Friday, May 28, 2021

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK 12

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK  12

(Tien Kumalasari)

 

“Yessyta, kamu mendengar apa yang bapak tanyakan?” pak Murti mengulang pertanyaannya karena agak lama Yessyta tidak menjawab karena terkejut.

“Oh, iya bapak..”

“Untuk apa kamu membeli mobil baru?”

“Supaya saya dan mas Anto bisa berangkat sendiri-sendiri dan tidak saling mengganggu, bapak.”

“Bukankah salahnya sendiri kalau dia tidak mau bekerja ditempat kita? Mengapa harus mendapatkan fasilitas dari perusahaan kita?”

“Bapak, saya akan mempergunakan dengan uang pribadi saya.”

“Wouw.. bagus. Kalau begitu Gunawan tidak harus memikirkannya kan?”

“Mengapa dengan mas Gunawan?”

“Gunawan berusaha agar perusahaan bisa membantu untuk pembelian mobil itu. Dia berbicara dengan aku, tapi aku tidak setuju.”

Yessyta terdiam. Selalu saja ayahnya merendahkan suaminya. Sakit hati Yessy yang sangat mencintai suaminya.

“Pelan-pelan saya akan bicara agar dia bisa membantu di perusahaan kita,” kata Yessy menahan kekesalannya.

“Silahkan saja kalau dia mampu. Baiklah kalau kamu akan membelikan dengan uang pribadi kamu. Mudah-mudahan kamu tidak akan menyesalinya.”

Lalu pak Murti menutup pembicaraan itu begitu saja.

Yessy duduk tercenung masih dengan memegang ponselnya. Ia kesal kepada ayahnya yang selalu merendahkan suaminya, tapi dia kesal juga kepada suaminya karena keberatan meninggalkan perusahaan lamanya.

Suni mendekat sambil membawa segelas jus lemon yang tadi dibuatnya.

“Bu, jus lemon yang baru saya buat."

“Terimakasih Suni,” katanya lalu meraih gelas itu dan meneguknya pelan.

“Bapakku tidak suka pada suami aku..” gumamnya seperti kepada dirinya sendiri.

“Terkadang perasaan orang tua lebih peka,” kata Suni pelan. Ia teringat pada ayahnya yang dulu tampak tidak suka ketika ia pamit bekerja di kota. Kenyataannya dia hampir celaka. Dan hanya keberuntungan saja yang membuatnya bertemu Yessy yang kemudian menolongnya.

“Orang tua lebih peka? Apa maksudnya Suni?”

“Dulu ketika saya pamit kepada bapak saya karena keinginan bekerja di kota, bapak saya sangat keberatan. Saya nekat, dan saya hampir celaka ketika bertemu bandot tua itu.”

“Mungkinkah bapak menganggap bahwa suamiku orang yang tidak baik?”

“Maaf bu, saya tidak mengatakan itu. Barangkali bapaknya bu Yessy punya pertimbangan lain.”

“Yaaah.. pasti karena bapak kesal setelah menganggap mas Anto tidak mau membantu di perusahaannya.”

Tapi Suni tak menjawab. Ia lebih merasa bahwa pak Murti punya perasaan yang peka, seperti juga bapaknya sendiri.

***
Malam itu Gunawan memang berada dirumah pak Murti. Tapi sebenarnya dia bukan ingin mengadukan soal Yessy yang ingin beli mobil lagi. Yang penting ketika ia mengatakannya, ialah meminta pertimbangan pak Murti, apakah mungkin perusahaan bisa mengganti uang pribadi Yessy yang akan dipergunakan untuk membeli mobil demi suaminya.

Walaupun Gunawan punya kekuasaan penuh untuk memutuskan sesuatu di perusahaan pak Murti, tapi ia selalu meminta pertimbangan pak Murti untuk sesuatu yang besar.

“Tidak Gun, bodoh sekali kalau kita membelikan mobil untuk Anto sementara dia tidak mau membantu kita. Terserah saja kalau Yessy mau mempergunakan uang pribadinya. Perusahaan tidak akan menggantinya.”

Tapi Gunawan melihat pak Murti tampak lelah ketika berkata-kata. Kekecewaan atas sikap suami Yessy sangat membuatnya tertekan. Karena itu Gunawan juga mengurungkan niatnya untuk mengatakan apa yang dilihatnya kemarin, ketika Anto sedang berduaan dengan seorang wanita.

“Sebenarnya aku ingin melepaskan semuanya dihari tua ini, tapi melepaskan itu kan sebaiknya dengan perasaan senang, lega, puas…Tapi yang ini adalah sebaliknya,” gumamnya seperti berkeluh. Gunawan jadi merasa menyesal telah berbicara dengan pak Murti tentang mobil itu.

“Saya mohon maaf pak, saya telah membebani bapak tentang mobil itu,” kata Gunawan pelan.

“Tidak.. tidak. Aku merasa tertekan sudah sejak menikahkan Yessy dengan Anto, lalu melihat sikapnya yang mengecewakan. Sungguh aku menyesal. Aku mengira Yessy akan bahagia hidup bersama orang yang dicintainya. Apakah menurutmu dia bahagia?”

