Saturday, August 30, 2025

MAWAR HITAM 54

 MAWAR HITAM  54

(Tien Kumalasari)

 

Mbok Manis meremas tangan anaknya.

“Sinah, jangan berkata begitu. Kamu akan sembuh, kalau kamu meninggal, simbok tak punya siapa-siapa lagi.”

“Aku hanya anak yang tak berguna.”

“Sinah … sadarlah, simbok menyayangi kamu.”

“Aku bukan Sinah. Namaku Mawar, kamu belum mengerti ya?” walau terdengar lirih dan lemah, tapi perkataannya masih terasa menyentak.

“Sinah … ,” Mbok manis meletakkan tangan Sinah dipipinya yang basah, tapi Sinah melepaskannya.

“Sudah aku katakan kalau aku bukan Sinah. Aku Mawar, pemilik rumah makan yang cantik dan mempesona. Jangan membuatku malu, lebih baik pergilah kalian,” suara masih lemah, tapi ucapannya sangat menyakitkan. Hati mbok Manis serasa dirajang dengan ribuan pisau.

“Kamu boleh menganggap dirimu pemilik perusahaan apa saja, tapi kamu tetap Sinah. Sinah anaknya mbok Manis,” sekarang mbok Manis menangis lebih keras.

“Bikin malu saja, seorang yang digandrungi banyak lelaki, punya seorang ibu yang harus aku panggil simbok, dan dia adalah seorang abdi, pembantu, pesuruh, gedibal. Lebih baik kalian pergi saja,” katanya sambil melambaikan tangannya dengan lemah, sebagai isyarat agar simboknya dan mbok Randu segera pergi.

“Kamu tidak boleh berkata begitu Sinah, memohonlah ampun kepada Allah, kamu berdosa besar karena telah menyakiti simbokmu,” kata mbok Randu dengan suara bergetar. Walau tidak bisa menangis, tapi mbok Randu merasa sakit juga mendengar perkataan Sinah.

“Ini lagi … Sinah … Sinah … Sinah, Aku bukan Sinah, aku adalah Mawar.”

“Tidak peduli kamu Mawar atau melati, tapi kamu terlahir dari rahim simbokmu ini dengan nama Sinah,” kata mbok Randu tandas.

“Lebih baik kalian pergi, Sinah sudah tidak ada, yang ada Mawar … Mawar … hanya Mawar,” bisiknya lemah lalu ia memejamkan matanya.

Mbok Manis menahan tangis yang masih ingin berlanjut, sehingga napasnya terengah-engah.

“Bawa aku keluar … bawa aku keluar ….”

Mbok Randu memapah sahabatnya dengan air mata berlinang. Sebelum membalikkan badannya dia menoleh ke arah Sinah, berkata lebih keras.

“Anak durhaka!”

Keduanya keluar kamar, meninggalkan tubuh terbujur lemah dengan perasaan entah bagaimana, tapi seperti tak peduli, karena tak ada reaksi apapun ketika ia mendengar umpatan mbok Randu.

“Aku bilang apa … aku bilang apa …”

Suara mbok Manis tersendat. Mbok Randu hanya diam, sambil merangkul sahabatnya yang berjalan sempoyongan. Ia tahu sang sahabat sakit, bukan hanya raganya, tapi juga jiwanya. Teramat sakit ketika seorang anak, apalagi anak satu-satunya, bersikap tak manusiawi kepada biyungnya. Pernah sekali disakiti, masih mau mencoba mendekati untuk kedua kali, lalu kembali disakiti seperti dulu. Dalam tubuh lemah dan sakit, dalam suara yang tak lagi mampu berteriak, ucapannya masih setajam pisau, yang mampu mencabik-cabik perasaan sang ibu.

Mbok Randu yang tak memiliki anak, tetap saja menangis mendengar umpatan sekejam itu.

***

Adisoma yang datang hari itu, merasa kesal mendengar cerita mbok Randu tentang Sinah yang berkali-kali menyakiti simboknya.

“Sikapku dulu, ketika memecat Sinah, ternyata memang sudah semestinya. Sinah bukan perempuan baik-baik, dan sekarang terbukti kan?”

“Iya Kangmas, aku juga heran ada anak tidak memiliki kasih sayang kepada orang tuanya.”

“Katakan kepada mbok Manis, tidak usah memikirkan anaknya. Kita ini keluarganya, ya kan Diajeng, dia tidak boleh merasa kehilangan. Barang busuk sudah semestinya dibuang. Barang rusak, apa masih ada gunanya? Kalau bisa diperbaiki, baguslah, tapi kalau tidak?” kata Adisoma berapi-api.

“Benar, Kangmas, nanti aku sendiri yang akan bilang pada mbok Manis, bahwa kita adalah keluarga. Dia tak pantas merasa kehilangan.”

“sekarang bagaimana dengan Dewi?”

“Baik baik saja, sekarang belum pulang. Biasanya dia mampir dulu ke rumah pak Hasbi. Kangmas jangan marah tentang hal itu. Dewi punya perasaan yang halus. Dia merasa kasihan pada pak Hasbi, dan ingin mengobati kesepiannya dengan selalu memperhatikan. Dia merasa menemukan seorang kakek.”

“Iya, aku tahu. Besok aku berencana akan menemuinya, bagaimanapun aku pernah merasa bersalah, membuatnya harus masuk rumah sakit.”

“Bagus sekali, Kangmas, besok kita kesana agak siang, kalau bisa setelah Dewi pulang kuliah.”

“Nanti Diajeng beri tahu dia tentang rencana kita ini, agar dia tidak langsung ke sana, sehingga kita bisa berangkat bersama-sama. Lalu kalau keadaan membaik, aku akan mengajak Diajeng pulang ke Solo.”

“Baiklah, nanti kalau semuanya sudah membaik. Aku masih prihatin tentang sakitnya mbok Manis.”

“Dia tidak cukup minum obat. Lebih baik bawa saja ke rumah sakit, barangkali ia juga butuh psikiater. Bicarakan dengan dokternya.”

“Nanti biar Dewi mengurusnya, aku tidak begitu memahami tentang penyakit sehingga sulit kalau harus berbicara dengan dokternya.”

“Terserah Diajeng saja, yang penting dia segera mendapat penanganan.”

***

Hari itu di rumah pak Hasbi kedatangan beberapa tamu. Mereka adalah ayah dan ibunda dari Dewi yang memerlukan datang untuk meminta maaf. Pak Hasbi tampak sungkan mendengar permintaan maaf itu.

“Mengapa harus meminta maaf. Semuanya sudah berlalu.”

“Saya merasa bersalah telah membuat Bapak harus masuk rumah sakit.”

“Semuanya terjadi karena salah paham. Jangan lagi dipikirkan. Lagipula, dengan dirawat waktu itu, dokter juga mengobati penyakit ‘lupa’ saya. Saya yang tadinya merasa bahwa Dewi adalah Bening cucu saya, dan menganggap dia belum meninggal, kemudian saya jadi teringat dan sadar, bahwa Bening memang sudah tak ada lagi.”

“Tapi Kakek kemudian melupakan aku,” kata Dewi dengan nada merajuk, sambil bergayut dilengan pak Hasbi. Adisoma dan istrinya terharu melihat keakraban mereka. Adisoma tak lagi merasa cemburu, atau merasa kehilangan Dewi. Dewi masih miliknya.

Pak Hasbi tertawa.

“Jangan marah, aku kan sekarang sudah ingat, kamu gadis yang aku tolong saat terluka di pinggir jalan, lalu aku menganggap kamu Bening. Aku sudah pikun.”

