HANYA BAYANG-BAYANG 13
(Tien Kumalasari}
Puspa berhenti melangkah. Ia mengamati keduanya. Puspa tahu, gadis itu adalah adik kelasnya bernama Wuri. Gadis sederhana yang lumayan manis. Sepertinya ia sedang menanyakan beberapa hal pada Nugi, yang dijawab Nugi dengan wajah cerah. Ada sedikit rasa cemburu ketika menatap mereka, padahal belum tentu ada apa-apa diantara keduanya. Walau begitu Puspa kemudian terus melangkah mendekati, lalu berdiri di belakang Nugi, yang kemudian terkejut ketika melihatnya.
“Puspa? Tidak mendengar langkahmu, tiba-tiba kamu ada di sini?”
“Aku tidak menginjak lantai,” canda Puspa, yang ditanggapi Nugi sambil tertawa kecil.
“Iya, kamu kan pakai sepatu. Bukan berarti kamu siluman kan?”
Mereka tertawa, Wuri ikut tertawa.
“Oh ya, apakah aku mengganggu?” tanya Puspa sambil menatap Wuri.
“Tidak Mbak, saya hanya bertanya sesuatu pada mas Nugi. Sekarang sudah selesai, saya permisi,” kata Wuri sambil membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan terima kasih kepada Nugi.
“Asyik sekali?” tanya Puspa.
“Hanya menanyakan tentang bahan kuliah.”
“Bagaimana keadaan kamu? Sudah benar-benar sehat?”
“Alhamdulillah aku sudah sehat. Hanya kecapekan.”
“Lain kali jangan capek-capek. Ingat, kita hampir ujian.”
“Terima kasih.”
“Ayo kita keluar, aku membawa bubur untuk kamu.”
“Apa? Kamu selalu begitu, aku sudah sarapan.”
“Hanya bubur, tidak akan membuat perut kamu meledak,” kata Puspa sambil menarik tangan Nugi. Lalu dengan halus Nugi melepaskannya, pura-pura mengambil sesuatu dari dalam sakunya, tapi ia mengikuti langkah Puspa, yang ternyata mengajaknya makan bubur yang dibawanya dibawah pohon rindang, seperti pernah dilakukannya ketika dia membawa nasi soto buatan bik Supi.
“Mengapa kamu melakukannya?”
“Melakukan apa?”
“Membawa makanan untuk aku. Aku pasti sudah sarapan dari rumah. Nenek selalu menyediakannya sebelum aku berangkat.”
“Aku hanya ingin makan bubur bersamamu. Ini bubur enak, kuahnya opor, dengan telur dan ayam.”
“Nanti aku bisa kekenyangan.”
“Tidak, bubur lebih banyak mengandung air, kalaupun mengenyangkan, hanya sementara.”
“Sok tahu,” ledek Nugi.
“Memang benar. Aku sering melihat bibik ketika membuat bubur. Berasnya sedikit, bisa menjadi bubur satu panci.”
“Kamu sering menyuruh pembantu membuat bubur?”
“Tidak sering. Ayahku terkadang ingin, kalau sedang tidak enak badan.”
“Lain kali tidak usah membawa makanan untuk aku.”
“Kenapa? Nggak suka?”
“Bukan, ini kan merepotkan?”
“Tidak repot kok. Ayo, segeralah dimakan, nanti keburu dingin, jadi kurang nikmat.”
Nugi terpaksa menurutinya, mereka makan, sesekali saling bertatap muka, lalu Nugi mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia heran pada perasaannya. Mengapa tiba-tiba saja dekat dengan gadis ini? Gadis kaya yang kesehariannya datang ke kampus dengan mobil bagus. Sedangkan dirinya, hanya anak seorang pembantu yang memiliki cita-cita setinggi bintang di langit.
Tiba-tiba ia teringat pada sang ibu. Di manakah ibunya bekerja, sehingga setiap bulan bisa mengiriminya uang. Ia selalu bangga pada ibunya. Ibunyalah yang mendorong dirinya untuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, padahal ketika lulus SMA dia ingin mencari pekerjaan saja.
“Nug, biarlah ibumu ini hidup susah. Biarkan keringat membasah, asalkan kamu bisa menemukan kehidupan yang lebih baik. Kata gurumu, kamu itu pintar, sayang kalau berhenti sekolah.”
