Thursday, June 3, 2021

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK 16

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK  16

(Tien Kumalasari)

 

Suni melanjutkan bersih-bersih rumah dengan wajah gelap bagai tertutup mendung. Tapi kemudian ia teringat benda-benda berserakan dikamar. Ini bisa menjadi bukti, lalu ia bergegas menghampiri tas dan mengambil ponselnya. Ia memotret seluruh kamar dan barang-barang berserakan disana. Lalu melanjutkan pekerjaannya.

“Bagimanapun bu Yessy harus tahu,” gumamnya sambil membersihkan semua debu. Setelah itu ia baru kembali ke dapur.

Tapi ada pertimbangan lain, yaitu keadaan pak Murti yang mungkin saja masih membuat Yessy sedih. Bagaimana nanti kalau dia tahu bagaimana kelakuan suaminya?”

Suni masih menimbang-nimbang ketika mengentas cucian dan menjemurnya. Bukan di luar tapi didalam ruangan dekat gudang.

“Tapi kalau dibiarkan terus-menerus, ia akan semakin meraja-lela.”

Jadi apapun yang terjadi, Yessy harus segera diberitahu.

Lalu ia meneruskan memasak.

“Suni..” itu suara Yessyta ketika menelpon Suni.

“Ya bu..”

“Masih dirumah?”

“Iya bu.. baru mau nggoreng ayam.”

“Aduh Suni, kalau memang susah nggak perlulah.. , bisa beli kan.”

“Saya juga bersih-bersih rumah bu, rumahnya kotor sekali, dan  saya.. menemukan…”

“Menemukan apa Suni ?”

“Ini…” lalu Suni kembali ragu-ragu.

“Ini apa sih?”

“Ini, gelas-gelas kotor.. tt.. tapi sudah saya bersihkan.”

“Oh, kalau kamar tidak dikunci tolong dibersihkan sekalian Suni…”

“Iit.. itu.. tidak bu..”

“Tidak bagaimana?”

“Mm.. saya tidak tahu dikunci atau tidak, tapi saya tidak berani bu, besok saja kalau ada ibu.”

“Suni, aku percaya sama kamu.”

“Eh, sebentar bu.. ayam saya hampir gosong.”

Lalu Suni menutup ponselnya dengan hati berdebar-debar.

“Hampir saja aku mengatakannya, tapi kenapa aku takut ya. Aduuh, kalau saja ada orang lain yang bisa aku ajak berbincang. Perasaan ini seperti membebani jiwa saya. Harus keluar tapi tak kuasa mengeluarkannya.

***

Dan ketika sampai di rumah sakitpun Suni tak mampu bercerita apapun.

“Hm, baunya sedap Suni, ayo kita makan, kebetulan bapak lagi tidur.”

“Baiklah bu.”

Suni menata makanannya di meja sofa.

“Kamu tadi juga membersihkan kamar aku?”

“Oh.. itu.. itu.. tidak bu.”

“ Gimana sih kamu..”

“Sungguh saya takut bu, besok-besok saja kalau ibu ada.”

“Aku tuh sangat percaya sama kamu, kok kamu tetap tidak mau mengerti.”

“Yang percaya kan ibu. Nanti kalau ada barang-barang yang hilang, pak Anto pasti marahnya sama saya.”

“Jangan dengarkan dia, dia itu memang curigaan sama orang, susah membuatnya percaya. Tapi kalau kamu melakukan yang terbaik, kamu nggak usah khawatir.”

“Iya bu.”

“Ayo kita makan Suni, kata Yessy sambil menyendok nasi.”

“Cuma ayam goreng dan lalapan, sayur di kulkas sudah pada layu bu, saya buang tadi.”

“Tidak apa-apa Suni, dalam saat seperti ini, aku tidak begitu memikirkan enaknya makanan. Ini sudah luar biasa. Terimakasih Suni.”

“Mengapa ibu harus berterimakasih? Itu kan sudah menjadi kewajiban saya?”

Yessyta tersenyum.

“Kamu gadis yang baik. Ayo makan sama-sama, jangan duduk dibawah Suni, ayo duduklah didepanku sini.. ayolah Suni.

“Iya bu, enak disini, adem bu..”

“Hiih, kamu itu memang bandel ya.”

“Dibawah lebih enak bu.”

“Ya sudah, terserah kamu saja..”

“Besok aku mau pulang kalau begitu. Habisnya kamu nggak mau membersihkan kamar sih, padahal kan nggak apa-apa.”

“Saya nggak tahu kamarnya dikunci atau tidak bu. Saya juga nggak mencobanya untuk membuka ya karena takut itu tadi.”

“Nggak apa-apa Suni, aku mau membersihkan kamar saja kok. Kamu aku tinggal sebentar ya.”

“Iya bu..”

“Tapi aku berangkat agak siang saja, kan cuma membersihkan kamar.”

Suni berdebar.Besok kalau ibu Yessyta membuka kamar dan melihat pakaian berserakan, bagaimana? Apa sebaiknya bilang saja. Aduh..Suni benar-benar bingung.