“Pikun sebentar, tidak apa-apa, sekarang Kakek sudah ingat siapa aku. Lagipula kalau aku tidak ditolong Kakek, entah bagaimana nasibku. Kakek adalah penyelamatku. Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu harus ingat itu.”

“Aku sekarang mengerti. Itu sebabnya aku datang kemari,” kata Adisoma yang diamini istrinya.

“Dan tentunya dengan rasa terima kasih yang sangat besar,” sambung Saraswati.

“Sudah … sudah, lupakan saja, aku malah berterima kasih karena menemukan cucu yang manja seperti dia ini, nanti kalau dia menikah, aku yang akan membiayai pernikahannya.” katanya sambil mengelus kepala Dewi.

“Jangan terlalu merepotkan, pak Hasbi sudah sepuh, masa harus memikirkan hal sekecil itu.”

“Saya tahu keluarga Adisoma yang terhormat memiliki segalanya, tapi saya punya harta yang banyak. Kelak semuanya adalah milik Dewi.”

“Kakek, kalau Kakek kelebihan harta, lebih baik disumbangkan ke yayasan yatim piatu, atau ke panti jompo, atau untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Itu lebih mulia bukan?” sambung Dewi.

“Ah ya, bagus sekali usul kamu. Kalau senggang kita akan bicarakan semua ini ya.”

Dewi mengangguk. Adisoma dan istrinya saling pandang dengan penuh haru. Mereka mendapat banyak pelajaran dari pertemuan Dewi dan pak Hasbi, juga semua pengalaman yang dialami Dewi sejak kepergiannya dari rumah. Beramal itu adalah mulia, dan menenteramkan jiwa. Dewi pernah melakukannya dengan menjual semua perhiasannya, demi mendirikan sekolah di sebuah perkampungan.

***

Berhari hari berlalu, Andira selalu saja membeli rujak dari tukang rujak yang dibelinya beberapa hari yang lalu. Terkadang dia membelinya dengan diam-diam, karena Andra selalu menegurnya, dan mengkhawatirkan tentang Andira yang kemungkinan keracunan.

Hingga pada suatu hari, Andira benar-benar muntah-muntah lagi. Andra semakin yakin kalau istrinya keracunan rujak.

“Nanti sore kita ke dokter.”

“Nggak mau, aku ini hanya masuk angin.”

“Sebelumnya kamu baik-baik saja, setelah kamu makan rujak itu lalu kamu seperti orang ketagihan, dan sering muntah.”

“Tapi aku hanya pengin muntah.”

“Jangan bandel. Kalau aku minta kamu ke dokter, ya harus ke dokter. Seorang istri harus patuh kepada suami.”

“Andira merengut. Tapi ia kemudian menggelendot di tubuh suaminya. Siang hari itu Andra melanjutkan pembicaraannya dengan Ryan, dan langsung mencari celah yang bagus untuk penyediaan barang bagi keperluan Ryan. Ia baru saja datang dan duduk sebelum mandi karena udara terasa gerah.

“Biar aku mandi dulu, tubuhku berkeringat. Nggak risih kamu?”

“Nggak usah mandi Mas, aku suka bau keringatmu.”

“Apa? Akhir-akhir ini kamu aneh sekali. Sudah, aku mau mandi dulu, setelah ini siap-siap ke dokter.”

“Sebentar Mas, keringat kamu tiba-tiba baunya enak sih Mas?”

“Jangan ngaco, mana ada keringat baunya enak. Sudahlah, kamu ini ada-ada saja.”

“Ya sudah, Mas mandi sana, tapi bajunya dilepas di sini.”

“Apa?”

“Aku masih suka mencium bau keringatmu.”

Andra menuruti kemauan istrinya dengan perasaan heran, tapi sedikit kesal. Ia melepas bajunya, lalu masuk ke kamar untuk mandi.

Andira merebahkan tubuhnya di sofa, sambil mendekap baju bekas dipakai suaminya. Entah mengapa, menikmati bau keringat tiba-tiba terasa nikmat.

“Andira, apa yang kamu lakukan?”

Andira terkejut. Tiba-tiba ibunya muncul  bersama simbok, dan langsung menghampirinya. Andira duduk sambil masih mendekap baju suaminya.

“Kenapa kamu tidur di sofa? Kamu sakit?”

“Tidak, sedang menunggu mas Andra mandi.”

“Kenapa baju itu? Baju kotor kan? Bau ihh!” kata sang ibu.

Andira tertawa, malah meletakkan baju itu diwajahnya, dan menghisapnya.

“Andira suka bau keringat mas Andra,” katanya enteng, tanpa mau meletakkan bajunya.

“Ya ampun, sebegitu cintanya sama suami, sampai keringatnya saja kamu suka.”

“Namanya juga suami. Itu simbok bawa apa?”

“Makanan, untuk makan malam kamu, simbok sesiang ini masak buat kamu.”

“Iya Nyonya, ini masakan untuk diet Nyonya, sayur rebus, dan buah-buahan. Yang ini rendang, untuk Tuan Andra.”

“Aku tuh nggak usah diet sudah kurus Mbok. Aku kan sedang belajar hidup sederhana.Tapi nggak apa-apa, terima kasih sudah dikirimi.”

“Andira, besok kalau bapak sama ibu sudah pulang ke Jakarta, biar simbok melayani kamu di sini.”

“Nggak usah lah Bu, biar simbok di rumah sana saja. Kalau di sini, Andira tidak akan kuat membayar gajinya.”

“Andira.”

“Benar Bu, uang Andira dan mas Andra sedang dipergunakan untuk menyiapkan barang-barang yang akan dijual.”

“Kalian mau berdagang?”

“Semacam itulah, pokoknya bisa dapat uang.”

“Dengar Andira, kalau simbok di sini, biar nanti ibu yang membayar.”

“Begitukah? Kalau begitu aku mau,” kata Andira sambil tersenyum.

“Kecuali itu, ibu datang kemari itu mau mengatakan kepada kalian, bahwa ibu akan melanjutkan pembicaraan dengan dokter yang akan memeriksa kamu dan Andra. Jangan bilang tidak mampu membayar, semua itu nanti urusan ibu.”

“Ada Ibu, rupanya, dan Simbok.” tiba-tiba Andra yang sudah selesai mandi duduk diantara mereka.

“Ini lho Ndra, ibu ingin mengatakan tentang dokter yang akan memeriksa kalian dulu itu. Ibu akan menghubunginya lagi, supaya kalian segera diperiksa. Masalah biaya jangan dipikirkan, itu urusan bapak sama ibu.”

“Mas, jangan membantah, ini agar kita segera punya anak. Usaha itu tidak salah kan, alhamdulillah ada yang membantu,” sergah Andira yang melihat suaminya seperti ingin menolaknya, sehingga akhirnya Andra diam saja.

“Nanti sore kami mau ke dokter Bu.”

“Kamu sakit?”

“Bukan, Andira keracunan.”

“Keracunan? Ya ampun, kalau begitu ibu antar sekalian saja ke dokter. Keracunan apa sih?”

“Keracunan rujak, Bu. Hampir setiap hari makan rujak, habis itu muntah-muntah.”

“Kalau sudah tahu beracun, mengapa nekat dimakan? Jangan makan sembarangan Andira, penyakit ada dimana-mana.”

Andira tak menjawab, percuma saja menjawab, suaminya tetap akan menuduh rujak kesukaannya itu beracun.

“Nyonya, kalau saya boleh bicara, jangan-jangan Nyonya Andira hamil.”

