HANYA BAYANG-BAYANG 17
(Tien Kumalasari)
Srikanti terus menatap mereka, dan bertanya-tanya. Keakraban mereka itu lebih dari keakraban seorang anak dan bapaknya. Nilam terlalu manjakah? Ada perasaan tak enak ketika semakin lama dirasakan. Tak tahan untuk diam, Srikanti berteriak memanggilnya.
“Pri !!”
Dan keduanya memang benar-benar terkejut. Pri segera berdiri dan bergegas mendekat.
“Sri, ada apa kamu di sini?”
“Beli ayam goreng. Di sini kan jual ayam goreng? Kamu dan Nilam kelihatan senang sekali makan berdua.”
“Anak itu, sudah besar juga masih begitu manjanya sama ayahnya,” kata Pri yang sudah tahu bahwa Srikanti pasti melihat keakraban mereka dan tentunya curiga melihat Nilam begitu dekat duduknya, serta menyandarkan kepalanya juga di bahunya.
“Nilam, sini!” kata Pri sambil melambaikan tangan ke arah Nilam.
Nilam bergegas mendekat.
“Panggil ibu. Dia adalah ibumu,” perintah Pri.
“Ibu, tidak mengira bertemu di sini. Sedang ingin makan ayam goreng,” katanya sambil mencium tangan Srikanti.
“Aku kira kamu pacaran sama siapa?” omel Srikanti yang kurang suka melihat keakraban itu.
Pri terkekeh.
“Pacaran apa? Aku hanya pacaran sama kamu,” kata Pri berbisik di telinga Srikanti.
Kemarahan Srikanti mereda. Kelemahannya adalah dirayu Priyadi.
“Nilam, kamu tidak boleh terlalu manja sama bapak, nanti dikira kita pacaran. Tegur Priyadi sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Nilam, tentu saja tidak sepengetahuan Srikanti.
“Iya Pak, habis bertahun tidak ketemu. Rasanya pengin bermanja-manja terus,” kata Srikanti sambil menundukkan muka.
“Tapi kamu sudah besar. Itu tidak pantas,” kali ini Srikanti yang menegur.
“Baik, Bu. Lain kali tidak lagi.”
Sementara itu pelayan warung sudah selesai menyiapkan pesanan Srikanti.
“Ini bu, pesanan Ibu.”
“Terima kasih. Ya sudah, aku pergi dulu, aku sedang bersama tuan,” kata Srikanti sambil berdiri, kemudian berlalu secepatnya.
Nilam tertawa cengengesan, dan Priyadi memarahinya.
“Kamu sih, selalu begitu. Tidak usah menunjukkan kemesraan kalau sedang di luaran. Kalau di rumah terserah saja. Kalau ada yang melihat kita, kan kita akan ketahuan.”
“Penginnya begitu sih, habis jarang bisa jalan-jalan bareng seperti ini.”
“Tidak usah mepet-mepet begitu. Nanti orang-orang malah curiga, bisa ambyar semuanya.”
“Iya, aku tahu.”
***
Srikanti sudah kembali membawa mobilnya tapi tuan Sanjoyo tidak mengatakan apa-apa.
“Ayam goreng di situ enak lho Mas. Dagingnya empuk, bumbunya merasuk sampai ke dalam. Nanti Mas rasain deh.”
“Ya.” jawabnya singkat.
“Mas masih marah? Ya sudah, aku minta maaf,” Srikanti terpaksa mengalah, kalau tuan Sanjoyo keterusan marah, bisa-bisa keinginannya tidak akan terwujud. Karenanya ia terus-terusan membujuk dan merayu dengan manis, agar kemarahan sang suami menjadi reda.
Dan ketika sampai di rumah, kemarahan itu memang sudah benar-benar hilang, karena di rumah ternyata bik Supi sudah menyiapkan makan siang bersama Puspa.
“Lhoh, ini bibik sudah masak?” kata tuan Sanjoyo.
“Iya Tuan, begitu sampai di rumah, saya memasak dibantu non Puspa.”
