Monday, September 15, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 11

 LANGIT TAK LAGI KELAM  11

(Tien Kumalasari)

 

Misnahpun terkejut. Mereka berdua segera bergegas mendekat. Pak  Misdi seperti pernah melihat siapa yang terbaring itu. Lupa-lupa ingat, karena wajah anak muda itu tampak lebam. Karena bingung, ia berteriak.

“Tuaaan, Tuaaan … ini siapa?”

Pintu segera terbuka, dan pak Hasbi muncul dari dalam. Bersamaan dengan itu, tubuh yang semula terbaring itu bangkit. Pak Hasbi terkejut ketika melihatnya.

“Rizki?”

“Aku ketiduran,” katanya pelan. Lalu bangkit.

“Kamu kenapa?”

“Aku mau pergi, tadi hanya numpang tidur,” katanya sambil berusaha berdiri.

“Tunggu.”

Tak urung trenyuh hati pak Hasbi melihat wajah Rizki yang lebam, dengan pakaian kotor dan ada noda darah di bagian lengan kiri.

“Berhenti dan kembali kemari.”

Rizki berhenti melangkah dan kembali mendekati sang ayah.

“Kenapa wajahmu itu? Juga lukamu itu?”

“Ditonjok orang, setelah hampir terserempet sepeda motor.”

“Bagaimana berjalan tanpa hati-hati? Sekarang masuk ke kamarmu, dan bersihkan dirimu, biar aku panggil pak Mantri.”

Rizki mengangguk sambil bersyukur dalam hati. Sekarang ia berharap tak akan hidup di jalanan setelah diusir ayah angkatnya. Ia melangkah ke kamarnya dan merasa berhasil.

“Maaf Tuan, itu tadi putra Tuan?”

“Yang sudah pernah aku katakan itu.”

“Iya, saya juga pernah melihatnya ketika bersama temannya menambal ban sepedanya.”

“Anakku selalu membawa mobil ke mana-mana. Anak manja. Salahku sendiri.”

“Iya Tuan, kalau terlalu dimanja pada awalnya, seringkali begitu.”

“Kalian sudah datang sepagi ini? Bukankah kemarin aku suruh kamu beristirahat dulu?”

“Saya benar-abenar sudah merasa kuat. Saya sudah meninggalkan rumah sewa saya, dan sudah saya bayar lunas setelah menempatinya dua bulan ini.”

“Baiklah, biar simbok membantu kamu.”

“Jangan Tuan, sudah ada Misnah yang akan membantu, biar kami melakukannya sendiri.”

“Ya sudah, terserah kalian saja. Minta kepada simbok kalau memerlukan peralatan yang kalian butuhkan.”

“Baik, Tuan.”

“Tapi panggil simbok sebentar, akan aku suruh ke rumah pak Mantri, agar datang kemari. Kelihatannya Rizki butuh pengobatan. Kalau hanya luka ringan saja, pak Mantri pasti bisa mengatasinya.”

“Saya panggilkan dulu, Tuan,” kata Misnah yang langsung mendahului, melewati pintu samping.

“Anakmu kelihatannya rajin.”

“Dia terbiasa merawat rumah, bahkan sering kali tetangga minta tolong dia untuk bersih-bersih, atau belanja, bahkan mencuci pakaian. Jadi kalau masalah pekerjaan rumah, Misnah sudah terbiasa. Nanti dia akan bisa membantu semua pekerjaan simbok, Tuan.”

“Bagus sekali. Tapi nanti kalau sudah sekolah, harus mengedepankan urusan sekolahnya. Jangan sampai karena ikut mengurus rumah, lalu melupakan tugas utamanya, yaitu belajar. Anakmu, kalau mampu, harus menjadi orang yang berhasil. Kalau orang tuanya tak bisa sekolah tinggi, anaknya harus bisa.”

“Saya harus berterima kasih kepada Tuan, karena semua ini adalah karena pertolongan Tuan.”

“Ah, sudahlah. Hentikan ucapan terima kasihmu itu.”

“Ya Tuan.” Tiba-tiba simbok sudah datang menghadap.

“Pergilah ke rumah pak Mantri, panggil kemari.”

“Siapa yang sakit, Tuan?”

“Itu tadi, Rizki. Datang-datang luka, katanya ditonjok orang setelah terserempet sepeda motor. Aku belum menanyakannya lebih lanjut. Panggil pak Mantri dulu.”

“Baiklah. Untuk pak Misdi dan Misnah, saya buatkan minum di dapur. Diminum dulu, masih hangat.”

“Terima kasih Mbok, lain kali biarlah kami membuat sendiri.”

“Tidak apa-apa, sekalian buatnya.”

