Sudah. Saya lebih baik istirahat dirumah saja. Nggak enak kelamaan di rumah sakit. Biayanya kan mahal.”

“Tapi kan mas Bian yang membiayai.”

“Justru itu yang membuat saya sungkan.”

“Tapi kalau belum sehat benar sebaiknya ya istirahat dulu mas, nanti malah sakitnya tambah parah.”

“Saya sudah merasa lebih baik.”

“Harusnya mas beristirahat dulu kalau begitu. Kok malah kemari ? Kalau perlu saya akan bawakan baksonya dan saya antarkan ke tempat kost mas Ferry.”

“Saya berharap bisa bertemu mas Abian disini. Saya merasa sangat berdosa. Ketika saya kecelakaan, mas Bian yang menolong. Dia tidak saja membayar semua biaya perawatan, tapi juga membetulkan sepeda motor saya yang rusak. Sepeda motor itu dari bengkel dikirimkan ke rumah sakit. Ketika saya sembuh saya tinggal pulang dengan sepeda motor saya. Tuh lihat, semuanya sudah kembali seperti semula.”

“Ya mas, mas Bian orang baik. Dan mas Ferry yang menyadari kesalahan juga baik,” kata Rustanto sambil mengambilkan semangkuk bakso untuk Ferry dengan pangsit yang lebih banyak seperti biasanya, juga segelas teh panas.

“Lho, Ferry kok ada disini ?” tiba-tiba Dina muncul dan langsung duduk didepan Ferry.

“Iya mbak, kangen baksonya mas Rustanto.”

“Memangnya kamu sudah sembuh ? Wajah kamu masih pucat begitu.”

“Sudah mbak, nggak enak lama-lama di rumah sakit.”

“Tapi kamu masih kelihatan pucat.”

“Dokter mengijinkan obat jalan dengan istirahat cukup. Itu lebih baik, saya sungkan merepotkan mas Bian.”

“Ya ampun Fer, Bian itu orangnya baik. Dia tak akan memperhitungkan apa yang sudah dikeluarkan.”

“Justru itu mbak, saya sungkan.”

“Lalu kenapa kamu datang kemari. Apakah tempat ini dekat dengan rumah kost kamu?”

“Agak jauh sih.. tapi aku datang kemari berharap bisa ketemu mas Bian untuk mengucapkan terimakasih.”

“Kamu bisa menelponnya kan Fer.”

“Saya tidak punya nomor kontaknya, dan merasa lebih baik kalau bertemu, agar saya merasa lega.”

“Baiklah. Begini saja, kalau siang ini Bian tidak datang, aku antar kamu ke kantornya, bagaimana ? Motor kamu bisa dititip disini, nanti aku antar lagi kamu kemari.”

“Aduh, itu menyusahkan mbak Dina.”

“Sudah, jangan banyak protes. Sepertinya siang ini Abian tidak akan datang, karena ini sudah lewat jam istirahat. Selesaikan makan baksonya, aku juga mau makan dulu.”

“Ini Dina, sudah saya siapkan,” kata Rustanto sambil menyodorkan bakso dan teh panas untuk Dina.

Setelah mereka makan, Dina mengantarkan Ferry ke kantor Abian. Dina memaksanya walau Ferry menolak lantaran terlalu sungkan. Ia baru menyadari bahwa disekitarnya banyak orang-orang baik, tidak seperti dirinya yang telah berbuat seenaknya.

***

Abian terkejut melihat Ferry muncul dihadapannya bersama Dina.

“Mas Ferry, kok sudah pulang?”

“Iya mas, sudah lebih baik, lalu saya minta rawat jalan saja.”

“Mengapa begitu? Kalau belum sehat benar sebaiknya istirahat dulu dirumah sakit.”

“Dirumah juga sama kan mas, saya mau istirahat seperti anjuran dokter kok.”

“Tapi mas Ferry masih kelihatan pucat lho.”

“Mungkin, tapi saya merasa baik kok.”

“Ini tadi menunggu kamu di warungnya mas Rustanto. Karena kamu tidak datang lalu aku antar dia kemari,” sela Dina.

“Memangnya ada apa mas, rumah sakit akan mengontak saya seandainya ada kekurangan,”kata Bian.

“Bukan karena itu. Saya ingin ketemu mas Bian karena ingin mengucapkan terimakasih, dan minta maaf atas semua kesalahan saya.”

