Saturday, September 6, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 04

 LANGIT TAK LAGI KELAM  04

(Tien Kumalasari)

 

Misnah tertegun. Tak percaya apa yang didengarnya. Dia punya kakak?

“Itu benar. Bapak punya seorang anak laki-laki, yang entah di mana dia berada, bapak tak tahu,” katanya sambul menundukkan wajahnya.

Misnah menatapnya iba. Ia tak pernah melihat sang ayah sesedih itu.

“Itu benar. Dia dibawa pergi oleh istriku, dan entah di mana dia meninggalkannya.”

Misnah tidak lupa bahwa dia hanyalah anak angkat pak Misdi, yang ditemukannya ketika dia menangis kelaparan di pinggir jalan, kemudian dibawanya pulang dan dijadikannya anak, dengan diberinya nama Misnah. Pak Misdi juga pernah mengatakan bahwa istrinya pergi meninggalkannya. Tapi bahwa ternyata dia membawa anak laki-laki mereka, Misnah sama sekali belum pernah mendengarnya.

“Mengapa tiba-tiba Bapak ingin mencarinya? Mungkin dia sudah hidup enak dengan ibunya,” kata Misnah.

“Aku tidak tahu masalah dia hidup enak atau tidak. Yang membuat bapak penasaran adalah bahwa dia meninggalkannya di sebuah panti asuhan, yang dia sudah lupa apa nama panti itu, dan di mana letaknya.”

“Kejam sekali dia ya Pak? Kalau memang tidak bisa merawat, mengapa tidak dikembalikan pada Bapak saja?” cara berpikir Misnah sangat pas karena seperti apa yang dipikirkannya. Padahal Misnah masih tergolong anak-anak.

“Harusnya begitu. Bapak juga menyesalinya. Mengapa hal itu tidak dilakukannya.”

“Mungkin karena takut kembali pulang. Karena kalau dia pulang untuk mengembalikan anaknya, Bapak pasti memarahinya.”

“Mungkin itulah yang terjadi. Kamu itu masih anak-anak, tapi cara pikir kamu seperti orang dewasa.”

“Lalu Bapak akan mencarinya ke mana?”

“Entahlah. Nama panti dan tempatnya serba tidak jelas.”

“Kalau begitu aku ikut ya Pak, jadi kita bisa mencarinya bersama-sama.”

“Jangan Misnah, kamu harus tetap di rumah,”

“Memangnya kenapa Pak, toh di rumah kita tidak sedang mengerjakan apapun?”

“Misnah, kamu itu anak perempuan. Jarot tidak jelas keberadaannya. Mungkin bapak harus kesana-kemari, jalan kaki pula. Kamu masih kecil, bapak tidak tega membawa kamu berjalan tanpa tujuan.”

Misnah meneteskan air mata, memegangi tangan ayahnya yang terletak di atas meja.

“Misnah juga tidak tega membiarkan Bapak berjalan sendirian tanpa tujuan,” kata Misnah diantara tangis.

“Misnah, bapak laki-laki, lebih kuat.”

“Bapak sudah tua. Nanti kalau capek, siapa yang memijit kaki Bapak? Kalau di rumah, setiap kali Bapak bilang lelah, Misnah selalu memijit kaki Bapak kan? Jangan pergi tanpa Misnah. Misnah tidak bisa membiarkan Bapak pergi sendiri.”

“Jangan begitu Nah, kalau kamu ikut, bapak akan merasa sangat tidak tenang. Tolong mengerti ya Nak, menunggu bapak di rumah lebih baik. Kalau bapak sudah menemukan kakakmu Jarot, bapak akan pulang. Bahkan kalau sudah jelas beritanya, di mana keberadaannya, walau belum bertemu orangnya,  bapak pasti pulang. Mengerti ya Nduk, anak baik, anak bapak yang penuh pengertian. Kamulah yang membuat bapak bersemangat hidup, kamu adalah pelita yang menerangi kegelapan dalam hidup bapak. Karena kalau tidak ada kamu, bapak tak ingin melanjutkan hidup ini lagi.”

Lalu keduanya bertangisan.

“Misnah ingin ikut bersama Bapak.”

“Tolonglah Nak, tunggu bapak di rumah dan teruslah berdoa agar kepergian bapak membuahkan hasil. Ya Nak, sudah, berhentilah menangis.”

“Misnah hanya punya Bapak.”

“Bapak juga hanya punya Misnah. Itu sebabnya bapak tak tega membawamu pergi.”

Mereka bertangisan sampai larut, walau begitu Misdi tetap melarang sang anak ikut bersamanya.

***

Pagi masih buta ketika Misnah membuka matanya. Ia bangkit dan bergegas pergi ke kamar ayahnya. Ia bertekad akan mengikuti ayahnya, walau sang ayah melarangnya.

Tapi begitu ia membuka pintu kamar, ia tak melihat ayahnya di sana. Misnah berteriak-teriak memanggil, sambil berlari ke sana kemari. Air matanya bercucuran ketika ia berlari kejalanan sambil memanggil-manggil ayahnya.

“Bapaaak, jangan pergi Pak. Jangan tinggalkan Misnah Pak, jangan pergi … kalau Bapak kecapekan bagaimana? Kalau Bapak ingin minum wedang jahe bagaimana? Bapak … aku ikut Paaak … “

Misnah terus menangis. Misnah terus memanggil-manggil ayahnya.

“Nah, kamu itu kenapa?” seorang tetangga yang mau berangkat ke pasar menyapanya.

“Bapak saya pergi Bu, saya tidak boleh ikut.”

“Kamu seperti anak kecil saja Nah. Memangnya bapakmu pergi ke mana?”

“Katanya mencari mas Jarot.”

“Jarot siapa?”

“Anaknya bapak yang hilang sejak bayi.”

“O, itu bukannya hilang, tapi dibawa kabur istri bapakmu,” kata tetangga yang mengetahui perihal kehidupan Misdi sejak awal menikah lalu dikhianati istrinya.

“Iya, saya tahu. Sekarang bapak sedang mencarinya, aku ingin ikut tapi tidak boleh.”

“Apa bapakmu sudah tahu di mana anaknya itu sekarang? Bersama ibunya kan?”

“Tidak. Katanya ditaruh di panti asuhan tapi tidak jelas di mana. Bapak sedang mencarinya.”

“Ya sudah Nah, kamu tidak usah menangis. Kalau kamu dilarang ikut, itu karena tidak jelas bapakmu akan mencari ke mana. Pulanglah, besok bantuin aku bersih-bersih rumah saja, maukah?”

“Ya, Bu.”

“Ya sudah, pulanglah.”

Misnah mengangguk. Tapi hatinya masih belum tenang juga.  Ia terus berjalan sampai kemudian ia melihat tenda kecil tempat ayahnya bekerja. Misnah melangkah ke sana, berharap ayahnya mampir ke tempat kerjanya. Tapi ternyata tidak. Ada bangku kecil teronggok di sana, tapi tak ada peralatan tambal ban yang tampak. Misnah duduk di bangku kecil itu. Bangku kecil atau dingklik yang digunakan sang ayah duduk ketika sedang mengerjakan pekerjaannya.

Air matanya berlinang ketika merasa betapa lengangnya suasana di sana. Ada seorang laki-laki menuntun sepeda motornya, lalu berhenti di depan tenda itu.

“Lhoh, belum buka?” tanyanya.

Misnah menatapnya sambul mengusap matanya.

“Bapak tidak buka hari ini,” jawabnya lirih.

