A Y N A 10
(Tien Kumalasari)
“Ayna...” pak Sarjono turun dari sepeda motornya, mengejar Ayna yang berjalan cepat menjauhinya.
“Jangan lagi bapak mendekati saya. Bapak sudah mengecewakan saya, menyakiti saya !” kata Ayna keras.
“Ayna, dengar, aku minta ma’af, aku khilaf dan menyesal.”
“Bapak sudah saya ma’afkan, jangan mendekati saya lagi.”
“Ayna, pulanglah. Itu rumah kamu, jangan pergi Ayna..” pinta pak Sarjono memelas.
“Pulang? Lalu akan banyak kesempatan untuk dia mencelakai aku? Tidak,” kata batin Ayna yang terus menghindari ayah tirinya.
“Tolong Ayna, pulanglah..”
“Ma’af pak, saya tidak akan pulang, dan jangan mendekati saya lagi.”
Tapi pak Sarjono mendekati lagi Ayna dan menarik tangannya. Ayna menepiskannya dengan marah.
Lalu sebuah mobil berhenti, dan seseorang turun dari sana.
“Ayna...!!” teriak seorang wanita yang baru keluar dari mobil itu.
Ayna menoleh dan ia berteriak senang.
“Bu Danang...!”
Pak Sarjono menatap kearah perempuan yang sudah tidak lagi muda itu, namun masih cantik.
“Ayna...” kata Tanti sambil menarik tangan Ayna.
“Bu, ma’af, dia anak saya.”
“Oo, inikah ayah kamu, Ayna? Maksudku.. ayah tiri kamu?”
Ayna mengangguk.
“Ini ayah tiri bejat yang ingin memperkosa kamu?”
“Ma’af bu, saya menemui Ayna untuk meminta ma’af, saya menyesal, semalam saya khilaf,” kata pak Sarjono pelan.
“Bagus kalau anda menyesal.”
“Saya ingin mengajak Ayna pulang. Saya sudah berjanji kepada isteri saya untuk menjaga Ayna.”
“Oo.. begitu? Menjaga lalu anda perlakukan dia untuk pemuas nafsu setan Anda? Kayaknya saya tidak percaya, demikian juga Ayna. Ya kan Ayna?”
Ayna mengangguk.
“Anak ini sudah ketakutan. Kalau anda menyesal, mohonlah ampun kepada Allah Yang Maha Kuasa dan jangan mengulanginya. Tapi Ayna tidak akan kembali kerumah anda.”
Tanti menarik Ayna, diajaknya menaiki mobilnya.
“Aynaaa...” pak Sarjono meratap. Ia merasa benar-benar sudah kehilangan Ayna, sementara Tanti sudah membawa mobilnya pergi dari tempat itu.
“Aku menyesal Ayna, aku janji tak akan mengulanginya.. pulanglah Ayna.. kembalilah, aku tak akan mengganggu kamu lagi,,.” Bisik pak Sarjono sedih.. sambil menaiki sepeda motornya.
***
“Ternyata itu, bapak tiri kamu ?”
“Iya bu..”
“Mau apa lagi dia? Gila kalau mengajak kamu pulang, nanti dia melakukannya lagi, bagaimana? So’alnya kamu kan cuma anak tiri.. tak ada halangan bagi dia untuk menginginkan kamu.”
“Tadi cuma bilang ma’af dan meminta saya pulang.”
“Bodoh kalau kamu mau.”
“Iya, saya menolak. Terlanjur takut bu. Bagaimana kalau dia melakukannya lagi?”
“Setan ada disetiap hati manusia. Iman lah yang bisa menguatkan hati kita.”
“Benar bu.”
“Sebenarnya tadi aku mau beli beras.. ee.. tokonya sudah tutup..”
“Jam tiga sudah tutup ibu..”
“Ya sudah besok saja. Trus kamu tadi mau kemana sebenarnya?”
“Diberi alamat tempat kost-kost an oleh teman saya, lagi mau nyari alamatnya.”
“Ayna, kamu tidak mau menerima tawaran aku ?”
Ayna terdiam, sungguh ia merasa sungkan.
“Aku serius Ayna.. tinggal saja dirumah aku. Memang agak jauh, tapi kan ada angkot ke jurusan sini.”
“Tapi bu, saya merasa sungkan.. masa saya harus menyusahkan ibu lagi..”
“Aku justru merasa senang Ayna. Jadilah anakku..”
“Saya ini orang yang tidak punya bu..”
“Memangnya kenapa? Kamu tahu tidak? Aku dulu sekolah sampai lulus sarjana karena perjuangan seorang ibu. Tahukah kamu apa pekerjaan ibu aku? Seorang pembantu rumah tangga.”
Ayna menoleh kearah Tanti, seakan tak percaya pada apa yang dikatakannya.
