Wednesday, September 3, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 01

 LANGIT TAK LAGI KELAM  01

(Tien Kumalasari)

 

Rizki baru saja datang dengan membawa banyak bungkusan. Simbok yang sedang menyiapkan makan siang terkejut, melihat bungkusan berserakan di lantai.

“Mas Rizki beli apa saja, banyak sekali?”

“Ini baju dan jas yang akan aku pakai besok ketika mbak Dewi menikah. Masa ada nikahan aku harus memakai pakaian biasa saja?”

“Bukankah di almari tuan masih banyak jas milik tuan yang masih bagus dan pastinya pas kalau mas Rizki pakai.”

“Nggak mau ah, pakaian milik bapak memang banyak tapi nggak pas kalau aku pakai. Kebesaran. Malu aku, nanti dikira aku memakai baju pinjaman.”

“Bukankah kemarin sudah kamu coba sih Riz, menurut bapak itu tidak kebesaran,” kata pak Hasbi yang keluar dari kamarnya mendengar suara simbok dan Rizki.

“Bapak bagaimana sih, menurutku itu kebesaran, dan modelnya juga model kuno. Rizki malu dong Pak, nanti dikira Bapak tidak mampu membelikan baju baru untuk anaknya.”

Rizki membuka mungkusan satu demi satu di depan ayahnya, semuanya adalah baju-baju model terbaru yang harganya bukan main mahalnya.

”Mas Rizki membuang-buang uang saja,” gerutu simbok sambil masuk kembali ke dapur.

“Simbok tidak tahu apa-apa. Ya kan Pak, Bapak memberi Rizki uang kan supaya Rizki tidak tampak memalukan kalau dilihat orang banyak.”

“Terserah kamu mau beli apa, tapi menurutku, apa yang dikatakan simbok itu benar. Kamu membuang-buang uang.”

“Kalau untuk sesuatu yang berguna, kan tidak apa-apa sih Pak, kalau Rizki tampil pantas dan gagah, bukankah orang-orang juga akan memuji Bapak? Bapak orang yang kaya raya, masa aku harus berpakaian yang biasa-biasa saja?”

Pak Hasbi diam. Memang uangnya masih banyak, tapi dia tidak suka melihat pemborosan yang dilakukan Rizki, anak angkatnya.

Rizki diambil dari sebuah panti asuhan. Dia sudah lulus SMA, dan ingin melanjutkan kuliah, tapi tak ada biaya. Rizki sebenarnya anak pintar. Ketika pak Hasbi datang bersama Dewi, Rizki sedang bersih-bersih kebun. Ia tampak seperti anak baik yang sangat rajin. Kepala panti asuhan mengatakan bahwa sebenarnya Rizki anak pintar. Nilai sekolahnya selalu bagus. Dengan pemikiran yang matang, maka pak Hasbi kemudian mengambil Rizki sebagai anak angkat, kemudian dibiayainya untuk masuk ke perguruan tinggi.

Tapi bukannya menyadari kehidupan yang semula dilaluinya dengan serba kekurangan, Rizki seperti mendapat peluang untuk hidup bersenang-senang sebagai anak orang kaya. Apalagi pak Hasbi sangat memanjakannya.

Rizki yang pada awalnya tampak sangat menghormati ayah angkatnya, lambat laun berubah menjadi anak yang sombong. Penampilannya harus pantas. Baju mahal, sepatu mahal, itulah yang selalu diinginkannya. Alasannya adalah tak ingin membuat malu ayah angkatnya.

***

Minggu depan Dewi menikah. Satria merasa sudah bisa menghidupi istri, sudah punya rumah yang layak. Dewi juga sudah menyelesaikan kuliahnya.

Hari itu pak Hasbi datang ke rumah Dewi. Setelah berbincang dan beramah tamah dengan keluarga Adisoma, pak Hasbi memberikan sekotak perhiasan, membuat Dewi terkejut.

“Kakek, mengapa Kakek repot-repot memberikan perhiasan ini untuk Dewi?”