“Tampaknya dia bahagia pak.”

“Tampaknya…”

“Tapi pak..”

“Aku rasa Yessy pun kesal sama suaminya. Kesal karena membuat aku kecewa. Yessy gadis yang baik. Ia pasti juga kecewa atas sikap suaminya. Kecewa karena aku menampakkan sikap tak suka pada suaminya.”

“Ya sudah pak, Yessy kan sudah dewasa, sudah memilih jalan yang harus ditempuhnya, jadi bapak harus melepaskannya, jangan sampai rasa kecewa yang bapak rasakan akan mempengaruhi kesehatan bapak.”

“Iya benar. Beberapa hari ini aku merasa kurang sehat.”

“Maukah besok bapak saya antarkan ke dokter?”

“Sudah saatnya aku kontrol kesehatan Gun, sampai terlewat waktunya.”

“Besok saya antar ya pak.”

“Baiklah Gun, kemarilah saat kamu sudah pulang kantor.”

“Sekarang sudah malam, lebih baik bapak istirahat saja, supaya saat bangun, bapak merasa lebih segar.”

“Ya Gun, terimakasih karena selalu memperhatikan aku. Sekarang pulanglah, aku ingin tidur. Kamu kan juga perlu istirahat.”

***

Malam itu Anto pulang ke rumah lebih dari jam sepuluh. Yessyta masih menungguinya diruang tengah, sambil terkantuk-kantuk. Tadinya Suni ingin menemani, tapi Yessyta menyuruhnya beristirahat saja.

Setengah mengantuk Yessyta melihat bayangan suaminya memasuki ruang tengah, lalu langsung masuk kekamarnya. Yessyta mengikutinya dari belakang.

“Baru pulang mas, pasti capek deh.”

“Iya lah, namanya bekerja juga pasti capek.”

Yessyta membantu Anto melepas sepatunya, dan juga pakaian kerjanya. Tiba-tiba hidung Yessyta mencium sesuatu.

“Baunya..” katanya sambil mengernyitkan hidungnya.

“Bau apa sih, aku keringatan ya?”

“Bukan, ini bau wangi.. wangi yang tidak aku kenal..”

“Oh.. ini? Ya ampun.. tadi sore ada penjual minyak wangi masuk ke kantor, dengan seenaknya menyemprotkan minyak yang dijualnya ke bajuku.”

“Lalu mas beli minyaknya?”

“Tidak, aku nggak suka baunya. Masih menempel di baju aku ya?”

“Iya nih.. biar langsung aku masukkan ke mesin cuci saja.”

“Iya, aku capek sekali, mau langsung tidur.”

“Mas sudah makan?”

“Sudah, kan aku sudah bilang bahwa aku suruhan OB beli makanan.”

Anto masuk ke kamar mandi, lalu begitu keluar Yessyta sudah menyiapkan baju tidur suaminya.

Anto mengenakannya, lalu membaringkan tubuhnya di ranjang, dan memejamkan matanya. Yessyta menatapnya dengan iba, Anto tampak lelah.

“Kamu terlalu lelah bekerja mas,” kata Yessyta sambil menyelimuti tubuh suaminya, lalu berbaring disampingnya. Tak lama kemudian terdengar dengkur halus Anto. Yessyta memeluknya, tapi Anto bergeming, larut dalam kelelahannya.

***

“Nanti jadi kan?” tanya Anto saat makan pagi.

“Jadi apanya mas?”

“Katanya mau ke dealer..”

“Oh iya, aku sampai lupa. Iya mas, nanti jam duabelasan aku disamperin ke kantor ya?”

“Iya, pasti.”

“Nggak mengganggu kan?”

“Nggak, kemarin aku sudah ijin untuk nanti siang.”

“Ya sudah, kalau mengganggu aku kan bisa sama mas Gunawan saja.”

“Tidak, mengapa sama dia? Aku tidak suka kamu dekat-dekat Gunawan.”

“Iya, aku tahu,” kata Yessy sambil tersenyum. Senang rasanya dicemburui suaminya. Bukankah cemburu itu tandanya cinta?

“Mas, maukah besok Minggu kita jalan-jalan?”

Anto menghentikan menyendok makanannya.

“Besok Minggu?”

“Iya mas, barangkali mobilnya sudah siap, kita mencobanya untuk jalan-jalan keluar kota.”

“Waduh, maaf Yessy, hari Minggu itu aku lembur. Justru berangkat lebih pagi.”

“Lembur lagi?” tanya Yessy kecewa.

“Iya, kan aku sudah bilang pekerjaanku banyak yang terbengkalai, jadi maksudku hari Minggu itu aku harus ngebut supaya cepat selesai.”

“Oh, ya sudah mas. Aku mau ke rumah bapak saja.”

“Mengapa ke rumah bapak?”

“Beberapa hari yang lalu sepertinya bapak kelihatan kurang sehat. Mas Gunawan mengingatkan aku agar aku mengontrol kesehatannya.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Tapi aku ingatkan ya, kamu jangan menelpon aku terus, supaya aku bisa segera menyelesaikan pekerjaan aku.”