“Apa?” teriakan serentak segera terdengar.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

Friday, August 29, 2025

MAWAR HITAM 53

 MAWAR HITAM   53

(Tien Kumalasari)

 

Andra heran. Seorang Andira, putri konglomerat, makan sesuatu di pinggir jalan dengan kursi plastik pemilik tukang rujak? Tampak nikmat ketika dia menyendok dan memasukkan rujak ke mulutnya. Memang benar sih, dia sudah bersedia hidup sederhana bersamanya. Tapi tiba-tiba makan rujak ditepi jalan?

Andra bergegas mendekat. Andira seperti tidak melihat kedatangan sang suami. Ia asyik mengunyah buah-buahan yang sudah diuleg halus dibumbuhi sambal dengan gula Jawa yang pedas.

Ketika Andra berdiri di belakangya, Andira sedang mengulurkan piringnya kepada si tukang rujak.

“Pak, tambahin sambalnya dong. Kurang pedas nih." Dan tukang rujak dengan senang hati menyendok sambal yang sudah jadi, dibubuhkan ke piring yang diulurkan Andira. Kemudian dilahapnya dengan nikmat.

Lalu si tukang yang menatap Andra, mengira Andra sedang menunggu giliran dilayani.

“Mas juga mau rujak?” tanyanya.

Andira langsung menoleh, ia tak tahu ada orang lain selain dirinya. Lalu dia terkejut melihat suaminya yang ternyata berdiri di belakangnya.

“Mas, ternyata Mas? Kebetulan. Mas bawa uang tidak? Aku jajan rujak, ternyata nggak bawa uang nih,” katanya enteng.

Apa? Tiba-tiba jajan rujak dan ternyata tidak bawa uang? Andra merasa aneh akan sikap istrinya hari ini. Tiba-tiba marah, tiba-tiba pergi begitu saja, tiba-tiba ditemukan sedang makan rujak dipinggir jalan, dan tiba-tiba sudah makan ternyata tidak bawa uang. Bagaimana kalau dia tidak datang untuk ‘menyelamatkannya’ dari kemarahan tukang rujak karena pembeli tidak bisa membayar?

“Mas, nggak bawa ya?”

Tukang rujak menatap keduanya dengan heran. Tampaknya mereka suami istri. Andra merogoh saku bajunya, lalu mengulurkan selembar uang kepada tukang rujak.

“Wah, kembaliannya belum ada Pak, pakai uang kecil saja.”

“Aku dibungkusin satu, buat di rumah ya?” kata Andira sambil mengembalikan piringnya yang sudah kosong.

“Baik Bu, tapi tetap saja kembaliannya belum ada.”

“Ambil saja kembaliannya,” kata Andra sambil menunggu tukang rujak membungkus pesanan istrinya, lalu menggandeng tangannya untuk pulang.

“Seger rujaknya, enak banget.” lalu Andira menoleh kepada tukang rujak.

“Pak … pak, besok lewat sini lagi ya?”

“Baik bu!” jawab tukang rujak berteriak, karena mereka telah berjalan agak jauh.

***

Andira duduk di kursi teras sambil tersenyum-senyum. Sinar mata kesal tak lagi tampak. Bungkusan rujak diletakkan di meja, lalu ia menyandarkan tubuhnya dengan santai, seperti tak berdosa setelah membuat suaminya kebingungan.

“Ada apa denganmu?” tanya Andra yang duduk di depannya sambil mengerutkan kening.

“Apa maksudmu Mas? Makan rujak, apakah aneh?”

“Yang aneh adalah tiba-tiba kamu seperti marah padaku, lalu pergi keluar tanpa pamit, lalu aku temukan di depan tukang rujak, tidak membawa uang pula.”

Andira terkekeh lucu.

“Iya, aku bodoh sekali, tiba-tiba ketemu tukang rujak dorongan, lalu aku hentikan, trus aku pinjam kursinya untuk duduk, trus aku pesan sepiring. Segerrrr… lalu tiba-tiba Mas datang menyusul. Aku baru sadar kalau nggak bawa uang. Untunglah Mas datang, selamatlah aku dari omelan tukang rujak karena tidak bisa membayar,” kata Andira dengan celoteh seenaknya, sambil masih terus menyandarkan tubuhnya.

“Kamu tidak malu makan dipinggir jalan begitu?”

“Nggak malu, rasanya hanya kepengin, lalu puas setelah makan. Aku masukkan dulu ini di kulkas ya Mas, nanti dimakan lagi,” katanya sambil berdiri, dan meninggalkan suaminya begitu saja.

Andra geleng-geleng kepala, tapi dia tidak menyusulnya. Ia hanya merasa aneh atas sikap sang istri siang hari itu.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman. Andra mengira, mertuanya yang datang, ternyata bukan. Seorang laki-laki turun dari mobil, lalu mengangguk sopan ketika melihat Andra berdiri di teras.

“Selamat siang, saya Ryan, teman Andira,” katanya memperkenalkan diri. Andra tersenyum, lalu keduanya berjabat tangan.

“Silakan masuk, atau duduk di teras saja?”

“Di teras saja, udaranya sejuk.”

Andra tersenyum, kalau masuk memang agak panas, karena rumah itu tidak ada AC nya seperti rumah sebelumnya.

“Andira sedang ke belakang, kami menunggu Anda sejak pagi.”

“Maaf, mobil saya rewel, tadi harus ke bengkel.”

“Oh, pantesan.”

“Ponsel saya juga mati, baru di cas.”

“Andira … temanmu datang,” kata Andra berteriak memanggil istrinya.

“Saya senang Andira menawarkan kerja sama. Dia sudah cerita banyak, sepertinya saya setuju kalau pengadaan barang akan saya serahkan kemari.”

“Terima kasih banyak. Kemarin saya sedang mencari-cari juga usaha lain, seandainya Anda tidak setuju. Tapi syukurlah, nanti kita bicarakan lebih lanjut setelah ada Andira. Eh, kok lama sekali, saya lihat ke belakang dulu ya, maaf.”

Andra bergegas masuk, Andira tidak kelihatan sedang di dapur atau di ruang makan, barangkali ia sudah tahu kalau temannya datang, lalu membuatkan minuman. Tapi tak ada di sana. Andra masuk ke kamar, juga tidak kelihatan. Tapi ia mendengar sesuatu yang aneh dari kamar mandi.

Andra mendekati kamar mandi.

“Andira, kamu ngapain?”

“Hooeeekkk ….”

Itu suara orang muntah-muntah. Andira sakit? Andra segera mendorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak terkunci.

“Andira, kamu mengapa?”

“Rujaknya keluar semua,” katanya sambil membersihkan mulut.

Andra merangkulnya dan membawanya keluar.

“Kamu makan sembarangan. Orang jualan begitu belum tentu bersih, nyatanya kamu sakit. Pasti keracunan. Yang dikulkas akan aku buang.”

“Jangaaaan,” katanya sambil menjatuhkan dirinya di kasur.

“Siapa tahu rujak itu yang membuatmu sakit.”

“Aku tidak sakit, aku merasa lega, sebentar lagi aku makan lagi rujaknya."¹

“Andira!! Ternyata kamu ngeyel ya?”

“Tadi aku mendengar kamu berteriak. Ryan sudah datang? Aku ingin menyambutnya, tapi tiba-tiba aku merasa mual, lalu aku lari ke kamar mandi dan muntah-muntah.”

“Jangan makan rujaknya lagi.”

“Mas, tolong jangan dibuang, aku masih ingin makan lagi.”

“Tidak boleh!”

”Maaas, aku nangis nih.”

“Andira!”

“Tolong minyak kayu putih Mas, aku gosok sebentar perutku, lalu aku keluar. Kita bicara tentang usaha kan?”

Andra sedikit kesal, tapi ia juga khawatir. Diambilnya minyak kayu putih, lalu digosokkan ke perut istrinya.

“Aku baik-baik saja. Sudah seger, tapi memang agak pusing.”

