Thursday, September 4, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 02

 LANGIT TAK LAGI KELAM  02

(Tien Kumalasari)

 

Arum menarik tangan suaminya, yang sedang menatap ke arah lain, membuat Listyo terkejut.

“Mas, sedang ngelihat apa sih? Dipanggil dari tadi nggak dengar ya?” tegur Arum.

“Oh, iya … maaf, itu … melihat mahasiswaku, lagi ngeborong baju-baju mahal.”

“Yang mana? O, itu … dari tadi milih-milih, yang dipilih baju-baju mahal. Anak orang kaya ya Mas? Yang mahasiswa Mas yang cewek apa cowok?”

“Dua-duanya. Kelihatannya mereka pacaran.”

“O, pacaran? Tampaknya anak orang kaya.”

“Kamu sudah selesai milihnya?”

“Belum, aku tuh nunggu persetujuan Mas, pilihan aku itu … Mas suka tidak?”

“Yang mana?”

“Yang sebelah sana, di sini harganya mahal-mahal.”

“Kalau kamu memang suka, ambil saja. Kan tidak tiap hari beli baju.”

“Nggak mau ah, aku yang biasa saja, yang penting bagus, elegant. Tidak usah yang bermerk. Lagi pula masih beli baju untuk anak-anak juga.”

“Nggak apa-apa, kalau memang suka.”

“Enggak … ya enggak. Baju mahal atau murah itu nggak akan ada bedanya. Kalau pas di tubuh kita, bagus dipandang, ya sudah. Ayo Mas, aku maunya yang sebelah sana. Warna biru muda, nanti biar serasi dengan jas yang mas pakai. Biru tua kan?”

“Baiklah.”

“Mas kok ngelihat ke sana lagi sih?”

“Sepertinya mereka sudah selesai belanja,” kata Listyo yang kemudian mengikuti istrinya.

“Biarin saja. Jangan bilang Mas tertarik pada gadis itu. Memang cantik sih.”

Listyo tertawa.

“Bagiku, perempuan tercantik adalah istriku.”

“Halaaaah, gombal.”

“Kok nggak percaya.”

“Buktinya Mas nglihatin dia terus.”

“Bukan perempuannya yang aku lihatin, tapi Rizki. Cowoknya itu. Royal amat membelikan baju mahal untuk pacarnya. Beberapa potong pula.”

“Memangnya kenapa? Bukan minta pada Mas kan?”

“Rizki itu, anak angkatnya pak Hasbi, sedangkan pak Hasbi itu kakek angkatnya Dewi.”

“Rizki anak angkat pak Hasbi, Dewi cucu angkat pak Hasbi, begitu?”

“Kamu kan pernah mendengar cerita tentang Dewi yang tadinya diculik orang jahat, lalu ditolong seorang kakek-kakek?”

“O itu? Iya, Mas kan sudah pernah cerita pada Arum?”

“Karena aku sudah tahu siapa pak Hasbi, maka aku perhatikan mereka. Pak Hasbi itu orang kaya. Apa dia memberi uang saku yang banyak pada anak angkatnya, sehingga bisa mentraktir baju-baju mahal untuk pacarnya?”

“Karena anak angkat, lalu dimanja, barangkali.”

“Kalau ketemu Dewi aku mau bicara. Perasaanku mengatakan bahwa Rizki itu terlalu royal. Apa benar, yang dipergunakan itu uang dari pak Hasbi yang memang memberi uang saku banyak, atau Rizki berbuat yang nggak benar? Kalau untuk ukuran mahasiswa, bisa mentraktir baju mahal itu sangat luar biasa.”

“Ya sudah, nanti Mas bicara sama Dewi saja. Ayuh, sekarang Mas lihat baju yang aku pilih. Kita kelamaan perginya, kasihan si Yu momong anak-anak sendirian.”