“Iya mas. Aku tuh kasihan sama kamu, bekerja tak kenal lelah. Padahal aku sungguh-sungguh berharap kamu bisa terjun juga di perusahaan aku. Pikirkan lho mas, dari sedikit mas harus bisa melepaskan pekerjaan mas itu.”

“Wah, itu permintaan yang berat.”

“Kok berat sih mas, membantu isteri kok berat? Lagian daripada bekerja untuk perusahaan lain kan lebih baik di perusahaan sendiri.”

“Aku itu sudah terlanjur mencintai pekerjaan aku. Berat kalau harus meninggalkannya.”

“Jadi kamu benar-benar nggak bisa membantu pekerjaan aku?”

“Bukan nggak bisa, baiklah, nanti aku akan membagi waktunya. Sekarang jangan mengganggu aku dulu,” katanya sambil berdiri.

“Mau berangkat sekarang ?”

“Iya, aku ini orang yang selalu tepat waktu. Jangan sampai keduluan orang lain saat tiba di kantor.”

Anto berdiri dan melangkah ke depan. Yessyta membawakan tas kerja suaminya sampai ke mobil, lalu mencium tangannya sebelum suaminya masuk kedalam. Dari jauh Suni menatapnya dengan geram.

“Hmh, suami keterlaluan. Jahat, busuk. Kasihan bu Yessyta. Kapan ya aku bisa membuka kebusukan laki-laki itu.”

Ketika Yessyta masuk kembali kedalam rumah, dilihatnya Suni masih berdiri didepan pintu.

“Ada apa Suni ?”

“Ngelihatin ibu. Ibu setia sekali pada suami ya.”

“Suni, seorang isteri harus setia kepada suaminya. Besok kamu juga harus begitu. Kalau suami kamu mau berangkat kerja, bawakan tasnya, antarkan sampai ke depan, cium tangannya sebelum pergi.”

Suni tersenyum.

“Saya juga berharap mendapatkan suami yang setia dong bu, masa harus saya saja yang setia.”

“O iya lah Suni, suami yang ganteng, setia, penuh kasih sayang. Ya kan?”

“Iya bu. Itu suami idaman.”

Suni melangkah ke ruang makan, membersihkan sisa-sisa sarapan, dan membawanya ke dapur. Ketika itu dia mendengar Yessyta menerima telpon dari seseorang.

“Oh iya mas, saya belum berangkat.”

“Mau aku samperin?”

“Disamperin? Aku kira nggak usah mas, aku sudah memanggil taksi kok.”

“Oh, ya sudah kalau begitu.”

Yessyta menutup telponnya. Yang menelpon tadi adalah Gunawan yang ingin nyamperin kerumah, tapi Yessyta menolaknya, karena suaminya tak suka dia terlalu dekat dengan Gunawan, sehingga ia bilang kalau sudah memanggil taksi.

“Ibu sudah memanggil taksi? Tampaknya ibu belum mengenakan sepatu juga.”

“Belum, aku bohong .”

“Iih.. ibu, kenapa ibu harus bohong?”

“Mas Anto cemburu sama dia, jadi lebih baik aku tidak terlalu dekat. Padahal sebenarnya aku sama dia itu sudah seperti saudara.”

“Ya ampuun.. cemburu ya bu?” Suni meringis lucu. Yessyta tersenyum.

“Suni, apakah kamu pernah jatuh cinta?” tiba-tiba Yessy bertanya.

“Saya bu?”

“Iya. Kamu kan cantik. Pasti kamu pernah punya pacar. Ya kan ?”

Suni menghela napas panjang.

“Pernah sih bu, tapi itu cinta monyet.”

“Cinta monyet? Apa tuh? Cinta-cintaan waktu kamu masih kecil?”

“Iya bu, waktu masih SMP. Saya pikir cinta itu bisa berlanjut, tapi dia rupanya sudah melupakannya.”

“Tapi sebenarnya kamu masih cinta sama dia?”

“Tadinya iya, tapi ketika tahu bahwa dia sudah melupakan si monyet itu, ya saya lupakan dia. Memang dia bukan jodoh saya.”

Yessyta terkekeh mendengar kata-kata ‘si monyet’ yang diucapkan Suni.

“Kamu itu lucu Suni. Ternyata kamu pernah jadi monyet ya?”

“Iya bu, kata orang cinta ketika masih kanak-kanak itu cinta monyet. Ya sudah bu, saya mau membersihkan dapur.”

“Oh iya Suni, persediaan sayur sudah habis ya, bagaimana kalau kita belanja saja sekarang?”

“Ibu tidak ke kantor?”

“Agak siang juga nggak apa-apa. Aku nanti janjian sama orang jam sepuluhan. Ayo belanja dulu, supaya kamu tahu dimana aku belanja, sehingga setiap membutuhkan kamu tinggal bilang sama aku, lalu bisa belanja sendiri.”

“Ya sudah bu, saya membersihkan dapur nanti saja, jangan sampai ibu kesiangan masuk ke kantornya.”

“Nanti setelah belanja, aku langsung ke kantor, kamu pulang sendiri. Berani kan? Nanti aku yang memesan taksinya.”