“Suni, kamu makan sambil melamun sih..”

“Oh.. eh.. iya bu.. ini.. saya .. saya minta maaf tadi tidak membersihkan kamar.”

“Tidak apa-apa Suni, aku sudah tahu siapa kamu. Pasti kamu sakit hati karena suami aku tidak percaya sama kamu.”

“Ah, ibu.. tidak sakit hati kok bu, sudah sewajarnya kalau orang miskin itu tidak dipercaya. Padahal banyak lho, orang baik-baik atau yang kelihatan baik, tapi melakukan perbuatan tidak terpuji,” kata Suni, seakan menyindir tuan jahatnya yang tidak mempercayai dirinya, padahal  dia melakukan perbuatan buruk. Nista. Dosa, Durhaka pada pernikahannya.

“Betul Suni.”

“Ibu makannya kok sudah?”

“Nanti lagi, ini sudah kenyang. Oh ya Suni, mengapa kamu tidak cerita tentang cinta monyet kamu?”

“Apa?” lalu Suni terkekeh, yang kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan, takut mengganggu tidur pak Murti.

“Ditanya kok malah tertawa. Daripada bengong, cerita dong Suni. Cinta monyet itu pasti asyik.”

“Ya begitu itu bu, namanya masih anak-anak. Paling ya boncengan sepeda kesana kemari, minum es degan dipinggir jalan karena bekal sekolah cuma sedikit, lalu bayarnya patungan..” Suni tertawa lagi, tapi kali ini lebih lirih.

“Tapi dia itu anak orang berada bu, dia bisa melanjutkan sekolah ke kota, kuliah, jadi sarjana, saya tetap saja SMP. Merawat bapak, membantu jualan tetangga di pasar, sementara bapak saya hanya buruh tani.”

“Nggak apa-apa Suni, berada atau miskin itu kan hanya pakaian luar dari seorang manusia. Dalamnya akan sama saja dimata Allah.”

“Iya bu..”

“Lalu bagaimana, kamu terpisah dong.”

“Iya. Bertahun-tahun tidak ketemu, lalu saya mendengar dia sudah menjadi orang. Tapi ternyata walau saya masih menyukainya, dia sudah melupakannya. Kata dia, itu hanya masa kanak-kanak, sepertinya  dia sudah mencintai gadis lain.”

“Waduh, sakit dong hati kamu?”

“Sakit bu, lalu saya mengira dia melupakan saya karena gadis-gadis kota itu cantik-cantik, pakaiannya bagus. Lalu saya menirunya. Setiap kali punya uang saya belikan baju yang bagus-bagus, yang seksi seperti gadis kota. Tapi ketika saya bertemu dia lagi dikota, dan melihat penampilan saya, dia malah marah. Dia bilang itu tidak pantas. Yah, saya sakit hati lagi dong bu, dan ternyata cara berpakaian saya hampir membuat saya celaka.”

“O, begitu ceritanya?”

“Iya bu.. nggak ada bagus-bagusnya kan?”

“Apa sampai sekarang kamu masih mencintai dia?”

“Ya tidak bu, sejak dia bilang bahwa dia mencintai gadis lain, dan mencela penampilan saya saat berpakaian, saya lalu melupakannya. Memang barangkali dia bukan jodoh saya.”

“Kamu baik sekali Suni, bisa mengendapkan perasaan kamu. Tapi percayalah Suni, pada suatu hari nanti kamu pasti akan menemukan priya yang baik untuk menjadi jodoh kamu.”

“Aamiin, terimakasih bu.”

Kemudian Suni membersihkan bekas makan mereka. Memang benar bahwa dia sudah melupakan rasa cintanya pada Gunawan. Tak ada lagi rasa itu, dan berharap bisa menemukan priya yang pantas menjadi jodohnya.

***

“Mas, kita mau makan dimana?” kata Indri pada keesokan harinya.

“Terserah kamu saja. Tapi aku mau pulang dulu ini..”

“Mengapa pakai pulang segala sih mas, nanti malam kan juga bisa pulang?”

“Apa kamu lupa? Kemarin kita tergesa-gesa pergi, dikamar masih banyak barang-barang kita, baju kamu.. yang terserak. Takutnya ada yang pulang terus melihatnya. Kan kemudian kemarin kita tidak pulang kerumah, malah tidur di hotel,”

“Oh iya mas, kok aku bisa lupa ya. Ya sudah kita kerumah kamu dulu, bersihkan kamar kamu, apalagi kalau ada bajuku, tolong diambil saja.”

“Makanya. Kita terlalu sembrono, kalau ada yang tahu, bisa celaka kita.”

“Iya.. iya, aku tahu.. baiklah, kerumah kamu saja dulu, tapi aku nungguin di mobil ya, kamu sendiri saja yang bersih-bersih.”

“Iya, nggak apa-apa. Yang penting kita selamat..”