“O, tidak buka? Waduh, harus berjalan kesana nih, agak jauh sih,” katanya sambil berlalu.

Misnah menatapnya dan merasa kasihan. Tapi ia bisa apa? Lalu ada lagi seorang ibu menuntun sepedanya.

“Eh, kok belum buka?”

“Hari ini tidak buka Bu.”

Lalu Misnah membiarkan wanita itu berlalu sambil menuntun sepedanya. Dua pelanggan terlewat. Misnah merasa sayang. Itu kan rejeki. Tapi ia bisa apa? Lagi-lagi pemikiran itu yang melintas.

Tiba-tiba pemilik warung sebelah mendekati Misnah.

“Kok kamu, bapakmu mana?”

“Bapak sedang pergi, Pak.”

“Jadi hari ini nggak buka?”

“Ya enggak Pak,” jawab Misnah pelan.

Pemilik warung itu berlalu, tapi Misnah mengejarnya.

“Pak … Pak.”

“Ada apa?”

“Apa Bapak bisa menambal ban bocor?”

“Apa maksudmu? Pekerjaanku banyak, aku harus melayani pembeli warungku, masa kamu suruh aku menambal ban?” katanya sambil tertawa lucu.

“Bukan Bapak, pokoknya Bapak bisa tidak?”

“Walaupun bisa, aku tidak mau menjadi penambal ban.”

“Bisakah Bapak mengajari saya menambal ban bocor?”

“Apa? Kamu, perempuan kecil, mau jadi penambal ban?”

“Kalau Bapak mau mengajari saya, pasti saya bisa.”

“Kamu? Kamu kira gampang? Harus melepas ban, mengeluarkan ban dalamnya, memompanya, mencari mana yang bocor, lalu menambalnya, lalu memasangnya lagi, memompanya lagi.”

“Saya pernah melihat bapak saya melakukannya, sepertinya saya bisa. Tolong ajari saya Pak. Saya akan mencobanya.”

Pemilik warung itu tertawa. Tapi ia kagum pada tekad gadis kecil itu. Tampaknya kehidupannya yang berat membuat orang yang kekurangan sanggup melakukan apa saja.

“Tolonglah.”

“Baik, ayo kita ambil peralatan ayahmu,” katanya sambil berjalan ke depan warung, di mana peralatan pak Misdi diletakkan di sana.

“Baru alat-alatnya saja berat lhoh. Tapi aku bantu, aku kok jadi penasaran mendengar tekad kamu.”

Misnah tak peduli, ia ingin belajar. Kalau ia punya kesibukan, ia bisa melupakan keinginannya untuk mencari sang ayah.

Pemilik warung itu kebetulan punya sepeda kayuh yang bocor dan sedianya akan menyuruh pak Misdi untuk menambalnya. Ia membawa sepedanya itu ke bengkel.

“Ini, kebetulan ada. Nah, harus ditaruh di sini dulu, agak terangkat  kan, sehingga kamu bisa melepas bannya. Begini, tuh … berat kan?”

Tukang warung kagum dengan tekad Misnah. Benar-benar gadis itu bisa melepaskan bannya, dan kemudian melepaskan ban dalamnya.

“Lalu dipompa kan?”

“Ya. Sebentar, aku bantu mengambil air di dalam ember ini,” kata tukang warung itu sambil mengangkat ember. Ketika tukang warung itu kembali, Misnah sudah berhasil memompa ban dalamnya.

“Dimasukkan ke sini kan pak? Supaya kelihatan mana yang bocor?” kata Misnah yang sedikit-sedikit pernah membantu ayahnya.

Memang tidak mudah, tapi Misnah bisa melakukannya.

Ketika tukang warung kembali lagi setelah membuka warungnya, Sinah sedang menggunting potongan ban dalam yang akan dipergunakan untuk menambal.

“Disikat dulu bagian yang mau ditambal, baru bisa dikasih lem dan potongannya itu ditempelkan.”

Misnah mengangguk. Itu bukan pekerjaan mudah. Agak siang dia baru bisa menyelesaikannya. Dan sepeda pemilik warung sudah tidak bocor lagi.

Misnah tersenyum sambil mencuci tangannya.

“Aku bisa … aku bisa … “ pekiknya riang. Tangisnya hilang oleh kegembiraan yang dirasakan ketika ia berhasil melakukannya.

“Ternyata pekerjaan bapakku itu lumayan berat,” gumamnya sambil mengeringkan tangannya.

“Kalau untuk laki-laki ya tidak berat. Kamu perempuan, anak kecil pula,” kata tukang warung yang kagum melihat gadis kecil yang nekad itu.

“Aku mau menggantikan bapak di sini selama bapak pergi,” katanya sambil tersenyum.

“Kalau sepeda motor lebih berat lhoh. Mengangkat standartnya saja sudah berat.”

“Berat ya?”

“Misnah, kamu itu masih anak-anak, tidak perlu nekad melakukannya. Itu pekerjaan laki-laki dewasa.”

Misnah tampak kecewa.

“Kalau begitu saya menerima tambal sepeda kayuh saja,” gumamnya lirih, membuat pemilik warung tersenyum.

Tapi tiba-tiba terdengar suara keruyuk dari dalam perut Misnah. Ia ingin membeli makanan, tapi ketika merogoh sakunya, ternyata ia tak membawa uang sepeserpun. Tentu saja, kan tadi begitu bangun tidur dia langsung mencari ayahnya.

“Pak, saya pulang dulu sebentar.”

“Lho, ini alatnya bagaimana?”

“Nanti saya kembali lagi, mau mengambil uang saya.”

“Oh ya, ini uangmu.”

“Uang apa?”

“Kan kamu sudah menambal ban sepedaku? Terima saja,” kata pemilik warung sambil memaksa meletakkan selembar uang ke tangan Misnah.

“Ya ampun, kan tadi saya baru belajar.”

“Tidak apa-apa, ambil uangnya dan beli sarapan. Perutmu sudah bernyanyi kan?”

Misnah tersipu malu. Tapi ia bersyukur mendapat bayaran.

“Kalau begitu saya boleh numpang ke kamar mandi ya Pak?”

“Boleh, silakan saja.”

***

Sudah beberapa kantor yayasan panti asuhan yang didatangi Misdi, tapi gambaran tentang anaknya yang ada di suatu tempat tidak ditemukannya. Hari sudah sore ketika ia mendatangi sebuah panti asuhan yang lain.

Tapi ketika ia menanyakan tentang seorang bayi yang dititipkan sekitar sembilan belas atau duapuluhan tahun yang lalu, petugas panti asuhan tak bisa mengatakan apa-apa karena informasi darinya yang tidak jelas.

“Beberapa ada yang meninggalkan bayinya begitu saja, jadi mana mungkin saya bisa menjelaskan kepada Bapak tentang anak Bapak?”

“Namanya Jarot.”

“Tidak ada tercatat nama Jarot. Duapuluhan tahun silam, ada beberapa bayi ditinggalkan begitu saja oleh orang tuanya, dan sebagian besar sudah tidak di sini lagi. Mereka sudah bekerja, atau menjadi anak angkat orang lain.”

Itu adalah keterangan yang sama dari beberapa panti yang didatanginya.

Misdi melangkah lunglai. Sangat banyak panti asuhan di negeri ini, dan data yang dibawa tidak ada yang bisa diterima dengan jelas.

Hari sudah gelap ketika ia berniat pulang. Misdi merasa ia tak akan berhasil menemukan anaknya.