“Ini adalah perhiasan milik mendiang istriku. Sedianya akan aku berikan untuk Bening, tapi karena Bening sudah tak ada, maka ini hanya untuk kamu. Memang, aku tahu orang tuamu kaya, dan pasti sudah memberikan yang lebih baik dari ini, tapi tolong terimalah pemberian dari kakek, sebagai tanda bahwa kakek sangat menyayangi kamu seperti kepada cucu kakek sendiri.”

“Kakek, Dewi bukannya ingin menolak karena orang tua Dewi memiliki segalanya, tapi Dewi merasa Kakek sangat berlebihan.”

“Dewi, sebuah kasih sayang tidak ada yang namanya berlebihan. Kamu memiliki banyak arti dalam kehidupan kakek. Kakek bisa meneruskan hidup ini karena kamu. Kakek yang sudah putus asa karena kehilangan pegangan, serta tak tahu harus bagaimana menjalani hidup, dengan adanya kamu kakek bisa melakukan apa yang seharusnya kakek lakukan.”

Dewi memeluk pak Hasbi dengan linangan air mata.

“Baiklah Kakek, Dewi menerima ini dengan penuh rasa syukur, karena barang-barang ini adalah curahan kasih sayang Kakek untuk Dewi.”

“Kelak kalau aku sudah tak ada, setiap kali memandangi perhiasan ini, maka kamu pasti akan mengingat kakek, bukan?”

“Kakek, tanpa pemberian apapun dari Kakek, Dewi akan selalu mengingat Kakek, karena Kakek adalah kakekku.”

“Baiklah, terima kasih karena telah mau menjadi keluargaku. Katakan apa yang kurang untuk acara pernikahan kamu, kakek akan memberikannya.”

“Tidak ada yang kurang Kakek, Dewi tidak ingin pernikahan ini terlalu mewah. Kalau ada uang lebih, lebih baik Dewi berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.”

“Cucuku adalah gadis yang berbudi luhur dan mulia. Aku bangga memiliki kamu,” kata pak Hasbi sambil mengelus kepala Dewi.

“Aku bahagia memiliki Kakek,” kata Dewi sambil kembali memeluk ‘kakeknya’.

“Setelah menikah apakah kamu tidak akan menemui kakek lagi?”

“Mengapa Kakek berkata begitu? Dewi janji akan sering mengunjungi Kakek. Tapi Kakek kan tidak lagi kesepian setelah ada Rizki?“

Pak Hasbi menghela napas panjang. Ia tak ingin menceritakan kekesalannya tentang Rizki.

“Pada awalnya Rizki memang lebih sering dirumah setelah pulang kuliah. Tapi belakangan ini dia sering keluar rumah.”

“Kakek tidak menegurnya?”

“Alasannya ada saja. Ya sudah, kalau itu untuk keperluan sekolahnya ya biarkan saja. Tidak apa-apa asalkan dia berhasil dalam kuliahnya.”

“Tapi Kakek harus sering menegurnya supaya tidak keterusan.”

“Baiklah, nanti kakek tegur dia.”

“Kakek tadi datang kemari dengan siapa?” lanjut Dewi.

"Tadi diantar Rizki, tapi entah ke mana anak itu, lama sekali tidak menjemput.”

“Kakek sudah ingin pulang?”

“Sebenarnya iya, kakek sekarang gampang sekali lelah.”

“Kalau begitu biar man Tangkil mengantar Kakek, sebentar Dewi panggil ya.”

“Jangan merepotkan, kamu telpon Rizki saja.”

“Oh iya, baiklah.”

Tapi berkali-kali menelpon, selalu saja tak diangkat.

“Ke mana anak itu?”

“Ya sudah, carikan becak saja.”

“Jangan Kakek, biar Kakek diantar man Tangkil. Nanti Dewi juga mau ikut.”

“Jangan Dewi, sebentar lagi kamu menikah, mana boleh keluar rumah?”

“Tidak boleh ya Kek?”