Keduanya mencari selamat, tapi bukan selamat dari taburan dosa, melainkan selamat dari terbukanya dosa yang mereka lakukan. Mereka tertawa-tawa disepanjang perjalanan, dan menikmati kebebasan yang nikmat dan memabokkan.

“Oh ya mas, kemarin ibuku sudah menanyakan..”

“Menanyakan apa sih?”

“Mas kok pura-pura lupa sih. Kita berhubungan sudah lama, dan mas sudah berjanji akan segera melamar. Kalau ibu tahu bahwa mas justru menikahi Yessyta, pasti ibu akan marah.”

“Indri, kamu kan tahu, mengapa aku menikahi Yessyta. Dari Yessyta aku mendapatkan semua kemewahan, dan kamu juga menginginkannya bukan? Besok kalau semuanya sudah cukup, aku pasti akan meninggalkannya, dan kita akan berbahagia berdua. Ya kan?”

“Iya mas, tapi jangan lama-lama , aku nggak tahan lagi nih. Dirumah ibuku bertanya terus, selain itu bagaimana kalau aku hamil?”

“Ya ampun, bukankah kita selalu memakai pengaman?”

“Orang kan bisa saja lupa mas.”

“Iya sih.. kalau bisa kita harus berhati-hati ..”

***

“Suni, aku pergi sebentar ya, ada yang harus aku beli, tapi aku mau pulang dulu, yang jelas harus membersihkan kamar. Aku tak yakin mas Anto bisa melakukannya. Dia itu joroknya bukan main. Tapi kita harus maklum kan Suni, laki-laki jarang yang mau ikut memikirkan pekerjaan rumah tangga.”

Suni tersenyum tapi dalam hati dia berdebar. Bagaimana ya, kalau nanti bu Yessy tahu keadaan kamarnya?

“Oh iya Suni, aku lupa, ini, aku berikan gaji kamu sekalian,” katanya sambil membuka dompetnya.”

“Nah, kamu boleh belanja apa saja yang kamu inginkan. Tapi sayangnya kamu belum bisa bertemu ayah kamu ya?” lanjut Yessyta.

“Nggak apa-apa bu, nanti kalau pak Murti sudah sehat kan saya bisa pamit pulang sebentar. Tapi bu, kemarin kan ibu sudah memberi saya uang.”

“Tidak apa-apa Suni, itu kan uang saku kamu selama ikut menunggui bapak disini. Sudah simpan saja. Nih, gaji kamu,” kata Yessyta sambil memberikan uang gaji Suni.

“Ibu sangat murah hati. Ini banyak sekali.”

“Sudah, nggak boleh protes. Katanya kamu ingin membelikan ponsel buat bapak kamu.”

“Iya sih bu..”

“Ya sudah, nanti kalau aku sudah kembali, kamu boleh jalan-jalan. Disekitar rumah sakit ini banyak toko-toko, dan ada yang menjual ponsel dengan merk macam-macam. Nanti kamu bisa bilang saja kepada penjualnya, tolong pilihkan yang cukup dengan uang kamu. Nanti pasti mereka pilihkan.”

“Iya bu, terimakasih banyak,” kata Suni sambil berlinang air mata. Terbayang olehnya, dia bisa berbicara dengan ayahnya setiap kali dia merindukannya.

“Ya sudah, jangan menangis Suni.”

“Ini tangis bahagia bu.”

“Teruslah bebahagia Suni. Ya sudah, aku berangkat dulu ya. Kamu mau nitip apa?”

“Tidak bu, nanti kalau saya butuh sesuatu kan saya bisa beli sendiri.”

“Baiklah. Kalau ada apa-apa kabari  secepatnya ya.”

“Baik bu.”

***

“Maaf pak, agak siang saya datangnya, soalnya pekerjaan sedang banyak dan baru bisa saya tinggalkan.” Kata Darman yang siang hari itu bersiap mengantar pak Kardi kontrol ke rumah sakit.

“Tidak apa-apa Man, tidak usah tergesa-gesa. Kan cuma mau kontrol.”

“Sekarang sudah siap ?”

“Sudah Man, kita berangkat sekarang?”

“Iya. Sebaiknya bapak pakai jacket, soalnya kan nanti saya boncengkan.”

“Ah, ya.. aku lupa, tadi sudah aku siapkan,” kata pak Kardi yang kembali masuk kerumah, memakai jacketnya lalu mengunci pintu rumahnya.

“Baiklah, kita berangkat sekarang ya pak.”

“Iya Man. Semoga nanti bisa ketemu Suni ya?”

“Semoga pak.”

“Bagaimana kalau kita mampir kerumahnya Gunawan? Kamu tahu rumahnya kan Man?”

“Ya tahu pak, tapi jam segini Gunawan pasti sedang bekerja. Dia bilang, terkadang pulang malam. Jadi kalau ada rencana mau mampir harus janjian dulu, dia bisa menerima kita atau tidak.”

“Iya ya, orang kota kalau bekerja nggak ingat waktu.”

“Gunawan itu orang penting pak, tanggung jawabnya besar.”