Karena letih dia tertidur di depan sebuah pagar rumah orang. Hari sudah siang ketika tiba-tiba sebuah mobil dari jalan berhenti, lalu pengendaranya turun. Seorang anak muda yang gagah menghardiknya kasar.

“Hei! pengemis bau! Mengapa tidur di situ?”

***

Besok lagi ya.

 

Friday, September 5, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 03

 LANGIT TAK LAGI KELAM  03

(Tien Kumalasari)

 

Pak Misdi terbelalak melihat wajah Srining yang mengucapkan kata mengejutkan itu dengan begitu tenang.

“Apa katamu?”

“Apa kamu tidak mendengar? Seharusnya kamu senang, kamu hidup tanpa punya tanggungan kecuali utuk diri kamu sendiri.”

“Apa kamu bukan manusia?” hampir berteriak Misdi.

“Ya ampun Mas, manusia dong. Kalau bukan manusia pasti tidak bisa memilih mana yang terbaik untuk hidupnya. Sudahlah, jangan banyak bicara. Tolong sepeda motorku ini dipompa. Nih, aku beri kamu uang sepuluh ribu.”

“Katakan di mana anakku?”

“Aku bilang, sudah aku buang. Cepatlah, aku sedang buru-buru, mau uang ini atau tidak?”

“Bawa uangmu, aku tidak sudi menerima uang dari tangan pendosa seperti kamu.”

“Baiklah, terserah kamu saja, aku bisa mencari tukang tambal ban lainnya.”

“Katakan dulu, kamu buang di mana anakku?”

“Aku sudah lupa, duapuluhan tahun yang lalu, tapi yakinlah bahwa dia pasti hidup tak kurang suatu apa.”

“Di mana?” Misdi berteriak.

“Sebuah panti asuhan, lupa di mana,” jawabnya sambil nekad menstarter sepeda motornya, walau ban belakangnya gembos.

Misdi menatap perempuan mantan istrinya itu yang tampak menjauh tak peduli. Tapi dari kejauhan ia melihat kemudian sepeda motor itu berhenti, lalu Srining menuntunnya.

Misdi mengusap air matanya, lalu tubuhnya ambruk di bangku kecil tempat dia duduk mengerjakan pekerjaannya. Air matanya masih mengalir ketika ia melanjutkan tugasnya menambal ban seorang pelanggan. Bagaimanapun ia tak mau mengecewakan pemilik sepeda motor itu, yang kalau nanti datang pekerjaannya belum selesai juga.

“Jarot, di buang di mana kamu Nak? Ibumu bukan manusia. Dia iblis. Ya Allah, lindungilah Jarot di manapun dia berada. Tunjukan di mana dia, Ya Rob,” dan air matanya tak berhenti menetes, membasahi pipinya yang mulai mengerut dimakan umur.

“Ada apa Pak?”

Misdi terkejut ketika tiba-tiba seseorang datang. Tersipu ia mengusap air mata dengan ujung bajunya.

“Tidak apa-apa Bu, hanya … teringat sesuatu … yang menyedihkan,” jawabnya terbata.

“Yang menyedihkan jangan diingat-ingat lagi Pak, jalani apa yang ada sekarang ini, dengan rasa syukur,” kata perempuan yang baru datang itu dengan lembut.

Misdi mencoba tersenyum. Seandainya Srining bisa berkata selembut itu.

“Pak, masih ada pekerjaan ya?”

“Ini, Bu, sudah hampir selesai, tinggal mengembalikan bannya, lalu memompanya. Sepeda motor ibu kenapa?”

“Kelihatannya bocor Pak, tadi di rumah sudah dipompa, ini kok gembos lagi. Bisa saya tinggal dulu Pak, nanti saya ambil setelah belanja.”

“Bisa Bu, segera setelah yang ini selesai.”

“Terima kasih ya Pak,” kata ibu, sang pelanggan yang kemudian melangkah pergi, setelah menatap pak Misdi dengan iba. Pasti kesedihannya sudah sangat menyakitkan, terbukti seorang lelaki sampai menangis.

Pak Misdi melanjutkan pekerjaannya, dan menahan tangisnya sebisa mungkin. Malu kalau sampai ada lagi yang melihatnya.

“Aku bukannya cengeng, aku sangat rindu pada anakku. Kasihan kamu le, dibuang ke mana kamu oleh ibumu?” dan kali ini ia bisa menahan air matanya, walau dadanya masih terasa nyeri.

***

Pak Misdi sedang mencuci tangannya, karena sudah menyelesaikan tugasnya, tinggal menunggu pemilik dua kendaraan yang sudah ditambal bannya.

Ia kembali teringat ungkapan Srining yang membuat dadanya serasa bagai ditusuk ribuan pedang.

“Pak, lagi sepi ya? Kok ngelamun?”

Pak Misdi mengangkat wajahnya. Perempuan yang kemarin memberinya empat bungkus nasi dan lauknya sedang berdiri di depannya.

“Ibu ….”

“Kok iba ibu iba ibu sih Pak, simbok. Itu cukup. Aku ini tidak biasa dipanggil ibu, malah nggak enak rasanya.”

“Oh, iya Mbok.”

“Nah, begitu lebih nyaman. Ini, aku bawakan nasi bungkus.”

“Kok lagi sih Bu, eh … Mbok?”

“Tuanku sudah selesai makan, ini ada beberapa bungkus, dimakan ya, sisanya boleh diberikan pada anaknya yang sedang menunggu di rumah.”

“Wah, kok jadi keterusan dapat jatah?”

“Bukan keterusan, hampir setiap hari begini. Ini, apa sampeyan sudah makan?”

“Belum Mbok, mau beli makanan, masih ada dua sepeda motor yang belum diambil, lalu sebuah sepeda kayuh juga masih di sini.”

“O, ya sudah. Kebetulan. Dimakan ya, tapi sampeyan kok kelihatan pucat? Apa sakit?”

“Tidak kok Mbok, tidak apa-apa.”

“Bener lho, kelihatan pucat, kalau memang sakit ya istirahat dulu, jangan terus bekerja.”

“Iya Mbok. Terima kasih banyak ya Mbok.”

“Sama-sama,” kata simbok sambil melangkah pergi.

“Banyak perempuan baik di dunia, mengapa mantan istriku berbuat sesuatu yang tidak masuk akal? Anak sendiri, yang dilahirkannya dengan bertaruh nyawa, dibuang begitu saja demi laki-laki kaya,” gumamnya sambil kembali mengusap air mata yang tak lagi bisa ditahannya.

Karena kesedihannya itu, ia jadi tak mampu membuka bungkusan nasi padahal sebetulnya perutnya juga merasa lapar.

***

Pak Hasbi sedang duduk di teras di udara siang yang panas, ketika melihat simbok masuk ke halaman.

“Dari mana Mbok?”

“Dari memberikan nasi sisa Tuan makan, untuk tukang tambal ban yang mangkal dekat perempatan, Tuan.”

“Biasanya kamu berikan kepada tukang-tukang becak di sana itu.”

“Tadi hanya sedikit, sekitar tiga bungkus saja. Kemarin itu ketika saya membawa bungkusan-bungkusan nasi, ternyata dia juga mau. Kasihan Tuan, tampaknya dia sedang tidak punya uang untuk membeli makan demi anaknya yang ditinggal di rumah. Jadi kemarin itu saya beri empat bungkus. Tapi kebetulan ada banyak nasi tersisa, karena mas Rizki tidak makan.”

