Tuesday, September 16, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 12

 LANGIT TAK LAGI KELAM  12

(Tien Kumalasari)

 

Rizki menepuk jidatnya keras, membuat Citra terheran-heran.

“Memangnya kenapa jidatmu? Awas saja kena bekas pukulan yang masih kelihatan lebam itu,” kata Citra.

“Nggak, sudah nggak begitu sakit. Ayahku sangat murah hati, ketika melihat aku terluka, dia segera memanggil dokter, eh bukan dokter. Dia hanya mantri kesehatan, tapi kepintarannya sudah seperti dokter. Aku merasa sehat. Itu sebabnya aku pergi nyamperin kamu.”

“Ayahmu sangat murah hati, tapi membelikan anaknya sebuah mobil saja keberatan. Murah hati macam apa itu?”

“Aku harus bersabar, seperti usulmu tadi, sekarang aku menemukan sebuah cara.”

“Cara apa?”

“Cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku tahu di mana bapak menyimpan uangnya.”

“Bagus sekali. Tapi apakah bapakmu selalu mengunci almari penyimpanan uang itu?”

“Mengunci sih, tapi itu tidak sulit. Bapak selalu menaruk kunci sembarangan. Ia tidak pernah merasa khawatir tentang uangnya, karena selama bertahun-tahun bapak tidak pernah kehilangan uang.”

Citra tertawa.

“Tapi setelah kamu menemukan ide cemerlang itu, ayahmu akan tahu rasa.”

“Bagus sekali, tapi kamu harus bersabar. Aku pasti bisa membeli mobil.”

“Kamu harus bisa Rizki, kamu anak orang kaya, mengapa membeli mobil saja susahnya bukan alang kepalang?”

“Aku hanya terlalu jujur.”

“Sekarang tidak lagi? Jangan takut dosa Rizki, mencuri uang orang tua sendiri itu tidak dosa.”

Rizki tertawa.

“Benarkah tidak dosa?”

“Ya tidak. Bukankah kelak harta orang tuamu juga akan jatuh ke tanganmu? Jadi kalau kamu mengambil uangnya, sama saja kamu mengambil uangmu sendiri.”

“Kamu benar. Aku seperti mengambil uangku sendiri, dan itu tidak dosa,” gumamnya berkali-kali, dan baru berhenti ketika mobilnya sudah memasuki halaman kampus.

***

Pak Hasbi sedang duduk di bawah sebuah pohon di halaman rumahnya, menatap pak Misdi yang dengan sigap membersihkan daun-daun kering yang masih nongkrong di dahannya.

“Kalau capek istirahatlah, pak Misdi,” teriak pak Hasbi.

“Tidak Tuan, saya kan baru mulai.”

“Dari pagi kamu membersihkan ruangan yang ada di sebelah gudang itu. Pasti capek lah.”

“Tidak capek, hanya sebuah ruangan. Lagipula saya kan dibantu Misnah.”

Rupanya pak Hasbi ingin memulai mengobrol dalam kesendiriannya. Baru saja dia merasa mendapatkan teman, dan ia ingin segera memanfaatkannya.

Pak Hasbi duduk di sebuah bangku yang terletak di bawah sebuah pohon sawo yang ada di rumah itu. Ada bangku kecil, di mana tadi simbok menyiapkan dua gelas jus jeruk seperti yang diminta pak Hasbi.

“Nanti minumlah jus jeruk ini. Hari mulai panas, dan ini akan membuatmu segar.”

“Tuan, kalau saya ingin, biarkan saya buat sendiri di dapur, mengapa disiapkan seperti saya ini tamu.”

“Tidak apa-apa, kan kita ini memang teman ngobrol.”

“Tuan ada-ada saja.”

“Sudah selesai kan, tinggal mengumpulkannya di keranjang sampah. Tapi nanti di sebelah sini harus ditanami bunga. Dulu Bening yang merawatnya. Dia sangat suka bunga.”

“Baik Tuan. Tapi harus beli bibitnya dulu di tempat penjual tanaman.”

