MENGAIS CINTA YANG TERSERAK 16
(Tien Kumalasari)
Suni melanjutkan bersih-bersih rumah dengan wajah gelap bagai tertutup mendung. Tapi kemudian ia teringat benda-benda berserakan dikamar. Ini bisa menjadi bukti, lalu ia bergegas menghampiri tas dan mengambil ponselnya. Ia memotret seluruh kamar dan barang-barang berserakan disana. Lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Bagimanapun bu Yessy harus tahu,” gumamnya sambil membersihkan semua debu. Setelah itu ia baru kembali ke dapur.
Tapi ada pertimbangan lain, yaitu keadaan pak Murti yang mungkin saja masih membuat Yessy sedih. Bagaimana nanti kalau dia tahu bagaimana kelakuan suaminya?”
Suni masih menimbang-nimbang ketika mengentas cucian dan menjemurnya. Bukan di luar tapi didalam ruangan dekat gudang.
“Tapi kalau dibiarkan terus-menerus, ia akan semakin meraja-lela.”
Jadi apapun yang terjadi, Yessy harus segera diberitahu.
Lalu ia meneruskan memasak.
“Suni..” itu suara Yessyta ketika menelpon Suni.
“Ya bu..”
“Masih dirumah?”
“Iya bu.. baru mau nggoreng ayam.”
“Aduh Suni, kalau memang susah nggak perlulah.. , bisa beli kan.”
“Saya juga bersih-bersih rumah bu, rumahnya kotor sekali, dan saya.. menemukan…”
“Menemukan apa Suni ?”
“Ini…” lalu Suni kembali ragu-ragu.
“Ini apa sih?”
“Ini, gelas-gelas kotor.. tt.. tapi sudah saya bersihkan.”
“Oh, kalau kamar tidak dikunci tolong dibersihkan sekalian Suni…”
“Iit.. itu.. tidak bu..”
“Tidak bagaimana?”
“Mm.. saya tidak tahu dikunci atau tidak, tapi saya tidak berani bu, besok saja kalau ada ibu.”
“Suni, aku percaya sama kamu.”
“Eh, sebentar bu.. ayam saya hampir gosong.”
Lalu Suni menutup ponselnya dengan hati berdebar-debar.
“Hampir saja aku mengatakannya, tapi kenapa aku takut ya. Aduuh, kalau saja ada orang lain yang bisa aku ajak berbincang. Perasaan ini seperti membebani jiwa saya. Harus keluar tapi tak kuasa mengeluarkannya.
***
Dan ketika sampai di rumah sakitpun Suni tak mampu bercerita apapun.
“Hm, baunya sedap Suni, ayo kita makan, kebetulan bapak lagi tidur.”
“Baiklah bu.”
Suni menata makanannya di meja sofa.
“Kamu tadi juga membersihkan kamar aku?”
“Oh.. itu.. itu.. tidak bu.”
“ Gimana sih kamu..”
“Sungguh saya takut bu, besok-besok saja kalau ibu ada.”
“Aku tuh sangat percaya sama kamu, kok kamu tetap tidak mau mengerti.”
“Yang percaya kan ibu. Nanti kalau ada barang-barang yang hilang, pak Anto pasti marahnya sama saya.”
“Jangan dengarkan dia, dia itu memang curigaan sama orang, susah membuatnya percaya. Tapi kalau kamu melakukan yang terbaik, kamu nggak usah khawatir.”
“Iya bu.”
“Ayo kita makan Suni, kata Yessy sambil menyendok nasi.”
“Cuma ayam goreng dan lalapan, sayur di kulkas sudah pada layu bu, saya buang tadi.”
“Tidak apa-apa Suni, dalam saat seperti ini, aku tidak begitu memikirkan enaknya makanan. Ini sudah luar biasa. Terimakasih Suni.”
“Mengapa ibu harus berterimakasih? Itu kan sudah menjadi kewajiban saya?”
Yessyta tersenyum.
“Kamu gadis yang baik. Ayo makan sama-sama, jangan duduk dibawah Suni, ayo duduklah didepanku sini.. ayolah Suni.
“Iya bu, enak disini, adem bu..”
“Hiih, kamu itu memang bandel ya.”
“Dibawah lebih enak bu.”
“Ya sudah, terserah kamu saja..”
“Besok aku mau pulang kalau begitu. Habisnya kamu nggak mau membersihkan kamar sih, padahal kan nggak apa-apa.”
“Saya nggak tahu kamarnya dikunci atau tidak bu. Saya juga nggak mencobanya untuk membuka ya karena takut itu tadi.”
“Nggak apa-apa Suni, aku mau membersihkan kamar saja kok. Kamu aku tinggal sebentar ya.”
“Iya bu..”
“Tapi aku berangkat agak siang saja, kan cuma membersihkan kamar.”