Simbok berlalu, dan pak Misdi segera beranjak ke belakang bersama anaknya.

“Minum dulu, seperti kata simbok,” kata pak Hasbi.

***

Rizki masih terbaring di ranjangnya, setelah pak Mantri mengobati lukanya. Ia sedang berpikir tentang sikap ayahnya nanti. Apakah ia masih akan diterima, atau tetap diusirnya, Rizki masih belum tahu. Semalam, karena Citra menolak memberinya tempat untuk menginap, Rizki terus berjalan dengan rasa lelah dan lapar. Luka yang tidak diobati juga terasa perih. Kepala terasa pusing. Akhirnya kakinya melangkah pulang. Lalu ia ambruk di teras, karena tidak berani mengetuk pintu dan berharap ayahnya akan mau menerimanya lagi.

Perih lukanya sudah banyak berkurang. Pak Mantri juga sudah memberinya obat sehingga kepalanya tak lagi berdenyut.

Ketika kemudian simbok membawakan makan dan minum ke kamarnya, Rizki bangkit dari tidurnya.

“Tuan menyuruh mengantarkan minuman dan makanan ini. Dimakan di kamar saja, kata Tuan, mas Rizki masih sakit.”

“Aku makan di ruang makan saja,” katanya sambil beranjak keluar.

Simbok tak membantah, ia mengangkat bakinya kembali dan mengikutinya keluar.

“Kenapa bangun?” tanya pak Hasbi ketika Rizki ikut duduk di ruang makan.

“Saya sudah tidak apa-apa.”

“Kenapa kamu ditonjok orang?” tanyanya sambil sarapan, diikuti oleh anak angkatnya.

“Saya diserempet dan jatuh, tapi pengendara itu justru memaki-maki saya. Ketika saya juga marah, suami perempuan itu malah menonjok kepala saya.”

“Kenapa kamu pulang?”

“Kalau Bapak meminta saya pergi, saya akan pergi.”

“Kamu mengerti mengapa aku menyuruh kamu pergi?”

“Bapak marah.”

“Kenapa bapak marah?”

“Bapak tidak mengijinkan saya minta mobil baru.”

“Bukan masalah mobil itu. Tapi sikap kamu terhadap orang tua. Kamu seperti tidak pernah belajar tata krama. Apa di panti kamu selalu begitu? Apa di sekolah kamu tidak belajar bagaimana menghadapi orang tua? Bahwa orang tua harus dihadapi dengan santun dan dengan rendah hati?”

Rizki terdiam. Ia lupa semua ajaran kebaikan, karena kemewahan hidup dan merasa dimanja oleh ayah angkat yang kaya raya, membuatnya besar kepala.

“Berarti sebenarnya Bapak mau membelikan mobil baru?”

Astaga. Rizki tampak tidak begitu waras. Mimpi tentang mobil baru masih menyelimuti dirinya.

Ia ingat ketika kemarin datang tanpa daya di rumah Citra, ia merasa tidak diperhatikan. Berbeda ketika dia menjanjikan banyak kemewahan, pakaian bagus dan makan enak, yang selalu disambutnya dengan suka cita dan penuh kemanjaan serta kasih sayang.

“Kamu masih memikirkan mobil baru?”

“Apakah Bapak akan memberikannya?”

“Tidak.”

Rizki berhenti mengunyah makanannya.

“Tidak ada mobil baru selama mobil yang lama masih layak dipakai. Janganlah kesombongan mengotori jiwamu. Janganlah kungkungan harta mencederai nuranimu. Jadilah manusia seperti manusia lainnya. Sederhana dalam langkah, hilangkan congkak, jangan berjalan sambil mendongak, karena akan banyak duri dan kerikil tajam yang siap melukai telapak kakimu ketika kamu tak tahu jalan seperti apa dan bagaimana jalan yang kamu lalui.”

Rizki masih tetap terdiam. Selalu panjang perkataan sang ayah, seperti aliran sungai yang berkelok-kelok, tak akan pernah berhenti mengalir. Selalu membuatnya bosan. Bayangan Citra kembali melintas. Apakah Citra masih mau berpacaran dengannya ketika mobilnya masih mobil lawas yang tak gemerlap dan mengkilap?

“Apakah perkataanku bisa kamu masukkan ke dalam otakmu?” sambung pak Hasbi.

“Baiklah, aku tak akan ganti mobil,” jawabnya singkat.

Pak Hasbi merasa lega.

“Istirahatlah dulu kalau kamu masih merasa sakit.”

Rizki meninggalkan ruang makan dengan wajah datar. Entah dia bisa menerima semua yang dikatakan ayahnya, ataukah hanya lewat kemudian melupakannya. Tapi bahwa dia gagal mendapatkan mobil impiannya, itu sudah jelas dimengertinya. Ia sekarang sedang mereka-reka jawaban kalau Citra menanyakannya.