“Besok kita pergi bersama, kita akan ke penjual tanaman, lalu memilih yang cocok untuk ditanam di sini.”

“Tuan benar, tempat ini tampak kosong. Sangat bagus kalau dipenuhi tanaman melingkar, lalu di tengah-tengah diberi kolam ikan dengan air mancur. Kecil saja kolamnya, yang penting asri.”

“Wah, ide kamu bagus juga Pak. Tapi buatkan juga bangku di beberapa tempat di sekitarnya, supaya kalau kita ngobrol bisa sambil menikmati bunga-bunga dan ikan-ikan berseliweran di kolam.”

“Baik Tuan, nanti kita pikirkan bersama bagaimana baiknya,” kata pak Misdi sambil mendekat. Ada daun kering yang berserak di dekat pak Hasbi duduk.

“Selama ini aku tidak memikirkan masalah menghias kebun atau halaman. Sepeninggal anak dan menantuku, lalu cucuku menyusulnya, aku merasa hidup ini sia-sia. Aku seperti orang yang sedang menunggu saat Allah memanggilku, tidak ingin ini tidak ingin itu. Lalu aku kembali memiliki semangat ketika Dewi datang mengisi hari-hariku, seakan menggantikan kehadiran Bening, cucuku.”

Pak Misdi mendengarkan sehingga ia membiarkan daun yang sudah dikumpulkan, sebelum dimasukkan ke keranjang sampah. Pak Hasbi memaksanya menghirup jus jeruk yang punya pak Hasbi sendiri tinggal separuh.

“Tuh kan, keringat kamu sudah membasahi bajumu, pasti kamu merasa gerah. Jus jeruk akan membuatmu segar.”

“Terima kasih Tuan,” kata pak Misdi sambil meneguk jus dari gelas yang diulurkan pak Hasbi.

Saya juga hidup sendiri Tuan, dulu saya pernah merasa putus asa, karena istri saya pergi dengan membawa anak kami yang masih bayi. Ada laki-laki kaya yang membuatnya terpikat. Saya hancur dalam kesendirian, dan yang terberat adalah merasa kehilangan anak. Lalu saya menemukan Misnah, anak kecil yang terlunta-lunta dijalan. Cerita tentang kesendirian itu diantara saya dan Tuan adalah sama. Sama-sama menjadi orang kesepian yang kemudian menemukan teman dalam mengarungi hidup. Bukan teman pengganti istri, tapi pengganti anak, dan Tuan pengganti cucu. Bedanya adalah karena Tuan orang berada, sedangkan saya orang miskin.”

“Apakah rasa sakit diantara orang kaya dan miskin itu berbeda?” tanya pak Hasbi sambil tersenyum.

“Ya, tentu saja sama. Tapi sekarang Tuan juga sudah menemukan seseorang yang menjadi anak angkat Tuan. Harusnya Tuan tidak lagi kesepian.”

Pak Hasbi menghela napas berat.

“Harusnya begitu. Tapi hanya pada awalnya aku merasa punya teman. Lama kelamaan Rizki tidak lagi sering berada di rumah. Mungkin karena kesibukannya di tempat kuliah, atau entahlah. Sesungguhnya aku sedikit merasa kecewa terhadapnya.”

Pak Hasbi berhenti sejenak untuk kembali menghirup jusnya.

“Tapi sudahlah, aku tak ingin terlalu sering mengeluh, karena tidak ingin melihat lawan bicaraku bosan mendengarkan keluhan.”

“Tapi sebenarnya sebuah beban itu bisa terasa ringan ketika kita bisa berbagi.”

“Entahlah, tapi sekarang aku tak ingin mengeluh.”

Sebuah mobil berhenti di luar pagar. Keduanya menoleh, lalu pak Hasbi tampak gembira ketika melihat siapa yang datang.

“Dewi !!”

Setengah berlari Dewi mendekati pak Hasbi, lalu merangkulnya erat.