Suni berdebar.Besok kalau ibu Yessyta membuka kamar dan melihat pakaian berserakan, bagaimana? Apa sebaiknya bilang saja. Aduh..Suni benar-benar bingung.
“Suni, kamu makan sambil melamun sih..”
“Oh.. eh.. iya bu.. ini.. saya .. saya minta maaf tadi tidak membersihkan kamar.”
“Tidak apa-apa Suni, aku sudah tahu siapa kamu. Pasti kamu sakit hati karena suami aku tidak percaya sama kamu.”
“Ah, ibu.. tidak sakit hati kok bu, sudah sewajarnya kalau orang miskin itu tidak dipercaya. Padahal banyak lho, orang baik-baik atau yang kelihatan baik, tapi melakukan perbuatan tidak terpuji,” kata Suni, seakan menyindir tuan jahatnya yang tidak mempercayai dirinya, padahal dia melakukan perbuatan buruk. Nista. Dosa, Durhaka pada pernikahannya.
“Betul Suni.”
“Ibu makannya kok sudah?”
“Nanti lagi, ini sudah kenyang. Oh ya Suni, mengapa kamu tidak cerita tentang cinta monyet kamu?”
“Apa?” lalu Suni terkekeh, yang kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan, takut mengganggu tidur pak Murti.
“Ditanya kok malah tertawa. Daripada bengong, cerita dong Suni. Cinta monyet itu pasti asyik.”
“Ya begitu itu bu, namanya masih anak-anak. Paling ya boncengan sepeda kesana kemari, minum es degan dipinggir jalan karena bekal sekolah cuma sedikit, lalu bayarnya patungan..” Suni tertawa lagi, tapi kali ini lebih lirih.
“Tapi dia itu anak orang berada bu, dia bisa melanjutkan sekolah ke kota, kuliah, jadi sarjana, saya tetap saja SMP. Merawat bapak, membantu jualan tetangga di pasar, sementara bapak saya hanya buruh tani.”
“Nggak apa-apa Suni, berada atau miskin itu kan hanya pakaian luar dari seorang manusia. Dalamnya akan sama saja dimata Allah.”
“Iya bu..”
“Lalu bagaimana, kamu terpisah dong.”
“Iya. Bertahun-tahun tidak ketemu, lalu saya mendengar dia sudah menjadi orang. Tapi ternyata walau saya masih menyukainya, dia sudah melupakannya. Kata dia, itu hanya masa kanak-kanak, sepertinya dia sudah mencintai gadis lain.”
“Waduh, sakit dong hati kamu?”
“Sakit bu, lalu saya mengira dia melupakan saya karena gadis-gadis kota itu cantik-cantik, pakaiannya bagus. Lalu saya menirunya. Setiap kali punya uang saya belikan baju yang bagus-bagus, yang seksi seperti gadis kota. Tapi ketika saya bertemu dia lagi dikota, dan melihat penampilan saya, dia malah marah. Dia bilang itu tidak pantas. Yah, saya sakit hati lagi dong bu, dan ternyata cara berpakaian saya hampir membuat saya celaka.”
“O, begitu ceritanya?”
“Iya bu.. nggak ada bagus-bagusnya kan?”
“Apa sampai sekarang kamu masih mencintai dia?”
“Ya tidak bu, sejak dia bilang bahwa dia mencintai gadis lain, dan mencela penampilan saya saat berpakaian, saya lalu melupakannya. Memang barangkali dia bukan jodoh saya.”
“Kamu baik sekali Suni, bisa mengendapkan perasaan kamu. Tapi percayalah Suni, pada suatu hari nanti kamu pasti akan menemukan priya yang baik untuk menjadi jodoh kamu.”
“Aamiin, terimakasih bu.”
Kemudian Suni membersihkan bekas makan mereka. Memang benar bahwa dia sudah melupakan rasa cintanya pada Gunawan. Tak ada lagi rasa itu, dan berharap bisa menemukan priya yang pantas menjadi jodohnya.
***
“Mas, kita mau makan dimana?” kata Indri pada keesokan harinya.
“Terserah kamu saja. Tapi aku mau pulang dulu ini..”
“Mengapa pakai pulang segala sih mas, nanti malam kan juga bisa pulang?”
“Apa kamu lupa? Kemarin kita tergesa-gesa pergi, dikamar masih banyak barang-barang kita, baju kamu.. yang terserak. Takutnya ada yang pulang terus melihatnya. Kan kemudian kemarin kita tidak pulang kerumah, malah tidur di hotel,”
“Oh iya mas, kok aku bisa lupa ya. Ya sudah kita kerumah kamu dulu, bersihkan kamar kamu, apalagi kalau ada bajuku, tolong diambil saja.”
“Makanya. Kita terlalu sembrono, kalau ada yang tahu, bisa celaka kita.”
