Saturday, September 6, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 04

 LANGIT TAK LAGI KELAM  04

(Tien Kumalasari)

 

Misnah tertegun. Tak percaya apa yang didengarnya. Dia punya kakak?

“Itu benar. Bapak punya seorang anak laki-laki, yang entah di mana dia berada, bapak tak tahu,” katanya sambul menundukkan wajahnya.

Misnah menatapnya iba. Ia tak pernah melihat sang ayah sesedih itu.

“Itu benar. Dia dibawa pergi oleh istriku, dan entah di mana dia meninggalkannya.”

Misnah tidak lupa bahwa dia hanyalah anak angkat pak Misdi, yang ditemukannya ketika dia menangis kelaparan di pinggir jalan, kemudian dibawanya pulang dan dijadikannya anak, dengan diberinya nama Misnah. Pak Misdi juga pernah mengatakan bahwa istrinya pergi meninggalkannya. Tapi bahwa ternyata dia membawa anak laki-laki mereka, Misnah sama sekali belum pernah mendengarnya.

“Mengapa tiba-tiba Bapak ingin mencarinya? Mungkin dia sudah hidup enak dengan ibunya,” kata Misnah.

“Aku tidak tahu masalah dia hidup enak atau tidak. Yang membuat bapak penasaran adalah bahwa dia meninggalkannya di sebuah panti asuhan, yang dia sudah lupa apa nama panti itu, dan di mana letaknya.”

“Kejam sekali dia ya Pak? Kalau memang tidak bisa merawat, mengapa tidak dikembalikan pada Bapak saja?” cara berpikir Misnah sangat pas karena seperti apa yang dipikirkannya. Padahal Misnah masih tergolong anak-anak.

“Harusnya begitu. Bapak juga menyesalinya. Mengapa hal itu tidak dilakukannya.”

“Mungkin karena takut kembali pulang. Karena kalau dia pulang untuk mengembalikan anaknya, Bapak pasti memarahinya.”

“Mungkin itulah yang terjadi. Kamu itu masih anak-anak, tapi cara pikir kamu seperti orang dewasa.”

“Lalu Bapak akan mencarinya ke mana?”

“Entahlah. Nama panti dan tempatnya serba tidak jelas.”

“Kalau begitu aku ikut ya Pak, jadi kita bisa mencarinya bersama-sama.”

“Jangan Misnah, kamu harus tetap di rumah,”

“Memangnya kenapa Pak, toh di rumah kita tidak sedang mengerjakan apapun?”

“Misnah, kamu itu anak perempuan. Jarot tidak jelas keberadaannya. Mungkin bapak harus kesana-kemari, jalan kaki pula. Kamu masih kecil, bapak tidak tega membawa kamu berjalan tanpa tujuan.”

Misnah meneteskan air mata, memegangi tangan ayahnya yang terletak di atas meja.

“Misnah juga tidak tega membiarkan Bapak berjalan sendirian tanpa tujuan,” kata Misnah diantara tangis.

“Misnah, bapak laki-laki, lebih kuat.”

“Bapak sudah tua. Nanti kalau capek, siapa yang memijit kaki Bapak? Kalau di rumah, setiap kali Bapak bilang lelah, Misnah selalu memijit kaki Bapak kan? Jangan pergi tanpa Misnah. Misnah tidak bisa membiarkan Bapak pergi sendiri.”

“Jangan begitu Nah, kalau kamu ikut, bapak akan merasa sangat tidak tenang. Tolong mengerti ya Nak, menunggu bapak di rumah lebih baik. Kalau bapak sudah menemukan kakakmu Jarot, bapak akan pulang. Bahkan kalau sudah jelas beritanya, di mana keberadaannya, walau belum bertemu orangnya,  bapak pasti pulang. Mengerti ya Nduk, anak baik, anak bapak yang penuh pengertian. Kamulah yang membuat bapak bersemangat hidup, kamu adalah pelita yang menerangi kegelapan dalam hidup bapak. Karena kalau tidak ada kamu, bapak tak ingin melanjutkan hidup ini lagi.”

Lalu keduanya bertangisan.

“Misnah ingin ikut bersama Bapak.”

“Tolonglah Nak, tunggu bapak di rumah dan teruslah berdoa agar kepergian bapak membuahkan hasil. Ya Nak, sudah, berhentilah menangis.”

“Misnah hanya punya Bapak.”