“Nanti sore kita ke dokter.”

“Nggak usah Mas, cuma begitu saja.”

“Kamu keracunan, tahu,” katanya sambil beranjak keluar kamar.

“Aku buatkan minum, lalu aku keluar Mas,” kata Andira yang kemudian bangkit.

***

Andra dan Ryan sudah bicara tentang garis besar kerja samanya, sambil menunggu Andira keluar. Andra mengira Andira sedang membuatkan minum, seperti janjinya. Tapi karena agak lama, Andra kemudian menyusulnya. Tapi apa yang dilihatnya? Andira sedang melahap rujak yang tadi dimasukkannya ke dalam kulkas.

“Andira!”

“Sebentar Mas, sudah aku tuang minumnya, tinggal membawanya ke depan,” katanya enteng.

“Kenapa makan rujaknya dulu Andira, ditungguin tuh.”

“Sebentar Mas, takutnya nanti benar-benar dibuang oleh Mas,” enak sekali Andira mengucapkannya, membuat Andra kemudian menjewer kupingnya.

“Ya ampun Maaas, sakit, tahu!”

“Cepat bawa minumnya keluar, kasihan teman kamu tuh.”

“Iya, ini sudah selesai.”

“Awas saja kalau kamu nanti muntah-muntah lagi,” omel Andra sambil  mendahului keluar.

Andira berdiri, meraih baki berisi minuman yang sudah disiapkan, lalu keluar untuk menemui tamunya.

***

“Kakek ….”

Pak Hasbi terkejut ketika tiba-tiba Dewi muncul di depannya, sementara simbok baru menyiapkan makan siang di belakang.

“Kamu menepati janjimu?”

“Tentu saja Kek, kan aku cucunya Kakek?”

“Tapi ini belum saatnya kamu pulang kan?”

“Siang ini nggak ada kelas, jadi bisa pulang awal. Kakek sudah makan?”

“Simbok baru menyiapkan.”

“Bagus, nanti Dewi suapin ya?”

“Nggak mau, aku kan sudah tidak sakit, mau makan sendiri saja. Kalau kamu mau, temani saja kakek makan.”

“Baiklah, kebetulan aku lapar Kek. Memangnya simbok masak apa? Baunya sedap.”

“Tadi aku minta perkedel dimasak semur.”

“Itu seperti kesukaan ibuku ….”

“Benarkah?”

“Iya, karenanya aku juga suka. Kakek sudah benar-benar sehat? Tidak pusing-pusing lagi?”

“Tidak, aku merasa sehat. Jangan khawatir.”

”Minggu depan, ayahku akan datang kemari, untuk meminta maaf.”

“Mengapa meminta maaf, semuanya sudah berlalu. Tapi bagus sekali kalau bisa berkenalan dengan ayahmu dan keluargamu.”

“Nanti Kakek akan mengenalnya.”

“Ceritakan tentang keluarga kamu, supaya aku bisa lebih mengenalnya nanti kalau bertemu. Saudaramu ada berapa?”

“Aku anak tunggal.”

“Oh ya? Aneh, kamu anak tunggal, tapi tidak manja.”

“Masa? Padahal aku manja sama Kakek,” kata Dewi sambil bersandar di bahu pak Hasbi. Rupanya Dewi ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar menganggap pak Hasbi sebagai kakeknya, sehingga rasa kesepian yang melanda sang ‘kakek’ terobati.

“Aku senang kalau kamu bermanja-manja pada kakek. Katakan kalau kamu ingin sesuatu.”

“Keinginan Dewi hanya satu, yaitu Kakek selalu bahagia dan tidak merasa kesepian.”

“Kalau ada kamu, kakek akan selalu bahagia. Apakah kamu mau tidur di sini?”

“Aku mau Kek, tapi tidak sekarang. Ibu masih ada di rumahku, nanti kalau ibunda sudah kembali ke Solo, aku mau sering-sering tidur di sini.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar.”

“Ayo sekarang ceritakan semua tentang kamu, karena selama ini aku menganggap kamu adalah Bening.”

“Baiklah, Kakek.”

Dewi menyandarkan kepalanya di bahu pak Hasbi, dan mulai bercerita tentang keluarganya.

***

Siang hari itu, Mbok Manis bersama mbok Randu kembali mengunjungi Sinah di rumah sakit. Mbok Manis merasa belum sehat benar, badannya lemas, karena susah makan. Walau begitu ia ingin melihat keadaan Sinah. Walau kesal dan marah atas sikap Sinah beberapa waktu lalu, tapi bagi seorang ibu, anak adalah sebagian dari jiwanya. Mendengarnya sakit parah saja hatinya sudah seperti diremas-remas.

Tapi seperti dikatakannya semula, ia ingin agar yang lebih dulu masuk adalah mbok Randu. Barangkali rasa tak tahan melihat anaknya menderita, membuatnya sedikit takut. Atau juga khawatir sang anak akan kembali mengusirnya.

Karena mengatakan bahwa mereka adalah orang tua dan keluarga Sinah, maka kemudian dokter itu justru mengajaknya bicara.

“Ibu, saya perlu mengatakan bahwa keadaan bu Sinah tidak baik-baik saja.”

“Apakah sakitnya parah?”

“Kami sedang mempertahankan bayi dalam kandungannya, tapi bu Sinah tidak mau membantu usaha kami. Tampaknya dia memang tak ingin kandungannya diselamatkan. Dia melawan setiap larangan yang dimaksudkan agar bayinya selamat, misalnya jangan banyak bergerak dan sebagainya. Sehingga akhirnya dia kembali perdarahan, dan mohon maaf, akhirnya bu Sinah keguguran.”

“Keterlaluan anak itu,” geram mbok Manis.

“Sekarang ini keadaannya lemah. Kalau ibu ingin menemuinya, silakan.”

Akhirnya mbok Randu memaksa mbok Manis agar ikut bersamanya.

Begitu masuk, mereka melihat wajah pucat Sinah. Tak urung hati mbok Manis merasa seperti diremas-remas. Sinah, darah dagingnya, tampak sangat menderita.

“Sinah … “ sapa mbok Manis, gemetar seperti dulu ketika pertama kali menjenguknya.

Sinah yang membuka matanya, tak tampak segarang biasanya. Kali ini ia tak mampu berteriak. Ia menatap kedua wanita setengah tua yang berdiri di sampingnya, yang salah satunya adalah ibu kandungnya.

“Sinah … “ mbok Manis memegang tangannya, panas seperti bara.

“Aku sudah mau mati, berbahagialah kalian,” katanya lemah.

***

Besok lagi ya.

 

 

Thursday, August 28, 2025

MAWAR HITAM 52

 MAWAR HITAM  52

(Tien Kumalasari)

 

Perawat itu, sepakat dengan kawan-kawannya, beranggapan bahwa pasien pesakitan bernama Sinah adalah orang yang sulit. Kesakitan tapi bisa bicara dengan berteriak. Bicara seenaknya, dan semuanya menunjukkan bahwa Sinah memang orang yang tidak benar.

“Terserah ibu mau membukanya atau tidak, tapi laki-laki yang ibu katakan sebagai suami ibu itu  ternyata bukan suami ibu. Dia tidak mau menandatangani apapun,” kata perawat itu sambil meletakkan surat hasil DNA ke atas meja disampingnya.

“Laki-laki memang begitu. Tidak apa-apa, aku mau diapakan, biar aku tanda tangan sendiri. Tapi aku minta agar anakku ini digugurkan.”

“Nanti ibu bicara kepada yang menangani saja, saya hanya bertugas memberikan surat itu, dan mengatakan bahwa laki-laki yang Ibu maksud bukan suami itu,” katanya sambil berlalu, tak mempedulikan lagi Sinah yang berteriak-teriak marah.

