LANGIT TAK LAGI KELAM 06
(Tien Kumalasari)
Simbok mempercepat jalannya, lalu melihat Misnah sedang menangisi tubuh tak bergerak yang terbaring di lantai tanah.
“Bapak … Bapak … jangan mati Pak … kalau Bapak mati, aku ikut siapa? Bapak, banguuun, Bapak kenapa? Paaak, bangun.”
“Ada apa Nduk?” tanya simbok.
“Bapakku, datang-datang jatuh dan diam tak bergerak,” tangis Misnah.
“Waduh … ada apa ini?” si tukang warung juga datang mendekat.
“Bapak … ini kenapa? Apakah bapakku mati?”
“Tidak Nduk, ayahmu hanya pingsan, ayo kita bawa ke rumah sakit, ada becak tidak? Mas, nanti tolong angkat bapaknya ini ya,” kata simbok yang kemudian lari ke pinggir jalan, barangkali ada becak melintas.
Tiba-tiba simbok melihat mobil pak Hasbi yang dibawa Rizki. Simbok senang sekali, Rizki bisa membawa ke rumah sakit lebih cepat. Simbok melambaikan tangannya sambil berjalan agak ke tengah, maksudnya agar Rizki berhenti.
“Ada apa?” tanya Rizki tak senang sambil membuka jendela kaca mobilnya.
“Mas Rizki, tolonglah, bapak itu pingsan, tolong bawa ke rumah sakit ya, biar simbok dan bapak pemilik warung itu membantu membawanya ke sini.”
“Apa? Aku harus mengantarkan orang tak dikenal itu ke rumah sakit? Repot amat.”
“Maas, tolonglah. Membantu itu perbuatan yang sangat baik.”
“Aku tidak baik tidak apa-apa, asalkan tidak disuruh membawa orang sakit,” katanya enteng sambil menjalankan mobilnya menjauh.
“Maaaas! Mas Rizkii! Kebangetan sampeyan Mas!!” kata simbok yang hampir menangis melihat kelakuan anak angkat majikannya.
Simbok segera berlari ke arah kerumunan becak.
“Paaak, paaak, tolong Pak.”
“Kebetulan tukang becak itu yang sering diberi makanan simbok. Ia segera menggenjot becaknya lebih cepat, mendekat ke arah simbok.
“Ada apa Mbok?”
“Ada orang sakit, tolong dibawa ke rumah sakit ya.”
“Oh ya, baiklah, baiklah.”
“Hati orang miskin lebih mulia dari hatinya Rizki”, kata batin simbok.
"Ini becaknya Pak, tolong dibantu angkat, saya juga bisa membantu, saya bagian atas, Bapak yang kakinya.”
“Biar saya sendiri saja Bu, saya kuat. Pak Misdi orangnya kurus, tidak usah digotong orang banyak. Sini, saya sendiri saja.”
“Misnah, kamu naik duluan, nanti pegangin ayahmu ya, saya mengikuti pakai sepeda motor,” kata pemilik warung yang dengan mudah mengangkat tubuh pak Misdi, didudukkan di dalam becak, di samping Misnah.
“Bawa ke rumah sakit Pak, saya mengikuti dari belakang,” kata bapak pemilik warung.
“Rumah sakit pusat ya? Saya menyusul ke sana. Oh ya Nduk, bawa uang ini, nanti kalau kamu membutuhkan apa-apa, ini diberi tuan Hasbi karena kamu sudah menambal ban sepedanya.”
Misnah hanya mengangguk, sambil menerima uang yang diulurkan simbok.
“Pak, bayarannya nanti minta saya ya,” teriak simbok kepada si tukang becak.
“Iya Mbok, beres.”
Simbok menghampiri sepeda tuannya yang masih tersandar di dinding bengkel. Simbok menghampirinya, lalu membawanya pulang.
***
Simbok bergegas pulang. Ia melihat mobil tuannya masih diparkir di halaman. Kesal sekali simbok karena si tuan muda sama sekali tidak peduli pada orang yang membutuhkan pertolongan.
Simbok melihat pak Hasbi di ruang tengah.
“Mbok, sudah kamu bawa pulang sepedanya? Kok lama sekali kamu?”