“Sekarang dia di mana? Tidak pergi kan?”

“Tadi habis makan sepertinya tidur.”

“Kelihatannya hari ini tidak ada kuliah. Biarkan saja.”

“Aku tidak tidur Pak,” kata Rizki yang tiba-tiba muncul. Simbok kemudian berlalu ke belakang.

“Kata simbok kamu tidur?”

“Tidur sebentar, sekarang mau pergi lagi.”

“Libur kan? Mau pergi ke mana?”

“Ketemu teman, ada urusan.”

“Ya sudah, sana. Jangan lama-lama. Bapak kepengin ditemani ngobrol.”

“Nanti malam kita ngobrol, tapi sekarang aku mau minta uang Pak.”

“Lho, kan bapak sudah memberi kamu uang beberapa hari yang lalu. Lumayan banyak. Masa habis?”

“Ya habis Pak, kan Rizki beli baju-baju segala macam. Dua hari lagi kita ke pesta pernikahan mbak Dewi kan?”

“Kalau pegang uang itu jangan kemudian kamu habiskan untuk yang tidak perlu. Meskipun uangnya banyak, cobalah untuk hidup irit. Jangan menghamburkan uang untuk hal yang tidak perlu.”

“Iya, Rizki tahu kok. Semua yang Rizki beli adalah sesuatu yang perlu. Bapak tidak usah khawatir. Mana Pak, aku mau berangkat sekarang.”

Pak Hasbi merogoh sakunya lalu memberikan beberapa lembar uang untuk Rizki.

“Cuma ini Pak? Tambahin dong.”

“Rizki, bapak bilang apa, kamu tidak boleh boros.”

“Tapi bensin juga hampir habis.”

“Uang itu masih cukup untuk beli bensin dan uang jajan kamu, sudah, berangkat sana, tapi cepat pulang,” tandas pak Hasbi. Rizki pergi dengan mulut cemberut.

Pak Hasbi masih duduk di teras, lalu tak lama kemudian dilihatnya mobilnya keluar dari halaman.

“Anak itu lama-lama semakin membuat aku kesal. Bukan apa-apa, borosnya itu lho. Nanti kalau aku tidak memberinya uang, dia marah-marah. Kalau sudah senggang nanti aku mau bilang pada Dewi, supaya dia bicara sama Rizki. Siapa tahu kalau dengan Dewi dia mau menurut."

***

Sore itu rumah keluarga Adisoma yang di Jogya sangat sibuk. Besok adalah acara siraman penganten.

Listyo dan anak istri sudah sejak siang berada di sana, membantu apa saja yang bisa dikerjakan. Listyo mendekati Dewi, ingin bicara tentang Rizki.

“Dew, Rizki itu punya pacar?”

“Rizki? Masa? Mas Listyo tahu dari mana?”

“Entah pacaran atau tidak, tapi kemarin aku melihat dia di toko pakaian, bersama Citra.”

“Oh ya? Memangnya mereka pacaran? Citra itu teman kuliahnya kan?”

“Iya.”

“Mereka sudah dewasa, lumrah kalau kemudian saling suka. Yang penting bisa saling menjaga, jangan sampai melakukan hal-hal yang melompati rambu kesusilaan. Pastinya mereka tahu.”

“Bukan pacarannya yang ingin aku bicarakan.”

“Mas tadi awalnya bilang tentang pacaran bukan?”

“Ya, tapi aku melihat sesuatu yang sepertinya aku harus bicara sama kamu.”

“Apa tuh?”

“Di toko pakaian itu, Rizki membelikan beberapa baju untuk Citra.”

“Oh ya?”

“Baju-baju yang dipilih adalah baju bermerk. Mahal pastinya. Yang aku ingin tanyakan sama kamu, apakah pak Hasbi memberi uang begitu banyak pada Rizki sehingga Rizki bisa beli baju-baju mahal itu untuk pacarnya?”

“Wah, kalau itu, aku harus bicara pada kakek. Masa sekedar uang saku bisa dipakai untuk baju-baju mahal?”

"Aku takut dia melakukan hal yang kurang benar. Karena itulah aku bicara sama kamu.”

“Nanti setelah semuanya selesai, aku akan bicara pada kakek. Tapi kakek tidak pernah mengeluh soal Rizki. Kakek selalu mengatakan, dengan adanya Rizki, kakek jadi merasa tidak sendirian.”

“Syukurlah, semoga kebaikan pak Hasbi tidak disalah gunakan oleh dia.”

“Tapi nanti aku akan menyempatkan waktu untuk bicara sama kakek,.”

***

Misnah meletakkan bungkusan-bungkusan di meja dapur, tempat di mana mereka makan, baik pagi, siang ataupun malam.

“Bapak, mengapa bungkusannya masih banyak? Ada yang bisa untuk makan malam? Ini dari ibu yang kemarin ya?” berderet pertanyaan Misnah tapi tak satupun dijawab oleh ayahnya.

Ia masih duduk di kursi kayu depan kamar, yang biasanya dipakai duduk ketika pulang dari bekerja untuk melepaskan lelah, dan berbincang berdua.

“Bapak. Ya ampuun, Bapak melamun di sini? Ayo makan,” ajak Misnah sambil mendekati sang ayah.

“Kamu makanlah sendiri saja, bapak sudah makan,” kata Misdi yang tentu saja berbohong. Sejak siang ia tak mampu menelan makanan, gara-gara memikirkan anak laki-lakinya yang entah ada di mana.

“Tapi biasanya Bapak juga makan bersama Misnah kan. Misnah nggak mau makan kalau Bapak tidak makan,” kata Misnah merajuk.

Mendengar hal itu, Misdi terpaksa berdiri, lalu bersama anaknya pergi ke dapur.

“Bapak sudah kenyang.”

“Tapi Misnah nggak mau makan sendiri.”

Misdi terpaksa membuka bungkusan yang belum pernah dibukanya.

“Bapak, ini ayam goreng,” pekik Misnah kegirangan. Mereka belum pernah makan makanan seenak itu. Biasanya Misdi pulang dengan membawa nasi oseng, nasi urap dengan lauk tempe, atau apa saja yang harganya murah.

“Makanlah.”

“Ayo, Bapak juga harus makan, kok cuma dipandangi saja sih Pak,” kata Misnah sambil menggigit paha ayam yang dikunyahnya kemudian dengan nikmat.

“Ini dari ibu yang kemarin?”

“Iya.”

“Ayo … Bapak kenapa sih?”

Misdi membuka bungkusan nasi, lalu makan perlahan, hanya sekedar membuat anaknya senang.

“Ibu itu baik banget ya Pak, setiap hari memberi kita makan?”

“Dari orang kaya, yang makanannya tersisa.”

“Sementara kita kekurangan ya Pak. Bapak sakit? Kok dari tadi hanya diam? Tuh, makanannya hanya dimakan separuh,” kata Misnah cemberut.

Misdi mencoba tersenyum.

“Bapak kan sudah bilang, bapak sudah kenyang. Ini, kalau kamu masih mau, habiskan saja. Kalau masih sisa, panasin seperti kemarin, buat sarapan.”

“Misnah juga sudah kenyang. Dicampur  bungkusan yang itu saja, nanti Misnah panasin biar bisa dimakan besok.”

Tiba-tiba Misdi mengeluarkan sejumlah uang, diberikan kepada Misnah.

“Ini Nah, tadi agak rame, uangnya agak banyak. Kamu bawa saja, besok untuk beli makan kamu. Bapak besok tidak buka bengkel.”