“Iya. Untunglah tidak menjadi menantuku. Kasihan anakku kalau ditinggal seharian,” kata pak Kardi sambil duduk di boncengan.

Darman tertawa.

“Ya tidak selalu ditinggal seharian pak, terkadang kan juga pulang siang atau sore seperti pekerja pada umumnya.”

“Semoga kamu bisa jadi menantuku ya Man.”

“Iya pak..” dan Darman memboncengkan pak Kardi penuh semangat. Hanya sayang dimana keberadaan Suni belum diketahui.

***

Suni menengok kearah ranjang pak Murti, dilihatnya pak Murti memejamkan mataya, tampaknya tertidur lagi. Rupanya orang sakit lebih banyak tidurnya. Mungkin pengaruh obat juga. Suni kembali duduk, tapi tiba-tiba dia tertarik untuk melihat-lihat keluar rumah sakit, katanya ada yang jual ponsel.

Suni melangkah keluar, tak akan lama, hanya ingin melihat, dimana ada yang menjual, kalau sudah tahu, dia akan beli nanti setelah Yessyta datang. Tapi dia menitipkannya dulu pada suster jaga, agar menghubunginya kalau ada apa-apa. Walau sebentar, siapa tahu pak Murti terbangun lalu merasa bingung kalau tak ada yang mendekatinya. Biasanya kalau pak Murti tidak sedang tidur, Yessy atau Suni pasti duduk didekatnya.

***

Yessyta masuk kehalaman rumahnya. Ada rasa senang ketika melihat ada mobil suaminya diparkir disana.

“Baguslah, tidak kencan tapi bisa bertemu disini. Aku juga sudah kangen sama mas Anto. Dan pasti demikian juga yang dirasakan mas Anto,” gumam Yessyta dengan wajah berseri-seri.

Yessyta turun dan ingin langsung masuk kerumah, tapi ketika menoleh kearah mobil, dilihatnya seseorang duduk di jok depan. Yessyta terkejut karena belum pernah melihat wanita itu. Ia mendekati mobil. Indri yang tidak tahu dia itu siapa, langsung membuka kaca jendelanya.

“Anda siapa?” tanya Indri. Pertanyaan konyol yang ditujukan kepada pemilik rumah.

“Saya seharusnya bertanya. Anda siapa, kenapa duduk di mobil suami saya?”

“Oh, ya ampuun, ini mbak Yessy ya?” kata Indri yang tergopoh turun lalu mengulurkan tangannya. Yessy menerimanya dengan tersenyum karena wanita itu belum memperkenalkan nama dan siapa dia.

“Saya Indri, teman sekantornya mas Anto, kebetulan ada tugas dan kami bisa keluar bersama-sama.”

“Oh, baiklah, mengapa menunggu disini, silahkan masuk,” kata Yessyta ramah.

“Terumakasih mbak, nanti kelamaan kalau saya turun juga.”

“Oh, baiklah, saya menemui suami saya dulu,” kata Yessy sambil masuk kedalam rumah. Ia melihat kamarnya terbuka, pasti suaminya ada didalam.

“Mas,” sapa Yessyta.

Anto terkejut. Ia sedang memunguti pakaian yang terserak, yang dimasukkannya satu persatu kedalam tas keresek. Tapi karena terkejut, pakaian itu tumpah kembali ke lantai.

“Aduh, kamu membuat aku terkejut saja,” kata Anto yang kemudian memeluk isterinya.

“Aku kangen sama kamu,” bisiknya ditelinga Yessy.

“Aku juga kangen. Aduh mas, kalau saja kamu tidak bersama teman kamu yang diluar itu, kita bisa melepas kangen tanpa terburu-buru.”

“Iya sih, tapi kami memang sedang terburu-buru,” kata Anto yang dengan gugup memungut baju-baju yang kembali terserak dilantai.

“Eh, sudah mas, ini pakaian kamu kan, biar aku cuci sekalian, karena aku juga membawa pakaian kotor.”

“Eeh.. eh, jangan.. ini.. ini.. biar aku saja.. kasihan kamu,” kata Anto sedikit gugup.

“Kok kasihan sih mas, ini kan tugas aku..” kata Yessy sambil merebut tas keresek yang dibawa Anto.

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, June 1, 2021

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK 15

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK  15

(Tien Kumalasari)

 

“Suniii…”

Yessyta mondar mandir disekitar lobi swalayan, matanya mencari-cari, barangkali Suni membeli sesuatu, tapi tak ditemukannya.

“Bagaimana mungkin dia pergi begitu saja dengan meninggalkan bawaannya ini? Belanjaan aku, juga baju-baju bekal miliknya sendiri?” gumamnya sambil terus-terusan mencari.

Lalu Yessyta bertanya kepada satpam yang berdiri dipintu keluar.

“Seorang gadis? Tadi duduk di tangga itu bu,” kata satpam yang ditanya.

“Tapi kok dia nggak ada? Ini barang-barangnya ditinggal begitu saja, kemana dia?”

Tidak ada yang tahu, dan satpam itu melihat banyak orang berlalu lalang, tak begitu memperhatikan  Suni yang tampaknya sedang menunggu sesuatu.