***

Rizki baru saja bangun dan keluar dari kamarnya, ketika melihat Misnah sedang bersih-bersih ruangan sambil melihat-lihat hiasan-hiasan indah yang memenuhi ruang tamu. Ada lukisan perempuan cantik sedang menggendong bayi, patung-patung antik kecil-kecil yang berjajar di atas meja marmer di sudut ruangan. Terkadang Misnah mengangkatnya, karena ia harus membersihkan mejanya dari debu. Tiba-tiba ia terkejut ketika mendengar bentakan.

“Hei, kamu siapa? Apa yang kamu lakukan?”

”Ya ampun Mas, jangan teriak kenapa, aku kan tidak tuli,” jawab Misnah kesal.

“Eh, ditanya tidak menjawab malah berani menegurku. Kamu siapa? O, anak tukang tambal ban itu kan? Kenapa pagi-pagi kamu ada di sini? Letakkan patung itu. Itu mahal, jangan-jangan kamu mau mencurinya.”

“Saya memang anak tukang tambal ban itu. Sejak kemarin kami tinggal di belakang sana, dan sekarang sedang bersih-bersih rumah membantu simbok. Mengapa menuduh saya mau mencuri? Apa karena saya orang miskin? Apakah karena miskin maka saya pasti suka mencuri?” jawab Misnah kesal. Ia sama sekali tidak takut karena merasa benar.

“Jadi kamu dan ayah kamu tidur di sini?”

“Di belakang sana, dekat gudang, bukan di sini,” jawabnya sambil meneruskan menyapu, sedangkan lap yang tadi dipakainya untuk membersihkan meja, di sampirkannya di bahu.”

“Hei.. dengar aku!”

“Ada apa Rizki, pagi-pagi sudah teriak-teriak.”

“Saya tidak tahu ada orang asing berada di rumah ini.”

“Bukankah bapak sudah bilang kalau pak Misdi akan tinggal di sini menemani bapak?”

“Dan anak itu yang Bapak sekolahkan?”

”Ya, memangnya mengapa?”

“Tidak apa-apa. Saya takut menjawab, nanti dikira tidak sopan kepada orang tua,” kata Rizki sambil masuk ke dalam kamarnya.

“Anak sendiri meminta tidak diberi, orang lain yang bukan apa-apa dirawat disekolahkan,” omelnya pelan sambil membuka pintu kamar.

“Kamu bilang apa?” rupanya sang ayah mendengar omelan Rizki.

“Tidak Pak, tidak apa-apa.” Lalu Rizki menutup pintu kamarnya.

Pak Hasbi menghela napas panjang.

“Tidak mudah memberi pengertian kepada seseorang yang otaknya penuh kegelapan,” gumamnya sambil duduk di ruang tengah, lalu meneguk kopi pahit yang disediakan simbok setiap pagi. Tapi tampak sekali bahwa wajahnya menjadi muram.

***

Dewi sedang bersiap dandan, karena ia ingin bareng dengan Satria yang akan masuk ke kantor.

“Mobilnya kamu bawa saja, jadi sebaiknya aku kamu turunkan di kantor. Kalau aku antar kamu dulu, pulangnya kamu naik apa?”

“Seperti anak kecil saja sih Sat, kan banyak becak yang bisa aku naiki setiap saat. Masa aku harus membawa mobil itu. Bukankah itu mobil kantor?”

“Walau begitu dipakai sebentar juga tidak apa-apa, nanti aku bilang pada pak Sunu.”

“Jangan Sat, nanti aku kan mau ketemu kakek Hasbi, pasti akan ada cerita banyak, karenanya aku tidak mau terpancang waktu.”

“Kamu kangen sekali ya pada kakekmu?”

“Ya kangen lah Sat, sejak kita menikah, kita belum bertemu kakek. Nanti juga kalau ketemu, kakek pasti menanyakan kamu.”

“Kamu memilih waktunya pas aku tidak libur sih, jadi aku nggak bisa ikut.”

“Sekalian mau ke kampus, ada yang masih harus aku urus.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Kalau sudah siap berangkat sekarang saja.”

“Aku sudah selesai, kita berangkat sekarang saja.”

“Kamu diturunkan di kampus atau langsung ke rumah kakek?”

“Ke rumah kakek saja dulu, aku ingin membuat kejutan untuk kakek.”

***

Citra berlari keluar kamar ketika mendengar mobil memasuki halaman. Wajahnya berbinar, membayangkan Rizki datang dengan membawa mobil baru.

“Kok suaranya sama dengan mobilnya yang lama sih,” gumamnya sambil membuka pintu rumah.