“Tuh, Bapak sakit kan? Nanti Misnah kerokin ya.”

“Bapak mau pergi untuk suatu keperluan. Takutnya kamu lapar dan bapak belum pulang. Jadi bawa saja uangnya, untuk beli makanan kamu.”

“Memangnya Bapak mau ke mana?”

“Mencari kakak kamu.”

Misnah menatap ayahnya dengan heran.

***

Besok lagi ya.

Thursday, September 4, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 02

 LANGIT TAK LAGI KELAM  02

(Tien Kumalasari)

 

Arum menarik tangan suaminya, yang sedang menatap ke arah lain, membuat Listyo terkejut.

“Mas, sedang ngelihat apa sih? Dipanggil dari tadi nggak dengar ya?” tegur Arum.

“Oh, iya … maaf, itu … melihat mahasiswaku, lagi ngeborong baju-baju mahal.”

“Yang mana? O, itu … dari tadi milih-milih, yang dipilih baju-baju mahal. Anak orang kaya ya Mas? Yang mahasiswa Mas yang cewek apa cowok?”

“Dua-duanya. Kelihatannya mereka pacaran.”

“O, pacaran? Tampaknya anak orang kaya.”

“Kamu sudah selesai milihnya?”

“Belum, aku tuh nunggu persetujuan Mas, pilihan aku itu … Mas suka tidak?”

“Yang mana?”

“Yang sebelah sana, di sini harganya mahal-mahal.”

“Kalau kamu memang suka, ambil saja. Kan tidak tiap hari beli baju.”

“Nggak mau ah, aku yang biasa saja, yang penting bagus, elegant. Tidak usah yang bermerk. Lagi pula masih beli baju untuk anak-anak juga.”

“Nggak apa-apa, kalau memang suka.”

“Enggak … ya enggak. Baju mahal atau murah itu nggak akan ada bedanya. Kalau pas di tubuh kita, bagus dipandang, ya sudah. Ayo Mas, aku maunya yang sebelah sana. Warna biru muda, nanti biar serasi dengan jas yang mas pakai. Biru tua kan?”

“Baiklah.”

“Mas kok ngelihat ke sana lagi sih?”

“Sepertinya mereka sudah selesai belanja,” kata Listyo yang kemudian mengikuti istrinya.

“Biarin saja. Jangan bilang Mas tertarik pada gadis itu. Memang cantik sih.”

Listyo tertawa.

“Bagiku, perempuan tercantik adalah istriku.”

“Halaaaah, gombal.”

“Kok nggak percaya.”

“Buktinya Mas nglihatin dia terus.”

“Bukan perempuannya yang aku lihatin, tapi Rizki. Cowoknya itu. Royal amat membelikan baju mahal untuk pacarnya. Beberapa potong pula.”

“Memangnya kenapa? Bukan minta pada Mas kan?”

“Rizki itu, anak angkatnya pak Hasbi, sedangkan pak Hasbi itu kakek angkatnya Dewi.”

“Rizki anak angkat pak Hasbi, Dewi cucu angkat pak Hasbi, begitu?”

“Kamu kan pernah mendengar cerita tentang Dewi yang tadinya diculik orang jahat, lalu ditolong seorang kakek-kakek?”

“O itu? Iya, Mas kan sudah pernah cerita pada Arum?”

“Karena aku sudah tahu siapa pak Hasbi, maka aku perhatikan mereka. Pak Hasbi itu orang kaya. Apa dia memberi uang saku yang banyak pada anak angkatnya, sehingga bisa mentraktir baju-baju mahal untuk pacarnya?”

“Karena anak angkat, lalu dimanja, barangkali.”

“Kalau ketemu Dewi aku mau bicara. Perasaanku mengatakan bahwa Rizki itu terlalu royal. Apa benar, yang dipergunakan itu uang dari pak Hasbi yang memang memberi uang saku banyak, atau Rizki berbuat yang nggak benar? Kalau untuk ukuran mahasiswa, bisa mentraktir baju mahal itu sangat luar biasa.”

“Ya sudah, nanti Mas bicara sama Dewi saja. Ayuh, sekarang Mas lihat baju yang aku pilih. Kita kelamaan perginya, kasihan si Yu momong anak-anak sendirian.”

***

Simbok sedang membungkus nasi sisa makan siang, dengan lauk pauknya. Ia selalu merasa sayang membuang makanan sisa. Bukan sisa bekas makan, tapi persediaan makan yang tersisa. Ia membungkusnya entah menjadi beberapa bungkus, lalu diberikannya kepada tukang-tukang becak di sekitar rumah. Banyak orang butuh makan dan tidak bisa terpenuhi kebutuhannya karena keadaan, karenanya simbok selalu merasa sayang membuang makanan. Pak Hasbi senang, simbok sudah seperti Dewi, suka memberi. Seperti ketika Dewi menyarankan agar sebagian hartanya disumbangkan ke yayasan-yayasan yang membutuhkan, ia juga menyarankan kepada simbok agar makanan sisa yang masih pantas dimakan, diberikan kepada orang yang membutuhkan.

Ketika simbok membawa satu keresek penuh bungkusan makanan, seorang laki-laki berpakaian kumuh melintas. Sebenarnya simbok ragu untuk memberikan bungkusan nasi itu, jangan-jangan dia tersinggung. Tapi kemudian ia nekad memanggilnya.

“Pak, Bapak ….”

Laki-laki itu berhenti, menoleh sekilas ke arah simbok, lalu melanjutkan langkahnya, karena tak yakin dia yang dipanggilnya.

“Pak, maukah Bapak, kalau saya memberi sebungkus nasi untuk Bapak?”

Laki-laki itu sekarang berhenti. Ia tampak senang, lalu simbok mendekatinya.

“Saya punya beberapa bungkus nasi dengan lauknya, kalau Bapak suka, nih … untuk Bapak,” kata simbok sambil mengulurkan sebungkus nasi.

Laki-laki itu tersenyum, ia menerimanya dengan mata berbinar.

“Terima kasih banyak, saya sedang mau membelikan sebungkus nasi untuk anak saya di rumah. Terima kasih banyak, saya tidak jadi kehilangan uang untuk membeli.”

“Anak Bapak ada berapa?”

“Dua, cuma yang satu hilang entah ke mana.”

“Bapak rumahnya di mana?”

“Sana, kampung di depan sana.”

“Bapak dari mana?” simbok sudah seperti wartawan, banyak yang ditanyakannya. Mungkin karena penasaran melihat kegembiraan laki-laki itu setelah urung kehilangan uang untuk membeli nasi karena sudah diberinya, gratis.

“Saya bekerja di ujung jalan itu, sebagai penambal ban.”

“O, iya. Pantesan saya seperti sering melihat Bapak. Yang buka tambal ban di sana itu? Lha ini Bapak sudah mau pulang?”

“Iya, alat-alat saya titipkan di warung dekat situ. Sudah sore, saya mau pulang. Hari ini sepi, jadi saya mau pulang saja, karena anak saya mungkin sudah menunggu dan kelaparan. Terima kasih ya Bu,” kata laki-laki itu sambil membalikkan badan.

“Eh, Pak. Tunggu, kalau itu diberikan untuk anak Bapak, lalu Bapak makan apa? Sudah makan?”

“Belum, tidak apa-apa, asalkan anak saya tidak lapar,” jawabnya tersipu.