“Tidak adakah keributan, misalnya seseorang memaksa ikut pergi bersamanya?”

“Tidak ada bu, semuanya berjalan normal.”

Yessyta semakin bingung. Lalu dia kemudian ikut duduk di tangga itu karena letih mondar-mandir kesana kemari. Ia menunggu, barangkali Suni sedang membeli sesuatu.

Ketika itulah Gunawan menelponnya.

“Ya mas, bapak nggak apa-apa kan?”

“Bapak baik-baik saja Yes. Tapi kamu masih lamakah? Ada telpon dari kantor, aku ditunggu tamu.

“Waduh, gimana ini. Mas coba minta dulu ke perawat untuk menjaga bapak, lalu mas boleh meninggalkannya.”

“Memangnya kamu dimana sih?”

“Ya ampun mas, aku tuh sedang belanja, untuk keperluan bapak juga, bersama pembantu aku, tapi dia tiba-tiba menghilang.”

“Maksud kamu.. dia kabur?”

“Bukan, entahlah, kenapa kabur? Barang-barang yang dibawanya masih tertinggal disini. Tadi dia aku suruh menunggu di lobi, sementara aku beli pampers untuk bapak, soalnya tadi terlupa. Tapi ketika aku kembali, dia sudah nggak ada, sementara barang-barang belanjaan serta baju-baju ganti dia sendiri ditinggalkannya di tangga lobi.”

“Kemana dia?”

“Itulah mas, aku lagi menunggunya. Ya sudah, bilang sama perawat, aku akan berusaha ke rumah sakit sesegera mungkin.”

“Baiklah, hati-hati, Kalau ternyata tidak ketemu juga, laporkan saja pada polisi.”

“Ya mas, semoga dia tak apa-apa.”

Yessyta semakin gelisah. Lalu dia kembali masuk ke dalam setelah menitipkan barang-barangnya pada satpam yang ada disitu, barangkali Suni sedang mencarinya kedalam karena dia memang agak lama antri di kasir tadi.

***

Kemana Suni? Diculik orang jahat? Ternyata tidak. Tadi ketika menunggu sambil duduk di tangga lobi, Suni membuka-buka ponselnya. Ia begitu senang karena akan segera bisa berkomunikasi dengan bapaknya setelah ia bisa membelikan ponsel nanti. Ia juga memfoto apapun yang menarik didepannya sambil tersenyum-senyum.

Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu. Suni mencengkeram ponselnya erat. Lalu berdiri.

Ia melihat pasangan laki-laki dan perempuan. Laki-laki itu amat dikenalnya. Serigala berbulu domba yang menjadi suami majikannya. Mata Suni memerah karena marah. Ia mengikuti pasangan itu dari tempat yang agak jauh, berharap Yessy akan melihatnya dan terjadilah Baratayuda di supermarket ini. Tapi rupanya pasangan itu menuju ke arah restoran yang berada di lantai atas. Sayang sekali, kalau ke atas mana mungkin bisa ketemu. Tapi dengan gemas Suni mengikutinya. Ia lupa bahwa dia telah meninggalkan belanjaan dan barang-barangnya. Ia belum tahu apa yang akan dilakukannya. Menyemprotnya, mempermalukannya, atau apa.

“Adduuh, bagaimana seorang karyawan perusahaan di jam-jam kerja seperti ini bisa keluyuran di rumah makan? Pasti banyak kebohongan dilakukan untuk memenuhi keinginan mereka. Atau mungkin sedang menunggu mobil yang kabarnya akan dikirim hari ini,” gumam Suni sambil terus mengawasinya.

Pasangan itu duduk berhadapan. Suni mengamatinya dari tempat yang agak jauh sambil berpikir apa yang harus dilakukannya. Lalu dia teringat akan ponselnya.

“Bagus, tidak ketemu langsung tapi aku akan menemukan bukti yang kuat untuk membuat bu Yessy mengerti kelakuan manusia busuk itu,” gumamnya pelan sambil mengotak-atik ponselnya. Sebentar, harus ada adegan yang meyakinkan, bukan hanya duduk berhadapan. Nanti akan banyak cara untuk berkilah. Suni menunggu sambil pura-pura mengotak-atik ponselnya. Lalu dilihatnya keduanya memesan makanan, dan setelahnya tangan mereka berpegangan diatas meja. Suni mengangkat ponselnya dan membidik adegan itu.

“Satu kali, dua kali, tiga kali. Yang ketiga Anto sedang mengelus pipi perempuan itu. Cukup. Tak perlu membuat keributan.”

Lalu Suni turun lagi ke bawah.

Ia melihat bungkusan belanjaan dan bajunya tak ada lagi disana.

“Mati aku,” pekiknya ketakutan.

“Bodoh… bodoh.. bodoh..! Pasti orang jahat telah mencurinya. Aduh, bagaimana ini, dan dimana bu Yessy?”

