ROTI CINTA 38
(TIEN Kumalasari)
“Pergi ?” tanya Witri agak berteriak.
“Sssttt..” bu Narti mengingatkan agar tidak berteriak, tapi Witri justru pergi ke sebelah untuk menemui keluarga Kusno.
“Bu, apa yang terjadi?” tanya Witri setelah masuk. Dilihatnya bu Kusno sedang duduk di kursi sedang menangis, sedangkan pak Kusno bersedakap sambil menyandarkan tubuhnya.
“Nak Witri, Ningsih pergi tanpa pamit,” kata bu Kusno.
“Mengapa tiba-tiba dia pergi ?”
“Dia selalu mengeluh, kenapa hidupnya seperti tak punya arti, dan membuat susah orang tua, begitu nak. Ibu sudah menghiburnya, bahwa itu bukan salah dia, tapi dia terus menerus merutuki dirinya sendiri. Ibu sedang didapur ketika bapaknya berteriak-teriak memangil Ningsih yang dikiranya ada dikamar, tapi ternyata dia sudah pergi.”
“Kira-kira kemana ya bu, barangkali ada saudara dekat yang dikunjungi? Atau teman dekat?”
“Bapak sudah menelpon kemana-mana, tidak ada yang tahu. Bapak juga berpesan, kalau dia datang bapak suruh ngabari kemari.”
“Baiklah pak, lebih baik ditunggu saja dulu, barangkali nanti salah seorang yang bapak telpon akan mengabari kemari, atau mungkin mbak Ningsih perginya hanya sebentar,” hibur Witri.
“Dia tak pernah pergi tanpa pamit. Ibu khawatir dia akan melakukan hal-hal yang menakutkan bagi ibu.”
“Tidak bu, tenanglah, mbak Ningsih bukan anak kecil.. dia pasti melakukan hal-hal baik.”
“Tapi dia selalu merasa bersalah. Dia tidak mengira hidupnya akan seperti ini nak. Bagaimana kalau dia nekat? Ibu sangat takut.”
“Ibu tenang ya, dan selalu berdoa agar mbak Ningsih tidak melakukan hal-hal yang nekat atau membahayakan dirinya. Menurut Witri dia hanya akan menenangkan dirinya.”
“Semoga saja begitu nak. Sebetulnya bapak sudah bilang, sudah, jangan dipikirkan soal sertifikat itu, dan jangan menyesali apapun.”
“Tapi dia tetap menyalahkan dirinya terus menerus.”
“Iya pak, sabar ya. Sebenarnya saya ini juga ingin menemui mbak Ningsih, akan menawarkan pekerjaan barangkali dia mau.”
“Pekerjaan apa itu nak?”
“Seperti saya, bekerja sebagai kasir di toko roti dan resto.”
“Bagus sekali itu nak. Kalau bisa bekerja, ibu akan senang sekali. Tapi dianya sekarang dimana, bingung ibu.”
“Ibu, lebih baik tenang dan berdoa. Witri percaya bahwa mbak Ningsih hanya ingin menenangkan diri, nanti juga dia pasti kembali.”
“Apa dia punya uang sih bu?” tanya pak Kusno kepada isterinya.
“Dia bilang ketika dipulangkan, Nurdin memberinya uang tiga juta.”
“Uang itu dibawanya?”
“Sepertinya iya pak, ibu membuka almarinya, ibu tidak menemukan dompetnya. Mungkin dia juga membawa beberapa baju.”
“Kalau begitu dia berniat akan menginap, entah dimana bu. Jadi ibu tidak perlu khawatir, karena kalau dia akan berbuat nekat, maka dia tidak akan membawa apapun,” kata Witri.
“Itu benar bu, apa yang dikatakan nak Witri itu tidak salah.”
“Iya pak, semoga saja demikian.”
***
Namun sampai pagi harinya, Ningsih memang belum kembali. Dan berita dari sanak saudara juga tak kunjung tiba. Berkali-kali pak Kusno menelpon, tak pernah berhasil, dia mematikan ponselnya sejak pergi dari rumah.
Ketika sampai di tempat kerjanya, Dian langsung menanyakan perihal Ningsih, dan terkejut ketika mendengar Ningsih kabur dari rumah.
“Kabur? Apakah kedua orang tuanya menyalahkannya ketika suaminya menceraikan dia?”
“Tidak, dia sendiri yang tampaknya merasa bersalah.”