“Tunggu Pak, kalau begitu ini, saya tambahin dua bungkus lagi,” kata simbok sambil memberikan dua bungkus lagi.

“Sudah Bu, ini cukup. Kalau diberikan saya, nanti kurang.”

“Yang kurang siapa? Ini makanan yang sudah tidak dibutuhkan. Lalu saya bungkus jadi beberapa bungkus, untuk siapa saja yang membutuhkan. Nih, terima saja.”

“Yang lain bagaimana?”

“Gampang, ada tukang becak yang suka mangkal di sebelah saya, biasanya ada tiga, ini masih cukup.”

“Bener ya Bu, ini untuk saya juga?”

“Iya Pak, jangan sampai anak Bapak makan, Bapak sendiri tidak."

“Bisa sebungkus berdua kan Bu.”

“Jangan, sudah … bawa ini yang dua lagi, eh … tidak, ini tiga, ada tas keresek yang tersisa, bawa aja.”

“Lhoh, ini cukup Bu, sudah. Ini saja.”

“Jangan, yang dua buat makan nanti malam. Lauknya kering, tidak bakalan basi. Sayurnya saya bungkus sendiri dalam plastik.”

“Terima kasih banyak ya Bu.”

“Lain kali kalau ada, akan saya antarkan ke tempat kerja sampeyan. Tapi pesan saya, jangan memanggil saya ‘bu’. Saya hanya pembantu di rumah tuan Hasbi. Panggil simbok saja.”

“O, tuan Hasbi, yang masuk gang itu kan?”

“Kok sampeyan tahu?”

“Anaknya laki-laki, gagah, pernah menambal ban sepeda motor di tempat saya.”

“Sepeda motor? Putra tuan Hasbi tidak punya sepeda motor.”

“Waktu itu dia bersama temannya, seorang gadis. Kalau begitu sepeda motor itu punya temannya.”

“O, iya barangkali. Ya sudah Pak, pulang sana, anaknya kelamaan menunggu.”

“Baik, terima kasih Bu,” jawabnya sambil menoleh ke arah jalan yang agak kecil, dimana tadi simbok muncul ke jalan raya.

Simbok melanjutkan langkahnya. Ada tiga bungkus lagi yang akan diberikannya kepada tukang becak di depan sana.

***

Laki-laki itu pak Misdi, yang sudah dua tahun menjadi tukang tambal ban di dekat rumah pak Hasbi. Ia hidup bersama seorang anak perempuan yang umurnya belasan tahun. Ia hanya mampu menyekolahkan sampai lulus SD. Selebihnya dia menjadi pembantu di tetangga sekitar. Bukan pembantu tetap, tapi hanya kalau ada yang membutuhkan.

Sudah tiga hari Misnah sakit, sehingga tidak bisa bekerja. Karena itulah pak Misdi buru-buru pulang mengingat sang anak yang belum makan sejak siang. Pagi harinya dia sudah membelikan bubur, dan obat panas yang dibelinya di warung.

Ketika derit pintu bambu terdengar, Misnah yang sudah bisa duduk walau tubuhnya masih lemas, terdengar menyapa.

“Bapak?”

“Iya Nah, ini aku.”

“Masih agak siang, Bapak kok sudah pulang?”

“Beberapa hari ini bapak pulang agak siang, karena kamu sakit. Takutnya kamu lapar. Ini bapak bawa makanan.”

“Aku tidak lapar. Sabar kok menunggu Bapak.”

“Pasti laparlah, masa tidak makan dari siang kok tidak lapar. Ayo, dimakan. Bapak cuci tangan dulu, baru kita makan sama-sama. Kamu kok ya sudah duduk, apa sudah tidak pusing lagi?”

“Tidak, besok aku sudah mau mencari pekerjaan lagi. Barangkali ada yang membutuhkan.”

“Jangan dulu Nduk, istirahat dulu sehari dua hari lagi.”

“Tidak apa-apa. Misnah kuat kok. Ayo kita makan di dapur Pak, Bapak saya tunggu di sana ya?”

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

***

Misnah makan dengan lahap, karena ada lauk ikan di dalamnya. Keduanya belum pernah makan seenak itu.

“Tadi laris ya Pak, sehingga Bapak beli makanan dengan lauk ikan ini? Empat bungkus pula.”

“Tidak Nah, itu tadi diberi orang.”

“Diberi orang?”

“Ada orang kaya, makanannya tersisa banyak. Pembantunya membungkusnya jadi beberapa bungkus, bapak dikasih empat bungkus.”

“Mengapa banyak banget Pak?”

"Pembantu itu kasihan pada kita, karena aku mengatakan bahwa ada kamu menunggu di rumah dan pasti belum makan.”

“Bapak kok gitu, malu dong Pak.”

“Mengapa malu? Bapak juga nggak minta, cuma bilang kalau ada anak bapak di rumah.”

“Orangnya baik banget, pasti juga orang kaya. Makannya enak, pakai sayur ada udangnya, lalu ada ikan gorengnya.”

“Bersyukurlah, kita mendapatkan rejeki.”

Misnah bukan anak kandung pak Misdi. Ia menemukan seorang anak perempuan berumur lima tahunan yang menangis dipinggir jalan dan tidak punya keluarga. Kemudian pak Misdi membawanya pulang, lalu memberinya nama Misnah, sesuai dengan namanya sendiri. Misnah anaknya Misdi, sepertinya pas, kata batin pak Misdi waktu itu.

Pak Misdi sebenarnya punya anak laki-laki. Pada suatu hari anak laki-lakinya yang masih bayi dibawa pergi istrinya yang kabur bersama laki-laki lain yang lebih kaya. Pak Misdi yang kesepian kemudian mendapatkan ganti si Misnah, yang dibesarkannya sejak ditemukan sekitar sepuluh tahun lalu.

“Yang dua ini, buat makan malam,” kata pak Misdi.

“Buat besok pagi saja. Ini makanannya banyak, kita pasti masih kenyang sampai malam.”

“Kalau basi bagaimana?”

“Nanti Misnah panasi lagi, supaya masih bisa dimakan besok pagi.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Tapi janji ya, besok pagi jangan mencari pekerjaan dulu. Kamu baru saja sembuh, wajahmu saja masih pucat begitu.”

***

Hari itu rejeki pak Misdi sedang baik. Sejak pagi ada saja orang menambal ban ke bengkel kecilnya.

Ketika ia sedang menambal ban seorang pelanggan, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti.

“Pak, tolong pompain dong, agak gembos nih, tapi yakin tidak bocor kok.”

Pak Misdi mengangkat wajahnya. Ia seperti mengenali suara itu. Ia terkejut ketika menatapnya.

“Srining? Kamu?”

Srining adalah mantan istrinya.

“O, kamu sekarang jadi tukang tambal ban to Mas?”

“Mau bagaimana lagi, untuk menyambung hidup ya apa saja aku lakukan. Seneng, kamu sekarang jadi orang kaya.”

“Orang hidup itu yang dicari apa sih Mas, hidup enak kan? Aku minta maaf, terpaksa meninggalkan kamu. Capek, hidup miskin Mas.”

”Ya, terserah kamu saja. Syukurlah kalau kamu sudah menemukan hidup enak. Pastinya anakmu, Jarot juga ikut hidup enak.”

“Anakmu apa? Aku tidak membawa Jarot.”

“Apa? Bukankah kamu kabur dengan membawa Jarot?”

“Tidak. Suamiku nggak mau aku membawa anak.”

“Lalu di mana anak itu sekarang?” kata pak Misdi dengan nada tinggi. Ia marah sekali.