Tapi senyumnya segera lenyap ketika masih melihat mobil lama itu lagi. Ia berdiri di teras, tanpa mau menyambut sang kekasih yang baru turun dari mobil.

“Mengapa masih mobil bobrok ini lagi?”

“Ini bukan mobil bobrok, sudah diperbaiki kok. Ayo berangkat.”

“Mengapa masih memakai mobil ini? Bagaimana kamu ini, merayu ayahnya sendiri saja tidak bisa.”

“Kamu harus bersabar Citra. Aku tidak boleh memaksa supaya ayahku tidak memarahiku lagi.”

“Kasihan deh kamu, punya orang tua kaya tapi pelit,” kata Citra sambil memasuki mobil, karena Rizki juga langsung masuk ke dalam mobilnya.

“Dengar Rizki, kalau memang minta dengan baik-baik tidak diberi, kamu kan bisa mengambil sendiri uang ayahmu. Bukankah kamu tahu di mana ayahmu menyimpan uangnya?”

Rizki urung menstarter mobilnya. Ada hal yang begitu mudah, mengapa selama ini tidak terpikir olehnya?

***

Besok lagi ya.

27 comments:

  1. Alhamdulillah eLTeeLKa_11 sudah tayang, tapi dasar Rizki sdh ketutul kesombongan... karena salah kakek Hasbi sih dimanja ya nrucak.....
    Malah dipanasi Citra si cewek matrek, suruh nyuri uang kakek Hasbi....

    Tur nuwun nggih Dhe. Mugi tansah pinaringan rahayu widodo basuki, tinebihna ing rubeda lan kalis ing sambikala.
    Slamet...slamet...slamet ingkang pinanggih.
    Aamiin.....
    Salam takzim kagem pakdhe Tom, mugi enggal dangan total ... πŸ€²πŸ€²πŸ™

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah sudah tayang, terima kasih mBak Tien....

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun Bu Tien. Wah si Citra ini ternyata aduhai njelehi banget.....
    Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  5. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 11 " sampun tayang... semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 11 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  7. Terima ksih bunda berbungnya sdh tayang .slm sht sll unk bunda bersm bpk πŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  9. Kenapa Risky hatinya tertutup. Terimakasih bunda Tien,sehat selalu bunda Tien sekeluarga.

    ReplyDelete
  10. Maturnuwun Bu Tien cerbung Langit Tak Lagi Kelam 11, tokohnya pasti ada yg antagonis, tetep seru dan menarik ceritanya, semoga Bu Tien tetap sehat semangat bahagia bersama Kel tercinta, masih terus menulis cerbung...πŸ™

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 11. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Syukron nggihbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~11 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  14. πŸ’πŸ“πŸ’πŸ“πŸ’πŸ“πŸ’πŸ“
    Alhamdulillah πŸ™πŸ’πŸ¦‹
    Cerbung eLTe'eLKa_11
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien dan
    keluarga sehat terus,
    banyak berkah dan
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🀲.Salam seroja 😍
    πŸ’πŸ“πŸ’πŸ“πŸ’πŸ“πŸ’πŸ“

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien πŸ™
    Semoga bunda Tien dan kelg selalu sehat dan bahagia, aamiin 🀲

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..10...sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Kakek Hasbi hrs waspada thd anak angkat nya sendiri ya, dia bisa 'menggunting dalam lipatan' 'menohok' kakek Hasbi dari dalam, krn pengaruh dari pacar nya s Citra...jelek sekali.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    Aduhai, Bu Tien bikin buat pembaca jd gemes dg polah Citra & Rizky yg mau mencuri ...πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ€­

    ReplyDelete
  18. Terima kasih Bunda Tien ,sehat selalu ya Bun..barokalloh

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien. Selalu sehat dan semangat ya Bu... Alhamdulillah

    ReplyDelete
  20. Waah...parah banget tih si Citra, pacar toxid. Bisa-bisanya menjerumuskan Rizki untuk berbuat kriminal. Ntar berurusan dengan hukum baru tahu rasa.😬

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.πŸ™πŸ»πŸ˜˜πŸ˜˜

    ReplyDelete
  21. Mohon maaf Bu Tien, Dewi dan Satria kan sudah menikah, kok masih memanggil nhambal hanya Sat, sebagai istri kan sebaiknya lebih menghormati suaminya, mas/ kangmas, ka kangmas, kanda, suamiku, sayang, atau yang lainnya...

    ReplyDelete
  22. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete

HANYA BAYANG-BAYANG 17

  HANYA BAYANG-BAYANG  17 (Tien Kumalasari)   Srikanti terus menatap mereka, dan bertanya-tanya. Keakraban mereka itu lebih dari keakraban s...