Sinah meraih kertas hasil DNA itu, membukanya perlahan. Antara yakin dan tidak, dia berharap bayi dalam kandungannya adalah anak Andra.

Ia membukanya perlahan, kemudian meremasnya dan membuangnya di lantai.

“Dasar gila, dasar laki-laki pengecut … kurangajar! Aku tahu ini bukan anakmu, tapi aku mau kamu menjadi ayahnya. Aku mau menjadi perempuan terhormat. Aku tidak mau menjadi gembel, menjadi perempuan tanpa derajat. Aku adalah Mawar, yang cantik dan mempesona,” katanya dengan berteriak keras, sehingga membuat polisi penjaga kesal.

“Kamu bisa diam tidak? Apa kamu mau aku sumpal mulutmu agar bisa diam?” hardiknya.

“Memangnya kenapa? Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan. Enak saja kamu bicara. Dengar, aku ini wanita terhormat, aku mau dihargai.”

“Diam! Perempuan penjahat masih mau disebut wanita terhormat.”

”Dasar orang gemblung. Siapa yang penjahat. Pacarku direbut, masa aku tidak boleh marah?”

“Sudah, jangan diladenin lagi, orang dia yang gemblung, nanti kamu ikutan gemblung,” kata temannya yang kemudian menarik tangannya agar menjauh.

“Ya ampuuun, aku tidak mau beginiiii! Bunuh saja anak iniiiii! Aku hanya mau anak Andra, bukan anak orang lain,” teriaknya tanpa henti.

Barangkali karena tertekan, dan kesakitan, Sinah bersikap tak terkendali dia mencopot jarum infus yang menacap di lengannya, lalu berteriak teriak lagi,

“Daraaah… ada daraaah…. daraaahhh,” matanya terbelalak melihat darah mengucur dari bekas tusukan jarum.

Polisi penjaga bergegas memberi tahu perawat. Tapi ketika didekati Sinah malah mengamuk. Ia meluncur turun dari tempat tidur, dan ambruk di lantai.

Perawat berteriak minta tolong temannya karena tak mampu mengangkat tubuh Sinah, yang walau agak lemah tapi mampu meronta.

Sinah digotong kembali ke tempat tidur, tapi darah yang mengucur bukan hanya dari lengannya.

Sinah dilarikan ke ICU untuk penanganan selanjutnya, tapi kaki tangannya di ikat erat dengan pegangan tempat tidur, sehingga dia tak lagi mampu meronta. Walau begitu mulutnya terus saja mengoceh, bahkan mencaci maki entah siapa saja yang mendekat.

***

Sinah tidak mencatatkan dirinya tentang keluarga, karenanya hal-hal yang menyangkut keadaannya dilaporkannya kepada Andra, yang dikiranya masih menjabat di perusahaan sebagai direktur utama dan yang diakuinya sebagai suami, walaupun Andra sudah menolaknya. Namun hari itu pak Sunu tidak ke kantor, jadi yang menerima adalah Tatik, yang kemudian menyampaikannya kepada Satria.

“Ada telpon dari rumah sakit, bahwa ibu Sinah perdarahan, dan keadaannya sangat lemah.”

“Mengapa menelpon kemari?” tanya Satria.

“Mereka mencari pak Andra, tapi pak Sunu tidak ke kantor hari ini.”

“Baiklah, tampaknya dia memang selalu mengatakan bahwa pak Andra adalah keluarganya. Aku tahu harus menghubungi siapa. Terima kasih Tatik.”

“Terima kasih kembali, Pak.”

Satria segera mengabari Dewi, karena ia tahu simboknya Sinah berada di rumah Dewi. Bagaimanapun kesalnya kepada Sinah, tapi ini menyangkut keselamatannya, dan keluarganya pasti harus tahu.

“Aku sedang ada kelas, ada apa?” sahut Dewi yang kemudian minta ijin untuk keluar, karena telpon dari Satria di saat siang adalah hal yang tak biasa.

“Ada berita dari kepolisian, Sinah perdarahan dan keadaannya sangat lemah.”

“Mereka menelpon kamu?”

“Menelpon pak Andra, tapi kan pak Andra tidak ada di kantor?”

“Aku mengabari ke rumah dulu, kasihan mbok Manis.”

***

Saraswati memanggil mbok Randu, karena ragu-ragu untuk mengabarkan berita tentang Sinah yang dberikan Dewi.

“Ada apa Den Ayu?”

“Ada berita, Sinah perdarahan lagi, katanya keadaannya sangat lemah.”

“Waduh, bagaimana mengabarkannya kepada yu Manis ya?”

“Itulah, aku juga bingung. Tapi bagaimanapun Sinah adalah anaknya.”

“Baiklah Den Ayu, saya akan bicara pelan-pelan.”

“Ya Mbok, harus pelan-pelan dan hati-hati. Dia sedang sakit karena Sinah juga.”

Mbok Randu bergegas menuju ke kamar mbok Manis. Dilihatnya mbok Manis sedang terbaring, sambil memejamkan mata. Barangkali dia sedang tidur. Mbok Randu merasa sayang untuk membangunkannya karena mbok Manis sangat susah tidur akhir-akhir ini, jadi dia hanya duduk disampingnya sambil terus menatap iba. Ingin ia segera membangunkannya, agar berita tentang Sinah segera didengarnya. Tapi mbok Randu ragu, tentang bagaimana nanti sikap mbok Manis setelah mendengarnya. Dia sudah menderita sejak menjenguk ketika Sinah baru saja dibawa ke rumah sakit, dan tidak mendapat tanggapan yang menyenangkan. Bagaimana nanti kalau diusir lagi? Tapi kabarnya Sinah keadaannya lemah, apakah dia masih tidak akan mengerti bagaimana menghadapi orang tua?

“Yu  … “ tiba-tiba mbok Manis membuka matanya.

“Eh, sudah bangun Yu?”

“Aku tidak tidur.”

“Tidak tidur?”

“Aku tahu sejak kamu masuk kemari lalu duduk di sampingku. Jangan manawari aku makan, aku sudah kenyang.”

“Tadi hanya bubur dua sendok, masa sudah kenyang?”

“Makanan apapun tidak bisa masuk, jangan paksa aku lagi.”

Mbok Randu diam. Tapi tampaknya mbok Manis menangkap sesuatu dari sikap mbok Randu.

“Apa kamu ingin mengatakan sesuatu Yu?”

“Ada … ada … berita tentang … Sinah.”

“Berita apa lagi?”

“Anakmu … baru saja … den ayu mendapat kabar, anakmu perdarahan lagi, keadaannya lemah,” kata mbok Randu hati-hati.

Mbok Manis seperti tak bereaksi, ia sudah melihat keadaan Sinah, ia tampak tidak sehat, hanya anehnya dia masih bisa bersuara lantang, bahkan mengusirnya dengan kasar.

“Yu, sampeyan tidak apa-apa?”

“Menurutmu aku harus bagaimana lagi?”

“Apa sampeyan tidak ingin melihat keadaannya? Barangkali kedatangan sampeyan bisa menjadikan obat, menumbuhkan kekuatannya.”

“Hubunganku dengan anakku bukan seperti hubungan orang tua dan anak. Aku sendiri tidak tahu. Sinah seperti tidak menganggap aku simboknya. Barangkali ketika lahir dia tidak melihat wajahku sebagai embok yang melahirkannya, sehingga ketika dewasa dia menyepelekan aku,” gumam mbok Manis.