“Sudah aku buang.”

***

Besok lagi ya.

Wednesday, September 3, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 01

 LANGIT TAK LAGI KELAM  01

(Tien Kumalasari)

 

Rizki baru saja datang dengan membawa banyak bungkusan. Simbok yang sedang menyiapkan makan siang terkejut, melihat bungkusan berserakan di lantai.

“Mas Rizki beli apa saja, banyak sekali?”

“Ini baju dan jas yang akan aku pakai besok ketika mbak Dewi menikah. Masa ada nikahan aku harus memakai pakaian biasa saja?”

“Bukankah di almari tuan masih banyak jas milik tuan yang masih bagus dan pastinya pas kalau mas Rizki pakai.”

“Nggak mau ah, pakaian milik bapak memang banyak tapi nggak pas kalau aku pakai. Kebesaran. Malu aku, nanti dikira aku memakai baju pinjaman.”

“Bukankah kemarin sudah kamu coba sih Riz, menurut bapak itu tidak kebesaran,” kata pak Hasbi yang keluar dari kamarnya mendengar suara simbok dan Rizki.

“Bapak bagaimana sih, menurutku itu kebesaran, dan modelnya juga model kuno. Rizki malu dong Pak, nanti dikira Bapak tidak mampu membelikan baju baru untuk anaknya.”

Rizki membuka mungkusan satu demi satu di depan ayahnya, semuanya adalah baju-baju model terbaru yang harganya bukan main mahalnya.

”Mas Rizki membuang-buang uang saja,” gerutu simbok sambil masuk kembali ke dapur.

“Simbok tidak tahu apa-apa. Ya kan Pak, Bapak memberi Rizki uang kan supaya Rizki tidak tampak memalukan kalau dilihat orang banyak.”

“Terserah kamu mau beli apa, tapi menurutku, apa yang dikatakan simbok itu benar. Kamu membuang-buang uang.”

“Kalau untuk sesuatu yang berguna, kan tidak apa-apa sih Pak, kalau Rizki tampil pantas dan gagah, bukankah orang-orang juga akan memuji Bapak? Bapak orang yang kaya raya, masa aku harus berpakaian yang biasa-biasa saja?”

Pak Hasbi diam. Memang uangnya masih banyak, tapi dia tidak suka melihat pemborosan yang dilakukan Rizki, anak angkatnya.

Rizki diambil dari sebuah panti asuhan. Dia sudah lulus SMA, dan ingin melanjutkan kuliah, tapi tak ada biaya. Rizki sebenarnya anak pintar. Ketika pak Hasbi datang bersama Dewi, Rizki sedang bersih-bersih kebun. Ia tampak seperti anak baik yang sangat rajin. Kepala panti asuhan mengatakan bahwa sebenarnya Rizki anak pintar. Nilai sekolahnya selalu bagus. Dengan pemikiran yang matang, maka pak Hasbi kemudian mengambil Rizki sebagai anak angkat, kemudian dibiayainya untuk masuk ke perguruan tinggi.

Tapi bukannya menyadari kehidupan yang semula dilaluinya dengan serba kekurangan, Rizki seperti mendapat peluang untuk hidup bersenang-senang sebagai anak orang kaya. Apalagi pak Hasbi sangat memanjakannya.

Rizki yang pada awalnya tampak sangat menghormati ayah angkatnya, lambat laun berubah menjadi anak yang sombong. Penampilannya harus pantas. Baju mahal, sepatu mahal, itulah yang selalu diinginkannya. Alasannya adalah tak ingin membuat malu ayah angkatnya.

***

Minggu depan Dewi menikah. Satria merasa sudah bisa menghidupi istri, sudah punya rumah yang layak. Dewi juga sudah menyelesaikan kuliahnya.

Hari itu pak Hasbi datang ke rumah Dewi. Setelah berbincang dan beramah tamah dengan keluarga Adisoma, pak Hasbi memberikan sekotak perhiasan, membuat Dewi terkejut.

“Kakek, mengapa Kakek repot-repot memberikan perhiasan ini untuk Dewi?”

“Ini adalah perhiasan milik mendiang istriku. Sedianya akan aku berikan untuk Bening, tapi karena Bening sudah tak ada, maka ini hanya untuk kamu. Memang, aku tahu orang tuamu kaya, dan pasti sudah memberikan yang lebih baik dari ini, tapi tolong terimalah pemberian dari kakek, sebagai tanda bahwa kakek sangat menyayangi kamu seperti kepada cucu kakek sendiri.”

“Kakek, Dewi bukannya ingin menolak karena orang tua Dewi memiliki segalanya, tapi Dewi merasa Kakek sangat berlebihan.”

“Dewi, sebuah kasih sayang tidak ada yang namanya berlebihan. Kamu memiliki banyak arti dalam kehidupan kakek. Kakek bisa meneruskan hidup ini karena kamu. Kakek yang sudah putus asa karena kehilangan pegangan, serta tak tahu harus bagaimana menjalani hidup, dengan adanya kamu kakek bisa melakukan apa yang seharusnya kakek lakukan.”

Dewi memeluk pak Hasbi dengan linangan air mata.

“Baiklah Kakek, Dewi menerima ini dengan penuh rasa syukur, karena barang-barang ini adalah curahan kasih sayang Kakek untuk Dewi.”

“Kelak kalau aku sudah tak ada, setiap kali memandangi perhiasan ini, maka kamu pasti akan mengingat kakek, bukan?”

“Kakek, tanpa pemberian apapun dari Kakek, Dewi akan selalu mengingat Kakek, karena Kakek adalah kakekku.”

“Baiklah, terima kasih karena telah mau menjadi keluargaku. Katakan apa yang kurang untuk acara pernikahan kamu, kakek akan memberikannya.”

“Tidak ada yang kurang Kakek, Dewi tidak ingin pernikahan ini terlalu mewah. Kalau ada uang lebih, lebih baik Dewi berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.”

“Cucuku adalah gadis yang berbudi luhur dan mulia. Aku bangga memiliki kamu,” kata pak Hasbi sambil mengelus kepala Dewi.

“Aku bahagia memiliki Kakek,” kata Dewi sambil kembali memeluk ‘kakeknya’.

“Setelah menikah apakah kamu tidak akan menemui kakek lagi?”

“Mengapa Kakek berkata begitu? Dewi janji akan sering mengunjungi Kakek. Tapi Kakek kan tidak lagi kesepian setelah ada Rizki?“

Pak Hasbi menghela napas panjang. Ia tak ingin menceritakan kekesalannya tentang Rizki.

“Pada awalnya Rizki memang lebih sering dirumah setelah pulang kuliah. Tapi belakangan ini dia sering keluar rumah.”

“Kakek tidak menegurnya?”

“Alasannya ada saja. Ya sudah, kalau itu untuk keperluan sekolahnya ya biarkan saja. Tidak apa-apa asalkan dia berhasil dalam kuliahnya.”

“Tapi Kakek harus sering menegurnya supaya tidak keterusan.”

“Baiklah, nanti kakek tegur dia.”

“Kakek tadi datang kemari dengan siapa?” lanjut Dewi.

"Tadi diantar Rizki, tapi entah ke mana anak itu, lama sekali tidak menjemput.”

“Kakek sudah ingin pulang?”

“Sebenarnya iya, kakek sekarang gampang sekali lelah.”

“Kalau begitu biar man Tangkil mengantar Kakek, sebentar Dewi panggil ya.”