“Tidak boleh. Sudah, biar kakek sendiri saja.”

“Kalau begitu biar manTangkil saja aku panggil. Jangan kakek pulang sendiri.”

***

Ternyata Rizki sedang berada di rumah teman wanitanya.

Gadis itu adalah Citra, teman kuliahnya yang cantik, yang selalu mendekati Rizki karena Rizki sangat royal dalam mentraktir makan dan membelikan apa-apa yang dimintanya.

Hari itu ketika libur kuliah, Rizki sedang mencari jalan untuk bisa keluar untuk menemui Citra. Dan beruntunglah dia karena pak Hasbi menyuruh mengantarnya ke rumah Dewi, karena pak Hasbi ingin memberikan hadiah untuk ‘cucunya’ yang akan menikah beberapa hari lagi.

Ketika pak Hasbi diturunkan, Rizki langsung pergi.

“Jangan lama-lama, segera jemput bapak ya,” pesan pak Hasbi.

“Iya, jangan khawatir.”

Tapi sudah berjam-jam Rizki berada di rumah Citra, dan lupa kalau harus menjemput ‘ayahnya’. Ia bahkan mengabaikan panggilan telpon dari Dewi yang berulang kali mengusik telinganya.

“Dari siapa sih Riz, kenapa tidak diangkat?”

“Dari mbak Dewi, biarkan saja. Paling menyuruh aku menjemput bapak.”

“Kasihan dong kalau tidak dijemput?”

“Nggak apa-apa, orang tua mbak Dewi punya mobil. Pasti bapak sudah diantarkannya pulang.”

“Mbak Dewi itu yang mau menikah ya?”

“Iya, kamu besok ikut datang ke pesta pernikahannya ya?”

“Nggak ah, nggak diundang, masa datang.”

“Datangnya kan sama aku, mengapa takut? Biar semua orang tahu, kalau putra pak Hasbi punya pacar yang cantik.”

“Tapi ke pesta orang kaya kan harus memakai baju bagus?”

“Kamu mau? Nanti aku belikan baju yang pantas untuk kamu.”

“Benarkah?”

“Iya, sekarang juga bisa, aku masih membawa uang sisa yang diberi bapak kemarin. Ayuk, kamu pilih sendiri yang kamu suka.”

“Nanti kamu dimarahi ayahmu kalau membelikan baju aku juga.”

“Tidak, ayahku kaya, dia tak akan marah walau uang yang aku bawa aku habiskan. Nanti kalau habis aku juga pasti diberinya lagi.”

“Waah, kamu anak yang selalu dimanja oleh ayahmu ya Riz?”

“Karena aku anak tunggal. Untuk apa harta ayahku kalau tidak aku buat bersenang-senang.”

“Bener nih, mau ngajakin aku beli baju?”

“Ya bener dong. Masa sih aku bohong. Cepat bersiap, nanti sehabis beli baju untuk kamu, aku baru mau pulang.”

“Baiklah kalau begitu,” kata Citra sambil melonjak senang, lalu masuk ke dalam rumah untuk berganti baju.

***

Simbok heran melihat sang tuan datang dengan diantarkan mobil yang lain.

“Tuan pulang naik apa tadi tuh?”

“Naik mobil.”

“Iya, simbok tahu, maksudnya mobil siapa?”

“Mobil keluarganya Dewi.”

“Mas Rizki ke mana?”

“Nggak tahu aku, setelah aku ditinggal di rumah Dewi, lama sekali tidak menjemput. Dewi menelpon, tidak diangkat.”

“Karena itu lalu Tuan diantarkan keluarga non Dewi?”

“Aku lelah menunggu, kan sudah berjam-jam aku ngomong-ngomong sama Dewi, sama keluarganya juga.”

“Mas Rizki itu terkadang menjengkelkan. Suka semaunya sendiri. Tuan sih, terlalu memanjakannya.”

“Biarkan saja Mbok, asalkan dia senang.”