“Bapak juga hanya punya Misnah. Itu sebabnya bapak tak tega membawamu pergi.”

Mereka bertangisan sampai larut, walau begitu Misdi tetap melarang sang anak ikut bersamanya.

***

Pagi masih buta ketika Misnah membuka matanya. Ia bangkit dan bergegas pergi ke kamar ayahnya. Ia bertekad akan mengikuti ayahnya, walau sang ayah melarangnya.

Tapi begitu ia membuka pintu kamar, ia tak melihat ayahnya di sana. Misnah berteriak-teriak memanggil, sambil berlari ke sana kemari. Air matanya bercucuran ketika ia berlari kejalanan sambil memanggil-manggil ayahnya.

“Bapaaak, jangan pergi Pak. Jangan tinggalkan Misnah Pak, jangan pergi … kalau Bapak kecapekan bagaimana? Kalau Bapak ingin minum wedang jahe bagaimana? Bapak … aku ikut Paaak … “

Misnah terus menangis. Misnah terus memanggil-manggil ayahnya.

“Nah, kamu itu kenapa?” seorang tetangga yang mau berangkat ke pasar menyapanya.

“Bapak saya pergi Bu, saya tidak boleh ikut.”

“Kamu seperti anak kecil saja Nah. Memangnya bapakmu pergi ke mana?”

“Katanya mencari mas Jarot.”

“Jarot siapa?”

“Anaknya bapak yang hilang sejak bayi.”

“O, itu bukannya hilang, tapi dibawa kabur istri bapakmu,” kata tetangga yang mengetahui perihal kehidupan Misdi sejak awal menikah lalu dikhianati istrinya.

“Iya, saya tahu. Sekarang bapak sedang mencarinya, aku ingin ikut tapi tidak boleh.”

“Apa bapakmu sudah tahu di mana anaknya itu sekarang? Bersama ibunya kan?”

“Tidak. Katanya ditaruh di panti asuhan tapi tidak jelas di mana. Bapak sedang mencarinya.”

“Ya sudah Nah, kamu tidak usah menangis. Kalau kamu dilarang ikut, itu karena tidak jelas bapakmu akan mencari ke mana. Pulanglah, besok bantuin aku bersih-bersih rumah saja, maukah?”

“Ya, Bu.”

“Ya sudah, pulanglah.”

Misnah mengangguk. Tapi hatinya masih belum tenang juga.  Ia terus berjalan sampai kemudian ia melihat tenda kecil tempat ayahnya bekerja. Misnah melangkah ke sana, berharap ayahnya mampir ke tempat kerjanya. Tapi ternyata tidak. Ada bangku kecil teronggok di sana, tapi tak ada peralatan tambal ban yang tampak. Misnah duduk di bangku kecil itu. Bangku kecil atau dingklik yang digunakan sang ayah duduk ketika sedang mengerjakan pekerjaannya.

Air matanya berlinang ketika merasa betapa lengangnya suasana di sana. Ada seorang laki-laki menuntun sepeda motornya, lalu berhenti di depan tenda itu.

“Lhoh, belum buka?” tanyanya.

Misnah menatapnya sambul mengusap matanya.

“Bapak tidak buka hari ini,” jawabnya lirih.

“O, tidak buka? Waduh, harus berjalan kesana nih, agak jauh sih,” katanya sambil berlalu.

Misnah menatapnya dan merasa kasihan. Tapi ia bisa apa? Lalu ada lagi seorang ibu menuntun sepedanya.

“Eh, kok belum buka?”

“Hari ini tidak buka Bu.”

Lalu Misnah membiarkan wanita itu berlalu sambil menuntun sepedanya. Dua pelanggan terlewat. Misnah merasa sayang. Itu kan rejeki. Tapi ia bisa apa? Lagi-lagi pemikiran itu yang melintas.

Tiba-tiba pemilik warung sebelah mendekati Misnah.

“Kok kamu, bapakmu mana?”

“Bapak sedang pergi, Pak.”

“Jadi hari ini nggak buka?”

“Ya enggak Pak,” jawab Misnah pelan.

Pemilik warung itu berlalu, tapi Misnah mengejarnya.

“Pak … Pak.”

“Ada apa?”

“Apa Bapak bisa menambal ban bocor?”

“Apa maksudmu? Pekerjaanku banyak, aku harus melayani pembeli warungku, masa kamu suruh aku menambal ban?” katanya sambil tertawa lucu.

