Monday, September 8, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 05

 LANGIT TAK LAGI KELAM  05

(Tien Kumalasari)

 

Misdi mengucek matanya, lalu duduk dengan termangu. Ia tak sadar tadi tidur di mana. Ada atap yang tak begitu lebar menaungi tidurnya di depan pagar sebuah rumah. Ia merasa terlindung seandainya hujan. Ia begitu lelah dan lemah untuk melangkah pulang, karena seharian hanya berjalan dan mencari-cari. Ia bahkan lupa makan. Ia membawa sedikit uang saku, sisa dari uang yang diberikan kepada Misnah sebelum berangkat. Tapi ia tidak mempergunakannya untuk membeli apapun.

“Hei, apa kamu tuli?”

Terdengar lagi suara menghardik.

Misdi baru sadar kalau ada mobil akan memasuki halaman rumah itu. Ia bangkit dan menyingkir dari tempat itu.

Dari dalam terdengar teriakan.

“Rizki, sepagi ini kamu datang?”

Seorang gadis berjalan ke arah pagar rumah, membukakan pagar yang tadinya masih terkunci.

Misdi menyingkir menjauh, tapi ia masih mendengar perkataan menyakitkan yang serasa mengiris perasaannya.

“Untunglah kamu menguncinya. Kalau tidak, bisa jadi pengemis yang tidur di situ tadi masuk ke dalam dan melakukan pencurian,” katanya sambil melongok dari jendela mobil.

“Kamu kok datang pagi sekali, aku baru selesai mandi.”

“Mau mengajak kamu makan pagi dulu. Bosan masakan pembantu di rumah.”

“Baiklah, masuk dulu kalau begitu, aku belum ganti pakaian,” jawab gadis bernama Citra yang semakin dekat karena Rizki yang sangat royal dan penuh perhatian.

Misdi melangkah pergi, ia merasa lemas, ucapan menyakitkan tak dihiraukannya. Wajar kalau orang miskin dicurigai. Lalu ia  merogoh saku bajunya. Uang yang tak seberapa masih utuh di dalamnya. Ia mencari warung di pinggir jalan, lalu membeli sepiring nasi dan segelas minum agar tubuhnya sedikit merasa kuat. Ia bermaksud pulang saja, karena merasa bahwa pencariannya akan sia-sia, dengan gambaran tidak jelas tentang anaknya, kecuali hanya sebuah nama. Tapi rasa sedih dan kecewa masih menindih dadanya.

***

Simbok sedang membungkus sisa nasi goreng yang dibuatnya pagi itu. Tidak banyak, karena hanya sisa sarapan dari majikannya yang tidak termakan.

“Sisa banyak Mbok?”

“Ya tidak banyak Tuan, hanya menjadi dua bungkus nasi. Biasanya sih tidak tersisa, tapi tadi mas Rizki tidak makan pagi. Katanya bosan makan pagi nasi goreng. Padahal kan Tuan yang ingin makan nasi goreng?”

“Sudah lama tidak makan nasi goreng, bagaimana dia bisa mengatakan bosan?”

“Entahlah, Tuan. Sekarang mas Rizki jarang makan di rumah. Pasti lebih suka makan di luar.”

“Mau kamu berikan siapa kalau hanya dua bungkus? Tukang becak yang mangkal di sana biasanya ada beberapa.”

“Di dekat situ ada tukang tambal ban. Saya berikan ke situ saja.”

“Oh iya, tukang tambal ban ya? Aku jadi ingat, sepeda yang digudang itu tolong bersihkan, kelihatannya bannya gembos dua-duanya. Tolong suruh lihat tukang tambal ban itu, apa masih bisa dipompa, atau harus ditambal. Kalau perlu ban baru ya suruh mengganti sekalian.”

“Apa Tuan mau sepedaan lagi? Sudah lama tidak bersepada.”

“Tiba-tiba pengin lagi.”

“Bukankah hari ini Tuan akan pergi ke acara siraman di rumah non Dewi?”

“Iya, benar, nanti agak siang. Acaranya jam sebelas. Tadi aku sudah bilang pada Rizki agar pulang sebelum jam sebelas. Tentang bersepeda itu memang bukan sekarang atau besok pagi. Setidaknya bisa dikendarai.”