“Iya bu, saya berani.”

***

Suni senang sekali ikut belanja bersama Yessy. Selama ini ia hanya dirumah saja, mengerjakan apapun yang semuanya sudah disiapkan dirumah. Setelah ini Yessy mengijinkan dia belanja sendiri. Itu gampang, ada taksi yang pasti bisa membawanya kemanapun dia pergi. Yang penting dia tahu dimana alamat rumah Yessy, sehingga kalau mau pulang tinggal bilang saja dijalan apa rumahnya dan nomor berapa.

“Apa lagi ya Suni, yang kurang? Kamu kan tahu bumbu-bumbu yang habis?”

“Sudah semua bu. Tinggal ibu mau beli apa lagi?”

“Tidak usah, aku kira semuanya cukup untuk seminggu ya. Ayo sekarang kita pulang. Aku akan memesan taksi yang akan mengantar aku ke kantor, kemudian langsung mengantarkan kamu pulang.”

“Baiklah bu.”

Yessyta memesan taksi, kemudian membayar semua belanjaannya. Ketika keluar, taksi itu sudah menunggu. Suni sama sekali tidak sadar, ketika sepasang mata menatapnya tak berkedip.

“Apakah mataku salah? Itu Suni kan? Tapi kok cara berpakaiannya seperti itu? Bukan ah, tapi iya kayaknya.” Seorang wanita setengah baya mengikutinya keluar. Ia yu Wiji, tetangga kampung Suni yang pertama kali membawa Suni ke kota.

“Suni kan? Benar kah? Aduh, semua orang mencarinya. Tapi benar tidak ya?” rupanya yu Wiji masih ragu-ragu.

“Coba aku panggil saja. Suniii..!” teriaknya. Tapi terlambat, Suni sudah terlanjur masuk kedalam taksi bersama seorang wanita cantik.

“Aduh, bagaimana ini, aku ingin mengikuti, tapi mana keburu? Aku kan harus mencari taksi dulu sementara dia pasti sudah menghilang. Aku harus mengabari Darman, kasihan dia mencari kemana-mana. Tapi sayangnya aku hanya melihatnyaa sekilas, tidak sempat bertemu, apalagi tahu dimana keberadaannya. Tapi kok penampilannya lain ya? Suni kan suka pakaian yang seksi, celana pendek, atau bawahan yang tinggi sepaha dan atasan yang belahan dadanya kelihatan. Tapi itu tadi seperti bukan dia. Dia memakai gamis, kerudung, benarkah Suni? Kalau wajahnya benar Suni, tapi penampilannya? Tapi Suni kok, yakin aku. Cara dia berbicara sama wanita itu, dan senyumannya, itu milik Suni. Adduuh.. sayang aku terlambat menyadari. Tapi bagaimanapun aku harus mengabari Darman.”

***

Sudah lewat jam dua siang ketika pak Murti berhenti disebuah rumah makan. Sudah sejak pagi perutnya belum terisi. Masakan pembantu yang biasanya dirasa enak, tidak untuk hari itu. Pak Murti keluar rumah dan berputar-putar di kota sendirian.

“Perutku kok ya lapar sekali rasanya. Mungkin karena lapar itulah maka aku merasa agak lemas,” katanya sambil turun dari mobil dan memasuki sebuah rumah makan.

“Ini sebuah rumah makan dengan masakan Jawa. Adakah nasi tumpang? Aku ingin sekali makan tumpang koyor, lalu minum es beras kencur,” gumamnya sambil terus masuk lalu duduk di sebuah kursi kosong.

Ada sepasang anak muda yang sedang makan sambil bercanda. Gadisnya cantik tapi sedikit genit. Laki-lakinya membelakangi pak Murti.

Pak Murti melambai ke arah pelayan dan mengatakan apa yang dipesannya. Tapi tiba-tiba pak Murti semakin merasa lemas.

“Pasti karena aku terlambat makan,” gumam pak Murti sambil menyangga kepalanya dengan ke dua belah tangan.

Pak Murti memejamkan matanya, tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menarik hatinya. Pembicaraan sepasang laki-laki dan perempuan yang ada didepannya.

“Jadi mobil itu baru akan dikirim besok?” tanya si perempuan.

“Iya, tapi yang penting isteriku sudah membayarnya lunas,” kata si laki-laki.

“Jangan lupa ya, hari minggu kita bersenang-senang dengan mobil baru.”

“Iya pasti, aku sudah bilang kepada isteriku bahwa hari Minggu aku lembur, jadi kita bebas main kemana saja.”

“Senang ya punya isteri kaya, kamu bisa minta apa saja dengan pura-pura mencintai dia. Ya kan?”

“Benar. Yessyta sangat mencintai aku, dan aku yakin dia akan selalu memberikan apa yang aku minta.”

“Asyyik.. beruntungnya kamu mendapat isteri Yessyta. Biar cantik tapI bodoh dia. Lain kali kamu harus berterus terang akan menikahi aku lho mas, awas kalau tidak.”

Dada pak Murti berdegup kencang. Ada kata-kata tentang mobil, dan seorang isteri bernama Yessyta yang bodoh.