“Bukan Bapak, pokoknya Bapak bisa tidak?”

“Walaupun bisa, aku tidak mau menjadi penambal ban.”

“Bisakah Bapak mengajari saya menambal ban bocor?”

“Apa? Kamu, perempuan kecil, mau jadi penambal ban?”

“Kalau Bapak mau mengajari saya, pasti saya bisa.”

“Kamu? Kamu kira gampang? Harus melepas ban, mengeluarkan ban dalamnya, memompanya, mencari mana yang bocor, lalu menambalnya, lalu memasangnya lagi, memompanya lagi.”

“Saya pernah melihat bapak saya melakukannya, sepertinya saya bisa. Tolong ajari saya Pak. Saya akan mencobanya.”

Pemilik warung itu tertawa. Tapi ia kagum pada tekad gadis kecil itu. Tampaknya kehidupannya yang berat membuat orang yang kekurangan sanggup melakukan apa saja.

“Tolonglah.”

“Baik, ayo kita ambil peralatan ayahmu,” katanya sambil berjalan ke depan warung, di mana peralatan pak Misdi diletakkan di sana.

“Baru alat-alatnya saja berat lhoh. Tapi aku bantu, aku kok jadi penasaran mendengar tekad kamu.”

Misnah tak peduli, ia ingin belajar. Kalau ia punya kesibukan, ia bisa melupakan keinginannya untuk mencari sang ayah.

Pemilik warung itu kebetulan punya sepeda kayuh yang bocor dan sedianya akan menyuruh pak Misdi untuk menambalnya. Ia membawa sepedanya itu ke bengkel.

“Ini, kebetulan ada. Nah, harus ditaruh di sini dulu, agak terangkat  kan, sehingga kamu bisa melepas bannya. Begini, tuh … berat kan?”

Tukang warung kagum dengan tekad Misnah. Benar-benar gadis itu bisa melepaskan bannya, dan kemudian melepaskan ban dalamnya.

“Lalu dipompa kan?”

“Ya. Sebentar, aku bantu mengambil air di dalam ember ini,” kata tukang warung itu sambil mengangkat ember. Ketika tukang warung itu kembali, Misnah sudah berhasil memompa ban dalamnya.

“Dimasukkan ke sini kan pak? Supaya kelihatan mana yang bocor?” kata Misnah yang sedikit-sedikit pernah membantu ayahnya.

Memang tidak mudah, tapi Misnah bisa melakukannya.

Ketika tukang warung kembali lagi setelah membuka warungnya, Sinah sedang menggunting potongan ban dalam yang akan dipergunakan untuk menambal.

“Disikat dulu bagian yang mau ditambal, baru bisa dikasih lem dan potongannya itu ditempelkan.”

Misnah mengangguk. Itu bukan pekerjaan mudah. Agak siang dia baru bisa menyelesaikannya. Dan sepeda pemilik warung sudah tidak bocor lagi.

Misnah tersenyum sambil mencuci tangannya.

“Aku bisa … aku bisa … “ pekiknya riang. Tangisnya hilang oleh kegembiraan yang dirasakan ketika ia berhasil melakukannya.

“Ternyata pekerjaan bapakku itu lumayan berat,” gumamnya sambil mengeringkan tangannya.

“Kalau untuk laki-laki ya tidak berat. Kamu perempuan, anak kecil pula,” kata tukang warung yang kagum melihat gadis kecil yang nekad itu.

“Aku mau menggantikan bapak di sini selama bapak pergi,” katanya sambil tersenyum.

“Kalau sepeda motor lebih berat lhoh. Mengangkat standartnya saja sudah berat.”

“Berat ya?”

“Misnah, kamu itu masih anak-anak, tidak perlu nekad melakukannya. Itu pekerjaan laki-laki dewasa.”

Misnah tampak kecewa.

“Kalau begitu saya menerima tambal sepeda kayuh saja,” gumamnya lirih, membuat pemilik warung tersenyum.

Tapi tiba-tiba terdengar suara keruyuk dari dalam perut Misnah. Ia ingin membeli makanan, tapi ketika merogoh sakunya, ternyata ia tak membawa uang sepeserpun. Tentu saja, kan tadi begitu bangun tidur dia langsung mencari ayahnya.

“Pak, saya pulang dulu sebentar.”