***

Simbok sedang membungkus nasi sisa makan siang, dengan lauk pauknya. Ia selalu merasa sayang membuang makanan sisa. Bukan sisa bekas makan, tapi persediaan makan yang tersisa. Ia membungkusnya entah menjadi beberapa bungkus, lalu diberikannya kepada tukang-tukang becak di sekitar rumah. Banyak orang butuh makan dan tidak bisa terpenuhi kebutuhannya karena keadaan, karenanya simbok selalu merasa sayang membuang makanan. Pak Hasbi senang, simbok sudah seperti Dewi, suka memberi. Seperti ketika Dewi menyarankan agar sebagian hartanya disumbangkan ke yayasan-yayasan yang membutuhkan, ia juga menyarankan kepada simbok agar makanan sisa yang masih pantas dimakan, diberikan kepada orang yang membutuhkan.

Ketika simbok membawa satu keresek penuh bungkusan makanan, seorang laki-laki berpakaian kumuh melintas. Sebenarnya simbok ragu untuk memberikan bungkusan nasi itu, jangan-jangan dia tersinggung. Tapi kemudian ia nekad memanggilnya.

“Pak, Bapak ….”

Laki-laki itu berhenti, menoleh sekilas ke arah simbok, lalu melanjutkan langkahnya, karena tak yakin dia yang dipanggilnya.

“Pak, maukah Bapak, kalau saya memberi sebungkus nasi untuk Bapak?”

Laki-laki itu sekarang berhenti. Ia tampak senang, lalu simbok mendekatinya.

“Saya punya beberapa bungkus nasi dengan lauknya, kalau Bapak suka, nih … untuk Bapak,” kata simbok sambil mengulurkan sebungkus nasi.

Laki-laki itu tersenyum, ia menerimanya dengan mata berbinar.

“Terima kasih banyak, saya sedang mau membelikan sebungkus nasi untuk anak saya di rumah. Terima kasih banyak, saya tidak jadi kehilangan uang untuk membeli.”

“Anak Bapak ada berapa?”

“Dua, cuma yang satu hilang entah ke mana.”

“Bapak rumahnya di mana?”

“Sana, kampung di depan sana.”

“Bapak dari mana?” simbok sudah seperti wartawan, banyak yang ditanyakannya. Mungkin karena penasaran melihat kegembiraan laki-laki itu setelah urung kehilangan uang untuk membeli nasi karena sudah diberinya, gratis.

“Saya bekerja di ujung jalan itu, sebagai penambal ban.”

“O, iya. Pantesan saya seperti sering melihat Bapak. Yang buka tambal ban di sana itu? Lha ini Bapak sudah mau pulang?”

“Iya, alat-alat saya titipkan di warung dekat situ. Sudah sore, saya mau pulang. Hari ini sepi, jadi saya mau pulang saja, karena anak saya mungkin sudah menunggu dan kelaparan. Terima kasih ya Bu,” kata laki-laki itu sambil membalikkan badan.

“Eh, Pak. Tunggu, kalau itu diberikan untuk anak Bapak, lalu Bapak makan apa? Sudah makan?”

“Belum, tidak apa-apa, asalkan anak saya tidak lapar,” jawabnya tersipu.

“Tunggu Pak, kalau begitu ini, saya tambahin dua bungkus lagi,” kata simbok sambil memberikan dua bungkus lagi.

“Sudah Bu, ini cukup. Kalau diberikan saya, nanti kurang.”

“Yang kurang siapa? Ini makanan yang sudah tidak dibutuhkan. Lalu saya bungkus jadi beberapa bungkus, untuk siapa saja yang membutuhkan. Nih, terima saja.”

“Yang lain bagaimana?”

“Gampang, ada tukang becak yang suka mangkal di sebelah saya, biasanya ada tiga, ini masih cukup.”

“Bener ya Bu, ini untuk saya juga?”

“Iya Pak, jangan sampai anak Bapak makan, Bapak sendiri tidak."

“Bisa sebungkus berdua kan Bu.”

“Jangan, sudah … bawa ini yang dua lagi, eh … tidak, ini tiga, ada tas keresek yang tersisa, bawa aja.”

“Lhoh, ini cukup Bu, sudah. Ini saja.”

“Jangan, yang dua buat makan nanti malam. Lauknya kering, tidak bakalan basi. Sayurnya saya bungkus sendiri dalam plastik.”

“Terima kasih banyak ya Bu.”

“Lain kali kalau ada, akan saya antarkan ke tempat kerja sampeyan. Tapi pesan saya, jangan memanggil saya ‘bu’. Saya hanya pembantu di rumah tuan Hasbi. Panggil simbok saja.”