Pak Murti tidak memperhatikan pelayan yang meletakkan pesanannya diatas meja. Dia berdiri dan mendekati keduanya. Dan ditatapnya laki-laki yang semula membelakanginya. Kemarahannya memuncak. Tangannya menuding kearah Anto.

“Jahanam kamu, iblis kamu !!” katanya tersengal, tapi tak lama kemudian pak Murti jatuh tersungkur.

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, May 27, 2021

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK 11

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK  11

(Tien Kumalasari)

 

Gunawan membelalakkan matanya. Barangkali dia salah melihat. Tapi benar. Itu Anto, dengan seorang wanita. Bergandengan mesra, dan itu tidak wajar kalau hanya teman biasa. Gunawan ingin menghentikan mobilnya, tapi jalanan sangat padat, dan mobil-mobil sudah riuh membunyikan klaksonnya. Gunawanpun berlalu, melaju ke rumah sakit.

“Kalaupun aku berhenti, lalu menemuinya, apa yang harus aku katakan? Aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Tapi mengapa aku merasa ingin marah? Bagaimana kalau Yessyta tahu tentang hal ini? Hubungan macam apa yang terjadi diantara kedua orang itu?” gumamnya berkali-kali sampai kemudian dia sampai dirumah sakit.

Gunawan mampir ke loket administrasi guna menyelesaikan seluruh biaya yang harus dibayar.

Ketika Gunawan memasuki kamar rawat inap pak Kardi, dilihatnya pak Kardi sudah duduk ditepi ranjang dengan gelisah. Ia bernafas lega begitu melihat Gunawan.

“Aduuh.. hampir saja aku pulang sendiri Gun.”

“Maaf lik, jalanan sangat macet, jadi nggak bisa segera sampai.”

“Aku kira Darman yang akan menjemput aku.”

“Darman mau berangkat, tapi saya mencegahnya. Biar saya saja, kan lebih dekat.”

“Aku ini menyusahkan banyak orang ya Gun.”

“Tidak lik, semuanya ikhlas membantu. Yang penting lik Kardi harus tenang, dan jangan banyak berpikir. Nanti dibawa lagi ke rumah sakit lho,” kata Gunawan menakut-nakuti.

“Iya, akan aku coba.”

“Sudah siap semua lik? Mana yang harus dibawa?”

“Cuma itu, baju-baju, dan apa lagi, semua sudah aku masukkah kedalam tas besar. Darman juga membelikan aku beberapa baju untuk ganti.”

“Baiklah, sini biar saya bawakan. Ayo kita pulang lik.”

Pak Kardi bangkit.

“Bagaimana pembayarannya? Darman kemarin aku suruh mengambil uangku didalam almari. Itu pemberian Suni, entah berapa aku belum pernah menghitungnya.”

“Tidak usah lik, simpan saja uang itu, barangkali lik Kardi memerlukan sesuatu. Semuanya sudah beres.”

“Kamu yang bayar le?”

“Mas Darman.”

“Kalian itu bohong semua. Kemarin Darman bilang bahwa kamu yang akan membayar. Sekarang kamu bilang Darman yang bayar.”

Gunawan tertawa sambil mengangkat tas berisi baju-baju pak Kardi.

“Sudahlah lik, jangan dipikirkan. Siapa yang bayar itu kan tidak penting. Yang paling penting adalah lik Kardi sehat dan bisa pulang kerumah.”

Mereka berjalan beriringan ke arah parkiran.

“Ini mobil kamu le?” tanya pak Kardi sambil naik keatas mobil ketika Gunawan membukakan pintu.

“Iya lik. Mobil dari perusahaan,” kata Gunawan sambil duduk dibelakang kemudi dan membawa pak Kardi pulang.

***

Ketika Suni selesai membersihkan meja makan, dia mengira Yessy sudah berangkat kembali ke kantor. Tapi ternyata dilihatnya Yessyta masih ada di teras. Suni melangkah ke depan.

“Ternyata ibu masih disini?”

“Iya, kalau aku pergi pasti pamit sama kamu dong.”

“Iya sih..”

“Taksinya belum datang-datang nih, dari tadi aku nungguin.”

“Waduuh.. mengapa tidak disuruh jemput teman ibu yang tadi mengantar sih.”

“O, ya nggak bisa Suni, dia ada perlu, mengantar kerabatnya pulang dari rumah sakit.”

“Oo..”

“Ya sudah nggak apa-apa Suni, aku juga tidak terlalu terburu-buru. Nah itu dia taksinya sudah datang. Aku pergi dulu ya, jangan lupa kunci pintunya Suni,” kata Yessy sambil melangkah pergi.

“Ya bu, hati-hati.”

Yessy tersenyum. Ia senang Suni memperhatikannya.

Suni masuk kedalam rumah, lalu mengunci pintunya.  Ia melanjutkan pekerjaannya dibelakang, membersihkan dapur. Dalam hati Suni selalu memikirkan Anto yang tampaknya mengkhianati rumah tangganya.