“Baik Tuan, nanti saya bersihkan dulu, baru saya bawa ke sana, sambil memberikan nasi goreng ini.”

***

Misnah sangat nekat. Ia membuka bengkel tamban ban ayahnya, dan menerima orang yang datang karena bannya bocor. Tapi hanya sepeda kayuh saja. Kalau sepeda motor dia tak kuat mengangkatnya.

Tukang warung di sebelahnya hanya tersenyum melihat ulah Misnah. Dari pagi sudah ada dua buah sepeda yang ditambalnya.

Sekarang Misnah duduk di atas bangku kecil, tampak kelelahan. Ia mengusap peluhnya dengan tangan padahal tangannya kotor. Jadilah wajah mungil cantik itu jadi aneh karena ada coreng-moreng kehitaman di sana.

“Lho, mana pak tukang tambal bannya?”

Misnah terkejut, Ia mengangkat wajahnya dan melihat seorang wanita paruh baya sedang menstandartkan sepeda di depannya.

“Mau tambal ban ya bu?”

“Iya, mana tukang tambalnya?”

“Bapak saya tidak kerja sejak kemarin, tapi saya bisa kok.”

“O, kamu itu anaknya ya?”

“Iya.”

“Waduh, apa benar kamu bisa?”

“Coba saja, kalau tidak berhasil tidak usah dibayar,” kata Misnah sambil tersenyum.

“Baiklah, aku tinggal saja, nanti siang aku ambil ya.”

“Baik.”

“Oh iya, ini ada nasi goreng. Mestinya bisa untuk berdua dengan ayahmu. Oh ya, apa ayahmu sakit?”

“Tidak, ayah saya pergi.”

“Jauh ya?”

“Entahlah. Bapak sedang mencari anaknya yang hilang.”

“Lho, anaknya ada yang hilang? Yang kemarin dibawakan makanan itu? Lha kamu itu bukan anaknya?”

“Anaknya hilang ketika bayi, dibawa istrinya tapi ditinggal di panti asuhan, bapak sedang mencari keberadaannya.”

“O walah, kasihan sekali. Lha kamu itu anaknya yang kecil?”

“Ya, tapi saya anak angkatnya. Terima kasih nasinya. Ibu yang kemarin memberi bapak nasi itu ya? Ibu baik sekali,” kata Misnah mengalihkan pembicaraan tentang dirinya yang anak angkat, yang sebenarnya tak ingin diungkapkannya.”

“Iya, tidak apa-apa, di rumah sisa banyak. Itu nasi gorengnya dimakan ya. Kalau nggak habis bisa dimakan siang nanti. Nggak akan basi, matang belum lama, masih hangat kok.”

“Baik Bu, terima kasih banyak.”

***

“Kamu tinggal sepedanya Mbok?”

“Iya Tuan, kalau saya tunggu nanti kelamaan. Apalagi Tuan mau pergi sebentar lagi. Lagi pula yang mengerjakan anak perempuan masih sangat muda, umurnya belasan tahun kira-kira.”

“Perempuan? Memangnya bisa?”

“Katanya bisa. Nanti kalau nggak bener, tidak usah dibayar, katanya.”

“Memangnya bapaknya ke mana? Mengapa anak perempuan disuruh menambal ban?”

“Katanya, sejak kemarin bapaknya pergi. Katanya mencari anaknya yang hilang sejak bayi.”

“Lho, hilangnya sejak bayi kok baru dicari sekarang? Dari tahun kapan itu kejadiannya?”

“Entahlah Tuan, saya tidak menanyakan begitu jelas, kelihatannya ada yang ditutupi. Mungkin rahasia keluarganya, jadi saya tidak berani mendesak menanyakannya.”

“Semoga saja hasilnya baik.”

“Tuan mau berangkat jam berapa?”

“Pastinya sebelum jam sebelas. Kok Rizki belum datang juga ya?”

“Tadi sudah dipesan oleh Tuan bukan? Nanti kan segera datang kalau sudah waktunya.”

“Aku siap-siap dulu saja.”

Takut kelamaan, pak Hasbi segera bersiap-siap, soalnya dia kebagian memandikan pengantin prianya.