“Mas Ferry kan sudah mengucapkannya berkali-kali, bahkan setiap saya membezoek mas Ferry.”

“Sekarang saya sudah merasa baik. Tak ada yang harus saya lakukan selain mengatakan itu kembali kepada mas Bian. Bahkan sepeda motor saya sudah pulih, bahkan lebih bagus. Saya tidak tahu dengan apa harus membalasnya.”

“Saya tidak menghutangkan apapun mas Ferry, lupakan semuanya. Saya senang bisa melakukan sesuatu untuk sesama. Dan untuk mas Ferry, jadikan semua itu sebagai pelajaran dalam mengarungi hidup. Bersikap lebih bijak dalam menghadapi kekecewaan dan sakit hati, bersikap baik kepada semua orang. Maaf, bukan saya menggurui, karena saya juga mendapatkan pelajaran itu dari orang-orang yang lebih tua, kemudian saya menularkannya kepada mas Ferry. Marilah kita belajar lebih santun dalam menyikapi semua pengalaman hidup.”

“Ya mas, terimakasih banyak. Semua ini akan menjadi pelajaran dalam hidup saya. Saya akan berusaha menjadi manusia baik seperti mas Bian.”

“Bukan saya mas, saya juga masih belajar. Jadi marilah kita saling belajar. Dan kalau saya salah, mas Ferry juga berhak mengingatkan.”

Ferry berdiri, mendekati Abian dan merangkulnya penuh haru.

Dina mengusap air mata terharu melihat Ferry merangkul Bian dengan linangan air mata juga.

***

Ningsih melangkah mendekati sebuah rumah yang sudah sangat dikenalnya. Kemarin dia terbang dari Jakarta ke Padang dengan bekal yang sangat minim. Uang pemberian Nurdin yang tidak seberapa dibuatnya untuk biaya perjalanannya, demi satu tujuan, merebut kembali sertifikat rumah bapaknya yang dicuri Nurdin karena alasan yang tidak masuk akal. Penderitaan ke dua orang tuanya membuatnya nekat dan tidak takut apapun yang akan terjadi. Ia merasa bersalah ketika dulu menerima Nurdin, hanya karena iming-iming harta. Memperbaiki rumah orang tuanya, dan memberinya kehidupan yang lebih baik. Tapi apa yang sekarang dilakukannya? Karena dia mandul maka dia menceraikannya, dan memperhitungkan apa yang telah dikeluarkan dengan mengambil sertifikat orang tuanya.

Hari sudah siang ketika itu, dia melihat rumah Nurdin terbuka. Ia berharap Nurdin ada dirumah.

Namun ketika dia memasuki rumah, yang ada hanyalah pembantunya yang sudah mengenal baik dirinya.

“Yaah, ibu sudah kembali..?” kata sang pembantu dengan girang, karena Ningsih memang selalu bersikap baik kepadanya.

“Bapak kemana ?”

“Bapak pergi sudah sejak tadi, katanya ada urusan, begitu.”

Ningsih berdebar. Ia melihat tas yang kemarin dibawa Nurdin, tergeletak diatas meja.

“Bik, buatkan saya minum ya.”

“Iya bu, segera..” kata pembantunya yang segera beranjak ke belakang.

Ningsih mendekati tas itu, dan membukanya perlahan.

Ada sebuah map terselip disitu, ia menariknya, dan hampir bersorak ketika melihat sertifikat bapaknya ada didalamnya.

***

Besok lagi ya.



 

Monday, September 27, 2021

ROTI CINTA 37

 

ROTI CINTA  37

(Tien Kumalasari)

 

Bu Narti memang ingin menemui Ningsih, anak pemilik rumah yang kemarin datang, tapi kemudian ragu-ragu ketika mendengar suara ribut dari sebelah. Ia merasa sungkan kalau dianggap mengganggu. Tapi kalau tidak kesitu, ia juga merasa nggak enak, karena dia kan hanya penyewa yang seharusnya menghormati pemilik rumah.

Pak Kusno masih mengobrak abrik almarinya, bahkan bu Kusno dan Ningsih juga ikut membantu. Tapi lama sekali dan akhirnya tak seorangpun dari mereka menemukannya.

“Ini sungguh aneh..” gumam pak Kusno.

“Bapak sungguh-sungguh tidak meminjamkannya kepada siapapun?” tanya bu Kusno.