“Sudah saya bawa pulang, Tuan. Agak lama, karena ketika saya datang, tukang tambal ban itu sedang pingsan, ditangisi oleh gendhuk, anak perempuan itu.”
“Kenapa pingsan?”
“Saya tidak tahu persis Tuan, tadi dia bilang ayahnya pergi mencari anaknya, kok ini tadi pulang lalu pingsan di tempat tambal ban itu.”
“Lalu bagaimana?”
“Saya panggilkan becak agar membawanya ke rumah sakit. Tadi mas Rizki lewat, saya suruh berhenti, tapi ternyata tidak mau mengantarkan pak Misdi ke rumah sakit. Simbok baru tahu namanya, juga nama anak perempuannya, ketika tukang warung menyebutkannya.
“Apa Rizki tidak tahu kalau tukang tambal itu sakit?”
“Ya tahu, Tuan, kan saya bilang minta diantar ke rumah sakit. Dia malah langsung pulang. Lalu saya panggil becak yang kebetulan sudah mengenal saya.”
“Kasihan sekali, apa mereka punya uang untuk biaya ke rumah sakit?”
“Entahlah Tuan, uang pemberian Tuan tadi sudah saya berikan kepada Misnah, barangkali membutuhkan obat atau apa.”
“Ya tidak cukup Mbok. Sekarang kamu pergi ke rumah sakit sana, aku ambilkan uang dulu, supaya segera mendapat penanganan. Kalau kurang kamu tinggal bilang, nanti aku yang akan membiayai semuanya,” kata pak Hasbi sambil bangkit lalu berjalan ke arah kamar.
Simbok merasa bersyukur, memiliki majikan yang benar-benar perhatian kepada orang tak punya. Ia segera mengambil tas ke dalam kamar, agar bisa segera berangkat menyusul ke rumah sakit. Ketika ia keluar, pak Hasbi sedang menemui Rizki. Rupanya Rizki disuruhnya mengantar simbok ke rumah sakit.
“Bapak gimana, aku capek Pak, simbok kan bisa naik becak?”
“Ini masalah menolong orang. Kamu harus menjadi orang yang peduli kepada sesama. Ayo, antarkan simbok sekarang,” tegas perintah pak Hasbi, dan sedikit keras.
“Tapi aku hanya mengantarnya, lalu simbok aku tinggalkan, soalnya aku ada perlu sore ini.”
Pak Hasbi tidak menjawab, ia menghampiri simbok, memberikan sebuah amplop tebal.
“Katakan bahwa aku yang membiayai sakitnya tukang tambal ban itu. Kalau kurang, suruh menghubungi aku, atau kamu yang menanyakannya setiap hari pada petugas rumah sakit itu,” perintah pak Hasbi yang dijawab simbok dengan anggukan mantap.
“Baik Tuan.”
“Kalau Rizki tidak mau menunggu, kamu naik becak saja. Tampaknya dia tak akan sabar menunggu lama.”
“Baik. Cepat berangkat, Rizki sudah menunggu.”
Simbok bergegas keluar, dan bersyukur pak tukang tambal akan mendapat bantuan.
***
Wajah Rizki cemberut di sepanjang perjalanan mengantar simbok ke rumah sakit. Ia heran sang ayah angkat mau mengorbankan uang yang pastinya tidak sedikit, hanya untuk seorang tukang tambal ban.
“Mengapa bapak melakukannya? Heran aku,” omelnya.
“Ada apa Mas?”
“Bapak itu, memangnya tukang tambal ban itu siapanya bapak sih? Kenal juga tidak, mengapa sudi merelakan uang yang pastinya tidak sedikit itu untuk dia?’
“Tuan Hasbi itu seorang yang budinya baik, luhur, mulia. Apa mas Rizki tidak tahu, setiap bulan tuan selalu menyumbangkan sejumlah uang ke panti-panti asuhan, ke yayasan kaum duafa, dan membantu siapa saja yang membutuhkan?”
“Iya, tapi itu namanya mengahambur-hamburkan uang yang tidak jelas.”
“Yang menghambur-hamburkan uang yang tidak jelas itu mas Rizki. Belanja baju, sementara baju sudah ada. Makan di luar, sementara di rumah sudah ada.”