“Menurut saya, Tuan jangan terlalu memberi kebebasan untuk belanja. Simbok rasa, dia itu hanya suka menghambur-hamburkan uang. Terkadang barang yang tidak perlu juga dibeli. Seperti kemarin itu. Masa beli jas, sementara punya tuan di almari banyak jas yang bagus-bagus dan tidak pernah dipakai lagi. Padahal jas itu kan mahal, Tuan?”

“Iya, katanya modelnya kuno, dan dia kebesaran.”

“Alasan mengada-ada. Tuan sih tidak pernah benar-benar memarahinya kalau dia berbuat sesuatu yang keterlaluan.”

“Aku tuh nggak bisa memarahi dia Mbok, dia kan menjadi penghiburku, dan dia juga selalu menemani aku.”

“Menurut saya, pada awalnya saja mas Rizki itu baik. Pada awal kedatangannya dia sangat menghormati Tuan, tidak pernah berbuat yang aneh-aneh. Sekarang, pergi kuliah saja naik mobil. Makan juga selalu minta yang enak-enak.”

“Sudahlah Mbok, biarkan saja, kalau simbok ngedumel terus, aku malah jadi kepikiran.”

“Maaf Tuan, Tuan baru datang saya sudah mengomel, habis saya jengkel. Ya sudah Tuan istirahat saja, atau Tuan mau makan? Tuan belum makan siang tadi.”

“Sudah Mbok, tadi makan di rumah Dewi, dijamu bersama kekuarganya. Mereka orang-orang baik. Keluarga ningrat yang tidak membeda-bedakan derajat orang lain.”

“Tuan sudah makan? Kalau begitu makanan akan simbok bawa kebelakang saja.”

“Nanti kalau Rizki pulang bagaimana?”

“Nanti gampang, belum tentu pulangnya jam berapa. Nanti kalau dia butuh makan pasti minta.”

“Terserah kamu saja, aku mau istirahat.”

***

Rizki tidak segera pulang, karena dia pergi ke toko pakaian untuk membelikan baju Citra yang akan diajaknya ke pesta.

“Aku bingung Riz, mau pilih yang mana?”

“Terserah kamu, kan kamu yang mau memakai.”

“Aku suka yang hijau itu, tapi harganya sangat mahal. Yang lain saja.”

“Nggak apa-apa, biar mahal kalau kamu suka, ambil saja.”

“Benar nih?”

“Iya, ambil.”

“Aku cobain dulu ya, kekecilan atau enggak,” katanya sambil memberi isyarat kepada pelayan untuk mengambilkan baju yang dia pilih.

Sementara itu tak jauh dari mereka, Listyo juga sedang menemani istrinya memilih baju. Listyo terkejut. Ia tahu tentang Rizki, mahasiswanya yang anak angkat pak Hasbi, karena Dewi sudah menceritakan semuanya. Tapi dia heran ketika melihat Rizki membelikan baju untuk Citra. Ada yang terasa aneh melihat Rizki begitu royal, karena yang dipilih adalah baju mahal, sementara istrinya sendiri lebih memilih yang lebih sederhana.

***

Besok lagi ya.

Monday, September 1, 2025

MAWAR HITAM 55

 MAWAR HITAM  55

(Tien Kumalasari)

 

Bu Sunu, Andira dan Andra saling pandang satu sama lain. Ada binar-binar di mata mereka, dengan tatapan antara percaya dan tidak percaya.

“Ha … hamil?” bergetar bibir Andira ketika kemudian menatap suaminya.

“Apa mungkin?” Andra menjawab lirih..

“Andira, mengapa tidak? Andra tidak mandul. Dia hanya lemah, dan bukan berarti dia tidak bisa menghamili,” sambung bu Sunu penuh harap.

“Tuan, dan Nyonya-Nyonya, seringnya kehamilan ditandai dengan muntah-muntah, dan menyukai makanan yang asam-asam.”

“Dan suka mencium bau apek suaminya?” celetuk Andra yang juga heran atas sikap istrinya.

“Haaa, jadi kamu mendekap pakaian suami kamu itu karena kamu mengendus-endus bau keringatnya?” sambung bu Sunu lagi.