“O, tuan Hasbi, yang masuk gang itu kan?”

“Kok sampeyan tahu?”

“Anaknya laki-laki, gagah, pernah menambal ban sepeda motor di tempat saya.”

“Sepeda motor? Putra tuan Hasbi tidak punya sepeda motor.”

“Waktu itu dia bersama temannya, seorang gadis. Kalau begitu sepeda motor itu punya temannya.”

“O, iya barangkali. Ya sudah Pak, pulang sana, anaknya kelamaan menunggu.”

“Baik, terima kasih Bu,” jawabnya sambil menoleh ke arah jalan yang agak kecil, dimana tadi simbok muncul ke jalan raya.

Simbok melanjutkan langkahnya. Ada tiga bungkus lagi yang akan diberikannya kepada tukang becak di depan sana.

***

Laki-laki itu pak Misdi, yang sudah dua tahun menjadi tukang tambal ban di dekat rumah pak Hasbi. Ia hidup bersama seorang anak perempuan yang umurnya belasan tahun. Ia hanya mampu menyekolahkan sampai lulus SD. Selebihnya dia menjadi pembantu di tetangga sekitar. Bukan pembantu tetap, tapi hanya kalau ada yang membutuhkan.

Sudah tiga hari Misnah sakit, sehingga tidak bisa bekerja. Karena itulah pak Misdi buru-buru pulang mengingat sang anak yang belum makan sejak siang. Pagi harinya dia sudah membelikan bubur, dan obat panas yang dibelinya di warung.

Ketika derit pintu bambu terdengar, Misnah yang sudah bisa duduk walau tubuhnya masih lemas, terdengar menyapa.

“Bapak?”

“Iya Nah, ini aku.”

“Masih agak siang, Bapak kok sudah pulang?”

“Beberapa hari ini bapak pulang agak siang, karena kamu sakit. Takutnya kamu lapar. Ini bapak bawa makanan.”

“Aku tidak lapar. Sabar kok menunggu Bapak.”

“Pasti laparlah, masa tidak makan dari siang kok tidak lapar. Ayo, dimakan. Bapak cuci tangan dulu, baru kita makan sama-sama. Kamu kok ya sudah duduk, apa sudah tidak pusing lagi?”

“Tidak, besok aku sudah mau mencari pekerjaan lagi. Barangkali ada yang membutuhkan.”

“Jangan dulu Nduk, istirahat dulu sehari dua hari lagi.”

“Tidak apa-apa. Misnah kuat kok. Ayo kita makan di dapur Pak, Bapak saya tunggu di sana ya?”

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

***

Misnah makan dengan lahap, karena ada lauk ikan di dalamnya. Keduanya belum pernah makan seenak itu.

“Tadi laris ya Pak, sehingga Bapak beli makanan dengan lauk ikan ini? Empat bungkus pula.”

“Tidak Nah, itu tadi diberi orang.”

“Diberi orang?”

“Ada orang kaya, makanannya tersisa banyak. Pembantunya membungkusnya jadi beberapa bungkus, bapak dikasih empat bungkus.”

“Mengapa banyak banget Pak?”

"Pembantu itu kasihan pada kita, karena aku mengatakan bahwa ada kamu menunggu di rumah dan pasti belum makan.”

“Bapak kok gitu, malu dong Pak.”

“Mengapa malu? Bapak juga nggak minta, cuma bilang kalau ada anak bapak di rumah.”

“Orangnya baik banget, pasti juga orang kaya. Makannya enak, pakai sayur ada udangnya, lalu ada ikan gorengnya.”

“Bersyukurlah, kita mendapatkan rejeki.”

Misnah bukan anak kandung pak Misdi. Ia menemukan seorang anak perempuan berumur lima tahunan yang menangis dipinggir jalan dan tidak punya keluarga. Kemudian pak Misdi membawanya pulang, lalu memberinya nama Misnah, sesuai dengan namanya sendiri. Misnah anaknya Misdi, sepertinya pas, kata batin pak Misdi waktu itu.