“Yu, masalah sikap Sinah tidak usah dibahas lagi saja, karena justru akan menyakiti hati sampeyan. Sekarang tinggal sampeyan ingin melihat Sinah, atau tidak. Masalah nanti dia masih bisa mengusir, kita pikirkan nanti. Yang penting sebagai orang tua, sampeyan sudah melakukan hal yang terbaik.”

“Jadi menurutmu aku tetap harus ke sana?”

“Sinah tidak punya siapa-siapa.”

“Dia juga tidak butuh siapa-siapa.”

“Tidak Yu, di saat dia didera sakit, dia pasti membutuhkan orang tua.”

“Bagaimana kalau kita ke sana, tapi kamu saja yang menemuinya?”

“Aku?”

“Kamu lihat bagaimana dia, bagaimana sikapnya, bagaimana keadaannya. Aku menunggu kamu di luar, katakan atau tanyakan padanya, apa dia membutuhkan simboknya. Kalau kamu mau, ayo kita berangkat,” kata mbok Manis sambil bangkit perlahan. Sesungguhnya diapun merasa lemah.

***

Andira sedang menemani Andra membuka-buka ponsel. Disampingnya terbentang surat kabar terbaru. Mereka sedang mencari info tentang sebuah pekerjaan yang mungkin bisa mereka jalani.

Hari sudah malam ketika itu.

“Temanku juga belum mengabari ya? Katanya besok akan mengajak kita omong-omong, dia pengusaha di bidang properti, siapa tahu kita bisa menjadi penyedia kebutuhannya," kata Andira.

“Semoga hal baik yang dia bawa. Oh ya, tadi Satria menelpon.”

“Oh ya, ada berita apa lagi?”

“Dari kepolisian menelpon ke kantor, yang menerima Tatik, lalu dia bilang kepada Satria.

“Tentang apa?”

“Mengatakan kalau Sinah perdarahan dan keadaannya lemah.”

Andira menatap suaminya, dengan wajah muram.

“Mengapa mereka menelpon Mas? Ke kantor pula? Tampaknya Sinah tetap menganggap bahwa Mas adalah suaminya.”

“Aku sudah mengatakan bahwa aku bukan suaminya. Hasil test DNA juga tidak mengatakan bahwa bayi itu anakku. Mungkin satu-satunya yang dihubungi adalah kantor, karena Sinah tidak memberi informasi yang lain.”

“Benar juga. Tapi harusnya orang tuanya dikabari kan?”

“Satria sudah mengabari Dewi. Ibunya Sinah kan mengabdi di rumah Dewi.”

“Syukurlah kalau keluarganya sudah tahu.”

Andra tampak menguap.

“Aku kok ngantuk ya.”

“Sama, aku juga ngantuk. Ini sudah malam, besok kita bicara lagi setelah mendapat informasi dari teman yang tadi aku hubungi,” kata Andira.

“Semoga usaha kita adalah sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita. Ayo tidur dulu.”

***

Dirumah Andira, bu Sunu menegur suaminya karena tak pernah absen ke kantor.

“Ibu kan tahu Andra tidak mau lagi kembali bekerja di kantor.”

“Bapak mengatakan, bahwa manager keuangan bisa menjalankan semua tugas yang seharusnya diemban Andra.”

“Benar, tapi dia itu tadinya tidak mau. Susah banget anak itu. Diberi kedudukan menolak. Jadi aku kan harus mendampingi dia terus. Maunya dia begitu. Bukan main dia. Kalau semua orang mengejar kedudukan, dia malah menolaknya.”

“Jadi Bapak akan terus menunggui di sini?”

“Ya tidak, tadi juga kan aku di rumah terus, menemani Ibu.”

“Itu karena aku mengomel terus,” gerutu bu Sunu.

Pak Sunu hanya tertawa melihat sang istri cemberut.

“Aku sudah bilang pada Satria, bahwa aku hanya akan menghabiskan bulan ini, lalu kembali ke Jakarta. Selanjutnya dia yang mewakili aku.”

"Bagaimana keadaan Andra dan Andira?”

"Mereka mengontrak rumah sederhana, aku sudah melihatnya. Biarkan saja, kita akan melihat apakah mereka berhasil meraih apa yang mereka inginkan. Berusaha terlepas dari kebesaran perusahaan milik orang tuanya. Semoga mereka berhasil.”

“Kelak, usaha yang bapak geluti ini bakal menjadi milik mereka juga kan? Susah amat mengatur anak-anak yang keras kepala.”

“Biarkan saja,  memang benar usaha kita itu kelak juga akan kita wariskan pada mereka, tapi mereka ingin bangkit sendiri, dari nol. Kita lihat saja nanti.”

“Semoga mereka berhasil.”

***

Pagi itu Andira merasa malas untuk bangun, berhari-hari memilih usaha apa yang sebaiknya mereka jalankan, belum ketemu juga. Teman Andira bekerja di  bidang properti, hari itu mereka akan ketemu tentang kerja sama yang akan mereka jalankan. Mungkin Andra diminta untuk menjadi penyedia barang, entahlah. Baru nanti mereka ketemu.

Andra masuk ke kamar dan melihat Andira masih meringkuk.

“Andira, kok belum bangun sih, kamu janjian sama teman kamu jam berapa?”

“Pagi …”

“Ini sudah pagi, habis subuh tidur lagi nggak bagus lho, kamu bisa kehilangan pahala.”

“Nggak tahu kenapa, aku ngantuk sekali.”

Tapi Andira memaksa bangun. Ketika dia selesai mandi, Andra sudah menyiapkan teh panas di meja. Andira tersenyum.

“Maaf ya Mas, terpaksa kamu yang buat minum.”

“Jam berapa teman kamu akan datang?”

“Kita tunggu saja, katanya pagi sih. Aku menelpon tapi ponselnya tidak aktif."

Mereka melanjutkan ngeteh dan menyantap cemilan pisang goreng, yang dibeli Andra dari warung seberang.

Tapi sampai siang sang teman tidak juga datang.

“Andira, mana sih, ini sudah siang.”

Entah mengapa, hari itu Andira merasa kesal karena Andra menanyakan temannya terus.

“Ya sabar dong Mas.”

“Kamu telpon dia dong, maunya kerja sama atau apa?”

“Mas kok nggak dengar sih, apa yang tadi aku bilang? Aku sudah menghubungi, tapi dia mematikan ponselnya.”

“Nggak suka aku kerja sama dengan orang yang tidak menepati janji. Batalin saja.”

“Mas kok enak sekali ngomong begitu. Mungkin dia sedang apa, atau ada perlu apa, ditunggu saja kenapa sih.”

“Kelamaan.”

Wajah Andira langsung gelap. Ia berdiri dan langsung keluar dari rumah, menuju ke arah jalan.

“Andira!” teriak Andra memanggil, tapi Andira tak mau berhenti.

Andra masuk ke kamar untuk memakai celana panjang, ia ingin mengejar, tapi sungkan keluar dengan memakai celana pendek.

Setengah berlari dia keluar, mencari ke arah mana sang istri pergi.

“Andira kok aneh sih, tiba-tiba marah, aku kan hanya menanyakan kapan temannya datang? Sejak kapan dia menjadi pemarah?” gumam Andra sambil bergegas keluar rumah.

Ia menoleh kekiri dan ke kanan, mencari ke mana istrinya pergi.

Lalu Andra terbelalak, sebelum perempatan ia melihat istrinya duduk di kursi plastik, dan didepannya, seorang tukang rujak sedang mengulurkan sepiring rujak.

***

Besok lagi ya

 

 

 

Wednesday, August 27, 2025

MAWAR HITAM 51

 MAWAR HITAM  51

(Tien Kumalasari)

 

Bukannya merasa trenyuh melihat wajah simboknya yang pucat dan layu, Sinah justru menatapnya kesal.