“Entah benar, entah tidak, tapi rasanya pak Anto bukan suami yang baik. Dan kalau itu benar, aku merasa kasihan pada bu Yessy. Dia sangat baik dan menyayangi suaminya, tapi apa yang dilakukan suaminya? Ah, semoga saja dugaanku salah.”

***

“Kalian sangat baik. Begitu memperhatikan aku,” kata pak Kardi begitu sampai dirumahnya.

“Bapak tidak usah memikirkan itu. Memperhatikan sesama itu adalah kewajiban setiap orang. Ya kan Gun ?”

“Benar lik, sudahlah, yang penting lik Kardi harus sehat.”

“Tapi kalian akan tetap mencari tahu dimana Suni berada kan ?”

“Iya pak, bapak jangan khawatir,” kata Darman dan Gunawan hampir bersamaan.

Ini, siapa yang membersihkan rumahku. Aku tinggalkan berhari-hari, tapi tampak lebih bersih dari biasanya.”

“Itu pekerjaan Darman lik. Pokoknya tidak ada yang harus lik Kardi pikirkan.”

“Dan untuk sementara, pak Kardi tidak boleh bekerja dulu.”

“Lha kalau aku tidak bekerja, aku makan apa?”

“Nanti saya yang akan mengirim makanan buat pak Kardi. Semua sudah saya pasrahkan yu Minah yang punya warung disebelah. Kalau butuh apa-apa, pak Kardi bilang saja.”

“Tidak, jangan Man, biar aku cari makan untuk aku sendiri, aku sudah banyak membebani kamu dan Gunawan.”

Belum sampai Gunawan dan Darman menjawabnya, seseorang masuk kedalam rumah sambil membawa nampan.

“Kang Kardi, ini makan siang sudah siap.”

“Minah? Apa-apaan kamu Nah?”

“Pokoknya ini makan siang, sudah dipesan, sama minum teh hangat, buah pepaya, pokoknya lengkap,” kata Minah pemilik warung sebelah. Rupanya Darman sudah memesannya untuk pak Kardi.

“Gimana ini..” kata pak Kardi bingung.

“Sehari aku akan mengirim makan untuk sampeyan tiga kali. Kalau ingin yang lain bilang saja.”

“Berapa aku harus bayar Nah?”

“Sudah dibayar selama seminggu. Jadi sampeyan tidak usah bayar lagi. Sudah, nanti piringnya nggak usah dicuci, aku ambil ketika mengirim makan berikutnya,” kata Minah sambil berlalu.

Gunawan dan Darman saling pandang sambil tersenyum, melihat pak Kardi tampak bingung.

“Lik Kardi tidak usah bingung. Itu untuk lik Kardi selama harus istirahat. Bukankah dokter melarang lik Kardi terlalu capek? Jadi lik Kardi harus istirahat total. Makan dan minum sudah ada yang menyediakan,” kata Gunawan.

“Aku itu kan terbiasa bekerja.”

“Iya saya tahu, tapi ketika diharuskan untuk istirahat, ya harus istirahat. Itu kata dokter kan?” kata Gunawan.

“Nanti kalau pak Kardi sudah benar-benar sehat, silahkan kalau mau bekerja kembali,” sambung Darman.

Pak Kardi hanya geleng-geleng kepala. Ada yang membesarkan hatinya ketika ia merasa tidak sendirian, yaitu perhatian orang-orang disekitarnya. Ia menekan rindunya pada Suni, dan selalu berharap Suni baik-baik saja.

***

Ketika Gunawan sudah sampai di kantornya, dilihatnya Yessyta sudah menunggu diruang kerjanya.

“Sudah selesai mas?” sapanya.

“Sudah, cuma mengantar saja, dan nggak sempat pulang ke rumah juga.”

“Mengapa buru-buru mas? Rumahnya dekat dengan rumah kamu?”

“Iya, tapi bisa lain kali, aku kan hanya ijin sebentar dari kantor.”

“Lha kalau memang harus mampir kerumah mengapa tidak mas?”

“Besok saja kalau liburan. Kan nggak jauh.”

“Aku mau bicara sama kamu.”

“Penting rupanya?” kata Gunawan sambil duduk didepan Yessy.

“Nggak juga sih. Itu mas, aku mau beli mobil lagi.”

“Mau beli mobil? Kemana mobil kamu?” lalu terbayang oleh Gunawan  apa yang dilihatnya sebelum ke rumah sakit siang tadi.

“Kan mas Anto juga butuh mobil.”

“Kalian kan bisa berangkat dan pulang bersama-sama?”

“Ya nggak bisa begitu mas, kantor dia dan kantor aku kan tidak searah, kasihan kalau dia harus muter. Aku sudah janji mau beli lagi. Nggak usah yang mahal lah mas, yang penting bisa dipakai sehari-hari.”

Gunawan diam sesaat. Ia ingin mengatakan apa yang dilihatnya tadi, tapi diurungkannya. Ia takut Yessy justru salah terima dan memarahinya.

“Gimana mas, besok mas antar aku melihat-lihat ya.  Tadi aku sudah menelpon dealer langganan kita. Nggak usah yang bagus seperti punya kamu, yang penting baru.”