“Kamu ini aneh, masa sih sertifikat dipinjamkan?” kata pak Kusno sambil menghempaskan tubuhnya di kursi tuanya.

“Barangkali saja..”

“Tidak, sertifikat itu tidak pernah aku pergunakan untuk apapun. Ini juga mau aku ambil karena akan aku carikan uang. Jangan sampai Nurdin mengatakan lagi bahwa dia telah membiayai perbaikan rumah ini, lalu dia merasa memiliki. Sakit hatiku oleh apa yang dia katakan.”

“Jangan-jangan mas Nurdin yang mengambilnya pak,” kata Ningsih tiba-tiba.

Pak Kusno terkejut.

“Mungkinkah dia? Bagaimana dia tahu kalau aku menyimpannya disitu ?”

“Mungkin tadinya dia tidak tahu, tapi kalau dia membuka-buka buku-buku yang ada disitu pasti dia melihatnya. Bukankah bapak menyimpannya dibawah tumpukan buku-buku?”

“Iya sih, tapi untuk apa dia mengambilnya? Itu atas nama aku.”

“Coba Ning, kamu telpon dia,” kata bu Kusno.

“Aku segan berbicara sama dia. Ngomongnya nggak pernah enak.”

“Tapi kan ini untuk kepentingan kita Ning..” kata pak Kusno.

“Anakmu itu sudah sangat ketakutan sama bekas suaminya. Setelah tahu bahwa Ningsih tak bisa melahirkan anak, dia kan memperlakukannya dengan semena-mena,” kata ibunya.

“Kalau begitu apa sebaiknya aku saja yang bertanya?”

“Ya pak, sebaiknya bapak saja yang bicara, barangkali kalau sama bapak dia lebih merasa sungkan,” kata bu Kusno.

“Tidak mungkin dia bisa bersikap sungkan, sama aku sama sekali tidak ada sedikitpun rasa hormatnya. Kemarin itu kalau tidak karena sampai disini sudah malam, nggak mungkin juga akan menginap dirumah ini. Dia hanya mengantarkan Ningsih, dan mengatakan bahwa dia telah menceraikannya. Masih bagus dia mau mengantarkan pulang, tidak mengusirnya dengan semena-mena.”

Ningsih hanya tertunduk lesu. Ia menyesal mau menikah dengan Nurdin hanya karena iming-iming harta, karena ternyata Nurdin tak punya cinta.

“Tapi nggak apa-apa, aku akan menelponnya, coba kamu bawa kemari ponsel bapak itu Ning.”

Pak Kusno segera menghubungi Nurdin begitu ponsel diserahkan.

“Ada apa pak, aku sudah ada di bandara, sebentar lagi tidak bisa buka-buka ponsel.”

“Hanya mau bertanya saja nak, apa nak Nurdin membawa sertifikat rumah saya ?”

“Oo.. sertifikat ?”

“Ya nak, saya cari di seluruh rumah kok nggak ketemu.”

“Hm.. iya benar pak, saya ambil diam-diam semalam.”

“Ya ampun nak, mengapa nak Nurdin mengambilnya?”

“Saya terpaksa mengambilnya, karena saya sudah memperbaiki rumah itu sampai uang saya terkuras hampir seratus juta. Dan bukankah karena rumah bapak sudah bagus lalu bapak bisa menyewakannya kepada orang lain?”

“Seratus juta?”

“Iya. Memangnya sedikit menjadikan rumah bobrok menjadi sebagus itu ? Kalau bapak tidak percaya nanti akan saya suruh pemborongnya datang kerumah bapak.”

Pak Kusno terdiam. Seratus juta bukan uang yang sedikit bagi pak Kusno. Dan terlebih lagi dia tidak menyangka kalau sertifikat rumah kemudian diambilnya gara-gara itu.

“Tapi nak, biarpun begitu kan sertifikat rumah itu tidak serta merta bisa nak Nurdin ambil begitu saja, terlebih dengan cara yang sangat tidak terpuji.”

“Ini urusan uang, terpuji atau tidak aku tidak peduli. Dengar ya pak, kalau bapak mau sertifikat itu kembali, maka bapak harus mengembalikan uang saya sebanyak seratus juta. Dan jangan bapak kira bapak akan bisa melaporkannya kepada polisi, karena sudah ada bukti hutang yang bapak tanda tangani dengan agunan sertifikat itu. Jadi kembalikan uang saya yang seratus juta.