“Iya.. iya, aku tahu.. baiklah, kerumah kamu saja dulu, tapi aku nungguin di mobil ya, kamu sendiri saja yang bersih-bersih.”
“Iya, nggak apa-apa. Yang penting kita selamat..”
Keduanya mencari selamat, tapi bukan selamat dari taburan dosa, melainkan selamat dari terbukanya dosa yang mereka lakukan. Mereka tertawa-tawa disepanjang perjalanan, dan menikmati kebebasan yang nikmat dan memabokkan.
“Oh ya mas, kemarin ibuku sudah menanyakan..”
“Menanyakan apa sih?”
“Mas kok pura-pura lupa sih. Kita berhubungan sudah lama, dan mas sudah berjanji akan segera melamar. Kalau ibu tahu bahwa mas justru menikahi Yessyta, pasti ibu akan marah.”
“Indri, kamu kan tahu, mengapa aku menikahi Yessyta. Dari Yessyta aku mendapatkan semua kemewahan, dan kamu juga menginginkannya bukan? Besok kalau semuanya sudah cukup, aku pasti akan meninggalkannya, dan kita akan berbahagia berdua. Ya kan?”
“Iya mas, tapi jangan lama-lama , aku nggak tahan lagi nih. Dirumah ibuku bertanya terus, selain itu bagaimana kalau aku hamil?”
“Ya ampun, bukankah kita selalu memakai pengaman?”
“Orang kan bisa saja lupa mas.”
“Iya sih.. kalau bisa kita harus berhati-hati ..”
***
“Suni, aku pergi sebentar ya, ada yang harus aku beli, tapi aku mau pulang dulu, yang jelas harus membersihkan kamar. Aku tak yakin mas Anto bisa melakukannya. Dia itu joroknya bukan main. Tapi kita harus maklum kan Suni, laki-laki jarang yang mau ikut memikirkan pekerjaan rumah tangga.”
Suni tersenyum tapi dalam hati dia berdebar. Bagaimana ya, kalau nanti bu Yessy tahu keadaan kamarnya?
“Oh iya Suni, aku lupa, ini, aku berikan gaji kamu sekalian,” katanya sambil membuka dompetnya.”
“Nah, kamu boleh belanja apa saja yang kamu inginkan. Tapi sayangnya kamu belum bisa bertemu ayah kamu ya?” lanjut Yessyta.
“Nggak apa-apa bu, nanti kalau pak Murti sudah sehat kan saya bisa pamit pulang sebentar. Tapi bu, kemarin kan ibu sudah memberi saya uang.”
“Tidak apa-apa Suni, itu kan uang saku kamu selama ikut menunggui bapak disini. Sudah simpan saja. Nih, gaji kamu,” kata Yessyta sambil memberikan uang gaji Suni.
“Ibu sangat murah hati. Ini banyak sekali.”
“Sudah, nggak boleh protes. Katanya kamu ingin membelikan ponsel buat bapak kamu.”
“Iya sih bu..”
“Ya sudah, nanti kalau aku sudah kembali, kamu boleh jalan-jalan. Disekitar rumah sakit ini banyak toko-toko, dan ada yang menjual ponsel dengan merk macam-macam. Nanti kamu bisa bilang saja kepada penjualnya, tolong pilihkan yang cukup dengan uang kamu. Nanti pasti mereka pilihkan.”
“Iya bu, terimakasih banyak,” kata Suni sambil berlinang air mata. Terbayang olehnya, dia bisa berbicara dengan ayahnya setiap kali dia merindukannya.
“Ya sudah, jangan menangis Suni.”
“Ini tangis bahagia bu.”
“Teruslah bebahagia Suni. Ya sudah, aku berangkat dulu ya. Kamu mau nitip apa?”
“Tidak bu, nanti kalau saya butuh sesuatu kan saya bisa beli sendiri.”
“Baiklah. Kalau ada apa-apa kabari secepatnya ya.”
“Baik bu.”
***
“Maaf pak, agak siang saya datangnya, soalnya pekerjaan sedang banyak dan baru bisa saya tinggalkan.” Kata Darman yang siang hari itu bersiap mengantar pak Kardi kontrol ke rumah sakit.
“Tidak apa-apa Man, tidak usah tergesa-gesa. Kan cuma mau kontrol.”
“Sekarang sudah siap ?”
“Sudah Man, kita berangkat sekarang?”
“Iya. Sebaiknya bapak pakai jacket, soalnya kan nanti saya boncengkan.”
“Ah, ya.. aku lupa, tadi sudah aku siapkan,” kata pak Kardi yang kembali masuk kerumah, memakai jacketnya lalu mengunci pintu rumahnya.
“Baiklah, kita berangkat sekarang ya pak.”
“Iya Man. Semoga nanti bisa ketemu Suni ya?”