Gunawan agak tersinggung. Sepertinya Yessy ingin mengatakan bahwa perusahaan juga memberikan mobil untuk dirinya, dan itu bagus. Sekarang Yessy meminta dan mengatakan nggak usah sebagus miliknya. Sepertinya ada kata lain yang bisa berarti sama. Kamu juga dibelikan mobil oleh perusahaan, mengapa aku tidak. Kan tidak sebagus punya kamu. Gunawan menghela nafas berat.

“Gimana mas, tapi sebenarnya aku punya uang kok. Begini saja, mas mengantarkan aku memilih saja, biar aku bayar dengan uang pribadi aku. Nggak apa-apa kan?”

“Begini Yes, baiklah, kalau dengan uang perusahaan kan harus banyak prosedur yang harus dilalui, biarpun kamu pemiliknya. Jadi kalau memang terburu-buru, nggak apa-apa pakai uang pribadi kamu. Nanti aku pikirkan cara menggantinya.”

Lalu Yessyta baru ingat, bahwa Gunawan diserahi tanggung jawab atas perusahaan, sehingga tidak akan mudah mengeluarkan uang begitu saja.

“Baiklah mas, nggak apa-apa pakai uang pribadi aku, besok mas antar aku ya.”

“Besok pas jam makan siang?”

“Iya, begitu juga bisa, nanti mas ikut ke rumah aku dan makan siang disana. Masakan pembantu aku enak lho mas.”

“Itu gampang, bagaimana besok saja.”

“Terimakasih mas. Ya sudah, aku kembali ke ruanganku ya.”

***

Ketika kembali ke ruangannya, Yessy kemudian menelpon lagi suaminya.

“Ya Yes, ada apa lagi sebentar-sebentar menelpon sih?”

“Maaf kalau mengganggu mas. Nanti mas bisa jemput aku nggak?”

“Waduh Yes, kayaknya belum bisa deh, aku kan bilang bahwa pekerjaanku terbengkalai selama beberapa hari, jadi tidak bisa aku tinggalkan begitu saja. Aku mungkin justru pulang agak malam.”

“Agak malam mas? Apa tidak bisa dilanjutkan besok pagi saja?”

“Besok pagi pun pasti juga tidak bisa begitu saja ditinggalkan Yes. Pokoknya selama beberapa hari ini jangan mengganggu aku dulu.. sudah ya.”

“Tunggu mas, besok sedianya aku mau ke dealer mobil sama mas Gunawan.”

Mendengar kata-kata dealer mobil tiba-tiba Anton mengurungkan menutup ponselnya.

“Apa katamu? Besok mau ke dealer mobil? Maksudnya mau beli mobil yang buat aku itu bukan?”

“Iya mas, supaya saya juga tidak terus-terusan mengganggu mas.”

“Kalau begitu besok sama aku saja, aku bisa kok pamit sebentar.”

“Katanya banyak pekerjaan?”

“Tidak apa-apa, aku bisa minta ijin. Sorenya aku kan mau lembur?”

“Baiklah kalau begitu. Aku tunggu sebelum jam duabelas siang ya, soalnya sebelum itu aku ada janji sama klien.”

“Baiklah, aku siap,” kata Anto sambil menyeringai senang.

“Tapi tunggu, nggak usah sama Gunawan lah, kan sudah ada aku.”

“Padahal aku juga mengundang mas Gunawan supaya makan siang dirumah kita.”

“Tidak usah, batalkan saja.”

“Ya sudah mas, terserah kamu saja.”

Yessyta menghela nafas. Rupanya suaminya sangat cemburu pada Gunawan. Ia segera mengabari Gunawan bahwa besok tidak jadi mengantarnya karena dia akan pergi bersama suaminya.

“Baiklah Yes, tidak apa-apa,” jawab Gunawan ketika Yessyta membatalkan ajakannya.

Tapi setelahnya, Gunawan mulai menimbang-nimbang. Apakah sudah selayaknya Yessyta membelikan mobil untuk  suaminya? Bagaimana kalau ternyata Anto tidak bisa dipercaya?

“Aku sangat menyayangi kamu Yessyta, aku tak ingin siapapun melukai hati kamu,” gumamnya pelan.

***

Dan hari itu Anto benar-benar pulang malam.

“Mas, aku menunggu kamu makan malam dirumah lho.”

“Aduh, maaf Yessy, aku masih belum bisa pulang.”

“Tapi ini sudah jam delapan lewat lho mas. Apa kamu tidak bisa meninggalkan pekerjaan kamu?”

“Maaf Yessy, beginilah kalau punya suami buruh kecil. Setiap pekerjaan harus oke. Apalagi besok aku harus meninggalkan sebentar untuk mengantarkan kamu melihat-lihat mobil.”

“Ya ampun mas, aku sudah lapar nih.”

“Makanlah sendiri dulu, aku sudah suruhan OB untuk membelikan nasi rames untuk makan malam aku.”

Yessyta meletakkan ponselnya dengan lemas.

“Ibu, masih akan menunggu pulangnya bapak?”

“Tidak Suni, aku makan sekarang saja. Bapak sudah memesan makan di kantornya.”