“Mengapa gampang sekali dia putus asa ?”
“Sebetulnya ada hal yang menyakitkan bagi keluarga pak Kusno.”
“Hal apa?”
“Nurdin mencuri sertifikat rumah pak Kusno.”
“Haa? Untuk apa?”
Lalu Witri akhirnya menceritakan semua yang menimpa keluarga pak Kusno karena ulah Nurdin. Sesuatu yang tadinya ia tak ingin menceritakannya.
“Ada orang seperti itu ?”
“Aku juga heran, laki-laki itu sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Untunglah dulu aku menolaknya. Alangkah sengsaranya memiliki suami seperti itu.”
“Yah, kamu orang baik, Allah pasti akan menghindarkan kamu dari perilaku buruk,”
“Bukan begitu mas, setiap manusia pasti melalui liku-liku hidup yang berbeda. Tidak semuanya didalam menjalani hidup ini selalu mulus tanpa hambatan. Suka ada tapi duka juga pasti ada,” kata Witri sambil melayani pembeli yang membayar belanjaannya.
“Wah, hebat calon isteriku ini. Aku suka, aku suka, dan aku juga bahagia. Terimakasih Ya Allah, telah memberikan hambamu ini seorang calon isteri yang baik dan bijak,” kata Dian sambil menadahkan tangannya.
“Sst.. mas.. ngapain sih, dilihat orang tuh,” tegur Witri.
“Memangnya kenapa, orang berterimakasih kepada Yang Maha Kuasa, masa nggak boleh?”
“Nanti ada tempatnya, bukan ditempat ramai seperti ini.”
“Baiklah calon isteri. Tapi ngomong-ngomong bagaimana dengan Ningsih tadi? Aku juga kasihan mendengar ceritanya,” kata Dian.
“Itulah mas, semoga saja dia segera pulang. Kasihan ibunya menangis terus.”
“Nanti kalau dia pulang, suruh segera datang kemari, siapa tahu kami bisa membantu. Mungkin kita harus melaporkannya ke polisi.”
“Tapi Nurdin telah membuat surat hutang palsu yang sudah ditandatangani pak Kusno.”
“Polisi kan tidak begitu saja percaya pada sebuah bukti. Akan dicari bukti itu dari mana dan bagaimana bisa ada. Kita akan mencari pengacara yang bisa membuktikan kebenaran bukti itu.”
“Semoga segera ada jalan keluar, dan Ningsih segera kembali.”
“Sebenarnya aku sudah bilang sama bapak dan ibu tentang Ningsih, dan mereka setuju.”
“Syukurlah mas. Tinggal menunggu kapan Ningsih kembali.”
“Sekarang aku tinggal dulu ya, cari teman kamu, aku akan menyelesaikan tugasku dulu,” kata Dian.
“Ya baiklah mas, mas tinggal saja, kan ada petugasnya sendiri.”
***
“Mas Rustanto, besok kapan mas akan berhenti jualan?” tanya Dina ketika mereka sama-sama melihat kios yang sedang dibangun.
“Saya sudah bilang kepada majikan saya, bahwa MInggu depan akan berhenti.”
“Syukurlah, setelah itu kita akan bersama-sama mencari perabot yang kita perlukan. Barangkali akan banyak, ya kan? Dan tukang masak yang akan membantu mas Rustanto. Itu juga penting kan?”
“Iya saya tahu, ada teman saya yang akan membantu. Dulunya tukang masak di majikan saya, tapi berhenti karena sakit agak lama. Ketika mau kembali, majikan saya sudah dapat gantinya.”
“Bagus kalau begitu. Mungkin nanti kita juga butuh beberapa orang. Aku sudah memasang iklan untuk merekrut pelayan.”
“Berapa banyak dibutuhkan pelayan?”
“Mungkin dua atau tiga dulu ya mas.”
“Ya, kita belum tahu seberapa banyak nanti pelanggan kita, soal nanti harus menambah kan gampang. Sementara aku juga bisa jadi pelayan.”
“Jangan mas, pekerjaan mas hanya mengawasi masakan, dan mencatat semua penghasilan bersama saya. Itu sebabnya saya buat ruangan kantor untuk kita berdua.”
“Wah, tapi kalau belum banyak pelanggan kan kita jadi belum banyak pekerjaan.”
“Banyak yang harus kita benahi untuk usaha itu. Saya inginnya usaha ini tidak akan berhenti disini. Siapa tahu bisa jadi warung bakso yang lebih besar.”