“Semoga pak.”
“Bagaimana kalau kita mampir kerumahnya Gunawan? Kamu tahu rumahnya kan Man?”
“Ya tahu pak, tapi jam segini Gunawan pasti sedang bekerja. Dia bilang, terkadang pulang malam. Jadi kalau ada rencana mau mampir harus janjian dulu, dia bisa menerima kita atau tidak.”
“Iya ya, orang kota kalau bekerja nggak ingat waktu.”
“Gunawan itu orang penting pak, tanggung jawabnya besar.”
“Iya. Untunglah tidak menjadi menantuku. Kasihan anakku kalau ditinggal seharian,” kata pak Kardi sambil duduk di boncengan.
Darman tertawa.
“Ya tidak selalu ditinggal seharian pak, terkadang kan juga pulang siang atau sore seperti pekerja pada umumnya.”
“Semoga kamu bisa jadi menantuku ya Man.”
“Iya pak..” dan Darman memboncengkan pak Kardi penuh semangat. Hanya sayang dimana keberadaan Suni belum diketahui.
***
Suni menengok kearah ranjang pak Murti, dilihatnya pak Murti memejamkan mataya, tampaknya tertidur lagi. Rupanya orang sakit lebih banyak tidurnya. Mungkin pengaruh obat juga. Suni kembali duduk, tapi tiba-tiba dia tertarik untuk melihat-lihat keluar rumah sakit, katanya ada yang jual ponsel.
Suni melangkah keluar, tak akan lama, hanya ingin melihat, dimana ada yang menjual, kalau sudah tahu, dia akan beli nanti setelah Yessyta datang. Tapi dia menitipkannya dulu pada suster jaga, agar menghubunginya kalau ada apa-apa. Walau sebentar, siapa tahu pak Murti terbangun lalu merasa bingung kalau tak ada yang mendekatinya. Biasanya kalau pak Murti tidak sedang tidur, Yessy atau Suni pasti duduk didekatnya.
***
Yessyta masuk kehalaman rumahnya. Ada rasa senang ketika melihat ada mobil suaminya diparkir disana.
“Baguslah, tidak kencan tapi bisa bertemu disini. Aku juga sudah kangen sama mas Anto. Dan pasti demikian juga yang dirasakan mas Anto,” gumam Yessyta dengan wajah berseri-seri.
Yessyta turun dan ingin langsung masuk kerumah, tapi ketika menoleh kearah mobil, dilihatnya seseorang duduk di jok depan. Yessyta terkejut karena belum pernah melihat wanita itu. Ia mendekati mobil. Indri yang tidak tahu dia itu siapa, langsung membuka kaca jendelanya.
“Anda siapa?” tanya Indri. Pertanyaan konyol yang ditujukan kepada pemilik rumah.
“Saya seharusnya bertanya. Anda siapa, kenapa duduk di mobil suami saya?”
“Oh, ya ampuun, ini mbak Yessy ya?” kata Indri yang tergopoh turun lalu mengulurkan tangannya. Yessy menerimanya dengan tersenyum karena wanita itu belum memperkenalkan nama dan siapa dia.
“Saya Indri, teman sekantornya mas Anto, kebetulan ada tugas dan kami bisa keluar bersama-sama.”
“Oh, baiklah, mengapa menunggu disini, silahkan masuk,” kata Yessyta ramah.
“Terumakasih mbak, nanti kelamaan kalau saya turun juga.”
“Oh, baiklah, saya menemui suami saya dulu,” kata Yessy sambil masuk kedalam rumah. Ia melihat kamarnya terbuka, pasti suaminya ada didalam.
“Mas,” sapa Yessyta.
Anto terkejut. Ia sedang memunguti pakaian yang terserak, yang dimasukkannya satu persatu kedalam tas keresek. Tapi karena terkejut, pakaian itu tumpah kembali ke lantai.
“Aduh, kamu membuat aku terkejut saja,” kata Anto yang kemudian memeluk isterinya.
“Aku kangen sama kamu,” bisiknya ditelinga Yessy.
“Aku juga kangen. Aduh mas, kalau saja kamu tidak bersama teman kamu yang diluar itu, kita bisa melepas kangen tanpa terburu-buru.”
“Iya sih, tapi kami memang sedang terburu-buru,” kata Anto yang dengan gugup memungut baju-baju yang kembali terserak dilantai.
“Eh, sudah mas, ini pakaian kamu kan, biar aku cuci sekalian, karena aku juga membawa pakaian kotor.”
“Eeh.. eh, jangan.. ini.. ini.. biar aku saja.. kasihan kamu,” kata Anto sedikit gugup.
“Kok kasihan sih mas, ini kan tugas aku..” kata Yessy sambil merebut tas keresek yang dibawa Anto.
***
Besok lagi ya