Suni masuk ke dapur, dan menyiapkan makan malam untuk Yessy. Wajahnya kesal. Ia sama sekali tidak percaya kalau Anto masih ada di kantor.

“Paling-paling dia bohong,” omelnya sambil menyiapkan piring di meja makan.

“Yessy mendekat, lalu duduk dikursi makan, menunggu Suni menyiapkan makan malamnya.

“Ini bu, silahkan ibu makan. Atau ingin saya masakkan apa lagi?”

“Tidak Suni, ini sudah cukup.”

Suni melihat kegelisahan dimata Yessy. Ada rasa trenyuh mengaduk hatinya.

“Sebenarnya aku kecewa…” gumam Yessy sambil menyendok nasi kedalam piringnya.

Suni menghentikan langkahnya yang menuju ke dapur.

“Ya ampun, masakan saya ya bu?”

“Oh bukan, bukan Suni. Baiklah..  duduklah disitu, aku akan sedikit cerita tentang apa yang membuat aku kecewa.”

Suni menarik kursi kecil dari sudut ruang makan itu, dan duduk disitu.

“Duduk saja didepan aku Suni.”

“Tidak bu, saya disini saja.”

“Kamu itu…”

“Tidak apa-apa, ibu bicaralah, saya mendengarnya dari sini.”

“Aku kecewa pada suami aku..”

Suni berdebar. Apakah nyonya muda nan cantik ini sudah tahu tentang kelakuan suaminya?”

“Ibu tahu sesuatu?” lalu Suni ingin menampar mulutnya karena menganggapnya sangat lancang. Tapi untunglah, tampaknya Yessy kurang memperhatikan apa yang dikatakan Suni.

“Suami aku menolak segera masuk kedalam perusahaan yang aku pegang. Ia memilih tetap bekerja pada perusahaan lamanya.”

“Pasti ada sesuatu itu bu..” dan Suni kembali ingin menampar mulutnya. Duh, adakah plester didekat sini supaya bisa membuat mulutku berhenti bicara lancang? Kata batin Suni. Dan lagi-lagi pula, mana mungkin Yessy memperhatikan apa yang diucapkan Suni?

“Memang ada sesuatu.”

Suni membelalakkan matanya. Benarkah dugaannya?”

“Ia seorang yang sangat bertanggung jawab.”

“Haaa… Suni membuka mulutnya lebar. Kalau saja ada lalat disekitar tempat itu pasti suka sekali masuk kedalam mulutnya yang menganga.

“Ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja karena rasa tanggung jawab itu.”

Sekarang Suni mencibirkan mulutnya, yang kemudian ditariknya kembali. Rasa tanggung jawab apa kalau seorang suami punya rahasia yang tidak boleh diketahui isterinya? Dan rahasia itu adalah perselingkuhan? Suni hampir merasa pasti dengan dugaan itu, karena dua kali mendengar pembicaraan Anto ketika bertelpon. Pembicaraan yang aneh.

“Dan karena itu bapak jadi tidak suka sama mas Anto.”

“O.. begitu ya bu?”

“Kamu lihat sekarang kan Suni, sampai malam mas Anto tidak bisa pulang karena harus menyelesaikan pekerjaannya.”

“Kasihan…” gumam Suni. Maksudnya kasihan sama Yessy karena kemungkinan besar dibohongi.

“Memang kasihan juga aku memikirknnya. Tapi juga kecewa karena tidak bisa bekerja sama.”

“Iya bu, sedangkan mobil ibu dibawa, dan bapak tidak bisa menjemput ibu bukan?”

“Itulah Suni, dia sangat menekuni pekerjaannya itu. Tapi lambat laun aku harus memaksanya agar mau meninggalkan pekerjaan lamanya, dan membantu di kantor aku saja,” kata Yessy sambil mengakhiri makan malamnya.

“Besok aku mau beli mobil baru untuk mas Anto.”

“Waduhh..” mata Suni kembali terbelalak.

“Supaya aku tidak repot selalu memanggil taksi atau merepotkan teman kerja aku.”

“Ya Tuhan.. beruntung sekali laki-laki jahat itu,” gumam Suni. Kali ini ia bisa menelan gumam itu dalam hati.

“Sudah Suni, aku sudah kenyang.”

Suni berdiri.

“Ibu makan hanya sedikit?”

“Nggak, lumayan banyak kok. Bawa saja kebelakang, dan habiskan saja oleh kamu.”

Suni mengambil piring kotor dari atas meja, ketika ponsel Yessyta berdering.

Yessy mengangkatnya.

“Selamat malam, bapak.”

“Sedang apa kamu?”

“Habis makan pak. Bapak sudah makan?”

“Sudah. Bapak dengar kamu besok mau beli mobil ?”

Yessyta terkejut. Rupanya Gunawan sudah melaporkannya pada bapaknya.

***

Besok lagi ya

 

LANGIT TAK LAGI KELAM 03

  LANGIT TAK LAGI KELAM  03 (Tien Kumalasari)   Pak Misdi terbelalak melihat wajah Srining yang mengucapkan kata mengejutkan itu dengan begi...