“Itu benar Ayna, kamu tidak percaya?”
“Bu Danang... ibunya seorang pembantu rumah tangga?”
“Benar, kalau tidak percaya, tanyalah pada Bintang. Ibuku dulu mengabdi disana, di keluarga Handoko, orang tuanya Bintang.”
“Luar biasa seorang ibu bisa melakukan semua itu. Saya jadi teringat pada ibu. Begitu cepat pergi sebelum saya bisa melakukan sesuatu.”
“Ya sudah, kamu tidak harus terus-terusan bersedih, selalulah mendo’akan orang tua agar tenteram di alamnya.”
“Ya ibu..”
“Baiklah, kita pulang kan Ayna?”
Ayna mengangguk sambil menatap Tanti. Berlinang air matanya karena haru mendapat kebaikan yang tiada taranya.
“Anak baik, kamu telah menentukan yang terbaik untuk hidup kamu. Kalau kamu tetap kost disuatu tempat, setiap sa’at bapak tiri kamu bisa menemui kamu dan memaksa kamu pulang. Ya kan?”
“Terimakasih banyak.. ibu.”
“Jadilah anakku. Kamu tidak punya orang tua, dan aku tidak punya anak. Allah mempertemukan kita agar kita menjadi keluarga yang utuh.”
“Alhamdulillah.. Ya Allah, begitu besar karuniaMu untuk hidupku...” bisik Ayna sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.
Tanti tersenyum. Ia yakin bahwa Ayna benar-benar gadis yang baik dan bisa menjadi anaknya. Kerinduan akan hadirnya seorang anak akan terobati.
***
“Benarkah? “ tanya Danang ketika Tanti mengutarakan niyatnya.
“Iya mas, dia mau.. kita sekarang sudah punya anak gadis yang sangat cantik dan baik.”
“Aku senang Tanti, semoga bisa jadi panutan untuk kamu.”
“Panutan bagaimana maksud mas?”
“Kata orang-orang tua, kalau suami isteri tidak punya anak, begitu memungut anak untuk di adopsi, kemudian malah jadi hamil.”
Tanti tertawa keras.
“Mas jangan ngaco.. umurku sudah empatpuluh tahun lebih, mana bisa hamil?”
“Lho, jangan menolak kehendak Yang Maha Kuasa lho. Biar umur kamu sudah tujuh puluh tahun, kalau Allah menghendaki kamu hamil.. siapa yang bisa menolak?”
“Huuuh... khayal..khayaal.. mana ada nenek-nenek bisa hamil? “
“Kamu itu lho, kalau dibilangi kok ngeyel..”
“Ya ngeyel lah mas, ngomong yang enggak-enggak saja. Pokoknya aku sudah bahagia punya Ayna.”
“Aku juga bahagia, tapi kalau ...”
“Stooopp.. jangan lagi menghayal..”
“Ibu.. ini Ayna buat minum untuk bapak sama ibu,” Ayna tiba-tiba muncul dengan membawa dua cawan teh hangat.
“Ya ampun Ayna, kamu itu baru pulang kerja disuruh istirahat kok malah sudah bikin minum?” tegur Tanti.
“Saya tadi kebelakang, melihat air sudah mendidih didapur, dan ibu sudah menyiapkan teh serta gula dimeja, lalu saya buat .”
“Aduh, iya.. aku lupa Ayna. Terimakasih ya.”
“Tuh, merasa punya anak gadis kamu jadi lupa segalanya deh,” tegur Danang.
“Punya anak gadis dan rajin seperti Ayna. Sudah Ayna, kamu istirahat saja dulu.”
“Saya sudah cukup istirahat bu. Sekarang mau mandi dulu.”
“Baiklah, setelah itu aku mau menyiapkan sayur buat makan malam nanti.”
“Nanti saya bantu ibu,” kata Ayna sambil berlalu.
“Anak baik, anak cantik, anak rajin,” gumam Tanti sambil menghirup teh hangatnya.
“Isteri baik, isteri cantik, “ kata Danang yang ikutan menghirup teh hangatnya.
“Kok nggak pakai isteri rajin sih..”
“Oh iya.. isteri rajin..isteri tersayang...”
“Hm, kalau itu ngegombal.. Lupa ya kalau sudah tua?”
“Memangnya kalau sudah tua nggak boleh ya ngerayu isteri?
“Iih... malu ya, sekarang sudah punya anak yang sudah gede, “
“Hahaaa... malu segala..”
“Mas Danang ih... ingat ya.. sudah tua..”
***
“Mau kemana sih, sore-sore sudah dandan rapi, wangi lagi..” tanya Deva kepada kakaknya.
“Ada.. aja.”
“Cuma ditanya aja.. hm.. bener nih, kok kakakku jadi genit nih..”