“Aku juga heran.”

“Bawaan orang hamil macam-macam Nyonya, suka bau keringat suami juga bisa dijadikan tanda. Pokoknya orang hamil selalu suka yang aneh-aneh.”

“Soalnya dulu waktu aku hamil Andira, tidak bertingkah macam-macam,” gumam bu Sunu.

“Mas, ayo ke dokter sekarang,” pekik Andira sambil memeluk suaminya, tapi hanya sebentar kemudian mendorongnya.

“Aduh, aku tiba-tiba mual bau tubuhnya. Kenapa wangi amat? Aku mabuk nih,” kata Andira yang kemudian berdiri lalu berlari ke kamar mandi.

“Celaka duabelas, jadi aku tak boleh mandi?” kata Andra sambil mengejar istrinya ke dalam kamar.

Bu Sunu tertawa melihat sikap keduanya.

“Ikut senang Nyonya, Nyonya akan segera memiliki cucu,” kata simbok dengan wajah berseri.

“Semoga benar ya Mbok. Aduh, dulu aku tidak begitu, biasa saja, jadi nggak tahu tanda-tanda orang hamil seperti yang dialami Andira.”

“Bawaan orang hamil tidak sama, ada yang tidak merasakan apa-apa, ada yang seperti nyonya Andira, bahkan ada yang tak mampu bangun karena mual dan pusing, tanpa muntah. Bau masakan enak, pusing, bau uap nasi, mual, pokoknya aneh-aneh.”

"Ya ampun, Mbok, mulai sekarang kamu tinggal di sini saja ya, melayani Andira. Nanti kalau dia aneh-aneh lagi kan ada simbok yang meladeni. Masalah gaji, nanti aku yang akan bayar.”

“Baik Nyonya, masalah gaji tidak usah Nyonya pikirkan, aku sudah lama mengikuti Nyonya, tidak digajipun saya bersedia. Bukankah Nyonya Andira sudah seperti anak saya sendiri?”

“Terima kasih telah setia menjadi keluarga kami, Mbok.”

“Kalau begitu Nyonya tidak jadi memanggil dokter kandungan seperti yang Nyonya katakan itu?”

“Tetep aku panggil Mbok, nanti aku akan menelponnya. Kalaupun benar Andira memang hamil, pasti dia punya saran yang bagus-bagus untuk kehamilan Andira.”

“Iya, Nyonya.”

“Aku nggak mau, Mas dekat-dekat aku. Jangan ngeyel, nanti aku muntah-muntah lagi,” kata Andira yang keluar dari kamar sambil mendorong-dorong suaminya.

“Bagaimana ini, masa dekat sama istri tidak boleh?” gerutu Andra yang memang kemudian menjauh dari istrinya.

“Habis, Mas bau wangi.”

“Tuan jangan bersedih. Sikap Nyonya itu tidak akan selamanya begitu. Paling tiga bulan Nyonya sudah tidak merasakan keinginan yang aneh-aneh.”

“Ndra, berarti kamu bisa mendekati istrimu kalau tubuh kamu keringatan, apek dan bau,” goda bu Sunu.

“Baiklah, sebentar lagi kita ke dokter.”

“Aku antar saja, aku kan bawa mobil.”

“Andira mau bawa mobil yang di rumah, tapi nggak boleh sama mas Andra,” kata Andira mengadu kepada ibunya.

”Kalau kamu bersedia hidup sederhana bersama aku, kita tidak usah punya mobil dulu. Nanti kalau usaha kita sudah jalan, baik, punya keuntungan yang cukup, bisa mandiri, bisa beli rumah, tidak apa-apa beli mobil,” sahut Andra, yang disambut senyum oleh ibu mertuanya.

“Kalau suami melarang, kamu harus patuh, Andira. Ibu akan senang kalau kalian bisa membeli apa saja dengan uang kalian sendiri.”

“Doakan usaha kami berhasil ya Bu,” kata Andra.