“Semoga berhasil ya Din.”
“Aamiin.”
“Sekarang saya kembali dulu ke tempat saya jualan, tadi saya tinggal sebentar dan hanya saya titipkan ke penjual buah disebelah saya.”
“Oh, baiklah, kalau begitu saya mau menyusul kesana. Lapar nih.”
***
Ketika Rustanto sampai ditempatnya berjualan, dilihatnya seseorang duduk disebuah bangku, sambil meletakkan tangannya di meja yang dibuatnya menyangga kepalanya.
“Lho, mas Ferry ?”
“Saya menunggu dari tadi, mas Rus kemana ?”
“Saya melihat-lihat kios yang sedang dibangun, cepet sekali. Senang melihatnya.”
“Oh, mbak Dina jadi membuat warung bakso?”
“Iya, jadi. Mas Ferry kok sudah keluar dari rumah sakit?”
“Sudah. Saya lebih baik istirahat dirumah saja. Nggak enak kelamaan di rumah sakit. Biayanya kan mahal.”
“Tapi kan mas Bian yang membiayai.”
“Justru itu yang membuat saya sungkan.”
“Tapi kalau belum sehat benar sebaiknya ya istirahat dulu mas, nanti malah sakitnya tambah parah.”
“Saya sudah merasa lebih baik.”
“Harusnya mas beristirahat dulu kalau begitu. Kok malah kemari ? Kalau perlu saya akan bawakan baksonya dan saya antarkan ke tempat kost mas Ferry.”
“Saya berharap bisa bertemu mas Abian disini. Saya merasa sangat berdosa. Ketika saya kecelakaan, mas Bian yang menolong. Dia tidak saja membayar semua biaya perawatan, tapi juga membetulkan sepeda motor saya yang rusak. Sepeda motor itu dari bengkel dikirimkan ke rumah sakit. Ketika saya sembuh saya tinggal pulang dengan sepeda motor saya. Tuh lihat, semuanya sudah kembali seperti semula.”
“Ya mas, mas Bian orang baik. Dan mas Ferry yang menyadari kesalahan juga baik,” kata Rustanto sambil mengambilkan semangkuk bakso untuk Ferry dengan pangsit yang lebih banyak seperti biasanya, juga segelas teh panas.
“Lho, Ferry kok ada disini ?” tiba-tiba Dina muncul dan langsung duduk didepan Ferry.
“Iya mbak, kangen baksonya mas Rustanto.”
“Memangnya kamu sudah sembuh ? Wajah kamu masih pucat begitu.”
“Sudah mbak, nggak enak lama-lama di rumah sakit.”
“Tapi kamu masih kelihatan pucat.”
“Dokter mengijinkan obat jalan dengan istirahat cukup. Itu lebih baik, saya sungkan merepotkan mas Bian.”
“Ya ampun Fer, Bian itu orangnya baik. Dia tak akan memperhitungkan apa yang sudah dikeluarkan.”
“Justru itu mbak, saya sungkan.”
“Lalu kenapa kamu datang kemari. Apakah tempat ini dekat dengan rumah kost kamu?”
“Agak jauh sih.. tapi aku datang kemari berharap bisa ketemu mas Bian untuk mengucapkan terimakasih.”
“Kamu bisa menelponnya kan Fer.”
“Saya tidak punya nomor kontaknya, dan merasa lebih baik kalau bertemu, agar saya merasa lega.”
“Baiklah. Begini saja, kalau siang ini Bian tidak datang, aku antar kamu ke kantornya, bagaimana ? Motor kamu bisa dititip disini, nanti aku antar lagi kamu kemari.”
“Aduh, itu menyusahkan mbak Dina.”
“Sudah, jangan banyak protes. Sepertinya siang ini Abian tidak akan datang, karena ini sudah lewat jam istirahat. Selesaikan makan baksonya, aku juga mau makan dulu.”
“Ini Dina, sudah saya siapkan,” kata Rustanto sambil menyodorkan bakso dan teh panas untuk Dina.
Setelah mereka makan, Dina mengantarkan Ferry ke kantor Abian. Dina memaksanya walau Ferry menolak lantaran terlalu sungkan. Ia baru menyadari bahwa disekitarnya banyak orang-orang baik, tidak seperti dirinya yang telah berbuat seenaknya.