“Enak aja, siapa yang genit.. orang dandan biasa saja dibilang genit.”
“Pasti mau ketemu seseorang. Udah punya pacar ya mas?”
“Iya lah, memangnya cuma kamu saja yang boleh punya pacar?”
“Ya ampuun, aku nanyanya dengan sangat maniiis, jawabnya ketus banget.”
“Nggak Deva.. habisnya kamu banyak nanya sih. Ini urusan laki-laki. Aku harus segera pergi sebelum keduluan.”
“O, lagi balapan ya?”
“Ya, balapan ketemu seorang gadis.”
“Asyiik... tapi kayaknya aku tahu deh. Ayna kan ?”
“Hush, tahu aja kamu.”
“Ibu yang bilang, mas Nanda suka ngomongin Ayna..”
“Ya sudah, aku berangkat dulu ya..”
“Ada apa sih, ramainya bukan main..” tanya bu Mirah yang tiba-tiba muncul.
“Ibu, aku berangkat dulu ya..” teriak Nanda sambil masuk kedalam mobilnya.
“Hati-hati, jangan malam-malam pulangnya.”
“Mau kemana dia bu?”
“Mau ke rumah mbak Tanti..”
“Ke rumah mbak Tanti? Tumben-tumbenan kerumah mbak Tanti.”
“Karena mbak Tanti punya anak gadis yang sangat cantik.”
“mBak Tanti, punya anak gadis?”
“Kamu nggak dengar ya, sekarang Ayna sudah menjadi anak angkat di keluarga mas Danang.”
“Ayna ? Kok bisa bu?”
“Masmu apa nggak pernah cerita sama kamu? Baru beberapa minggu ini.”
“Mengapa Ayna?”
“Karena Ayna tidak punya bapak dan ibu lagi, sedangkan mereka kan belum dikaruniai anak.”
“Lhoh, yang dulu berdiri disamping Ayna, ketika ibunya meninggal itu kan bapaknya?”
“Bukan, itu bapak tiri.”
“Oo.. pantesan tadi mas Nanda sangat bersemangat.”
“Ibu juga heran, begitu susah punya pacar, ee.. sekarang jatuh bangun karena Ayna.”
“Tapi kayaknya mas Nanda punya saingan deh.”
“Iya ibu tahu, mas Bintang juga suka sama Ayna.”
“Mengapa ya semua orang menaruh perhatian sama dia? Pak Yoga itu juga sayang banget sama Ayna.”
“Kalau orang bersikap baik, santun dan hormat kepada orang lain, pasti semua orang juga akan sayang sama dia. Itu bisa menjadi contoh untuk kamu.”
“Memangnya Deva kurang baik apa?”
“Masih banyak yang harus kamu pelajari dalam hidup ini. Kamu terkadang masih suka ngomongin orang, atau tidak suka sama seseorang, lalu bersikap galak dan ketus.”
“Kalau lagi kesal masa harus bersikap manis.”
“Rasa kesal bisa diendapkan, dan tanamkan dalam diri kamu bahwa kamu mungkin juga punya banyak kekurangan. Kalau kamu sadar maka kamu akan bisa bersikap baik, biarpun kamu tidak suka atau dia tidak suka sama kamu. Karena kebencian itu sesungguhnya hanya akan menyiksa diri kita sendiri. Camkan kata ibu ini baik-baik. Kalau kamu benci seseorang, maka pasti hatimu sakit, dadamu sesak, dan itu adalah perasaan sakit bukan? Tapi sedikit saja kamu tersenyum dengan tulus maka akan hilanglah semua rasa sakit itu, kebencian itu... lalu kamu akan punya lebih banyak teman dan sahabat yang menyukai kamu.”
“Iya bu.”
“Anak ibu yang cantik sudah dewasa, sudah punya calon suami, maka belajarlah tentang kehidupan dan apa saja yang ada disekitar kamu.”
“Itukah maka terkadang mas Bimo suka memarah-marahi Deva?”
“Kalau mas Bimo memarahi kamu berarti dia ingin kamu merubah sikap kamu. Jangan manja, jangan cengeng, jangan isi hati kamu dengan kebencian, karena saling mengasihi itu amat mententeramkan hati kita.”
***
“Ya mas Bintang,” jawab Ayna sore hari itu ketika Bintang menelponnya.
“Ayna, kamu kerasan kan tinggal dirumah om Danang?”
“Kerasan mas, dan aku harus berterimakasih pada mas Bintang dan mas Nanda yang telah membawaku kesebuah tempat dimana orang-orangnya mengasihi aku.”
“Kamu gadis yang baik, tentu saja semua orang akan mengasihi kamu.”
“Ah, mas Bintang..”