“Tentu saja. Orang tua selalu berdoa untuk kebahagiaan anak-anaknya.”

“Andira, ayo siap-siap ke dokter,” kata Andra kepada istrinya.

“Aku ke kamar sendiri saja, nggak usah Mas menemani aku ganti pakaian.”

“Baik … baik … hanya tiga bulan, ya kan Mbok?” canda Andra.

Simbok hanya tertawa.

***

Saraswati sedang ada di kamar mbok Manis. Dengan dukungan doa dan ucapan Saraswati yang lembut, mbok Manis merasa sedikit terhibur. Ia berpindah duduk di lantai karena sang bendoro duduk di kursi di dekat tempat tidurnya.

“Jangan duduk di bawah. Kita sedang berbincang diantara keluarga, bangkitlah dan duduk  di tepi tempat tidurmu.”

“Tapi masa saya duduk sejajar dengan Den Ayu.”

“Mengapa tidak Mbok, jangan hiraukan tatanan semacam itu, kita sedang berbincang sebagai keluarga, apalagi kamu sedang sakit. Ayo berdirilah, duduk di situ saja,” kata Saraswati sambil menarik tangan mbok Manis, menyuruhnya berdiri. Mau tak mau mbok Manis menuruti kemauan sang bendoro.

“Kamu sekarang sudah merasa lebih kuat?”

“Benar apa yang dikatakan Den Ayu. Saya tidak harus memikirkan Sinah. Saya berusaha melupakannya, biarpun dia darah daging saya. Memang berat, tapi saya akan berusaha.”

“Hidup terus berlanjut, kamu harus punya semangat. Ada satu yang bisa selalu kamu lakukan, yaitu mendoakan anakmu, memohonkan ampun, dan juga mohon agar Allah menuntunnya ke jalan yang benar.”

“Iya, Den Ayu.”

“Dan kamu jangan putus asa,  teruslah berusaha. Kalau hatimu sudah lebih tenang, jenguklah Sinah sekali lagi, siapa tahu karena doamu, dia bisa melihat jalan terang yang harus dilaluinya.”

“Baik, Den Ayu,” jawab mbok Manis sambil mengusap air matanya.

“Saatnya makan kamu juga harus makan. Jangan siksa tubuhmu sehingga menjadi lemas. Kamu tidak sendiri, kami adalah keluarga kamu Mbok. Kangmas Adisoma juga memprihatinkan kamu dan meminta agar kamu dibawa ke dokter.”

“Jangan merepotkan Den Ayu, saya sudah minum obat yang diberikan yu Randu.”

“Itu tidak cukup Yu, kamu harus ke dokter. Nanti sore mbok Randu dan Tangkil akan mengantarkan kamu. Tapi menunggu kepulangan Dewi, karena Dewi juga akan mengantarkan kamu.”

“Terima kasih Den Ayu,” kata mbok Manis sambil berkali-kali mengusap air matanya.

***

Seperti janjinya, beberapa hari kemudian pak Hasbi berbicara tentang hartanya yang akan disumbangkan kepada beberapa yayasan yang bergerak di bidang sosial. Anak Yatim Piatu, Panti Jompo, dan lain-lain. Dewi membantunya dengan perasaan senang luar biasa. Memang benar, ketika seseorang memberi dengan ikhlas, maka rasa kepuasan dan bahagia pasti melingkupi hati mereka. Pak Hasbi senang, karena harta hasil jerih payahnya menjadi sesuatu yang berguna.

“Kalau Kakek ingin, boleh saja Kakek memungut salah seorang dari anak yatim untuk dijadikan anak, dengan begitu Kakek selalu ada yang menemani, bukan hanya aku yang datang saat senggang saja.”

“Tapi aku sudah tua, masa aku harus momong anak lagi? Repot sekali Dewi, aku tidak mau.”

“Bukan anak-anak sih Kek, anak yang sudah besar. Misalnya sudah lulus SMA tapi tidak mampu melanjutkan sekolah, sementara dia pintar.”