Pak Misdi melanjutkan pekerjaannya, mengangkut tumpukan ranting dan daun kering lalu dimasukkan ke keranjang sampah.

“Kakek, sekarang ada tukang kebun?” tanya Dewi.

“Tidak, itu teman kakek ngobrol. Ayo kakek kenalin. Pak Misdi, sini,” kata pak Hasbi sambil melambaikan tangannya ke arah pak Misdi, yang kemudian bergegas menghampiri.

“Pak Misdi, ini Dewi, cucuku yang sudah pernah aku ceritakan.”

Pak Misdi merangkapkan kedua tangannya.

“Selamat bertemu Non Dewi, saya tukang bersih-bersih kebun di sini.”

“Dan teman ngobrol kakek,” sambung pak Hasbi.

“O, sekarang Kakek punya teman ngobrol. Saya Dewi, cucunya kakek,” kata Dewi ramah.

“Ayo masuk ke dalam. Di belakang ada anaknya pak Misdi yang bulan depan akan masuk sekolah, namanya Misnah, Mereka tidur di kamar belakang, dekat gudang,” kata pak Hasbi sambil menggandeng tangan Dewi, diajaknya masuk ke dalam.

“Mbok, ada non Dewi nih,” teriak pak Hasbi.

Simbok muncul, dibelakangnya ada gadis kecil yang kemudian kembali masuk ketika menyadari ada tamu yang datang. Tapi kemudian Dewi berteriak memanggil.

“Itu yang namanya Misnah? Sini, kok masuk lagi.”

Simbok masuk kembali lalu keluar sambil menggandeng Misnah.

“Apa kabar Mbok?”

“Baik Non, lama tidak ketemu. Maklum, pengantin baru.”

Dewi tersenyum sambil mencubit lengan simbok.

“Ini Misnah? Cantik.”

“Ya, saya Misnah Non.”

“Kamu anaknya pak Misdi kan? Senang sekali, sekarang kakek banyak temannya ya Mbok. Rizki mana? Kuliah ya?”

“Iya Non, saya buatkan minum dulu ya Non,” kata simbok sambil mengajak Misnah kembali masuk ke dalam.

“Kakek senang ya, banyak temannya?”

“Syukurlah. Mereka orang baik, tadinya tukang tambal ban di dekat perempatan sana. Lalu aku kepikiran mengajaknya bekerja di sini, supaya aku punya teman ngobrol.”

“Bagaimana kabarnya Rizki?”

“Dia … baik, sibuk kuliah, jadi jarang menemani kakek.”

Lalu mereka mengobrol tentang banyak hal, tapi pak Hasbi tidak mengatakan tentang Rizki dan tentang permintaannya untuk beli mobil baru. Ia tak mau Dewi jadi kepikiran, apalagi ketika mengadopsi Rizki dulu adalah keinginan Dewi.

“Tapi Dewi senang, Kakek punya banyak teman di sini. Ada simbok, ada pak Misdi, ada Misnah.”

“Tadi kamu diantar Satria?”

“Satria sedang ada tugas, jadi berangkat agak siang. Tadi Dewi mampir ke kampus dulu, ada urusan, baru kemari. Sedianya sih kemari dulu, tapi Dewi akhirnya memilih ke kampus dulu, supaya bisa ngobrol sama Kakek sampai puas.”

“Kamu kelihatan segar dan bahagia. Maklum sudah punya pendamping."

***

Hari sudah sore, tapi Dewi masih berada di rumah pak Hasbi. Satria menelpon, menyuruh Dewi jangan pulang dulu, karena dia akan menjemputnya. Tentu saja Dewi senang.

Ketika sedang mengobrol di teras itu, Rizki pulang.

Tidak seperti biasanya yang selalu bersikap acuh ketika pulang dari kampus, kali ini ia mendekati sang ayah dan mencium tangannya, membuat pak Hasbi heran. Tapi kemudian pak Hasbi berpikir, Rizki melakukannya karena ada Dewi.