“Beberapa hari ini pasienku lumayan banyak, baru selesai selepas jam sembilan atau sepuluh malam, jadi belum sempat menemui kamu.”
“Tidak apa-apa mas, aku baik-baik saja.”
“Tapi sore ini aku hanya punya dua pasien, jadi mungkin aku bisa datang kemari.”
“Benar?”
“Benar, kalau tidak keberatan nanti aku ingin mengajak kamu jalan-jalan.”
“Mas Bintang harus bilang dulu sama bapak sama ibu, kalau diijinkan baru aku mau.”
“Anak baik, tentu saja aku akan minta ijin sama kedua orang tua baru kamu. Ya sudah, pasienku sudah datang. Sampai nanti ya.”
Ayna tersenyum senang. Selama ini Bintang dan Nanda selalu memberi perhatian atas dirinya. Ia harus bersikap baik kepada keduanya. Dan setelah berada di keluarga Danang, Ayna tidak mentang-mentang dijadikan anak seorang berada. Dia justru sangat rajin dan berusaha melakukan apa saja sebelum Tanti memintanya. Tanti juga senang Ayna pintar memasak.
“Aku jadi tidak punya pekerjaan karena semuanya kamu habiskan Ayna,” kata Tanti sambil tersenyum.
“Ah, ibu, biarkan saya melakukannya. Saya biasa bekerja sa’at dirumah, jadi disinipun saya harus bisa membantu semua tugas ibu.”
“Baiklah Ayna.”
“Mengapa bapak belum pulang ibu, ini sudah jam lima.”
“Iya Ayn, tadi bapak bilang bahwa ada tamu dari luar negeri yang melihat-lihat batik kita. Mungkin bapak harus mendampinginya.”
“Oh, syukurlah.”
“Ayna, nggak tahu kenapa, ibu merasa kurang enak badan. Ibu mau tiduran dulu ya.”
“ Apa ibu mau saya pijitin?”
“Tidak, hanya ingin tiduran. Ibu dengar tadi Bintang menelpon, tungguin saja, barangkali dia mau datang,” kata Tanti sambil beranjak masuk kekamar.
Ketika sebuah mobil berhenti dihalaman, Ayna segera melongok kedepan. Ia mengira Bintang yang datang.
“Aynaa...” seru Nanda riang.
“Oh, mas Nanda..?”
“Iya aku, kamu kira siapa?”
“Mas Bintang juga bilang mau datang, tapi tadi masih ada pasien.”
“Ya ampuuun.. kenapa ya dia tak pernah mau ketinggalan?”
Ayna tersenyum.
“Ayuk masuklah mas, sebentar lagi pasti mas Bintang datang.”
“Ayo.. jalan-jalan saja?”
“Lho, nanti kalau mas Bintang datang bagaimana?”
“Kan dia masih ada pasien? Kita jalan sebentar, nanti pas dia datang kita sudah pulang. Kita akan beli wedang ronde lalu kita bawa pulang, nanti bisa kita nikmati bersama-sama. Warung wedang ronde kan tidak jauh dari sini, kita jalan kaki saja.”
“Baiklah, kalau begitu , tapi aku harus minta ijin dulu sama ibu.”
Ayna masuk kedalam dan menjenguk kedalam kamar Tanti.
“Ibu, mas Nanda mengajak Ayna keluar sebentar. Katanya mau beli wedang ronde saja supaya bisa dimakan berramai-ramai.”
“Bukannya Bintang mau datang?”
“Kata mas Nanda hanya sebentar.”
“Baiklah, biarkan pintu terbuka, mungkin sebentar lagi bapak datang.”
“Ya ibu..”
Tapi belum lama Nanda dan Ayna keluar, Bintang sudah datang. Sedikit ada rasa kesal melihat mobil Nanda terparkir dihalaman.
“Hm, kalah duluan aku. Tapi nggak apa-apa, siapa takut?” gumam Bintang sambil melangkah kearah rumah.
“Kok sepi..? Kemana mereka? Apa ada didalam ya?”
Bintang terus masuk kedalam, dan tak melihat Nanda maupun Ayna. Tiba-tiba Bintang terkejut, mendengar keluhan dari dalam kamar. Kawatir ada apa-apa, Bintang mengetuk pintu lalu masuk. Dilihatnya Tanti baru keluar dari kamar mandi, sempoyongan hampir jatuh. Untung Bintang menangkapnya.
“Tante sakit?” tanyanya sambil memapah Tanti ketempat tidur.
“Masuk angin barangkali. Dari tadi badanku nggak enak, barusan muntah-muntah.”
“Bintang antar ke dokter?”
“Tidak Bin, cuma masuk angin saja. Nanda sama Ayna sedang beli wedang ronde, barangkali enakan kalau nanti makan wedang ronde.”
***
Besok lagi ya