“Jangan merepotkan, kamu telpon Rizki saja.”

“Oh iya, baiklah.”

Tapi berkali-kali menelpon, selalu saja tak diangkat.

“Ke mana anak itu?”

“Ya sudah, carikan becak saja.”

“Jangan Kakek, biar Kakek diantar man Tangkil. Nanti Dewi juga mau ikut.”

“Jangan Dewi, sebentar lagi kamu menikah, mana boleh keluar rumah?”

“Tidak boleh ya Kek?”

“Tidak boleh. Sudah, biar kakek sendiri saja.”

“Kalau begitu biar manTangkil saja aku panggil. Jangan kakek pulang sendiri.”

***

Ternyata Rizki sedang berada di rumah teman wanitanya.

Gadis itu adalah Citra, teman kuliahnya yang cantik, yang selalu mendekati Rizki karena Rizki sangat royal dalam mentraktir makan dan membelikan apa-apa yang dimintanya.

Hari itu ketika libur kuliah, Rizki sedang mencari jalan untuk bisa keluar untuk menemui Citra. Dan beruntunglah dia karena pak Hasbi menyuruh mengantarnya ke rumah Dewi, karena pak Hasbi ingin memberikan hadiah untuk ‘cucunya’ yang akan menikah beberapa hari lagi.

Ketika pak Hasbi diturunkan, Rizki langsung pergi.

“Jangan lama-lama, segera jemput bapak ya,” pesan pak Hasbi.

“Iya, jangan khawatir.”

Tapi sudah berjam-jam Rizki berada di rumah Citra, dan lupa kalau harus menjemput ‘ayahnya’. Ia bahkan mengabaikan panggilan telpon dari Dewi yang berulang kali mengusik telinganya.

“Dari siapa sih Riz, kenapa tidak diangkat?”

“Dari mbak Dewi, biarkan saja. Paling menyuruh aku menjemput bapak.”

“Kasihan dong kalau tidak dijemput?”

“Nggak apa-apa, orang tua mbak Dewi punya mobil. Pasti bapak sudah diantarkannya pulang.”

“Mbak Dewi itu yang mau menikah ya?”

“Iya, kamu besok ikut datang ke pesta pernikahannya ya?”

“Nggak ah, nggak diundang, masa datang.”

“Datangnya kan sama aku, mengapa takut? Biar semua orang tahu, kalau putra pak Hasbi punya pacar yang cantik.”

“Tapi ke pesta orang kaya kan harus memakai baju bagus?”

“Kamu mau? Nanti aku belikan baju yang pantas untuk kamu.”

“Benarkah?”

“Iya, sekarang juga bisa, aku masih membawa uang sisa yang diberi bapak kemarin. Ayuk, kamu pilih sendiri yang kamu suka.”

“Nanti kamu dimarahi ayahmu kalau membelikan baju aku juga.”

“Tidak, ayahku kaya, dia tak akan marah walau uang yang aku bawa aku habiskan. Nanti kalau habis aku juga pasti diberinya lagi.”

“Waah, kamu anak yang selalu dimanja oleh ayahmu ya Riz?”

“Karena aku anak tunggal. Untuk apa harta ayahku kalau tidak aku buat bersenang-senang.”

“Bener nih, mau ngajakin aku beli baju?”

“Ya bener dong. Masa sih aku bohong. Cepat bersiap, nanti sehabis beli baju untuk kamu, aku baru mau pulang.”

“Baiklah kalau begitu,” kata Citra sambil melonjak senang, lalu masuk ke dalam rumah untuk berganti baju.

***

Simbok heran melihat sang tuan datang dengan diantarkan mobil yang lain.

“Tuan pulang naik apa tadi tuh?”

“Naik mobil.”

“Iya, simbok tahu, maksudnya mobil siapa?”

“Mobil keluarganya Dewi.”

“Mas Rizki ke mana?”

“Nggak tahu aku, setelah aku ditinggal di rumah Dewi, lama sekali tidak menjemput. Dewi menelpon, tidak diangkat.”

“Karena itu lalu Tuan diantarkan keluarga non Dewi?”

“Aku lelah menunggu, kan sudah berjam-jam aku ngomong-ngomong sama Dewi, sama keluarganya juga.”

“Mas Rizki itu terkadang menjengkelkan. Suka semaunya sendiri. Tuan sih, terlalu memanjakannya.”

“Biarkan saja Mbok, asalkan dia senang.”

“Menurut saya, Tuan jangan terlalu memberi kebebasan untuk belanja. Simbok rasa, dia itu hanya suka menghambur-hamburkan uang. Terkadang barang yang tidak perlu juga dibeli. Seperti kemarin itu. Masa beli jas, sementara punya tuan di almari banyak jas yang bagus-bagus dan tidak pernah dipakai lagi. Padahal jas itu kan mahal, Tuan?”

“Iya, katanya modelnya kuno, dan dia kebesaran.”

“Alasan mengada-ada. Tuan sih tidak pernah benar-benar memarahinya kalau dia berbuat sesuatu yang keterlaluan.”

“Aku tuh nggak bisa memarahi dia Mbok, dia kan menjadi penghiburku, dan dia juga selalu menemani aku.”

“Menurut saya, pada awalnya saja mas Rizki itu baik. Pada awal kedatangannya dia sangat menghormati Tuan, tidak pernah berbuat yang aneh-aneh. Sekarang, pergi kuliah saja naik mobil. Makan juga selalu minta yang enak-enak.”

“Sudahlah Mbok, biarkan saja, kalau simbok ngedumel terus, aku malah jadi kepikiran.”

“Maaf Tuan, Tuan baru datang saya sudah mengomel, habis saya jengkel. Ya sudah Tuan istirahat saja, atau Tuan mau makan? Tuan belum makan siang tadi.”

“Sudah Mbok, tadi makan di rumah Dewi, dijamu bersama kekuarganya. Mereka orang-orang baik. Keluarga ningrat yang tidak membeda-bedakan derajat orang lain.”

“Tuan sudah makan? Kalau begitu makanan akan simbok bawa kebelakang saja.”

“Nanti kalau Rizki pulang bagaimana?”

“Nanti gampang, belum tentu pulangnya jam berapa. Nanti kalau dia butuh makan pasti minta.”

“Terserah kamu saja, aku mau istirahat.”

***

Rizki tidak segera pulang, karena dia pergi ke toko pakaian untuk membelikan baju Citra yang akan diajaknya ke pesta.

“Aku bingung Riz, mau pilih yang mana?”

“Terserah kamu, kan kamu yang mau memakai.”

“Aku suka yang hijau itu, tapi harganya sangat mahal. Yang lain saja.”

“Nggak apa-apa, biar mahal kalau kamu suka, ambil saja.”

“Benar nih?”

“Iya, ambil.”

“Aku cobain dulu ya, kekecilan atau enggak,” katanya sambil memberi isyarat kepada pelayan untuk mengambilkan baju yang dia pilih.

Sementara itu tak jauh dari mereka, Listyo juga sedang menemani istrinya memilih baju. Listyo terkejut. Ia tahu tentang Rizki, mahasiswanya yang anak angkat pak Hasbi, karena Dewi sudah menceritakan semuanya. Tapi dia heran ketika melihat Rizki membelikan baju untuk Citra. Ada yang terasa aneh melihat Rizki begitu royal, karena yang dipilih adalah baju mahal, sementara istrinya sendiri lebih memilih yang lebih sederhana.

***

Besok lagi ya.