“Mbak, apa kabar?” Rizki hanya bersalaman, karena dia merasa menjadi anak pak Hasbi sedangkan Dewi adalah cucunya. Walau begitu ia tetap memanggil ‘mbak” karena usia yang terpaut jauh.

“Baik. Kamu baru pulang? Dengar-dengar kamu punya pacar?” tuduh Dewi langsung. Tapi Rizki menggeleng.

“Bukan pacar, hanya teman kok, aku ke belakang dulu ya.”

“Kalau berteman saja tidak apa-apa, tapi jangan pacaran dulu. Utamakan kuliah kamu.”

“Ya, jangan khawatir, tentu aku mengutamakan kuliah dulu,” jawabnya sambil masuk ke dalam.

Pak Hasbi lebih heran lagi, karena Rizki bersikap sangat santun, tidak seperti biasanya yang selalu seenaknya.

“Mbok, aku minta minum ya, taruh di teras, karena ada mbak Dewi, lama tidak ngobrol." terdengar teriakan Rizki.

“Bukan main, hari ini Rizki baik banget, ingin ngobrol sama kamu, biasanya langsung masuk kamar dan tidur,” gumam pak Hasbi.

“Kangen sama keponakannya, barangkali,” canda Dewi.

***

Pagi hari itu pak Hasbi juga heran, Rizki tidak meminta uang saku sebelum berangkat kuliah.

“Apakah Rizki sudah menyadari kesalahannya, sehingga ingin bersikap lebih baik karena ulasan petuah yang panjang lebar, kemarin?” gumamnya.

Ketika ia sedang menikmati udara pagi sambil menunggu pak Misdi selesai menyapu kebun, tiba-tiba Misnah berteriak.

“Tuan, ini uang Tuan jatuh di depan kamar.”

“Uangku?”

“Iya, ketika saya menyapu, melihat uang ini tercecer di depan pintu kamar Tuan.”

***

Besok lagi ya.

25 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  2. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 12 " sampun tayang... semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  3. Yerima ksih bunda cerbungnya .slmr mlm slmt istrhat..salam sht sll unk bunda bersm bpk TomπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 12. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah...sudah tayang
    Matur sembah nuwun Mbak Tien
    Salam ADUHAI dari Antapani

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah eLTeLKa_12 sdh tayang ...

    Teriring doa semoga bu Tien dan pak Tom sehat selalu....
    Tetap semangat, tetap berkarya dan selalu bersyukur.... Gusti tansah paring keberkahan.
    Aamiin.....🀲🀲🀲

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    semoga bunda sekeluarga sehat Walafiat . Aamiin YRA

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 12 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~12 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  10. Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..11..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Rizki kerjanya kurang rapi, mencuri uang kakek Hasbi, uang nya tercecer di lantai.
    Kakek hrs lihat sendiri uang nya di almari sisa berapa.
    Jangan2 di kuras habis oleh Rizki buat beli mobil baru..😁

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  12. Walaah...maling amatir si Rizki ketahuan deh, bisa-bisa kali ini diusir sungguh sama pak Hasbi, kapok gak tuh?πŸ˜…

    Terima kasih, bu Tien. Sehat & bahagia selalu...πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»πŸ˜˜πŸ˜˜

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai dari Yk....

    ReplyDelete
  14. πŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒ
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eLTe'eLKa_12
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ’πŸ¦‹
    πŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒ

    ReplyDelete
  15. Maturnuwun Bu Tien cerbung nya..πŸ™

    ReplyDelete
  16. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu bunda Tien sekeluarga.

    ReplyDelete
  17. Rizki jadi maling...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah
    Matursuwun Bu Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
    Salam sehat dan semangat selalu

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya, πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    Waduh, jgn sampai Misnah & pak Misdi jd tumbalnya Rizky ,. 😁🀭

    ReplyDelete

HANYA BAYANG-BAYANG 17

  HANYA BAYANG-BAYANG  17 (Tien Kumalasari)   Srikanti terus menatap mereka, dan bertanya-tanya. Keakraban mereka itu lebih dari keakraban s...