“O, anak yang sudah besar ya? Boleh saja, nanti kita bicarakan lagi. Barangkali di sebuah panti asuhan ada anak seperti yang kamu maksud. Pastinya anaknya baik, kalau bisa yang pintar, agar tidak sia-sia kalau aku ingin membiayainya kuliah.”

“Baik Kek, nanti sambil jalan kita cari. Kakek suka anak perempuan atau laki-laki?”

“Laki-laki saja. Supaya bisa menjaga kakek juga. Kalau perempuan aku kan sudah punya kamu. Tapi aku mengerti, kelak kalau kamu menikah, pasti sudah tidak bisa datang kemari sesering sekarang ini. Ya kan?”

“Benar Kakek, anak laki-laki bisa menjaga Kakek, siang malam. Simbok juga sudah semakin tua, pasti dia juga butuh teman. Bersih-bersih rumah, misalnya.”

“Dewi, dengan adanya kamu, aku sekarang bisa menata hidupku. Aku harus bagaimana … harus apa … tadinya aku tidak tahu. Sekarang aku mengerti, banyak hal berguna yang bisa aku lakukan. Semua ini karena kamu.”

“Aku hanya ingin Kakek tidak kesepian lagi.”

“Dan hidupku bisa punya arti.”

“Itu yang lebih penting, ya kan Kek?”

“Anak pintar, anak baik. Aku bersyukur bisa ketemu kamu sebelum aku meninggal.”

“Kakek masih kuat dan hebat. Jangan dulu bicara tentang meninggal.”

“Akhirnya kan kita semua juga akan sampai pada titik itu. Mengapa takut?”

“Bukan takut, hanya lebih baik jangan membicarakan hal itu dulu. Sekarang aku mau membuka-buka catatan, tentang alamat yayasan apa dan alamatnya di mana, agar kita bisa segera bertindak.”

“Baiklah, lakukan yang terbaik.”

“Tapi besok saja ya Kek, aku lupa bahwa aku harus mengantar mbok Manis ke dokter, dia sakit.”

“Siapa mbok Manis?”

“Pembantu di rumah orang tua saya, tapi sekarang ada di rumah saya.”

“Oh, iya … pergilah, kasihan kalau dia sakit.”

***

Andira dan Andra bahagia sekali, menurut hasil pemeriksaan, Andira memang hamil. Andra memeluk istrinya dengan penuh rasa syukur. Kali itu Andira tidak menolak, karena aroma wangi di tubuh Andra sudah berganti bau keringat karena menunggu agak lama di rumah sakit, akibat dokternya terlambat datang, dan karena gelisah menunggu, Andra mondar mandir ke sana kemari.

“Ibu akan segera punya cucu,” kata Andira berganti memeluk ibunya.

“Jaga cucu ibu baik-baik ya.”

“Berarti Ibu tidak jadi memanggil dokter itu kan?”

“Tidak apa-apa, ibu sudah menghubunginya. Dia akan memeriksa kamu lebih jauh, dan barangkali ada saran yang perlu kalian perhatikan,” kata bu Sunu sambil tersenyum.

“Ibu, itu sangat merepotkan.”

“Sudah, diam. Ibu hanya ingin yang terbaik untuk cucu ibu," kata bu Sunu sambil mengelus kepala Andira.

“KIta ke apotek dulu untuk mengambil obat," ajak Andra yang begitu gembiranya maka ia terus merangkul erat istrinya.

***

Mbok Manis sudah selesai diperiksa dokter, kata dokter tidak usah opname, hanya diberi resep obat agar diminum rutin.

Ketika keluar dari ruang praktek dokter, mbok Manis melihat beberapa polisi mondar mandir di sana. Mbok Manis terkesiap. Tiba-tiba hatinya terasa tidak enak. Ia tidak lupa, Sinah dirawat di rumah sakit ini.

“Ada apa Mbok? Kok ngelihat ke sana terus?”

“Sinah juga dirawat di sana.”

“Simbok ingin menjenguknya?”