“Apa? Darimana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu  Dan surat hutang apa?”

“Bapak lupa ketika saya meminta bapak menandatangani sebuah surat?”

Lalu pak Kusno ingat, ketika pada suatu hari Nurdin meminta tanda tangannya, yang katanya hanya persetujuan pembangunan rumah.  Pak Kusno yang lugu menandatanganinya tanpa membaca isinya.

“Jadi.. nak Nurdin memang sudah berencana untuk mengakali saya ketika menikahi anak saya? Mengapa nak Nurdin begitu tega? Bagaimana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sementara sertifikat saya sudah nak Nurdin ambil dengan paksa?”

“Saya tidak tahu, usahakan uang itu, atau sertifikat akan tetap ada di tangan saya,” kata Nurdin enteng.

“Dengar ya nak, sebenarnya saya mencari sertifikat itu memang ingin saya gadaikan, yang mana nanti uangnya akan saya kembalikan kepada nak Nurdin sebagai ganti biaya perbaikan rumah ini.”

“Oh ya? Masa sih ?”

“Saya mencarinya karena akan saya pergunakan untuk itu.”

“Saya tidak percaya.”

“Nak, tolong kembalikan sertifikat itu, nanti setelah saya gadaikan, uang nak Nurdin akan saya kembalikan, supaya diantara kita benar-benar tidak ada lagi ikatan apapun.”

“Tapi saya tidak percaya. Saya hanya mau uang itu dulu, baru saya kembalikan sertifikatnya. Nah, sudah ya pak, tampaknya semua penumpang sudah harus masuk, dan ponsel harus dimatikan.”

“Nak, jangan begitu nak, tolong..” kata pak Kusno menghiba. Tapi ponsel sudah dimatikan, dan Nurdin sudah tidak bisa lagi dihubungi. Pak Kusno meletakkan ponselnya dengan lunglai.

“Pak, apa yang seratus juta? Benar kan sertifikat itu dia bawa ?”

“Iya, dan dia minta agar aku menebusnya sebanyak seratus juta.”

“Aduh, seratus juta?”

“Katanya dia membangun rumah ini sebanyak itu habisnya. Dan ketika dia minta agar aku menandatangani sebuah surat, ternyata surat itu isinya bahwa aku telah meminjam uang sebanyak seratus juta dengan agunan sertifikat itu.”

“Ya Tuhan. Dia benar-benar manusia jahat,” pekik Ningsih.

“Maksudku sebenarnya kan baik, aku akan menggadaikan sertifikat itu untuk mengganti uang yang sudah dia keluarkan. Aku muak mendengar kata-katanya yang sangat merendahkan kita sebagai orang tak punya. Tak tahunya dia sudah lebih dulu mencuri serifikat itu.”

“Lalu kita harus bagaimana pak?”

“Entahlah, aku bingung, biarkan aku merasa tenang dulu.”

“Bagaimana kalau kita melaporkannya pada polisi?”

“Tapi dia membawa surat hutang palsu itu, dan aku bertanda tangan disitu,” keluh pak Kusno.

Bu Narti mendengar semuanya, karena dia sudah berdiri diteras pak Kusno, dan sungkan untuk segera masuk. Tiba-tiba bu Narti memilih untuk mundur dan kembali ke rumahnya.

***

Sore hari itu dengan berbisik-bisik bu Narti menceritakan apa yang didengarnya dari sebelah kepada Witri, yang merasa semakin kesal terhadap Nurdin.

“Ternyata dia itu sungguh manusia jahat.”

“Aku kasihan pada keluarga pak Kusno. Tak bisa aku bayangkan, pasti mereka sangat sedih.”

“Aduh, seandainya Witri bisa membantu. Tapi bagaimana, uang sebanyak itu tidak mudah mencarinya. Tabungan Witri juga tidak seberapa banyak. Itupun karena keluarga Baskoro tidak memotong biaya perawatan ibu yang pastinya juga lumayan banyak bagi kita.”

“Iya, kalau dipikir-pikir, alangkah jauh bedanya keluarga pak Baskoro dan Nurdin ya Wit, kebaikan yang diberikan tidak minta imbalan, sebaliknya Nurdin yang sudah mengambil isteri anak pak Kusno, ternyata menghitung uang yang sudah dikeluarkan untuk mertuanya.”