“Mengapa tidak segera pergi? Masih sibuk mensyukuri penderitaanku, yang katanya adalah anakmu? Karena aku bukan anak yang patuh? Kamu pasti tertawa kan Mbok? Tangismu itu pura-pura kan Mbok? Sekarang pergilah, dan tak usah menemui aku lagi, selamanya,” kata Sinah, tanpa belas.

Gemetar mbok Manis yang berdiri menjauh dari ranjang anaknya.

“Sin … naahhh … kamu tega .. tega … mengucapkan itu pada simbokmu? Kamu tahu bahwa aku datang karena merindukan kamu, karena ingin menghiburmu, menyadarkanmu, memberi kekuatan padamu?”

“Omong kosong Mbok. Kedatangan simbok tidak membawa pengaruh apa-apa bagiku, justru membuat aku semakin menderita. Pergilah, mengapa masih berdiri di situ? Dan ingat, jangan pernah menemui aku lagi. Aku bukan Sinah, aku adalah Mawar, pengusaha rumah makan terkenal, masa aku punya simbok seorang gembel seperti sampeyan? Bikin malu saja.”

Mbok Manis menjerit sakit. Ia membalikkan tubuhnya, dan hampir terjatuh kalau seorang polisi jaga tidak menangkap tubuhnya lalu menuntunnya keluar.

Diluar, mbok Randu mendekat dan merangkulnya.

“Kok hanya sebentar? Ada apa Yu? Sinah tidak apa-apa kan?”

Mbok Manis tidak menjawab. Dengan lemah ia melangkah, keluar dari sana, tanpa mengucapkan apa-apa. Tangisnya tertahan di tenggorokan, lalu pecah ketika sudah berada di dalam becak yang memang disuruh menunggu.

“Sinah kenapa? Sakit parah? Tidak sadar? Ada apa?” tanya mbok Randu bertubi-tubi, yang tak mampu dijawab oleh mbok Manis yang masih saja terguguk dalam tangis.

Mbok Randu membiarkannya, dengan harapan kalau tangisnya reda, dia akan menceritakan semuanya.

“Pak, kembali ke rumah yang tadi ya,” perintahnya kepada tukang becak yang masih menunggu arahan penumpangnya.

***

Mbok Manis terbaring di kamar, ia tak lagi menangis. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

Mbok Randu yang selalu menungguinya sejak kepulangannya dari rumah sakit, hanya duduk termangu sambil menatap iba sahabatnya. Ia belum mendapat jawaban tentang keadaan Sinah di rumah sakit, sehingga sahabatnya itu seperti orang bingung dan hanya menangis. Parahkah sakit Sinah? Sayangnya dia tidak diperbolehkan masuk. Kalau saja diperbolehkan, pasti ia akan tahu penyebabnya.

“Terkadang dunia terasa begitu kejam,” bisik mbok Manis, sambil masih menerawang ke langit-langit.

“Mengapa Yu? Hidup itu memang beragam, penuh warna. Terkadang terasa seperti membuat kita bahagia, tapI terkadang membuat kita merasakan betapa kejamnya dunia."

“Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan itu.”

“Jangan begitu Yu.”

“Itu benar. Ketika aku remaja, aku hidup diantara keluarga petani yang miskin. Ketika kemudian aku dinikahkan, ternyata suamiku kemudian meninggalkan aku. Ketika aku melahirkan, tak seorangpun peduli. Ketika anakku tumbuh menjadi gadis remaja, dia selalu bertingkah yang tidak membuatku senang. Segala petuah baik, dilewatkan begitu saja. Ketika ia semakin dewasa, ulahnya menggemparkan seluruh kalangan orang-orang kaya. Lalu kejahatan juga dilakukannya, dan sekarang ia harus masuk penjara. Aku adalah simboknya. Coba katakan, mana hal yang membuatku senang?”

“Ini cobaan Yu, sampeyan harus kuat. Sebenarnya bagaimana keadaan Sinah? Parahkah sakitnya? Dokter tidak bisa mengobati?” tanya mbok Randu yang mengira mbok Manis melihat keadaan sakitnya Sinah yang parah.

“Yang parah itu aku Yu.”

“Parah bagaimana? Sampeyan kudu kuat. Kok malah parah. Aku bantu berdoa, aku  bantu menguatkan sampeyan, jangan sampai sampeyan sakit, lahir batin.”

“Hati orang tua mana yang tidak sakit Yu, kalau diusir anaknya dengan semena-mena.”

“Siapa yang mengusir, siapa yang diusir?”

“Yang bicara itu aku, yang merasa sakit itu aku.”

“Maksudnya … Sinah mengusir sampeyan?”

Mbok Manis mengangguk, menahan tangis.

“Sampeyan kan baru saja masuk, apa datang-datang sampeyan memarahi dia? Aku kan sudah bilang jangan sampai sampeyan marah-marah?”

“Jangankan sempat marah, bicarapun belum. Aku hanya menyapa, memanggil namanya. Waktu itu dia entah tidur atau apa, tapi matanya terpejam, tampak seperti menahan sakit. Aku panggil namanya dengan lembut. Tapi begitu matanya terbuka dan melihat aku, aku langsung disuruhnya pergi dengan kasar.”

“Sinah? Mengusir simboknya sendiri?”

“Bukan hanya itu, dia menuduh aku mensyukuri penderitaannya, aku tidak sempat mengatakan apa-apa, dia mengusirku berkali-kali dengan kasar, dan melarang jangan sampai aku menemui dia selamanya.”

“Ya ampun, Gusti Allah, kok Sinah tega berbuat begitu kepada perempuan yang telah melahirkan dan membesarkannya? Dosa besar itu Yu,” kata mbok Randu dengan wajah sedih, sambil menepuk-nepuk lengan sahabatnya.

“Aku merasa sakit. Bukan karena diusir, tapi karena memiliki anak seperti dia.”

“Yu, sebaiknya sampeyan tidak usah terlalu memikirkannya. Berdoa saja agar Allah menunjukkan jalan yang benar bagi dia, menyadarkannya dari langkah yang salah.”

“Aku sebenarnya juga kangen. Bertahun tidak ketemu, dan ingin menumpahkan rasa kangen itu, tapi dia salah terima, mengira aku mentertawakannya. Mana ada seorang ibu tertawa melihat penderitaan anaknya?”

“Sinah benar-benar tidak bisa melakukan hal baik. Tidak mengerti tata krama, tidak bisa mengerti penderitaan orang tua ketika melihat kelakuan anaknya.”

“Aku merasa hidupku tak berguna.”

“Jangan Yu, jangan merasa begitu. Sebuah perbuatan yang baik akan mendapat imbalan yang baik juga. Perjalanan masih panjang, jangan patah ditengah karena sebuah cobaan. Seberat apapun cobaan itu, kita harus bisa melaluinya. Sampeyan tidak sendiri, ada aku, ada den ayu yang selalu memperhatikan sampayen. Jadi sampeyan harus merasa nyaman berada diantara orang-orang yang mengasihi sampeyan. Biarkan anak tidak menyayangi, tapi banyak orang lain yang menyayangi lebih dari apapun. Bangkitlah Yu, jangan terus menerus menangisi kegagalan. Sampeyan tidak gagal. Sampeyan hanya kehilangan, dan yang hilang pasti akan kembali. Apa yang hilang? Yang hilang adalah rasa percaya diri, rasa gagal memiliki, rasa kecewa karena yang terjadi bukan sesuatu yang sampeyan mimpikan.”

Mbok Manis mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ada kekuatan yang dirasakan, yaitu kebersamaan sahabatnya yang selalu seiring sejalan dalam pengabdian. Walau bayangan Sinah selalu singgah dalam benaknya, tapi mbok Manis berusaha mengusirnya.