Dan Nugi bisa berkuliah dengan bea siswa. Walau begitu bukan berarti ia tak butuh biaya.
“Nugi, makan sambil melamun ya?”
Nugi terkejut, lalu menatap Puspa sambil tersenyum.
Dan lagi-lagi Nugi merasakan ada sesuatu yang aneh pada batinnya.
“Jangan bilang aku jatuh cinta pada gadis itu. Siapa dia, dan siapa diriku. Sadar Nugi, kamu hanya merindukan bulan, sementara kamu hanyalah pungguk kecil segenggaman tangan,” kata batin Nugi memarahi dirinya sendiri.
“Tidak enakkah?”
“Sangat enak,” jawab Nugi sambil melanjutkan menyendok buburnya.
Ketika mereka selesai makan, Puspa mengumpulkan bungkus bekas bubur dan memasukkannya ke dalam keresek. Ketika Nugi memintanya untuk membuangnya ke tempat sampah, Puspa melarangnya. Ia sendiri yang kemudian membawa ke tempat sampah dan membuangnya.
Nugi menatapnya dan mengeluh panjang.
“Ini tak bisa diteruskan. Aku harus bisa membunuh perasaan aneh ini, dan menghindari pertemuan dengannya. Nanti aku terjerumus ke dalam lobang yang menyakitkan karena cinta tak mungkin berbalas,” kata batin Nugi, yang kemudian berdiri, sehingga Puspa yang sudah kembali, urung duduk seperti tadi.
“Ke kelas?”
“Aku mau ke perpus lagi, ada yang aku cari untuk bahan skripsi.”
“Aku juga mau ke sana,” kata Puspa yang kemudian mengikutinya. Susah payah Nugi mengendapkan debar jantungnya yang tak beraturan. Alangkah bencinya ia dengan perasaan ini.
***
Srikanti sedang berada di toko perlengkapan rumah tangga. Ia memilih-milih, lalu meminta semua barang belanjaan itu di kirim ke rumah barunya.
Minggu depan semuanya sudah oke. Ia membayar orang untuk membersihkan rumah dan menata perabotan lengkap karena ia akan segera menempatinya bersama Priyadi. Hanya saat suaminya pulang saja Srikanti kembali ke rumah suaminya.
Puspa yang pulang dari kampus melihat bibik menyingkirkan semua makanan yang semula tertata di meja.
“Bik, kok sudah diangkat semuanya?”
“Ya ampun Non, bibik sampai terkejut. Non mau makan ya? Biar bibik tata kembali.”
“Baiklah, aku juga lapar, tapi aku mau ganti baju dulu,”
Dan siang hari itu Puspa makan sendirian, ditemani bik Supi.
“Ibu tidak makan?”
“Sudah beberapa hari ini Nyonya selalu pulang sore. Jadi hanya makan malam kalau bersama Tuan. Terkadang pergi setelah Priyadi kembali dari kantor, sore hari baru pulang.”
“Setiap hari?”
“Iya Non, jadi meskipun bibik sudah menata makanan di meja makan, selalu tidak termakan, sehingga bibik mengangkatnya kembali ke dapur. Hari ini tumben non Puspa pulang agak siang, jadi bisa menikmati masakan bibi di siang hari.”
“Akhir-akhir ini ibu kelihatan sekali kalau kesal padaku.”
“Ada apa sih Non?”
“Entahlah, aku sendiri tidak tahu.”
“Mungkin ada yang membuat nyonya kesal pada Non.”
“Ya, pastinya. Tapi itu apa, aku tidak tahu.”
“Ya sudah, sebagai seorang anak, Non harus diam, jangan rasa kesal dilawan dengan kesal.”
“Aku hanya berpikir saja. Tidak ingin menanyakan apa-apa pada ibu.”
“Ya, itu yang terbaik.”
Puspa meneruskan makannya.
“Bik … aku mengenal seseorang yang baik di kampus. Dia laki-laki yang pintar.”
“Oh, Non sudah punya pacar?”
Puspa tertawa.
“Belum, tapi teman aku itu sangat menarik.”
“Non itu sudah besar, sudah dewasa, sudah saatnya jatuh cinta. Bibik doakan agar Non mendapat suami yang baik, yang mencintai, yang bisa menjaga dan melindungi.”
“Aamiin.”
“Apakah dia anak orang kaya seperti tuan?”
“Dia anak orang biasa.”