Baru selesai mengenakan celana setelan jasnya, ponselnya berdering.

“Kakek?”

“Ya, Dewi?”

“Kakek jangan lupa ya, nanti memandikan calon pengantin pria lhoh. Tempatnya sama sih, di rumah Dewi, tapi Dewi duluan, baru Satria.”

“Iya, kakek tidak lupa. Ini juga baru ganti baju. Tinggal menunggu Rizki, dia belum datang.”

“Kalau begitu saya suruhan man Tangkil saja untuk menjemput Kakek.”

“Jangan, nanti merepotkan, di sini kan banyak pekerjaan.”

“Ada beberapa mobil di rumah Kek, Kakek jangan khawatir. Tungguin ya,” kata Dewi yang tanpa menunggu jawaban pak Hasbi, langsung menutupnya.

“Ah, ya sudah … mau bagaimana lagi. Rizki juga belum pulang sampai sekarang. Lama-lama anak itu menjengkelkan."

***

Acara siraman sudah selesai. Tujuh orang wanita yang dianggap ‘sesepuh’, termasuk Saraswati dan Adisoma, memandikan pengantin wanita. Mereka berjumlah tujuh orang. Memang harus begitu adat yang harus dilakukan. Setiap guyuran air yang disiapkan dalam jambangan penuh wangi bunga, berisi doa-doa terbaik yang diucapkan lirih oleh para wanita yang memandikan. Adisoma dan Saraswati mendapat giliran terakhir, yang kemudian mengambil sebuah kendi berisi air, yang kucuran airnya dipergunakan sang pengantin wanita untuk berwudhu. Kemudian kendi itu harus dipecahkan oleh Adisoma bersama-sama istrinya.

"TIDAK MEMECAHKAN KENDI TAPI MEMECAHKAN PAMORNYA ANAKKU." Itu yang diucapkan berdua, lalu membanting kendi tersebut bersama-sama sehingga pecah berkeping-keping.

Itu adalah tradisi Jawa yang masih sering digunakan. Demikian pula yang terjadi pada calon pengantin pria. Kalau pengantin putri dimandikan oleh para sesepuh putri, untuk pengantin pria yang memandikan juga para sesepuh pria, dengan adat yang sama.

***

Acara siraman sudah selesai, kepada para tamu undangan, disuguhkan makan siang dengan nasi tumpang dengan lauk yang beraneka macam.

Ketika sedang menyendok makanannya, pak Hasbi belihat Rizki datang bersama seorang gadis cantik.

Pak Hasbi segera melambaikan tangannya ke arah Rizki dengan perasaan kesal.

“Mengapa tidak segera pulang? Bukankah bapak suruh kamu mengantarkan bapak kemari sebelum jam sebelas siang?”

“Tadi saya harus menjemput Citra dulu.”

“Siapa Citra?”

“Dia,”  jawab Rizki sambil menunjuk ke arah Citra.

“Siapa dia?”

“Teman.”

“Mengapa kamu lebih mementingkan teman kamu daripada ayahmu sendiri?” tegur pak Hasbi.

“Justru karena dia orang lain, saya dahulukan dia,” jawab Rizki enteng.

Listyo yang kebetulan ada di dekat mereka langsung nimbrung.

“Yang bener adalah mendahulukan orang tua, Rizki.”

Rizki terkejut ada pak dosen di dekatnya ternyata. Ia langsung membungkukkan badannya dan mengulurkan tangannya.

“Ada pa Listyo. Maaf Pak.”

“Aku hanya mengingatkan, lain kali dahulukan orang tua. Bukan orang lain, walaupun itu pacar kamu.”

Citra yang berdiri di belakang Rizki menunduk tersipu, tapi pak Hasbi langsung menatap tajam padanya.

“Kamu pacar Rizki?”

Citra mengulurkan tangan, tapi tidak menjawab.

“Teman dekat kok Pak,” Rizki yang menjawab.

“Ayo ajak temanmu masuk, lagi pada makan tuh,” kata Listyo.

Tapi ketika mau pulang, pak Hasbi tidak menemukan lagi Rizki ada di sana. Listyo lah yang mengantarkannya.