Lalu Suni teringat bahwa ia bisa menghubungi Yessy dengan ponselnya. Tangannya gemetar dan ia sudah hampir menangis.

“Hallo..”

“Ini kamu Suni ?”

“Iya bu, maaf bu, itu… belanjaan.. belanjaan ibu… hilang bu… “ kata Suni sambil menangis.

“Suni, kamu dimana ?”

“Saya di lobi, sedang mencari belanjaan ibu.”

“Ya ampun Suni, kamu kemana saja? Aku berputar-putar diseluruh arena supermarket karena mencari kamu.”

“Maaf bu, maaf… tapi belanjaan ibu hilang.”

“Tunggu disitu dan jangan kemana-mana.”

Suni duduk di tangga lobi sambil menangis tersedu-sedu. Seorang satpam mendekati.

“Ada apa mbak?”

“Belanjaan saya, tadi ada disini, tiba-tiba hilang.”

“Yang itu?” satpam itu menunjuk ke arah dekat mejanya.

“Oh, ya ampuun. Mas yang mengambilnya?”

“Bukan mengambil mbak, seorang wanita kebingungan mencari anda, lalu dia masuk setelah menitipkan barang-barang itu,”

“Ya ampun mas, terimakasih banyak. Ya Allah, terimakasih.”

Suni berdiri, dan saat itulah Yessyta muncul.

“Ibu.. maafkan saya bu… maaf ya bu,” katanya sambil mengusap air matanya.

“Memangnya kamu tadi kemana? Aku bingung mencari kamu Suni.”

“Saya….”

Suni bingung menjawabnya. Ia ingin berterus terang, tapi takut menambah beban nyonya cantik yang begitu baik hatinya ini.

“Aku kira kamu membeli sesuatu. Aku kan sudah beli banyak makanan disitu?”

“Saya.. seperti.. seperti melihat.. tetangga kampung saya.. lalu saya mengejarnya..” katanya sambil terus mengucapkan maaf dalam hati.

“Kamu sudah ketemu? Kalau kamu ingin menitipkan uang untuk ayah kamu, aku beri sekarang Suni, ini suatu kebetulan. Dimana dia?”

“Tidak bu, ternyata saya salah… dia bukan.. bukan.. orang yang saya maksud..”

“Lalu kenapa lama sekali?”

“Saya.. saya bingung bu, susah mencari jalan keluar, berputar-putar baru ketemu.”

“Aduuh Suni, ya sudah, ambil lagi barang kamu itu. Aku tadi sudah membatalkan taksinya, sekarang aku harus memanggil lagi.”

“Maaf ya bu.. maaf..”

“Ya sudah, tidak apa-apa, kita harus segera ke rumah sakit, karena bapak sendirian,” kata Yessyta yang kemudian kembali memanggil taksi.

***

Begitu memasuki ruang rawat ayahnya, Yessyta langsung mendekati ayahnya. Diraihnya tangan pak Murti lalu diciumnya lembut. Pak Murti membuka matanya, tampak senang melihat Yessyta datang.

“Bapak, tadi Yessyta belanja, jadi meninggalkan bapak agak lama.”

Pak Murti mengerjapkan matanya. Seperti ingin mengatakan sesuatu, mulutnya bergerak-gerak, tapi tak mengeluarkan suara.

“Bapak tenang ya. Saat ini mas Gun sedang ada urusan kantor, jadi terpaksa meninggalkan bapak. Tapi Yessy akan selalu menemani bapak. Oh iya pak, bapak kan belum pernah melihat pembantu Yessy. Dia gadis yang cantik, pintar dan rajin. Dia akan menemani Yessy disini, tentunya juga akan melayani bapak.”

Lalu Yessy menoleh kearah Suni, dan melambaikan tangannya. Suni mendekat.

“Ini namanya Suni,”

Suni membungkukkan sedikit tubuhnya. Pak Murti melihatnya,  matanya memancarkan rasa senang, karena Suni tampak baik dan santun.

“Ini bapakku, Suni. Beliau sedang sakit, tidak bisa bergerak maupun bicara.”

“Semoga bapak segera dipulihkan kesehatannya,” kata Suni sambil menatap pak Murti, penuh rasa prihatin. Pak Murti mengerjapkan matanya, kembali bibirnya bergerak-gerak.

“Bapak sabar ya, saya akan melayani bapak disini, bahkan sampai sembuh.” bisik Suni.

Bibir tua itu kembali bergerak-gerak.

“Suni, letakkan baju kamu di almari itu. Masih ada banyak tempat.”

“Tidak bu, biar didalam tas saya saja. Oh ya, saya tadi membawa nasi dan masakan yang terlanjur saya masak, barangkali ibu atau bapak mau. Saya membuat semur kentang dan daging.”

“Terimakasih Suni, nanti untuk kita makan saja. Bapak makannya masih dengan sonde.”

“Sonde itu apa bu?”

“Sonde itu selang makanan yang disalurkan dari hidung ke arah lambung, karena bapak belum bisa menelan makanan, supaya nutrisinya juga terpenuhi.”