“Simbok apa lupa? Bapak itu orang kaya. Malu dong kalau pakai baju yang itu-itu saja. Nanti dikira miskin, apa tidak malu?”
“Cuma dikira miskin, kenapa malu? Kaya atau miskin itu derajatnya sama di mata Allah. Kekayaan itu hanya sandangan. Kalau kita meninggal, tak akan membawa harta kita ke liang kubur.”
“Simbok ini gimana sih, ini malam Jum’at, bicara tentang liang kubur, merinding aku mendengarnya.”
“Memangnya kenapa? Kelak kita juga akan ke sana kan?”
“Nggak mau aku ngomong seperti itu.”
“Yang penting itu mas Rizki harus mendengarkan penjelasan simbok tentang budi baik tuan, yang seharusnya mas Rizki menirunya, bukan mencelanya.”
“Itu pemikiran orang bodoh.”
“Apa? Mas Rizki mengatai orang tua sebagai orang bodoh?”
“Memberi sesuatu kepada orang yang kita tidak kenal, apa balasannya? Kalau bukan orang bodoh lalu apa?”
“Pemberian yang ikhlas itu tidak mengharapkan balasan. Budi baik itu bukan untuk diperjual belikan. Bukan dagangan."
“Simbok tidak makan sekolahan, tahu apa tentang semua itu.”
“Susah kalau ngomong sama orang yang tidak berbudi,” omongnya lirih.
“Simbok ngomong apa?”
“Nggak ngomong apa-apa. Simbok nggak mau bicara lagi, kan simbok tidak pernah makan sekolahan.” kesal simbok yang kemudian membuka pintu mobil karena sudah sampai di rumah sakit.
“Aku langsung, nanti pulanglah sendiri,” teriak Rizki.
Simbok tidak menggubris, langsung masuk ke dalam.
***
Ketika simbok masuk, di depan ruang IGD ia melihat Misnah sedang ditenangkan oleh laki-laki penjaga warung yang membantu mengangkat pak Misdi ke atas becak.
“Apakah bapakku akan mati? Tolong bilang pada dokternya, jangan biarkan bapak mati. Kalau bapak mati, aku juga mau mati,” tangis Misnah tak henti-henti.
“Tenang Misnah, bapakmu sedang ditangani dokternya.”
“Ditangani itu diapakan? Apakah sakit? Bolehkah aku masuk?”
“Jangan. Kalau kamu masuk, nanti mengganggu dokter yang sedang menangani bapakmu.”
“Ditangani itu diapakan?”
Misnah yang lugu bicara semaunya, tapi dengan sabar pemilik warung menenangkannya.
“Ditangani itu diobati. Gampangnya begitu. Jadi kamu tenanglah.”
“Bapak tidak akan mati kan? Benar ya Pak?”
“Tenang dan berdoalah. Mohon kepada Allah agar bapakmu kembali sehat.”
Misnah mengangkat kedua tangannya, mulutnya komat-kamit melantunkan doa, membuat tukang warung sangat terharu.
Simbok yang berdiri tak jauh, mengusap air matanya.
“Bagaimana keadaannya?” akhirnya dari diam karena terpana melihat polah Misnah, simbok berhasil mengungkapkan pertanyaan.
“Baru ditangani, Bu. Semoga tidak apa-apa.”
“Bu, doakan bapak saya sembuh ya, saya tidak mau bapak mati.”
“Iya, aku doakan, Nduk. Tenang saja, kalau sudah ditangan dokter, semuanya akan beres,” kata simbok menenangkan.
Ketika kemudian seorang dokter keluar dari ruangan yang tadinya tertutup, simbok dan tukang warung berlari menghampiri. Misnah tentu saja mengikuti.
“Dokter, bagaimana keadaan pak Misdi?”
“Dia hanya kelelahan, tapi mungkin harus dirawat selama sehari dua hari, karena badannya sangat lemah.”
“Jadi bapak saya masih hidup?” tanya Misnah.
“Benar. Silakan ditemui. Ini keluarganya?”
“Iya pak dokter,” kata simbok.