“Iya bu, bersyukur kita bisa dekat dengan orang-orang baik.”

“Dan bersyukur karena kamu telah menolak lamaran Nurdin.”

“Tadi ibu sudah kesana?”

“Maksud ibu mau kesana, tapi ibu mendengar dengan jelas pembicaraan mereka, jadi ibu sungkan. Ibu tidak bermaksud menguping lho, tapi rumah kita kan hanya berbatas triplek, lagian tadi ibu sudah sampai di teras mereka, mau masuk ada suara-suara memilukan seperti itu, jadi ibu memilih kembali.”

“Tapi kita harus kesana kan bu, tidak enak kalau diam saja.”

“Ya sudah kalau begitu kamu mandi dulu, lalu kita kesana bersama-sama, pura-pura saja tidak tahu apa yang terjadi.”

“Baiklah bu, kalau begitu Witri mau mandi dulu.”

***

Keluarga pak Kusno menerima kedatangan bu Narti dan Witri dengan senang hati, biarpun diantara mereka masih terlihat wajah-wajah kusut dan muram.

Witri menatap Ningsih dengan iba. Gadis itu cantik, dan kelihatan kalau wajah cantik itu sangat terawat. Wajahnya bersih, halus dan dibalut dengan dandanan yang tipis sederhana, tapi tak mengurangi kecantikannya. Pantas dulu Nurdin terpikat sama dia sehingga kemudian meminangnya dengan sejuta janji yang memabokkan. Tidak disangka Nurdin memperlakukannya begitu jahat ketika mengetahui bahwa Ningsih tak bisa melahirkan seorang anakpun. Nurdin bahkan punya rencana licik atas biaya yang telah dikeluarkannya untuk membangun rumah mertuanya.

“Nasib Ningsih sungguh tidak baik nak,” kata bu Kusno ketika melihat Witri selalu memandangi anaknya.

“Mengapa tidak baik bu?” kata Witri pura-pura tidak tahu.

“Nak Witri kan sudah mendengar dari saya waktu itu, bahwa anak saya akan diceraikan Nurdin gara-gara menikah tiga tahun tidak segera punya anak, dan ketika diperiksakan ke dokter memang anak saya mandul,” kata pak Kusno pilu.

“Oh, iya pak. Tapi kan lebih baik berpisah daripada disengsarakan,” kata Witri.

“Dan nasib kami juga menjadi tidak baik gara-gara laki-laki jahat itu,” kata bu Kusno pilu.

Lalu pak Kusno menceritakan tentang sertifikat yang dicuri Nurdin dan minta imbalan seratus juta agar sertifikat itu bisa kembali.

“Iya nak, saat ini kami sedang sangat prihatin. Sertifikat itu kan sebuah surat yang menyatakan kepemilikan rumah kami ini.”

“Bu, kadangkala Allah sedang menguji kita, dengan sesuatu yang bagi kita sangat menyusahkan. Tapi percayalah bahwa Dia akan menolong kita kalau kita selalu bersandar kepada-Nya,” kata bu Narti dengan bijak.

“Iya bu, semoga segera ada jalan keluarnya,” kata pak Kusno tanpa tahu bagaimana ujud jalan keluar itu.

Witri pulang dengan perasaan ikut terbebani oleh penderitaan keluarga Kusno. Ia berharap bisa membantu, tapi bagaimana caranya? Selalu terbayang wajah-wajah duka yang tidak tahu harus berbuat apa.

***

Sore itu ketika Witri mau berangkat pulang dari bekerja, tiba-tiba seseorang menghadang dihadapannya.

“Hayo.. nggak boleh pulang sendiri,” kata Dian sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya didepan Witri.

“Mas Dian sudah pulang?”

“Lha ini kan sudah, buktinya sudah berdiri dihadapan kamu kan?”

“Kapan pulangnya kok aku nggak tahu?”

“Kamu kan didepan, sedangkan aku lewat belakang. Belum lama, lalu aku melihat jam kerja kamu sudah selesai, jadi aku bermaksud mengantar kamu.”

“Mas Dian tidak capek ?”

“Nggak, ngapain capek? Untuk pergi bersama kamu, nggak ada tuh yang namanya capek.”

Witri tersenyum, lalu mengikuti Dian yang sudah berjalan terlebih dulu.