“Mengapa harus dibantu non Puspa? Apa kamu tidak bisa melakukannya sendiri?” Srikanti selalu tidak pernah menerima niat baik pembantunya.
“Bukan bibik yang meminta aku membantu Bu, aku memag ingin belajar memasak dari bibik,” kata Puspa kesal.
“Ya sudah, aku sudah lapar, ayo kita makan masakan bibik saja,” kata tuan Sanjoyo.
Maka walaupun sedikit kesal, Srikanti tetap melayani suaminya dengan sebaik-baiknya.
“Kamu jangan selalu menyalahkan bibik. Lihat, dia bekerja sangat memuaskan. Walaupun diajak jalan sama anakmu, dia tetap bisa melakukan tugasnya dengan baik,” kata tuan Sanjoyo sambil menikmati makan siangnya.
“Yang kebangetan itu kan Puspa sendiri. Didudukkan pada tempat yang semestinya tidak mau. Nggak tahu dia itu kelak mau jadi apa.”
“Ya jadi anakku, ya kan Puspa?” kata tuan Sanjoyo dengan tersenyum senang.
“Bagaimana rasa masakan Puspa, Pak?”
“Ini masakan kamu?”
“Iya, tapi dibimbing sama bik Supi.”
“Enak sekali.”
“Bapak hanya ingin agar Puspa senang kan?” kata Puspa.
“Bener, enak. Lihat, bapak sudah nambah lagi karena enaknya.”
“Terima kasih Pak.”
“Dasar bocah tidak tahu adat. Bodoh. Dia itu bukan bapakmu,” kata batin Srikanti, yang sebenarnya memiliki harapan besar atas anaknya yang satu itu, karena ia memang yakin kalau Puspa memang bukan darah daging tuan Sanjoyo. Tapi karena Puspa selalu menentangnya dan dianggapnya sebagai pembangkang, maka ia menjadi sangat kesal kepada anaknya itu.
Apalagi dia menjadi sangat dekat dengan bik Supi yang hanya seorang pembantu.
“Ada apa anak itu. Apakah bik Supi punya jampi-jampi sehingga membuat Puspa jadi lengket kepada dirinya?” batinnya lagi.
“Mas, ayam goreng yang kita beli tadi sangat enak, Mas tidak ingin mencobanya?”
“Lauk yang dibuat bik Supi dan Puspa ini sudah cukup. Mana bisa ditambah ayam goreng lagi, nanti perutku bisa meledak,” kata tuan Sanjoyo setengah bergurau.
“Hmh, susah-susah beli, tidak dimakan,” omel Srikanti.
“Bu, ayam goreng ini kan masih baru, berarti besok pagi masih enak di makan. Biar Puspa bawa saja sebagai bekal kuliah.”
“Kamu sekarang suka sekali membawa bekal?”
“Aku suka berbagi dengan teman. Dia suka, aku juga puas karena bawaanku ada yang mau memakannya. Ya Bik, besok ayam gorengnya dibawakan untuk bekal aku ya, sama sambal dan lalapannya.”
“Baik Non.”
“Kamu seperti anak kecil saja Puspa, kuliah bawa bekal,” kata sang ayah.
“Iya, saat sebelum kuliah, makan sarapan dibawah pohon, itu nikmat.”
“Apa tidak diledek teman-teman kamu?”
“Ada sih yang suka jahil, ngatain Puspa seperti orang piknik, tapi biarkan saja, Puspa kan tidak mengganggu mereka.”
“Siapa yang selalu kamu ajak makan bekal kamu?”
“Teman Puspa. Teman dekat yang sangat baik.”
“Pacar kamu?” tuduh sang ayah, tapi dengan senyuman.
Puspa terkekeh lucu.
“Puspa sudah boleh pacaran ya Pak?”
“Boleh saja, tapi hati-hati. Harus pintar memilih pasangan.”
“Jangan yang hanya mau karena menginginkan harta kita. Pilih anak pengusaha kaya, jadi sepadan dengan kita,” kata Srikanti.