“Oh, ya ampun bu, kasihan sekali bapak. Ya Allah, semoga bapak segera sembuh.”

“Bapakku namanya Murtiyoso. Kamu bisa memanggilnya pak Murti.”

“Oh iya bu, nanti setiap doa saya, saya akan menyebut nama pak Murti agar Allah segera memulihkan kesehatannya.”

“Terimakasih Suni.”

Ketika itulah ponsel Yessyta berdering.

“Ya mas,”

“Kamu sudah sampai di rumah sakit?”

“Sudah mas, belum lama.”

“Pembantu kamu sudah ketemu ?”

“Sudah, rupanya dia melihat seseorang yang dikira tetangga kampungnya, ternyata bukan.”

“Mengapa lama sekali, sampai kamu mengira dia hilang?”

“Dia bingung mencari jalan keluar, berputar- putar, jadi lama.”                                                                                                                                       

“Ya ampun. Ini Yes, aku cuma mau bilang, kalau mobil baru sudah dikirim dan sudah diambil oleh suami kamu.”

“Oh, syukurlah kalau mobilnya sudah dikirim, aku malah belum sempat mengabari dia. Berarti mobil aku ada di kantor?”

“Ya benar, nanti kalau pekerjaan aku sudah selesai, aku antar ke rumah sakit.”

“Jangan mas, nanti mengganggu pekerjaan kamu, suruh sopir mengantarnya.”

“Baiklah kalau begitu, jadi kalau kamu mau kemana-mana tidak usah ribut mencari taksi.”

“Iya mas, tamu masih ada?”

“Kami sedang menjamu makan siang, sepertinya masih ada pembicaraan lanjutan. Doakan ya, tampaknya kita akan mendapatkan teman bisnis yang menguntungkan.”

“Pasti akan aku doakan. Aku akan beritahu bapak, supaya bapak senang.”

“Bapak baik-baik saja?”

“Baik mas, bapak juga senang ketika aku memperkenalkan pembantu aku.”

“Syukurlah Yes, aku juga senang kamu tidak sendirian. Jadi aku bisa sepenuhnya konsentrasi pada perusahaan.

“Ya mas, tenang saja. Kan bapak sudah mempercayakan semuanya pada mas?”

***

“Ya ampun mas, aku seneng bangat, kita bisa bersenang-senang dengan mobil baru ini,” pekik Indri kegirangan ketika keduanya sudah menaiki mobil baru itu. Rupanya Indri menunggu di pinggir jalan ketika Anto mengambil mobil itu. Memang Yessy belum mengabarinya, tapi Anto menelpon ke dealer dan mengatakan bahwa mobil sudah dikirim.

“Iya benar. Warnanya bagus, aku yang memilihnya.”

“Kamu memang hebat mas, pilihanmu sangat cocok dengan warna kesukaanku. Kuning telur. Aku juga suka telur lho.. Hahaa… ayo putar-putar dulu mas.”

“Jangan In, tadi aku ijin akan datang ke kantor setelah makan siang, ini sudah lewat, nanti bisa kena tegur bos kita.”

“Aku juga ijin sampai habis istirahat siang sih. “

“Ya sudah, muter-muternya nanti sore saja habis kantor. Lebih santai kan?”

“Iya benar. Tapi nanti mas tidur dirumahku saja ya?”

“Tidur dirumah kamu? Nggak enak sama ibu kamu dong.”

“Kita pulang setelah lewat tengah malam, pasti ibu sudah tidur. Besok pagi-pagi mas baru pulang. Bukankah rumah kamu kosong karena semua ada di rumah sakit?”

“Ya sudah, bagaimana nanti saja. Atau malah kamu saja yang tidur dirumah aku. Bagaimana?”

“Wah, itu juga bagus mas.”

“Bilang apa nanti kamu sama ibu kamu?”

“Bilang kalau aku tidur dirumah teman. Gampang kan?”

“Baguslah, bagaimana nanti saja. Senang kalau kamu menemani aku dirumah, jadinya aku nggak kesepian.”

“Semoga bapak mertua kamu lama sakitnya, supaya kita bebas bersenang-senang dirumah kamu.”

“Semoga saja. Aku juga sedang siap-siap mencari jawaban nih, kalau nanti tiba-tiba dia sadar dan mengungkit masalah di rumah makan itu,”

“Sudah tua dan sakit kayak begitu, biasanya langsung mas.”

“Pokoknya semoga terbaik untuk kita.”

“Dan jangan lupa mas juga harus pikirkan, aku tak mau begini terus, kamu harus segera menikahi aku. Kalau aku keburu hamil bagaimana?”

“Iya, pasti akan aku pikirkan.”

“Bener ya mas. Kalau mas benar-benar cinta mati sama aku, mas harus segera melakukannya.”

Ketika iblis sudah merasuki jiwa manusia, maka akan terlupalah semua kebaikan dan budi luhur. Semua diterjangnya, karena dosa itu nikmat, kata iblis pembawa laknat.