Pak Misdi sebenarnya punya anak laki-laki. Pada suatu hari anak laki-lakinya yang masih bayi dibawa pergi istrinya yang kabur bersama laki-laki lain yang lebih kaya. Pak Misdi yang kesepian kemudian mendapatkan ganti si Misnah, yang dibesarkannya sejak ditemukan sekitar sepuluh tahun lalu.

“Yang dua ini, buat makan malam,” kata pak Misdi.

“Buat besok pagi saja. Ini makanannya banyak, kita pasti masih kenyang sampai malam.”

“Kalau basi bagaimana?”

“Nanti Misnah panasi lagi, supaya masih bisa dimakan besok pagi.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Tapi janji ya, besok pagi jangan mencari pekerjaan dulu. Kamu baru saja sembuh, wajahmu saja masih pucat begitu.”

***

Hari itu rejeki pak Misdi sedang baik. Sejak pagi ada saja orang menambal ban ke bengkel kecilnya.

Ketika ia sedang menambal ban seorang pelanggan, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti.

“Pak, tolong pompain dong, agak gembos nih, tapi yakin tidak bocor kok.”

Pak Misdi mengangkat wajahnya. Ia seperti mengenali suara itu. Ia terkejut ketika menatapnya.

“Srining? Kamu?”

Srining adalah mantan istrinya.

“O, kamu sekarang jadi tukang tambal ban to Mas?”

“Mau bagaimana lagi, untuk menyambung hidup ya apa saja aku lakukan. Seneng, kamu sekarang jadi orang kaya.”

“Orang hidup itu yang dicari apa sih Mas, hidup enak kan? Aku minta maaf, terpaksa meninggalkan kamu. Capek, hidup miskin Mas.”

”Ya, terserah kamu saja. Syukurlah kalau kamu sudah menemukan hidup enak. Pastinya anakmu, Jarot juga ikut hidup enak.”

“Anakmu apa? Aku tidak membawa Jarot.”

“Apa? Bukankah kamu kabur dengan membawa Jarot?”

“Tidak. Suamiku nggak mau aku membawa anak.”

“Lalu di mana anak itu sekarang?” kata pak Misdi dengan nada tinggi. Ia marah sekali.

“Sudah aku buang.”

***

Besok lagi ya.

19 comments:

  1. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~02 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..๐Ÿคฒ

    ReplyDelete
  2. ๐ŸŒป☘️๐ŸŒป☘️๐ŸŒป☘️๐ŸŒป☘️
    Alhamdulillah ๐Ÿ™๐Ÿ˜
    Cerbung eLTe'eLKa-02
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai ๐Ÿ’๐Ÿฆ‹
    ๐ŸŒป☘️๐ŸŒป☘️๐ŸŒป☘️๐ŸŒป☘️

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah sdh hadir eLTeeLKa_02
    Semoga bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete

  4. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *LANGIT TAK LAGI KELAM 02*
    * sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...




    Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *LANGIT TAK LAGI KELAM 02*
    * sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 02 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 02. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  8. Terima ksih bunda LTLK nya..slmt mlm dan slmt istrhat..slm seroja unk bunda sekel๐Ÿ™๐Ÿฅฐ๐ŸŒน๐Ÿ’ž

    ReplyDelete
  9. Jangan jangan Rizki itu Jarot si anak buang.. Kalau nikah nanti pasti dilacak siapa ayah kandungnya.
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Terina kasih bunda Tien
    Somoga bunda dan keluarga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillaah " Langit Tak Lagi Kelam-02" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bshagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillaah dah dibaca
    Makasih bunda

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, " Langit Tak Lagi Kelam-02" sdh tayang. Matursuwun Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu bersama kluarga. Aamiin ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  14. Maturnuwun Bu Tien, cerbung tayang ontime,sehat dan bahagia selalu bersama Kel tercinta...

    ReplyDelete
  15. Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..02..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Mungkin Rizky ada hubungan darah dengan pak Misdi dan Srining.
    Srining membuang nya, trus di ketemukan seseorang, lalu di bawalah ke rumah Panti Asuhan.
    Kakek Hasbi dan Dewi datanglah untuk memungut nya sbg anak angkat.

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat...

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 02

  LANGIT TAK LAGI KELAM  02 (Tien Kumalasari)   Arum menarik tangan suaminya, yang sedang menatap ke arah lain, membuat Listyo terkejut. “Ma...