“Bagaimana kalau dia itu miskin?”
“Mana ada orang memilih pasangan orang miskin? Apa ingin hidup sengsara?”
“Memangnya kalau miskin pasti hidupnya sengsara?”
“Tentu saja. Mana ada orang miskin bisa hidup senang.”
“Yang penting bukan miskin jiwanya,” sambung pak Sanjoyo.
“Betul kata Bapak, boleh miskin harta, yang penting tidak miskin jiwanya.”
“Apa maksudmu?” kata Srikanti, hampir memekik.
“Ada apa ini, enak-enak makan kok berdebat tentang pasangan. Yang penting kamu harus tahu, Puspa, jodoh itu Allah yang akan memberi, jadi mintalah jodoh yang baik. Yang bisa melindungi kamu, yang bisa menjaga kamu. Kalau kamu mendapat jodoh yang baik, kalaupun bapak sudah meninggal, nanti akan meninggal dengan hati tenang.”
“Bapak kok bicara begitu? Bapak harus selalu sehat, panjang umur, dan bahagia diantara kita.”
“Aamiin. Kamu doakan terus untuk bapak ya.”
“Tentu saja Pak.”
Dan seharusnya memang ada keakraban diantara mereka, kalau saja Srikanti tidak mengotorinya dengan niat-niat buruk yang tersembunyi.
***
Nilam sedang makan malam bersama Priyadi. Nilam agak kesal karena tadi Priyadi bersikap sangat mesra kepada Srikanti dihadapannya. Karena itu wajahnya selalu merengut.
“Mengapa kamu begitu, Nilam, kamu kan tahu kalau aku hanya sayang sama kamu. Srikanti itu sudah tua, aku hanya suka hartanya. Dia adalah jalan untuk kita menjadi kaya.”
“Iya, aku tahu, tapi jangan bersikap mesra begitu di hadapan aku, aku cemburu dong.”
Priyadi tertawa senang. Nilam masih muda, dan cantik. Tapi Nilam sangat tergila-gila pada dirinya, bukan hanya karena dia gagah dan tampan walau sudah setengah tua, tapi juga karena dia sangat royal kepada Nilam, dengan memberikan apa saja yang Nilam minta. Dan apa yang diberikannya kepada Nilam itu juga Srikanti yang memberinya. Nilam tahu benar itu, tapi Nilam tak menggubrisnya, karena ia tahu Priyadi hanya menyayangi dirinya. Hanya saja kalau sampai melihat mereka kelihatan mesra, tetap saja Nilam merasa cemburu.
“Mas, kapan kita pindah ke rumah baru itu? Aku sudah ingin sekali tidur di kamar yang nyaman. Apakah ada yang kurang?”
“Kemarin kita sudah beli perangkat untuk dapur. Nanti kita tanyakan pada Srikanti, apakah sudah bisa tinggal di sana.”
“Pasti secepatnya kan Mas, semua perabotan sudah lengkap.”
“Besok Srikanti pasti mengajak aku melihat rumah itu, nanti dilihat kesiapannya untuk segera tinggal di sana.”
“Baguslah. Pasti sangat menyenangkan.”
“Besok sepulang kerja akan aku ajak kamu melihat rumahnya setelah ditata. Kamu boleh mengatakan apa yang kamu tidak suka.”
“Benar ya Mas, besok melihatnya. Jadi kita pulangnya jangan terlalu malam.”
“Iya, tenang saja.”
***
Pagi hari itu Puspa membantu bik Supi di dapur. Bik Supi sudah melarangnya, karena ia benar-benar takut kalau nyonya majikannya justru memarahinya, tapi Puspa nekat dengan alasan belajar memasak.
Ia juga meminta bibik menyiapkan nasi serta ayam goreng semalam yang tidak termakan gara-gara masakan bibik lebih enak dan sang ayah tidak mau memakan ayamnya.
“Ini nanti untuk siapa sih Non?”