“Lho, ini alatnya bagaimana?”

“Nanti saya kembali lagi, mau mengambil uang saya.”

“Oh ya, ini uangmu.”

“Uang apa?”

“Kan kamu sudah menambal ban sepedaku? Terima saja,” kata pemilik warung sambil memaksa meletakkan selembar uang ke tangan Misnah.

“Ya ampun, kan tadi saya baru belajar.”

“Tidak apa-apa, ambil uangnya dan beli sarapan. Perutmu sudah bernyanyi kan?”

Misnah tersipu malu. Tapi ia bersyukur mendapat bayaran.

“Kalau begitu saya boleh numpang ke kamar mandi ya Pak?”

“Boleh, silakan saja.”

***

Sudah beberapa kantor yayasan panti asuhan yang didatangi Misdi, tapi gambaran tentang anaknya yang ada di suatu tempat tidak ditemukannya. Hari sudah sore ketika ia mendatangi sebuah panti asuhan yang lain.

Tapi ketika ia menanyakan tentang seorang bayi yang dititipkan sekitar sembilan belas atau duapuluhan tahun yang lalu, petugas panti asuhan tak bisa mengatakan apa-apa karena informasi darinya yang tidak jelas.

“Beberapa ada yang meninggalkan bayinya begitu saja, jadi mana mungkin saya bisa menjelaskan kepada Bapak tentang anak Bapak?”

“Namanya Jarot.”

“Tidak ada tercatat nama Jarot. Duapuluhan tahun silam, ada beberapa bayi ditinggalkan begitu saja oleh orang tuanya, dan sebagian besar sudah tidak di sini lagi. Mereka sudah bekerja, atau menjadi anak angkat orang lain.”

Itu adalah keterangan yang sama dari beberapa panti yang didatanginya.

Misdi melangkah lunglai. Sangat banyak panti asuhan di negeri ini, dan data yang dibawa tidak ada yang bisa diterima dengan jelas.

Hari sudah gelap ketika ia berniat pulang. Misdi merasa ia tak akan berhasil menemukan anaknya.

Karena letih dia tertidur di depan sebuah pagar rumah orang. Hari sudah siang ketika tiba-tiba sebuah mobil dari jalan berhenti, lalu pengendaranya turun. Seorang anak muda yang gagah menghardiknya kasar.

“Hei! pengemis bau! Mengapa tidur di situ?”

***

Besok lagi ya.

 

20 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah eLTeeLKa_04 sdh tayang.
    Semoga Budhe, saha Pakdhe sehat selalu.
    Aaamiin yaa Robbal'alamiin 🀲

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 04. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~04 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🀲

    ReplyDelete
  5. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  6. πŸͺ΄πŸŽπŸͺ΄πŸŽπŸͺ΄πŸŽπŸͺ΄πŸŽ
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eLTe'eLKa_04
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ’πŸ¦‹
    πŸͺ΄πŸŽπŸͺ΄πŸŽπŸͺ΄πŸŽπŸͺ΄πŸŽ

    ReplyDelete
  7. Alhamdullilah terima ksih bunda cerbunnya..slmt mlm dan slmt istrhat .slm seroja unnk bunda bersm bpkπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien, salam sehat

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien, salam sehat

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 04 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  11. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung baru " Langit tak lagi kelam 04 " sampun tayang... semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ©·πŸŒΉ

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  13. Maturnuwun Bu Tien cerbung nya telah terbit dng ontimeπŸ™

    ReplyDelete
  14. Maturnuwun Bu Tien cerbung nya telah terbit dng ontimeπŸ™

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Semoga sehat dan bahagia selalu

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan dg keluarga tercinta. Semoga semuanya sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  17. Oh Rizki menghardik bapaknya?...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  18. Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..04..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Misdi ketiduran di depan pagar rumah nya kakek Hasbi. Kemudian Riski datang, dan mengusir nya. Kemudian Simbok datang dan kenal dengan pak tua tsb, akhir nya oleh Simbok, s pak tua tsb di beri nasi bungkus lagi, kiranya begitu ...awal cerita kelanjutannya cerbung ini di hari Senin mendatang..😁😁

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 04

  LANGIT TAK LAGI KELAM  04 (Tien Kumalasari)   Misnah tertegun. Tak percaya apa yang didengarnya. Dia punya kakak? “Itu benar. Bapak punya ...