“Lha kok orang biasa sih Non, bagaimana kalau nanti nyonya atau tuan tidak suka? Gadis seperti Non ini pantasnya mendapat suami orang yang sepadan.”
“Bagaimana kalau sukanya sama orang biasa?”
"Ya nggak cocok Non.”
“Mengapa sih Bik? Bagaimana kalau anak bibik mendapat istri orang kaya?”
“Apa?”
Bibik terkekeh lucu.
“Kok tertawa sih Bik?”
“Ya mana mungkin anak bibik mendapat istri anak orang kaya. Mana ada orang kaya yang mau sama anak bibik?”
“Namanya cinta, bagaimana bisa menolaknya.”
“Cinta itu memang adalah cinta. Tapi tidak semua cinta harus membuat orang lupa segalanya. Orang itu sebaiknya duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”
“Jadi kalau anak Bibik menyukai orang kaya, Bibik pasti melarangnya?”
“Ya bukan melarang Non, itu tidak mungkin.”
“Anak Bibik kan ganteng, pasti banyak yang suka.”
“Dari mana Non tahu kalau anak saya ganteng?” lalu Puspa terkejut karena kelepasan bicara.
“Eh .. itu … pastinya kan begitu, karena Bibik juga cantik.”
Bibik tertawa lagi.
“Memangnya kalau ibunya cantik, anaknya harus cantik atau ganteng?”
“Mestinya begitu sih Bik.”
“Ya belum tentu. Terkadang orang tuanya nggak cantik, bapaknya jelek, anaknya cantik lhoh Non. Tetangga kampung saya ada yang seperti itu.”
“Masa sih Bik?”
“Iya Non. Bisa saja terjadi seperti itu.”
“Lalu … anak Bibik seperti apa?”
“Kalau yang ditanya bibik, ya bibik bilang ganteng, mana ada orang tua yang ngatain anaknya jelek?”
“Kapan-kapan ajak anak Bibik kemari ya, biar kenal sama aku.”
“Takut Non.”
“Mengapa takut?”
“Nanti dimarahin nyonya, ngajakin anak ke tempat kerja.”
“Apa anak Bibik tahu, di mana Bibik bekerja?”
“Tahunya di kampung sini, tapi persisnya di mana, dia tidak tahu.”
“Pada suatu hari nanti ajak kemari ya Bik, kalau ibu marah, nanti aku yang jawab.”
“Nggak enak, membuat majikan marah.”
“Cobain saja, masa anak nggak tahu di mana ibunya bekerja.”
“Besok-besok ya Non, sekarang ini, kata Nugi lagi sibuk bikin sekripsi … gitu Non, bener ya namanya itu?”
“Iya, hampir bener Bik.”
“Naa, kata dia, dia juga minta agar bibik mendoakan supaya semuanya lancar, dia cepet lulus, lalu segera mendapat pekerjaan.”
“Nanti, kalau sudah lulus, bilang sama bapak, perusahaan bapak pasti bisa menerima Nugi.”
“Ya nggak berani Non.”
“Nanti aku yang bilang sama bapak. Masa anaknya pak Priyadi dibantuin, kok anak Bibik tidak?”
“Entahlah nanti Non, yang penting dia lulus dulu.”
“Iya benar.”
***
Siang hari itu Sekar sedang keluar dari kantornya, karena ada keperluan ke sebuah bank. Di jalan saat akan kembali ke kantor, dia melihat mobil sang ayah melintas.
“Itu seperti mobilnya bapak."
Sekar kebetulan akan melewati jalan yang sama, sehingga ia berada tak jauh di belakang mobil sang ayah.
“Bapakkah yang ada di dalam mobil, atau ibu?”
Kaca mobilnya gelap, jadi tidak kelihatan siapa yang ada di dalam.
Tiba-tiba Sekar melihat mobil sang ayah berhenti, lalu masuk ke halaman. Sekar heran, rumah siapa itu?
“Kelihatannya baru dibangun. Bagus sekali rumahnya, walau tidak begitu besar."
Sekar menghentikan mobilnya agak jauh di sebelah pagar rumah itu. Sekar juga melihat sebuah pickup menurun-nurunkan barang di halaman rumah, lalu beberapa orang mengusungnya ke dalam.
Yang membuat Sekar heran, yang turun dari mobil bukan ayahnya, tapi ibunya, dan Priyadi.
***
Besok lagi ya.