***
Abian terkejut melihat Ferry muncul dihadapannya bersama Dina.
“Mas Ferry, kok sudah pulang?”
“Iya mas, sudah lebih baik, lalu saya minta rawat jalan saja.”
“Mengapa begitu? Kalau belum sehat benar sebaiknya istirahat dulu dirumah sakit.”
“Dirumah juga sama kan mas, saya mau istirahat seperti anjuran dokter kok.”
“Tapi mas Ferry masih kelihatan pucat lho.”
“Mungkin, tapi saya merasa baik kok.”
“Ini tadi menunggu kamu di warungnya mas Rustanto. Karena kamu tidak datang lalu aku antar dia kemari,” sela Dina.
“Memangnya ada apa mas, rumah sakit akan mengontak saya seandainya ada kekurangan,”kata Bian.
“Bukan karena itu. Saya ingin ketemu mas Bian karena ingin mengucapkan terimakasih, dan minta maaf atas semua kesalahan saya.”
“Mas Ferry kan sudah mengucapkannya berkali-kali, bahkan setiap saya membezoek mas Ferry.”
“Sekarang saya sudah merasa baik. Tak ada yang harus saya lakukan selain mengatakan itu kembali kepada mas Bian. Bahkan sepeda motor saya sudah pulih, bahkan lebih bagus. Saya tidak tahu dengan apa harus membalasnya.”
“Saya tidak menghutangkan apapun mas Ferry, lupakan semuanya. Saya senang bisa melakukan sesuatu untuk sesama. Dan untuk mas Ferry, jadikan semua itu sebagai pelajaran dalam mengarungi hidup. Bersikap lebih bijak dalam menghadapi kekecewaan dan sakit hati, bersikap baik kepada semua orang. Maaf, bukan saya menggurui, karena saya juga mendapatkan pelajaran itu dari orang-orang yang lebih tua, kemudian saya menularkannya kepada mas Ferry. Marilah kita belajar lebih santun dalam menyikapi semua pengalaman hidup.”
“Ya mas, terimakasih banyak. Semua ini akan menjadi pelajaran dalam hidup saya. Saya akan berusaha menjadi manusia baik seperti mas Bian.”
“Bukan saya mas, saya juga masih belajar. Jadi marilah kita saling belajar. Dan kalau saya salah, mas Ferry juga berhak mengingatkan.”
Ferry berdiri, mendekati Abian dan merangkulnya penuh haru.
Dina mengusap air mata terharu melihat Ferry merangkul Bian dengan linangan air mata juga.
***
Ningsih melangkah mendekati sebuah rumah yang sudah sangat dikenalnya. Kemarin dia terbang dari Jakarta ke Padang dengan bekal yang sangat minim. Uang pemberian Nurdin yang tidak seberapa dibuatnya untuk biaya perjalanannya, demi satu tujuan, merebut kembali sertifikat rumah bapaknya yang dicuri Nurdin karena alasan yang tidak masuk akal. Penderitaan ke dua orang tuanya membuatnya nekat dan tidak takut apapun yang akan terjadi. Ia merasa bersalah ketika dulu menerima Nurdin, hanya karena iming-iming harta. Memperbaiki rumah orang tuanya, dan memberinya kehidupan yang lebih baik. Tapi apa yang sekarang dilakukannya? Karena dia mandul maka dia menceraikannya, dan memperhitungkan apa yang telah dikeluarkan dengan mengambil sertifikat orang tuanya.
Hari sudah siang ketika itu, dia melihat rumah Nurdin terbuka. Ia berharap Nurdin ada dirumah.
Namun ketika dia memasuki rumah, yang ada hanyalah pembantunya yang sudah mengenal baik dirinya.
“Yaah, ibu sudah kembali..?” kata sang pembantu dengan girang, karena Ningsih memang selalu bersikap baik kepadanya.
“Bapak kemana ?”
“Bapak pergi sudah sejak tadi, katanya ada urusan, begitu.”
Ningsih berdebar. Ia melihat tas yang kemarin dibawa Nurdin, tergeletak diatas meja.
“Bik, buatkan saya minum ya.”
“Iya bu, segera..” kata pembantunya yang segera beranjak ke belakang.
Ningsih mendekati tas itu, dan membukanya perlahan.
Ada sebuah map terselip disitu, ia menariknya, dan hampir bersorak ketika melihat sertifikat bapaknya ada didalamnya.
***
Besok lagi ya.