Misnah langsung memburu masuk. Dilihatnya sang ayah sudah tersadar, walau badannya pucat. Misnah tampak ketakutan melihat selang infus terhubung di tangan ayahnya.
“Bapak kenapa?” katanya sambil merangkul sang ayah.
“Misnah, bapak tidak apa-apa. Bapak mau pulang saja. Uang yang bapak berikan masih ada? Cukup tidak untuk membayar, Nduk?” kata pak Misdi pelan, tubuhnya masih lemah.
“Masih ada, tapi Misnah tidak membawa, entah berapa, Misnah nggak pernah ngitung. Tapi tadi dikasih sama ibu ini,” kata Misnah
“Coba tanyakan, ongkos berobat bapak berapa, lalu bilang berapa yang harus bapak bayar.”
“Pak, dokter tadi mengatakan bahwa sampeyan harus dirawat, soal bayarnya berapa, nanti aku yang mengurus, jangan khawatir.”
“Ibu kan sudah memberi uang ini?”
“Itu pemberian tuan Hasbi, karena kamu sudah menambal ban sepedanya. Tuan Hasbi memberi uang lagi untuk biaya perawatan ayahmu.”
“Tuan Hasbi itu siapa?”
“Aku bekerja menjadi pembantu di sana.”
“Tapi Bu, masa saya harus merepotkan tuan Hasbi yang belum saya kenal, apalagi beliau pasti juga belum mengenal saya,” kata Misdi lemah.
“Bu, yang bertanggung jawab atas pak Misdi siapa?” tanya perawat tiba-tiba.
Semuanya saling pandang, tapi simbok dengan tegas menjawab.
“Saya. Berapa saya harus membayar?”
“Nanti ibu ke bagian administrasi. Sekarang pak Misdi akan dipindahkan ke ruang rawat,” kata perawat itu.
“Baiklah, berikan kamar yang nyaman,” kata simbok.
“Terima kasih banyak,” kata pak Misdi sambil berlinang air mata.
***
Atas kebaikan pak Hasbi, pagi harinya pak Hasbi membezoek pak Misdi di rumah sakit. Sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih, pak Misdi kemudian menceritakan mengapa dia harus pergi meninggalkan Misnah, demi mencari anaknya yang dititipkan atau dibuang di mana, semuanya tidak jelas karena Srining mantan istrinya mengatakan lupa.
“Sudah berapa lama istri sampeyan meninggalkan anaknya?”
“Kira-kira sudah dua puluhan tahun, Tuan.”
“Seumur anakku,” gumam pak Hasbi.
“Tuan punya anak laki-laki?”
“Ya, anak itu aku pungut dari sebuah panti asuhan juga, tapi ketika itu dia sudah lulus SMA.”
***
Besok lagi ya.
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteeLTeeLKa_06 sudah hadir, matur nuwun Bu Tien, salam SEROJA.
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 06. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteterima kasih Bunda Tien, semoga selalu sehat, barokalloh
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 06 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat
ReplyDeleteAlhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~06 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..🤲
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat
🌻☘️🌻☘️🌻☘️🌻☘️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏😍
Cerbung eLTe'eLKa_06
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai 💐🦋
🌻☘️🌻☘️🌻☘️🌻☘️
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Hamdallah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSelalu sehat dan bahagia bersama keluarga.
Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..06..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Riski dapat pengaruh dari mana ya, biasanya anak mahasiswa itu, nalar nya lebih bagus.
Wkt di panti asuhan jadi anak malang. Skrng setelah di pungut kakek Hasbi...jadi anak sombong..😁
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteWaah...coba simbok "nyeploskan" bahwa pak Hasbi juga "menghambur-hamburkan" uang dong dengan mengangkat Rizki jadi anaknya? Kan sama2 tidak dikenalnya? Hmm, pasti seru nih kalau ternyata bahwa Rizki itu anak pak Misdi yang dibuang ibunya di panti asuhan.😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...benar-benar piawai mengatur alur cerita. Semoga tetap sehat ya, bu...🙏🏻
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 06 " sampun tayang... semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun 🤲🙏🩷🩷
ReplyDeleteMengapa Rizki itu angkuh sekali padahal dari kecil sampai lulus SMA tinggal di panti asuhan?...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...