***

Sesampai di rumah, pak Hasbi tidak menemukan simbok di rumah. Pintunya dikunci. Apalagi Rizki. Pak Hasbi mengira Rizki masih mengantarkan temannya. Ada perasaan tak senang ketika melihat gadis bernama Citra itu. Sebagai orang tua, pak Hasbi melihat hal yang tidak baik pada mata Citra.

“Aku harus mengingatkannya," gumamnya.

Pak Hasbi duduk di teras, dan melihat simbok memasuki halaman.

“Dari mana Mbok?”

“Dari melihat sepeda Tuan, ternyata anak perempuan itu bisa menambalnya, saya heran.”

“Lalu mana sepedanya?”

“Saya tadi hanya ingin melihat saja, benarkah dia bisa, ternyata sudah selesai. Tapi saya tidak membawa uang, maksudnya mau pulang ambil uang dulu, Tuan.”

“Berapa?”

“Dia tidak bilang berapa.”

“Beri ini saja, aku mengantongi uang nih.”

“Nanti tidak ada kembaliannya, Tuan.”

“Berikan semua, tidak usah diminta kembaliannya.”

“Baiklah, Tuan, saya kembali dulu.”

“Eeh, buka dulu pintunya, aku nggak bisa masuk,” teriak pak Hasbi ketika simbok langsung mau pergi.

“Eh, iya. Maaf Tuan,” katanya sambil kembali untuk membuka pintu bagi tuannya.

***

Simbok bergegas kembali ke bengkel si genduk yang luar biasa itu, dengan membawa lembaran uang yang lumayan banyaknya, yang diberikan oleh sang tuan yang baik hati.

Tetapi sesampainya di sana, ia melihat si genduk sedang menangisi seorang laki-laki yang terbaring diam di tanah.

***

Besok lagi ya.

 

28 comments:

  1. Alhamdulillah eLTeeLKa_05 sdh tayang.
    Terima kasih Bu Tien.
    Semoga sehat selalu dan selalu sehat.
    Aaamiin yaa Robbal'alamiin 🀲

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  3. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  4. πŸ„πŸ‚πŸ„πŸ‚πŸ„πŸ‚πŸ„πŸ‚
    Alhamdulillah πŸ™πŸ’πŸ¦‹
    Cerbung eLTe'eLKa_05
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien dan
    keluarga sehat terus,
    banyak berkah dan
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🀲.Salam seroja 😍
    πŸ„πŸ‚πŸ„πŸ‚πŸ„πŸ‚πŸ„πŸ‚

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat.....

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~05 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🀲

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat selalu dari mBantul

    ReplyDelete
  8. Terima ksih bunda cerbungnya..slmt mlm dan slmt istrht..πŸ™πŸ₯°πŸŒΉ

    ReplyDelete
  9. Matur Suwun Bu Tien ….🀝 Misnah dah tayang ….

    Sehat sll Ibu, Salam Taklim kagem Pak Tom

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 05 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 05. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  12. Makasih Bunda tayangannya
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah..... terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  15. Selamat Malam Bunda Tien...
    Terima kasih sudah hadir ..Salam sehat

    ReplyDelete
  16. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 05 " sampun tayang... semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai.

    ReplyDelete
  17. Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..05...sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Rizki keterlaluan, kakek nya menasehati, malah gantian dia yang menasehati.

    Kasihan Misdi begitu pulang, sampai rumah... tepar, diam tdk bergerak. Semoga tdk terjadi apa apa.

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan pak Tom widayat sehat walafiat

    ReplyDelete
  19. Pak Misdi terbaring?
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, sekarang Misnah yg baik,terimakasih Bu Tien semoga tetap sehat semangat,bahagia bersama suami tercinta...

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matur nuwun Bunda Tien.
    Semoga Bunda dan keluarga selalu sehat dan bahagia, aamiin yra 🀲

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    Kecapean semua ya pak Misdi, hati & raganya, kl tahu itulah ayahnya piye ya Rizky 🀭

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillaah, matursuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya dan bahagia selaluπŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 05

  LANGIT TAK LAGI KELAM  05 (Tien Kumalasari)   Misdi mengucek matanya, lalu duduk dengan termangu. Ia tak sadar tadi tidur di mana. Ada ata...