“Nanti Den Ajeng kelamaan menunggu?”

“Tidak, ayolah aku antar kalau simbok ingin menjenguk.”

Agak ragu, tapi entah mengapa, kali itu ia ingin sekali melihat Sinah. Rasa khawatir kalau diusir tiba-tiba hilang begitu saja. Ia hanya ingin melihat Sinah.

Petugas yang berjaga tidak berada di kamar rawat Sinah. Mereka ada di luar ruang ICU. Dengan dada berdegup kencang, mbok Manis mendekat.

“Apa anak saya ada di dalam?”

“Siapa anak Ibu?”

“Sinah.”

“O, Sinah yang terus mengaku bernama Mawar? Benar, dia kritis, kami sedang berusaha mencari keluarganya, tapi alamat yang pernah diberikan bu Sinah tidak mengakui kalau bu Sinah adalah keluarganya. Kalau Ibu adalah ibunya, maka Ibu boleh masuk. Tapi hanya Ibu saja, yang satunya itu menunggu diluar,” kata petugas itu.

“Baiklah, masuklah Mbok,” kata Dewi yang tak urung juga merasakan debar jantung yang lebih keras.

Perlahan Mbok Manis masuk. Ia melihat Sinah terbujur diam. Banyak selang terhubung di tubuhnya, bahkan di mulutnya. Mbok Manis merasa ada sesuatu yang mengiris. Keadaan ini tak biasa. Rasa ini juga tak biasa.

“Sinah ….” bisiknya dengan suara bergetar, sambil sebelah tangannya memegangi tangan Sinah. Kali ini terasa dingin.

“Sinah, ini simbok, buka matamu, lihat simbok. Kamu akan sembuh bukan?”

Sinah membuka matanya. Tak ada sinar kehidupan di sana, mata itu tampak sayu.

“Kamu sembuh ya Nah? Kamu ingat aku simbokmu bukan? Simbok kangen kamu. Kangen mendengar celotehmu. Katakan sesuatu, atau kamu ingin mengusir simbok lagi?”

“Namaku Mawar,” ucapnya hampir tak terdengar, dan juga tidak begitu jelas. Tapi mbok Manis tahu apa yang diucapkannya. Hati mbok Manis merasa sedih sekali. Sinah belum kembali ke jalan yang benar.

“Lupakan saja aku, barangkali aku salah, entahlah, tapi aku lelah. Tak bisa mencapai apa yang aku inginkan, ini sangat melelahkan,” kata Sinah tersendat-sendat, lagi-lagi tidak begitu jelas karena ada ventilator di mulutnya.

“Sinah, mohon ampun kepada Allah Nak, mohon ampun ya …”

Tapi sebuah suara seperti peluit yang terdengar seperti suara jeritan bagi mbok Manis, terdengar. Mbok Manis lunglai, dan seorang petugas menangkapnya, lalu membawanya keluar.

Dewi menyambutnya, lalu terdengar suara serak dari mulut mbok Manis.

“Sinah telah pergi, dengan membawa dosanya.”

Dewi merangkulnya erat.

***

T A M A T.

 

Selamat jalan Sinah …….

 

 

 

Seorang anak muda berdiri di depan seorang lelaki tua. Matanya menatap garang. Tampaknya dia marah sekali.

“Bukankah aku anakmu? Katamu aku anakmu, apakah harga barang yang aku minta terlalu mahal bagimu? Bukankah uangmu sangat banyak?”

Laki-laki tua itu luruh dalam duka yang dalam.

Keterlaluan sekali, bagaimana seorang anak muda bicara begitu kasar kepada orang tua yang harusnya sangat disayangi dan dihormati?

Tungguin ceritanya di “LANGIT TAK LAGI KELAM”

Yuuuk.

 

 ***

LANGIT TAK LAGI KELAM 01

  LANGIT TAK LAGI KELAM  01 (Tien Kumalasari)   Rizki baru saja datang dengan membawa banyak bungkusan. Simbok yang sedang menyiapkan makan ...