***

Sepeninggal simboknya, Sinah merasakan sakit disekujur tubuhnya. Badannya panas, membuatnya menggigil. Ia berteriak minta tolong.

“Tolong aku … panaas … tapi aku kedinginan,” Sinah menarik selimut sampai menutupi dadanya, tapi rasa sakit semakin menggigit, dan selimut itu tak mampu mengusir rasa dingin yang menusuk tulang.

“Ada apa?” polisi jaga mendekat, dan bertanya dengan nada kesal. Sinah bukan pesakitan yang patuh.

“Tolong pak polisi, badanku sakit semua, panggilkan suamiku,” rintihnya.

“Bukankah orang yang kamu katakan bahwa dia adalah suamimu itu telah pergi? Dia menyatakan bahwa kamu bukan istrinya. Anak siapa yang kamu kandung ini? Anak setan?”

“Tolong panggilkan dokter. Mengapa kamu malah mengomeli aku?” kata Sinah kesal, sambil memukul-mukul tempat tidurnya.

“Sudah dikasih tahu jangan banyak bergerak. Sebentar lagi akan dilakukan test DNA untuk menentukan siapa ayah dari bayi itu.”

“Sudah aku bilang ayahnya adalah pengusaha besar!!”

Polisi itu keluar tanpa menanggapi.

***

Sebuah rumah kontrakan sederhana yang baru saja ditemukan Andira melalui temannya, cukup memuaskan Andra.  Ia menatap istrinya sambil tersenyum. Ada rasa tidak percaya ketika mengetahui bahwa Andira bersedia ikut bersamanya dengan kehidupan yang sederhana.

Mereka menata ruangan yang perabotnya memang sudah ada. Perabotan sederhana juga, jauh bedanya dengan rumah mereka sebelumnya.

“Kamu yakin, bersedia hidup seperti ini?”

“Asalkan bersamamu, apapun aku bersedia.”

“Terima kasih Andira. Dengan begini, tanpa diet pun kamu pasti menjadi langsing,” ledek Andra ketika mereka makan dengan sayur seadanya dengan lauk tahu tempe dan kerupuk.

Andira terkekeh.

“Syukurlah. Sekarangpun badanku sudah bertambah ringan.”

“Nanti aku akan mengambil beberapa baju di rumah. Bolehkah aku membawa mobilku?” lanjutnya.

“Tidak usah. Hidup sederhana tapi punya mobil? Aneh kan?”

“Apapun kata suamiku … “ kata Andira sambil mengacungkan jempolnya.

Tiba-tiba ponsel Andira berdering. Andira segera meraihnya. Dari pak Sunu.

“Ya Pak, kami sedang makan.”

“Makan enak?”

“Enak lah Pak.”

“Test DNA sudah dilakukan?”

“Sudah, tinggal menunggu hasilnya.”

“Aku yakin bukan anak mas Andra, bukankah mas Andra mandul?”

“Bukan mandul kan, hanya lemah. Dokternya dulu kan pernah mengatakan kalau kemungkinan besar bisa kembali normal. Aku khawatir hasilnya positip untuk Andra.”

“Jangan khawatir Pak, aku mempercayainya.”

“Tapi ingat Andira, kalau sampai benar bayi itu anak Andra, mau tidak mau kamu harus bercerai,” kata pak Sunu tandas.

“Ah, Bapak.”

“Bapak serius, dan tidak bisa diganggu gugat. Camkan itu. Aku tidak mau kamu merawat anak dari si gombal itu.”

Sebelum Andira menjawabnya, pak Sunu sudah mematikan ponselnya.

Wajah Andira yang muram, memuat Andra khawatir.

“Ada apa?”

“Bapak nakutin aku.”

“Kenapa?”

“Kemungkinan anak Sinah itu darah daging Mas, bisa saja terjadi.”

“Tidak, aku sudah lama tidak bertemu dia. Lagi pula aku kan mandul.”

“Bapak selalu mengatakan bahwa Mas bukannya mandul. Kemungkinan punya anak itu ada. Bapak bilang, kalau hasilnya positip, kita harus bercerai,” kata Andira dengan mata berkaca-kaca.

“Sudah, lanjutkan makanmu, jangan memikirkan hal yang belum tentu kebenarannya.”

***

Simbok sedang melayani majikannya makan siang. Pak Hasbi sudah bisa makan sendiri, dan simbok senang karena dokter mengatakan bahwa besok pak Hasbi sudah boleh pulang.

“Syukurlah Tuan, besok Tuan sudah boleh pulang.”

Pak Hasbi diam. Ia mengulurkan piringnya yang sudah kosong ke arah simbok.

“Mengapa Tuan kelihatan tidak senang?”

“Aku suka di sini.”

“Tuan? Semua orang tidak kerasan menginap di rumah sakit, mengapa Tuan merasa suka?” tanya simbok heran.

Pak Hasbi tampak diam. Simbok mengambilkan gelas minum, yang kemudian diteguknya.

“Gadis itu ….”

“Kenapa ? Maksud Tuan, Non Dewi?”

“Kalau aku pulang, gadis itu tak akan datang lagi, bukan?”

Simbok tertawa.

“Rupanya Tuan benar-benar jatuh sayang pada Non Dewi. Dia bisa menjadi cucu Tuan yang penuh kasih, bukan?”

“Tapi dia bukan siapa-siapa aku. Dia milik orang tuanya,” katanya sendu.

“Tuan, bukankah non Dewi pernah mengatakan bahwa Tuan bisa menjadi kakeknya?”

“Tapi aku sudah sembuh, dan mau pulang.”

“Memangnya kenapa kalau Tuan sudah mau pulang?”

“Gadis itu tak akan datang lagi bukan? Dia bukan Bening. Dia anak orang lain.”

“Kakek ….”

Pak Hasbi dan simbok terkejut, sekaligus senang. Tiba-tiba Dewi muncul sambil tersenyum.

“Kakek sudah makan? Aduh, aku datang terlambat. Maaf ya, kuliah baru saja selesai, dan aku langsung ngebut kemari.”

“Besok aku sudah mau pulang, tadi dokter mengatakannya.”

“Bagus sekali, berarti Kakek sudah sehat.”

“Kita tak akan bertemu lagi bukan?”

Dewi tersenyum. Ia meraih tangan pak Hasbi dan diciumnya.

“Bukankah Kakek adalah kakekku? Aku akan selalu mengunjungi Kakek, walaupun tidak setiap hari.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar. Aku tetap cucu Kakek. Kakek tidak akan kesepian.”

Pak Hasbi merangkul Dewi sambil berlinang air mata.

“Aku mengira akan kehilangan kamu,” bisiknya bergetar.

***

Sinah masih terbaring lemah, walau masih bisa bersuara lantang. Walau perdarahan, dokter berusaha mempertahankan kandungannya. Sinah merasa kesal, ia selalu bilang lebih baik bayinya mati.

“Aku tidak mau anak ini, ayahnya tidak mau mengakuinya. Biar dia mati, mengapa dipertahankan?” katanya sambil memukul-mukulkan tangannya.

“Bu, saya sudah membawa hasil test DNA yang pastinya ibu menantikannya."

“Tidak, aku tidak mau membacanya, hanya aku yang tahu kebenarannya. Mana suami aku?” Sinah masih sanggup berteriak.

***

Besok lagi ya.

 

MAWAR HITAM 54

  MAWAR HITAM  54 (Tien Kumalasari)   Mbok Manis meremas tangan anaknya. “Sinah, jangan berkata begitu. Kamu akan sembuh, kalau kamu meningg...