***

Tiga hari lamanya Yessyta berada dirumah sakit, dan selama itu karena kesibukannya Gunawan tak pernah sempat pergi ke rumah sakit. Namun setiap saat dia menelpon Yessyta untuk menanyakan berita kesehatan pak Murti.

“Maaf Yes, tiga hari ini pekerjaan perusahaan sangat menyita hari-hari aku. Besok pagi aku akan menemani pak Budiman ke luar kota.”

“Tidak apa-apa mas, lakukan semua tugas kamu. Bapak sudah aku urus bersama pembantu dan tidak kurang suatu apa.”

“Keadaan bapak bagaimana?”

“Belum ada kemajuan yang signifikan sih, kata dokter kita harus bersabar. Tapi bapak tampak senang melihat aku selalu ada disampingnya.”

“Bagus Yes, kalau begitu terus, pasti bapak akan segera pulih.”

“Ya mas.”

“Untunglah kamu sudah ada yang menemani, sehingga aku tidak terlalu kepikiran tentang kamu.”

“Nanti siang aku mau pulang sebentar. Sepertinya ada yang harus aku ambil dirumah.”

“Baiklah, selalu jaga kesehatan kamu juga ya Yes, istirahat yang cukup, jangan kecapekan. Karena kalau sampai kamu kecapekan dan jatuh sakit, kasihan bapak.”

“Iya mas.”

“Nanti setelah selesai mengantarkan pak Budi aku pasti akan menjenguk bapak. Aku sudah kangen sama kamu, eh.. bapak.”

Yessyta tersenyum, mereka seperti saudara, salahkah kalau kangen? Mengapa Gunawan harus meralatnya?”

“Suni,” kata Yessyta setelah selesai berbicara dengan Gunawan.

“Ya bu.”

“Bagaimana kalau kamu saja yang pulang. Kamu bawa saja pakaian kotor dan kamu ambil yang sudah bersih.”

“Baiklah bu. Ini sudah saya kumpulkan. Nanti akan langsung saya cuci dan jemur di depan gudang saja. Kalau diluar takutnya kehujanan atau apa.”

Ya Suni, terserah kamu saja.”

“Saya bisa sekalian masak sesuatu, barangkali di kulkas masih ada daging. Jadi ibu tidak usah membeli makanan lagi,”

“Bagus Suni, aku juga kangen makan masakan kamu. Aku pesankan taksinya, nanti kalau sudah selesai kamu pesan saja untuk kembali ke mari.”

“Iya bu. Tidak apa-apa.”

“Ini bawa saja uang, barangkali kamu membutuhkan sesuatu.”

“Banyak sekali bu.”

“Tidak apa-apa, Bawa saja.”

***

Suni sudah sampai di rumah Yessy. Dia melihat rumah begitu kotor dan berdebu.

“Ya ampuun, aku harus bersih-bersih dulu ini.. ya maklumlah, ditinggal beberapa hari. Dan ini kok ya banyak gelas kotor berjajar dimeja.”

Suni memasukkan baju-baju kotor kedalam mesin cuci, memberinya sabun dan menggilingnya, lalu membawa gelas-gelas kotor ke tempat cucian. Tapi Suni terkejut melihat ada bekas lipstik dibibir gelas. Suni mengamatinya.

“Benar, ini bekas lipstik. Tuan sontoloyo itu membawa perempuan ke dalam rumah. Kurangajar. Rasanya tak tahan aku kalau harus memendam semua ini.”

Suni mencuci semua gelas kotor.

Lalu ia membuka kulkas, hanya ada daging ayam, sayuran sudah tidak lagi segar, lalu Suni membuangnya.

“Membuat ayam goreng saja, kan masih ada sambal dikulkas.”

Suni membuat bumbu ungkep sambil menunggu daging ayamnya tidak membeku. Pasti sangat lama menunggunya mencair.

Lalu Suni menyapu. Ia melihat kamar tidak terkunci, Suni masuk bermaksud membersihkannya. Tiba-tiba mata Suni terbelalak melihat beberapa pakaian terserak.

“Hm, joroknya sungguh keterlaluan. Meletakkan di keranjang baju kotor saja kok ya tidak mau. Dan merapikan tempat tidur saja kok ya tidak bisa,” omel Suni.

Suni memunguti baju-baju kotor itu sambil mengernyitkan hidungnya. Ada bau tak sedap tercium. Dan Suni benar-benar terpekik melihat beberapa diantaranya adalah baju dalam wanita.

“Keterlaluan. Ini benar-benar perbuatan iblis bermuka manusia.”

Mata Suni menyala karena marah. Ia membuang kembali pakaian kotor itu ke lantai, membiarkannya terserak seperti semula, agar mereka tidak tahu bahwa dia melihat semuanya, lalu dia menutup lagi pintunya.

***

Besok lagi ya.

 

LANGIT TAK LAGI KELAM 03

  LANGIT TAK LAGI KELAM  03 (Tien Kumalasari)   Pak Misdi terbelalak melihat wajah Srining yang mengucapkan kata mengejutkan itu dengan begi...