“Silahkan masuk, tuan puteri.”

“Ih, lebay deh. Masa sih aku tuan puteri?”

“Lha iya, kan kamu perempuan. Kalau laki-laki, aku bilang tuan putera,” kata Dian yang disambut senyuman, lalu Dian segera masuk dari arah samping dan duduk dibelakang kemudi.

“Apa kabar ketika aku pergi?” tanya Dian ketika sudah menjalankan mobilnya.

“Baik-baik saja.”

“Syukurlah. Tak ada yang mengganggu Witri kan?”

Lalu Witri tiba-tiba teringat Ningsih, dan rasa iba kembali merayapi hatinya.

“Kok diam ? Ada yang mengganggu ya?”

“Mas, masih adakah lowongan pekerjaan di toko ?”

“Apa? Lowongan pekerjaan? Maksud kamu ada yang nyari kerja?”

“Barangkali dia mau, tapi Witri juga belum bilang sama dia kalau mau mencarikan             pekerjaan sih.”

“Gimana sih? Orangnya nggak butuh pekerjaan, tapi kamu mencarikan, begitu?”

“Bukan begitu. Witri cuma kasihan saja sama dia.”

“Mengapa ? Nanti kamu susah-susah mencarikan, ternyata dia nggak bisa kerja.”

“Dia sekitar dua tahun diatas saya. Cantik sih, tapi sudah janda.”

“Haa.. janda?”

“Janda karena disia-siakan oleh suaminya setelah diketahui dia mandul.”

“Ya ampun, kamu pernah cerita tentang sebuah kisah yang mirip cerita kamu ini. Biar aku ingat-ingat… itu .. apakah ada hubungannya dengan pemilik rumah kamu yang lama? Namanya Nurdin kalau tidak salah.”

“Ya, dan Witri sama ibu kebetulan menyewa rumah bekas isteri Nurdin itu.”

“Kamu sudah ketemu bekas isteri Nurdin, dan merasa kasihan, lalu mencarikan pekerjaan untuk dia?”

“Maksud saya begitu, supaya kehidupan keluarganya terbantu. Tapi saya baru ngomong sama mas dulu. Kalau memang ada lowongan, biar saya tanya dia apakah mau bekerja.”

“Kalau lowongan sih kayaknya belum ada. Eh tunggu, lowongan kasir itu akan segera ada. Sampai lupa aku.”

“Lowongan kasir? Mas Dian mau memecat aku.”

“Betul sekali, aku akan segera memecat kamu.”

“Ya Tuhan, apa salahku ?” pekik Witri karena terkejut.

“Salah kamu, karena kamu akan menjadi isteri aku.”

“Maaas. Serius nih.”

“Iya, sangat serius. Masa sih, aku akan membiarkan isteri aku bekerja? Tugas isteri kan melayani suami.”

“Tapi mas..”

“Coba bilang sama tetangga kamu itu, eh.. siapa namanya?”

“Sriningsih..”

“Nah, bilang sama Sriningsih, kalau mau bekerja suruh aja melamar. Nanti kamu ajarin dia sebelum kamu resmi menjadi isteri aku. Tapi kan kita harus melihat bagaimana pekerjaan dia. Jangan karena kasihan maka langsung terima.”

“Baiklah mas, aku akan bilang sama dia, apakah dia mau bekerja.”

“Dan katakan juga sama dia bahwa kalau benar-benar mau bekerja maka dia harus serius menekuni pekerjaan itu. Bilang juga bahwa kasir memiliki tanggung jawab yang sangat besar.”

“Iya, nanti aku bilang. Semoga dengan ini kita bisa meringankan beban dia.”

***

Witri memasuki rumah dengan perasaan lebih nyaman. Ia berharap bisa sedikit meringankan beban keluarga Kusno.

“Bu, nanti setelah ibu mandi, Witri akan ketemu mbak Ningsih sebentar,” kata Witri kepada ibunya.

“Ssst.. jangan keras-keras..”

“Memangnya kenapa bu?”

“Baru saja mereka ribut, karena Ningsih pergi tanpa pamit.”

***

Besok lagi ya

 

 

 

LANGIT TAK LAGI KELAM 09

  LANGIT TAK LAGI KELAM  09 (Tien Kumalasari)   Pak Hasbi menatap tajam anak angkatnya. Tak percaya akan apa yang didengarnya. “Apa kamu bil...