“Aku dan temanku.”
“Hanya berdua?”
Ya, tapi tidak apa-apa kalau bibik membawakan nasinya lebih banyak. Nanti kalau masih ada, biar dia bawa pulang saja.”
“Non ini baik hati benar.”
“Sudah Bik, siapkan saja, aku nanti berangkat agak pagi ya.”
“Baiklah Non, setelah menata meja untuk sarapan, saya segera siapkan nasi ayamnya untuk Non bawa nanti.”
“Terima kasih Bik, sekarang aku mau mandi dulu, lalu bersiap sarapan dan berangkat.”
“Baik”
***
Di pagi hari bibik juga menyiapkan makan pagi untuk Priyadi di meja dapur. Setelah ada Nilam, maka bibik menyiapkannya untuk berdua. Priyadi dan Nilam.
Di ruang makan tampak tuan Sanjoyo dan anak istrinya sedang sarapan, begitu juga Priyadi dan Nilam. Mereka mendapat lauk yang sama dengan majikannya, karena nyonya Srikanti yang memintanya.
“Tiba-tiba Nilam yang melihat ada sekotak ayam yang tertutup, membukanya. Ia melihat ayam goreng yang masih utuh, lalu dengan seenaknya dia mengambil sepotong paha lalu dimakannya. Bibik terkejut ketika melihatnya.
“Eee, gimana sih Mbak, itu mau dibawa non Puspa ke kampus,” teriaknya.
Nilam terkejut, tapi dia terlanjur menggigitnya, membuat bibik sangat kesal. Ia segera mengambil kotak ayam itu dan menempatkannya di dalam rantang yang sudah disiapkan.
“Memangnya kenapa sih Bik, bilang saja pada nyonya nanti, kalau Nilam minta sepotong paha,” kata Priyadi enteng.
Bibik diam, tapi dalam hati dia mengomel. Bukan masalah bilang pada nyonya, tapi anakmu itu mengambilnya dengan lancang. Kata batin simbok.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah...maturnuwun Bunda
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Bapak sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah,suwun mb Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah "Hanya Bayang-Bayang 17" sdh hadir. Matur nuwun Bu Tien, sugeng dalu π
ReplyDeleteAlhamdulillah .. episode_17 sdh tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien.
Tetap sehat dan semangat, nggih πͺπ
Lancang banget Nilam, ngambil paha ayam tang bukan HAK nya ...
Matur nuwun mbak Tien-ku Hanya Bayang-Bayang telah tayang
ReplyDeleteAlhamdullilah..terima ksih bunda HBB nya..slm sht sll unk bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Bunda
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien salam sehat utk keluarga..
ReplyDeleteπΌπΏπΌπΏπΌπΏπΌπΏ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
Cerbung HaBeBe_17
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
πΌπΏπΌπΏπΌπΏπΌπΏ
Alhamdulillah HANYA BAYANG-BAYANG ~17 telah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien π
Semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga, serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
Aamiin YRA..π€²
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Hamdallah sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun Bu Tien cerbung HBB untuk hiburan yg nyaman,aman, semoga ibu tetap sehat smangat berkarya menulis cerbung yg lebih menarik, bahagia selalu Bu bersama Kel tercinta.
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *HANYA BAYANG BAYANG 17* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia
bersama keluarga
Aamiin...
Alhamdulilah Cerbung HBB 17 sampun tayang .... maturnuwun bu Tien, semoga ibu sekeluarga selalu sehat dan bahagia .. salam hangat dan aduhai aduhai bun ππ©·πΉπΉ
ReplyDeleteAlhamdulillah, HANYA BAYANG-BAYANG (HBB) 17 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, serial cerbung : Hanya Bayang Bayang 17 sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin
Sampai kapan ya tuan Sanjoyo di bohongin melulu sama Srikanti.
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai dari Yk
ReplyDeleteAlhamdulillah.. suwun Bu Tien. Salam Seroja bersama keluarga.
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteππππ
ReplyDelete